webnovel

I’M Tiara

Tiara saat ini tengah duduk di balkon kamarnya, dia tengah menikmati semilir angin yang membelai rambutnya. Di temani secangkir jus dan salad yang terletak di atas meja dan sebuah laptop, Tiara tengah menyelesaikan pekerjaannya saat ini. Saat tengah asyik dengan kegiatannya, ponselnya pun berdering, Tiara melihat siapa yang menelfon, dia sedikit bingung kenapa malam-malam gini nenek Jackran menelfon, ini tidak seperti biasanya.

"hallo selamat malam nek," sapa Tiara ramah,

"iya Tiara, apakah kamu ada waktu besok," tanya nenek Jackran,

"mungkin Tiara bisa meluangkan waktu sebentar besok nek, ada apa nek," jawabnya lembut,

"ada yang mau nenek bicarakan sama kamu, oh ya kamu harus datang bersama Ibu kamu," balas nenek Jackran diseberang sana.

"apakah ada hal yang serius nek," tanya Tiara khawatir,

"ini memang sedikit serius, jadi nanti nenek kirim alamatnya, kita memerlukan tempat yang privasi untuk membicarakan hal ini," ucap nenek Jackran dari seberang sana,

"baik nek," ucap Tiara.

Setelah sambungan telfon terputus Tiara segera menuju keluar kamar mencari Ibunya, jujur dia sedikit khawatir untuk alasan yang tidak jelas. Tiara bertanya-tanya kepada dirinya dan menerka-nerka dengan pikirannya sendiri tentang apa yang akan terjadi, mungkinkah nenek Jackran sudah lelah menunggu kapan mereka akan menikah sehingga memutuskan untuk membatalkan pernikahan tersebut atau mungkin sebaliknya, yaitu membicarakan tentang pernikahan yang tak kunjung di bicarakan.

Sudah cukup lama untuk mereka bertunangan, Tiara hanya berharap semoga saja itu adalah hal yang baik sehingga kekhawatiran yang tak berdasarnya ini menjadi sia-sia. Tiara terus menuruni anak tangga dirumahnya, dia menuju kesebuah ruangan yang terletak tak jauh dari dapur. Biasanya Ibunya malam-malam gini kalau tidak di kamarnya, di ruang kerja atau Ibunya berada di sini, di dapur khusus untuk Ibunya, dimana tak ada satupun orang bisa masuk, karena Ibunya tidak suka barang-barang yang menjadi kesukaannya disentuh oleh orang lain,

"malam ma," sapa Tiara kepada Ibunya yang tengah memasak sebuah cookies,

"ada apa Ra," jawab Ibunya yang masih sibuk dengan pekerjaannya,

"aku masuk ya," pamit Tiara kepada Ibunya, Ibu Tiara tersenyum dan mengangguk, Tiara berkeliling melihat ruangan Ibunya, sudah sejak lama dia tidak masuk keruangan ini.

"kenapa Ra," tanya Ibu Tiara lemah lembut dan penuh kasih sayang.

Ibu Tiara memang penuh kasih sayang jika apa yang diinginkannya dan perintahnya diikuti tapi Ibunya akan menjadi sangat dingin jika Tiara tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Ibu Tiara sedikit keras dalam mendidik Tiara, terutama ayahnya Tiara, dia menginginkan agar Tiara selalu menjadi yang pertama dan terbaik, kisah Tiara dan Jackran memang sedikit mirip, Ibunya Tiara juga tidak diterima di keluarga Ayahnya sehingga hal inilah yang membuat Ibu Tiara sangat keras kepadanya.

Keluarga Ayahnya Tiara hanya menginginkan keturunan laki-laki untuk melanjutkan perusahaan mereka karena itulah keluarga Ayahnya sangat kecewa kepada Ibunya sehingga membuat Ibunya tidak diterima dikeluarga itu. Hal ini juga mungkin berlaku kepada Tiara, Tiara harus menjadi seseorang yang berkuasa dan dihormati agar diterima sepenuhnya oleh Ayah dan keluarga Ayahnya.

