webnovel

13. Acara Penyambutan

18 Penyihir dari masing-masing ketiga Academy yang berbeda telah berkumpul. Masing-masing mengenakan seragam sekolah mereka dengan elegan. Academy Ruby mengenakan jubah kuning, terlihat sederhana dan sangat polos seperti biasa. Academy Sains mengenakan jubah ungu dengan sentuhan keriting berwarna perak pada setiap ujung jubah, sementara Academy Penyihir Yuron mengenakan jubah merah polos, dengan bros emas yang menggantung di leher jubah.

Sebuah gedung besar yang dihuni oleh jutaan penonton, terlihat spektakuler saat holografik 4D raksasa turut berperan di dalam kegelapan. Sosok anggun dan beberapa rekannya menari, diiringi musik yang membahana memenuhi gedung. Terutama, di bagian VIP yang merupakan area khusus, pemandangan indah dengan penari tradisional menyambut tamu membuat semua orang terpesona.

Ruangan terang yang sangat berbeda disediakan sebagai sebuah kamar VIP. Terdapat sebuah meja makan panjang yang telah dipenuhi dengan berbagai macam makanan hangat dan juga dessert. 18 Penyihir muda duduk di meja tersebut, menghadap ke sebuah kaca yang memamerkan acara yang begitu mewah.

Namun bukan hanya 18 Penyihir yang berada di sana, beberapa guru, Kepala Sekolah Academy Royal, juga beberapa bangsawan berkumpul bersama. Di meja yang berbeda dengan para murid, beberapa orang terlihat mulai meminum anggur mereka dan saling mengobrol.

"Semua kelas kami adalah kelas siang, bagaimana dengan kelas kalian?" seorang ras manusia menatap murid-murid Academy Ruby. Di meja makan, seraya menikmati pemandangan tarian yang begitu meriah, tidak bisa disangkal beberapa orang mulai mengobrol. Beberapa murid Academy Royal Ion juga berada di meja yang sama. Ikut bergabung dengan ketiga sekolah yang menjadi tamu mereka.

"Oh? kami juga!" Bastian tersenyum cerah. "Sepertinya, semuanya kelas siang?"

"Ya, aku juga kelas siang … atau memang pelajaran di Academy Royal Ion hanya memberikan kelas siang?"

"Tentu saja tidak," salah satu ras Naga tanpa ragu menjawab. "Kami memiliki kelas Pagi, Siang dan Malam, tetapi untuk kelas resmi, hanya kelas siang dan malam. Untuk kelas pagi, biasanya kami menggunakannya untuk belajar bersama Senior."

"Belajar bersama Senior?"

"Ya," Naga ungu itu tersenyum. "Kelas terbagi menyesuaikan level. Biasanya, level dua akan belajar dengan senior level 3. Karena jarang untuk bertemu dengan senior lain di luar sekolah … itu sebabnya ada kelas pagi. Jadi, untuk senior yang datang pagi hari, biasanya akan memberikan konseling untuk beberapa pertanyaan."

Lita menatap bingung ras Naga. "Apakah kalian tidak mengambil sistem Asrama?" Bagaimana mungkin sampai sulit bertemu dengan Senior? Academy Ruby sangat luas. Baik Senior atau Junior sangat mudah untuk ditemukan. Terutama untuk level 0 dan 1, mereka akan selalu menjadi pusat perhatian karena para Senior wajib untuk merawat dan menjaga Junior mereka.

Setiap Penyihir sangat berharga, sebagai sesama Penyihir, mereka harus saling menjaga.

"Tidak ada sistem Asrama di sekolah," jawab sang Naga. Sepasang iris emas menatap tertarik para murid Academy Ruby. "Benar, kudengar Academy Ruby memiliki sistem pembelajaran yang sangat berbeda? Kalian juga memiliki kelas yang … sangat banyak?"

"Tidak semuanya wajib untuk diikuti," Jovanka langsung mengerti mendengarnya. "Lagi pula, selain kelas untuk level 1, semua kelas harus membayar. Jadi, kami yang sudah level 2 ke atas biasanya hanya mengikuti beberapa kelas yang menurut kami bisa untuk lulus. Bahkan ada yang hanya mengikuti 4 kelas yang sesuai dengan levelnya."

Bastian menyipitkan matanya, nadanya berubah berbahaya. "Kau menyindirku?"

Ras vampire itu menyeringai, sukses membuat ras campuran gatal ingin memukul.

Salah satu Elf menghela napas begitu mendengarnya. "Terdengar menyenangkan … tetapi sayang, bayaran di Academy Ruby cukup tinggi."

Sebenarnya, itu cukup murah. Academy hanya memungut biaya sesuai dengan pengeluaran yang diperlukan. Seperti Asrama. Bila murid tidak menggunakan Asrama, tidak akan ada biaya Asrama. Atau kelas. Harganya memang cukup tinggi karena sekali pertemuan, akan mematok beberapa koin emas. Namun apa yang diajarkan, tidak pernah main-main dan sertifikat yang dikeluarkan juga terjamin lebih unggul.

