Apakah Alina sedang bercanda? Apa dia meminta Erza membawa Lana ke hadapannya dan menjelaskan bahwa gadis itu adalah istrinya? Jangankan membuat Alina percaya, bahkan Lana pun mungkin tidak akan setuju.
"Alina, aku…" kata Erza.
"Apa kamu tidak akan bertanggung jawab padaku?" Mata Alina terlihat sedikit menyedihkan.
"Baiklah." Erza tidak bisa berkata-kata pada akhirnya.
"Kamu belum sarapan, bukan? Aku akan membuatkan sarapan untukmu." Setelah mendengar Erza menyetujuinya, Alina memasang ekspresi bahagia di wajahnya. Erza saat ini merasa sedikit tertekan. Dia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi akhir-akhir ini.
Alina membuatkan Erza sepiring nasi goreng. Setelah Erza mencobanya, dia berkata, "Ini enak. Aku tidak menyangka kamu bisa memasak." Keterampilan memasak Alina memang sangat bagus.
"Jika menurutmu enak, kamu bisa pindah ke sini dan hidup di sini bersama denganku," celetuk Alina.
"Apa?" Erza membuka mulutnya lebar-lebar dan menatap Alina yang ada di depannya. Jika dia adalah pria biasa, dia akan sangat bersemangat ketika mendengar kata-kata ini. Bagaimanapun, sosok Alina tampak sempurna bagi siapa pun yang mengenalnya. Namun, Erza sedikit tidak senang. Meskipun dia sebenarnya juga tertarik pada Alina, tetapi dia tahu bahwa dia tidak bisa bersama dengan gadis itu. Bagaimanapun, Lana adalah istrinya, dan sekarang Alina memintanya untuk menjadi pacarnya. Untuk saat ini, Erza merasa kebingungan karena kedua wanita itu berada di perusahaan yang sama.
"Alina, lupakan saja, aku tidak akan tinggal di sini," kata Erza.
"Ada apa? Apa kamu tidak ingin bersamaku?" Alina tidak terlalu peduli, sebaliknya, dia datang ke sisi Erza dan duduk di dekatnya. Dia menatap Erza dan berkata seperti itu dengan nada genit. Ketika Alina sedang berbicara, dia membungkuk dan menatap Erza di depannya. Erza pun bisa melihat dengan jelas sesuatu di balik piyama gadis itu. Tiba-tiba Erza merasakan seluruh tubuhnya panas lagi. Saat ini Alina sangat dekat dengan dirinya. Jika dia terus seperti ini, Erza pasti tidak akan bisa mengendalikannya.
"Aku sekarang pacarmu. Apa kamu malu?" tanya Alina. Melihat penampilan Erza yang gugup saat ini, Alina merasa agak geli.
"Alina, kamu mau pergi bekerja atau makan dulu?" Erza bahkan tidak berani melihat ke arah Alina. Dia takut setelah melihat Alina, dia tidak akan bisa mengendalikan dirinya lagi,.
"Apakah kamu begitu takut padaku?" Saat berbicara, tubuh Alina bersandar ke arah Erza lagi. Erza dapat dengan jelas merasakan bahwa bagian lembut Alina sudah melekat pada tubuhnya saat ini. Apalagi ketika Alina begitu dekat dengannya, Erza bisa dengan jelas mencium aroma tubuhnya yang harum.
"Alina, jangan main-main." Erza merasa bahwa dia tidak bisa lagi mengendalikannya. Bagaimanapun, dia juga seorang pria normal.
"Memangnya kenapa?" Alina sekali lagi mendekatkan tubuhnya ke tubuh Erza, dan ketika dia mengajukan pertanyaan, dia juga meniup telinga pria itu. Erza baru saja berbalik, tapi dia tidak menyangka Alina terlalu dekat dengannya. Wajahnya langsung menempel di pipi Alina, dan begitu pula dengan bibirnya.
Tiba-tiba Erza merasa kepalanya ingin meledak. Hawa nafsunya membanjiri dirinya yang membuat tubuhnya agak tidak terkendali. Hampir tanpa sadar, Erza memeluk Alina dengan erat. Awalnya, Alina hanya menggoda Erza, tetapi Alina tidak pernah berpikir bahwa ini akan terjadi. Saat ini Erza hendak melepaskan pakaian Alina.
"Erza, aku harus pergi kerja." Pada saat ini, Alina juga menyadarkan dirinya. Dia mendorong Erza dari tubuhnya. Ketika dia berbicara, wajahnya seperti apel yang matang. Sangat merah. Erza yang didorong menjauh rasanya seperti disiram dengan air dingin.
Awalnya, Erza mengira bahwa hubungan antara dia dan Alina hanya status belaka, tetapi dengan hal yang baru saja dia lakukan pada gadis itu, Erza tidak bisa meninggalkan Alina begitu saja.
"Alina, barusan tidak…" Erza juga sedang bersiap untuk meminta maaf kepada Alina.