"tadi neneknya Jackran ngehubungin aku, katanya ada hal penting yang mau dibicarakan sama kita," jawab Tiara ragu-ragu,

"hal penting apa Ra," tanya Ibu Tiara, dia memberhentikan pekerjaannya dan menunggu jawaban dari putri semata wayangnya itu,

"aku juga tidak tahu Ma," jawab Tiara, Ibunya Tiara tampak berpikir,

"kira-kira ada apa ya Ma, aku sedikit khawatir," ucap Tiara jujur,

"apa gara-gara perempuan itu," tebak Ibu Tiara,

"perempuan itu siapa Ma," tanya Tiara penasaran,

"jangan-jangan dia udah kasih tahu neneknya Jackran," Ibu Tiara berdialog seorang diri, sedangkan Tiara semakin dibuat penasaran, tapi dia hanya menunggu Ibunya untuk menceritakan kepadanya,

"Bian," Ibunya menoleh kea rah Tiara penuh arti,

"Bian?" tanya Tiara sedikti sulit mencerna apa yang terjadi, bagaimana Ibunya mengenal Bian,

"Mama kenal Bian," Tiara semakin tidak sabar, sedangkan Ibunya masih tampak berpikir, wajahnya yang tadi penuh kelembutan kini tampak mengeras, tangannya semakin menggenggam adonan dengan kasar, Tiara melihat itu dan terpaksa kembali diam,

"beberapa hari kemarin, Mama ketemu sama Bian, dia mengancam Mama dengan kejadian beberapa tahun yang lalu di Paris," Ibunya berbicara melalui giginya, jelas tampak kemarahan dan kekhawatiran menjadi satu di wajahnya saat ini,

"maafin aku Ma," hanya itu yang bisa diucapkan Tiara,

"Mama nggak butuh permintaan maaf kamu, kita harus mencari cara untuk menyelesaikan permasalahan ini," Ibunya melihatnya dengan tatapan yang tegas,

"dengar Tiara, apapun yang terjadi pernikahan itu tidak boleh dibatalkan, ngerti kamu," Ibunya bebicara melalui giginya, ketika Ibunya sudah mengucapkan sesuatu dengan serius berarti itu adalah perintah yang harus Tiara lakukan,

Ibunya tidak akan peduli bagaimana caranya Tiara menjalankan tugas yang diberikan karena Ibunya hanya melihat hasil akhirnya. Bahkan saat kejadian beberapa tahun di Paris pun, Ibunya tidak memarahinya dan memilih untuk menutupi kasusnya, begitupun Ayahnya, Ayahnya Tiara bahkan saat itu memuji Tiara tentang apa yang dilakukannya, agar orang-orang tidak meremehkannya, dan Tiara harus bisa menyingkirkan setiap kerikil yang mengganggu jalannya.

"baik Ma," Jawab Tiara,

"kamu harus hati-hati sama tindakanmu, jangan sampai tindakanmu justru menghancurkan dirimu sendiri," Ibunya memperingati Tiara, tentu saja disini yang dimaksud Ibunya adalah agar Tiara berhati-hati agar tidak ada satu orang pun yang bisa menghancurkannya, atau lebih tepatnya agar tidak ada satu orang pun yang tahu apa yang akan dia lakukan, seolah-olah Ibunya melihatnya sebagai seorang yang akan melakukan tindakan buruk untuk menyelesaikannya.

Hal ini tentu membuat Tiara sedikti terluka dengan prasangka Ibunya, apakah Ibunya selalu melihat dirinya seperti itu dan bukankah Ibunya sendiri yang selalu mementingkan hasil akhir tanpa peduli apapun yang Tiara lakukan.

Tiara kembali kekamarnya, saat ini dia dalam keadaan tidak baik-baik saja, bahkan dia bisa memperlihatkan keadaannya ini kepada Ibunya. Sejujurnya Tiara sedikit lelah dengan hal itu, dia dituntut untuk melakukan hal di luar batas kemampuannya, bahkan dia tidak diizinkan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Semua kehidupan Tiara disetir oleh Ayah dan Ibunya, dan Tiara tidak memiliki keberanian untuk menolak karena dia tahu Ibunya adalah orang yang paling menderita dengan semua ini, kehadirannya menjadi masalah utama namun Ibunya tetap memberikan kasih sayang kepadanya, itulah yang Tiara percayai.

Tiara menghubungi nomor Jackran, saat ini yang dibutuhkannya adalah Jackran.

"Halo Ra," terdengar suara Jackran di seberang sana,

"bukan apa-apa, Cuma pengen dengar suara kamu," jawabnya jujur, tidak, sepertinya Tiara menginginkan lebih, dia ingin saat ini Jackran menghiburnya bukan sebagai teman atau tunangan yang diperlakukan layaknya teman tapi sebagai seseorang yang dicintainya.

"Ran," panggil Tiara,

"hmm," jawab Jackran, dan kemudian mereka berdua diam tanpa suara, setelah beberapa lama diam, Tiara mulai menangis, saat ini rasanya seperti Jackran membiarkannya untuk menceritakan keluh kesahnya dan Jackran akan jadi pendengar untuknya,

"kamu kenapa," terdengar suara dari seberang sana yang membuat Tiara tidak bisa menahan isak tangisnya,

Próximo capítulo