"Nah, bagaimana dengan sistem belajar kalian sendiri?" Leo buka suara. Sosok perak itu menatap salah satu ras Elf. "Kudengar, pembelajaran kalian per-semester? bukan permata pelajaran?"

"Sekolah kami juga menggunakan sistem seperti itu," salah satu murid Academy Yuron menyela. "Tetapi hanya untuk level 2, ketika mencapai level 3, kelasnya sama seperti kalian, Academy Ruby."

Zarai menatap dengan tertarik. "Lalu, bagaimana cara kalian mendapatkan sertifikat?"

"Level 2 belum bisa mengambil sertifikat. Kami biasanya mengambilnya setelah level 3."

Semua murid Academy Ruby bungkam, tidak berani bersuara begitu mendengarnya. Mereka bahkan tidak berani bertanya pelajaran apa yang akan diambil … Oh, okay. Jadwal telah dibagikan. Mereka kira, semua pelajaran tentang bahan dan juga alkimia dasar adalah pelajaran yang umum … lupakan. Jangan terlalu dipikirkan!

"Begitu ya," Zarai menyesal bertanya. Dengan canggung, perempuan itu meraih salah satu dessert. "Tetapi di sini cukup menyenangkan. Semua makanannya enak-enak. Apakah Kafetaria juga makanannya seperti ini?"

Beberapa orang langsung menyadari bahwa anak-anak dari Academy Ruby adalah yang paling menikmati makanan. Bahkan Leo yang paling terlihat elegan dan cantik, memiliki setumpuk makanan di piringnya--hasil dari Bastian yang tidak henti mengambilkannya makanan.

"Apakah … Academy Ruby tidak ada makanan padat?" salah satu Elf tidak tahan untuk tidak bertanya. Matanya memandang piring Leo yang penuh dengan berbagai macam dessert. Oh, anak ini terlihat sangat … kelaparan?

Leo cuek bebek. Remaja perak memasukkan puding ke dalam mulut, menikmati rasa manis yang meleleh begitu menyentuh lidah dan tidak berhenti tersenyum.

Bastian batuk, beberapa pasang mata memandang si cantik yang paling mungil. Oh, kecil-kecil cabe rawit. Tidak akan ada yang pernah menyangka bahwa porsi makan bocah ini cukup besar selain mereka. Lebih parah, si Bungsu mereka juga cukup cuek untuk memamerkan kerakusannya.

"Yah … Mungil sedang masa pertumbuhan," sebagai koki pribadi yang setiap hari memasak untuk Tuan Muda Perak, Bastian ambil suara. "Itu sebabnya, mungil banyak sekali makan," lagi pula, akan ada seekor naga yang mengamuk bila tahu anaknya belum makan. Tiga kali sehari, pria itu akan menelfon dan hal pertama yang ditanya adalah … 'apakah Baby sudah makan?'

Semua orang di acara pertukaran pelajar tahu bahwa An Leo, adalah anak Papa. Hampir setiap jam, ayahnya yang posesif akan selalu menelfon guna mengecek keberadaan putra kesayangannya.

"Sebenarnya, di Academy Ruby juga ada makanan padat, tetapi berada di area yang berbeda … yah, biasanya kami malas untuk pergi sekedar membeli makanan selain di Kafetaria. Lagi pula, Cairan dan Bar Nutrisi yang disediakan oleh Academy cukup enak, Nutrisinya disesuaikan dengan kebutuhan Penyihir," Jovanka dengan baik hati menjelaskan.

Beberapa siswa tertawa mendengarnya. "Berarti, kalian beruntung karena melakukan pertukaran pelajar di sini."

Beberapa pasang mata memandang siswa Academy Royal Ion.

"Di sini, makan siang dan makan malamnya adalah makanan padat, biasanya disediakan khusus di Kafetaria Penyihir," senyuman bangga merekah di salah satu ras naga. "Jadi, tidak perlu khawatir perihal makanan. Kafetaria kami terkenal karena makanannya yang lezat."

Beberapa pembicaraan kembali dilakukan. Leo tidak terlalu tertarik untuk mengikuti. Remaja perak sibuk makan, seraya melakukan panggilan telfon dengan Naga Perak yang juga tengah menikmati makan malamnya. Pemuda tampan itu terlihat berada di sebuah restoran mewah yang ramai.

"Baby, jangan terlalu sering memakan makanan manis … bukankah semalam, Nirwana juga membuatkan Baby puding?"

Melahap sesendok puding ke dalam mulut, Leo benar-benar mengabaikan ucapan sang Naga. "Rasanya berbeda," kilahnya. "Ini lebih enak."

Pria tampan itu menghela napas, lalu menyuapkan steak ke dalam mulutnya. Beberapa detik kemudian, seolah menyadari sesuatu, alisnya mengernyit. "Di mana Naga lemah itu? Kenapa mendadak dia tidak ada di belakang Baby?"