"Tidak apa-apa, aku pacarmu. Itu wajar, santai saja." Alina sangat murah hati. Dia bersedia melakukan segalanya karena sekarang Erza adalah pacarnya, dan sepertinya dia memiliki kesan yang baik pada Erza. Setelah mengatakan itu, Alina memasang ekspresi menggoda lagi. Tapi, Erza berusaha mencegahnya berbuat lebih jauh.
"Mobilku sedang ada di bengkel, ayo naik taksi." Setelah turun, Alina memeriksa jam.
"Aku membawa mobil." Erza menunjuk ke arah mobil yang tidak jauh dari sana.
"Erza, dari mana kamu mendapatkan mobil itu?" Ketika melihat mobil itu, Alina tercengang, karena dalam kesannya sendiri. Erza sepertinya tidak punya uang untuk membeli mobil. Apalagi mobil itu masih baru.
"Bu Lana diam-diam memberiku hadiah. Awalnya aku ingin menolak, tetapi dia tidak memberiku kesempatan untuk berbicara." Saat ini, Erza hanya bisa berbohong pada Alina.
"Ternyata seperti itu. Bu Lana selalu bersikap dingin, tapi ternyata dia masih peduli dengan karyawannya," ucap Alina sambil mengangguk.
"Dia masih peduli dengan karyawan?" Erza benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang dikatakan oleh Alina.
"Tentu saja. Di perusahaan sebesar itu, selama ada karyawan yang memiliki masalah mendesak, Bu Lana akan membantu menyelesaikannya," jelas Alina.
"Jadi begitu." Erza mengangguk, dan tidak bisa menahan perasaan kagumnya pada Lana.
Setelah itu, mereka tiba di kantor. "Alina, keluarlah dari mobil dulu. Aku akan memarkir mobilnya di tempat lain. Lagipula, aku hanya seorang satpam sebelumnya. Jika aku membawa mobil ke kantor pasti banyak yang akan bergosip," kata Erza.
Alina mengangguk. Dia tidak membantah Erza. Namun, pada saat ini, Erza kebetulan melihat Lana keluar dari kantor. Lana juga kebetulan melihat Alina keluar dari mobil. Ketika melihat adegan ini, Lana terkejut sejenak, tetapi kemudian kembali ke ekspresi dinginnya. Saat melihat Lana menatap Alina, Erza merasa bersalah di dalam hatinya. Dia juga merasa sedikit kasihan pada Lana.
Namun, ketika Erza hendak pergi untuk memarkir mobilnya, tiba-tiba sebuah mobil sport Mercedes-Benz berhenti di depan Lana. Seorang pria berdiri di depan Lana dengan membawa buket mawar, "Lana, kamu akhirnya turun. Ini mawar yang kubawa khusus di Prancis. Apa kamu menyukainya?"
Melihat adegan ini, Erza terkejut sejenak, mungkinkah pembalasan dari Lana datang begitu cepat?
Lana menjawab pria itu, "Tidak, Sanca, apa yang kamu lakukan denganku?" Lana hanya melirik mawar itu, dan berkata dengan dingin tanpa ekspresi di wajahnya.
"Lana, kita tidak bertemu satu sama lain selama tiga tahun. Aku merindukanmu. Oleh karena itu, segera setelah aku kembali ke Semarang, aku langsung menemuimu," kata Sanca tidak marah.
"Jika hanya itu, maka aku harus pergi. Aku masih punya banyak pekerjaan." Lana berbalik untuk pergi.
Melihat Lana akan pergi, Sanca berkata dengan cepat, "Lana, tunggu sebentar, tunggu sebentar. Apa kamu tidak ingin menyambutku? Lagipula, kedua keluarga kita sudah berhubungan baik selama ini. Mengapa kamu tidak memedulikanku sekarang?"
Mendengar ini, Lana tiba-tiba mengerutkan kening. Ayah Sanca adalah walikota di Kota Semarang. Jika dia bersikap tidak baik pada Sanca, itu pasti tidak akan menguntungkan perusahaannya. Terlebih lagi, belakangan ini perusahaan Lana memiliki proyek yang membutuhkan persetujuan walikota. Pada saat yang sama, Lana melihat mobil Erza tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Hanya melihat sorot mata Lana, Erza mengerti apa yang sedang terjadi. Dia langsung keluar dari mobil dengan cepat. "Bu Lana!" teriak Erza dengan keras. Setelah mendengar kata-kata Erza ini, hati Lana langsung senang, tetapi wajahnya tetap datar.
Erza melanjutkan, "Bu Lana, kapan Anda turun? Mengapa tidak memberitahu saya sebelumnya?" Erza langsung berjalan menuju keduanya. Dia menghalangi Sanca dengan punggungnya, dan menghadap Lana.
"Lana, siapa ini?" Sanca tiba-tiba merasa kesal, tetapi di depan Lana, dia tidak marah.
"Saya sopir Bu Lana. Anda siapa?" Erza dengan cepat berbalik.