"Area ini khusus untuk Penyihir, Guardian tidak boleh masuk," memakan salad buah yang tersedia, remaja perak menyandarkan punggungnya ke kursi dengan santai. "Bagaimana dengan perjalanan Papa?"

"Kehabisan energi, jadi mampir sebentar di salah satu planet sekaligus beristirahat sebentar … yah, pesawat perlu melakukan service. Mungkin besok siang Papa akan berangkat lagi."

Leo bergumam mendengarnya, fokus dengan anggur yang baru saja masuk ke dalam mulut.

"Baby, kemungkinan minggu depan Papa sampai di sana," seringai konyol merekah di wajah tampan itu. "Baby, Baby kangen dengan Papa?"

Leo mencibir. "Setiap hari, selama jam makan siang dan malam, bahkan sebelum tidur, Papa menelfonku terus. Di mana aku bisa merindukanmu bila masih selalu melihat wajahmu?"

Cosmos tertohok. Oh, ini bahkan belum sampai 3 bulan ia pergi dan anaknya sudah memulai masa pemberontakan! Bahkan mulai terindikasi berpacaran dengan Guardiannya sendiri? Astaga … apakah anaknya mulai tumbuh untuk lepas dari tangan orang tuanya?!

"Tetapi Papa merindukan Baby," tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan, Naga perak tanpa ragu melemparkan niat baiknya. "Baby tidak rindu dengan masakan Papa?"

Ah … yang ini, Leo benar-benar tidak bisa menyangkal. "Um," si perak mengangguk. "Aku ingin masakan Papa."

Sepasang kelereng emas bersinar cerah begitu mendengarnya. "Oh, sudah Papa duga, Baby sebenarnya sangat merindukan Papa," Seringai konyol merekah di wajahnya. "Meski Nirwana setiap hari memasak untuk Baby, masakan Papa tetap yang nomor satu kan?"

Filter Naga Konyol ini … oh, sungguh, Leo tidak bisa berkata-kata. Jadi, ia hanya bisa berkata 'Um' terus menerus seraya menikmati setiap dessert yang dipersembahkan ke piringnya. Yah, menjadi anak bungsu lumayan menyenangkan. Si perak benar-benar dilayani oleh 5 orang lainnya.

Tepat ketika panggilan berakhir, Leo harus menahan merinding saat Bastian menatapnya. Sepasang iris merah itu sangat fokus dan berkilau cerah, seolah-olah mengharapkan sesuatu. Terlebih, Pangeran Yuron itu juga duduk tepat di sampingnya.

"Apa?"

"Apakah kalian membicarakanku?" Bastian menyeringai. Namun mendadak, wajahnya agak memerah. "Itu … kalau kau merasa masakanku kurang, aku bisa belajar … umnh … memangnya, bagaimana rasa masakan Ayahmu?"

Sepasang iris emas menyipit, sukses membuat Bastian ciut.

"Oh … tidak, lupakan saja."

"Kudengar, setiap tahun kalian hanya membawa satu Guardian," seorang Elf mendadak bertanya, sepasang irisnya memandang sosok perak yang baru saja selesai mendapatkan telfon dari orang tuanya. "Apakah itu cukup?"

Baru saja ditelfon oleh orang tua dan tanpa sengaja mendengar bahwa setiap hari akan selalu mendapatkan panggilan yang serupa … oh, anak manja seperti ini, apakah cukup hanya memiliki satu Guardian?

Leo bersumpah benar-benar bisa mengartikan tatapan dari semua orang yang memandangnya.

"Yah … kami besar di Academy dan Academy mengajarkan kami untuk lebih mandiri," Anna tersenyum, menjawab pertanyaan dengan tenang. "Ngomong-ngomong, aku melihat jadwal dan ternyata kita lebih banyak mendapatkan materi praktek? Aku penasaran, apakah ada kebun atau peternakan di sini?"

Obrolan berlanjut, kegiatan saling mengenal cukup harmonis. Ketika akhirnya hari semakin larut dan acara selesai, semua orang memutuskan untuk kembali. Namun tepat ketika Leo keluar dari ruangan VIP dan Merci menghampirinya … sepasang iris emas itu dengan mudah melihat keringat dingin dan suhu tubuh sang Naga Muda yang menurun.

Jelas, sosok Naga Muda ini sempat untuk ke luar dan melakukan sesuatu … tetapi si perak memilih untuk pura-pura tidak tahu. Bagaimanapun, mereka sudah pergi ke Perpustakaan Kerajaan dan ia belum selesai mencari. Jadi, kepergian Merci dan apa yang dilakukan Naga Muda ini, Leo tidak akan peduli. Selama hal itu tidak akan mempengaruhinya, ia akan terus pura-pura buta dan tidak melihat.

Luhaa~ aduh, kita bertemu kembali di tahun yang berbeda wkwkwk

okaay, semoga menikmati chapter ini dan sampai jumpa di chapter berikutnya~

AoiTheCielocreators' thoughts
Próximo capítulo