webnovel

Awal dari Semuanya (1)

Mimpi-mimpi itu datang lagi. Mimpi seorang pemuda yang mempersembahkan setangkai bunga berwarna ungu kepada seorang wanita rupawan. Kemudian berubah menjadi adegan kebakaran yang melahap suatu permukiman penduduk. Berubah lagi menjadi kabar menyedihkan yang menimpa seorang raja dan kedua putrinya yang baru dikaruniai adik baru. Terakhir, muncul mimpi tambahan di mana si pemuda yang sebelumnya membawa bunga ungu tengah berada di medan pertempuran melawan musuh yang tidak diketahui siapa. Pakaiannya dikotori peluh dan tanah dan darahnya sendiri. Di tangannya, pemuda itu menggenggam sebuah pedang perak yang berlumuran darah kehitaman. Saat musuh muncul di depan, dia berlari mengacungkan pedang ke atas kepala seraya berteriak kencang dan—sekejap Aidan Tyler membelalakkan mata, terbangun dari semua mimpi buruk nan aneh.

Mimpi-mimpi itu membuat Aidan terjaga sepenuhnya di pagi buta—menciptakan rekor bangun tidur terawal yang belum pernah ia lakukan selama tinggal di rumah ini. Beberapa menit Aidan masih berbaring memikirkan mimpi tambahan yang sungguh mengerikan. Dirinya semakin penasaran tentang si pemuda dan segala kerusuhan yang dihadapi pemuda itu. Ketika sadar tak ada gunanya memikirkan hal tersebut, Aidan terpaksa beranjak, merapikan kasur, dan mandi pagi yang biasanya dilakukan siang hari. Selesai berpakaian, Aidan mengecek ulang isi ranselnya untuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal supaya perjalanan ini tidak membuatnya resah berkepanjangan hanya karena melupakan suatu benda.

Kala itu Aidan teringat dengan hadiah pemberiam Lucy, si gadis kasir di swalayan. Ia pun menarik laci nakas dan mengambil kotak kayu di dalamnya dengan serta-merta membuka kotak itu sekuat tenaga. Aidan hampir lupa terdapat trik khusus untuk mengendalikan kotak menyebalkan tersebut.

Apa yang kulakukan kemarin? Otaknya mengingat-ingat. Aku menemukan huruf-huruf di sekitar sini lalu membacanya—

"Ahrens."

Benar saja, kotak terbuka setelah bunyi klik satu kali. Tampaknya dugaan Aidan tepat bahwa kata yang terukir di kotak itu adalah sebuah kunci untuk membukanya—barangkali semacam kata sandi. Aidan takkan memusingkan bagaimana cara kerja si kotak dan kata sandi tersebut yang jelas-jelas merupakan salah satu teknologi terkeren yang pernah diciptakan manusia Bumi. Lantas ia mengambil pisau lipat di dalamnya dan mencermati benda itu lekat-lekat. Apa lagi yang dikatakan gadis itu?

"Semoga kelak hadiah itu bisa berguna."

Aidan mengangkat bahu dan memutuskan untuk membawa pisau lipat tersebut bersamanya. Siapa tahu kalau pisau lipat akan benar-benar berguna jika memasuki hutan. Ia hanya perlu menunggu hingga waktu yang tepat agar benda itu ada manfaatnya. Beberapa lama kemudian tiba saatnya sarapan dan Aidan mengejutkan Samuel Richard yang bersyukur tidak perlu repot-repot membangunkannya lagi. Tak berapa lama Raquela dan Edgar bergabung di meja makan dan menikmati menu daging panggang ditambah telur mata sapi juga sepotong roti dengan olesan mentega serta segelas jus jeruk segar.

Kegiatan sarapan tidak ada perbincangan yang berarti. Samuel hanya bertanya mengenai nyenyak tidaknya tidur Raquela dan Edgar tanpa menanyakannya kepada Aidan. Alhasil Samuel belum tahu adanya mimpi tambahan yang melengkapi sederet mimpi aneh Aidan yang tidak dapat dikategorikan sebagai mimpi indah. Memang menimbulkan tanda tanya, tetapi hal tersebut tidak begitu mendesak Aidan untuk segera membeberkannya kepada orang lain. Mungkin nanti—itu pun kalau ia ingat.

Sekitar pukul sembilan mereka bersiap pergi. Masing-masing telah memanggul ransel yang terisi beberapa potong pakaian, berbungkus-bungkus makanan, berbotol-botol minuman, dan sekotak peralatan medis yang bercampur dengan barang-barang kebutuhan lain. Samuel menambah isi masing-masing ransel Raquela dan Edgar dengan kantong tidur, matras, serta tenda untuk kegiatan tidur di waktu malam. Gadis itu mengenakan gaun dan jubah, tetapi menyingkirkan belati dari pinggangnya karena takut menimbulkan prasangka buruk orang-orang yang melihat mereka selama menaiki kendaraan umum. Begitu pula dengan kantong panah di punggung Edgar.

Samuel selesai mengunci rumah dengan gembok besar dan itu juga yang dilakukannya pada pagar rumah. "Baiklah, mari berangkat."

"Demi para Dewa," Raquela menggoyang-goyangkan tangan Edgar di sampingnya. "Kita pergi, Ed, kita memulai petualangan ini!"

Aidan menempatkan diri berdampingan dengan Samuel. Sejenak menoleh ke arah rumah Samuel yang akan dirindukannya untuk kira-kira satu minggu ke depan. Lalu ia menatap pemuda itu. "Mengapa kau menggembok seluruh rumah?"

"Karena," Samuel tidak sedikit pun menengok rumahnya lagi. Ia juga tidak menatap Aidan. Justru ia tersenyum semringah memandang ke depan seakan inilah akhir dari penantian panjangnya untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah. "aku tidak yakin kalau kita akan kembali."

 *

Selama perjalanan menaiki kereta bawah tanah, Samuel menjelaskan informasi lain yang didapatnya mengenai Hutan Hardwood. "Sama seperti hutan pada umumnya, Hardwood merupakan hutan yang lebat dan dihuni oleh berbagai macam hewan liar. Sebut saja rusa, tupai, landak, beberapa jenis burung, dan lain sebagainya. Terdapat sebuah sungai di dalam hutan, sungai yang besar dengan arus yang deras. Maka berhati-hatilah. Aku tidak mendapat informasi di mana tepatnya lokasi Anemone, tapi tidak diragukan lagi bahwa tipe Anemone Jepang hidup di sana. Jadi, kita hanya perlu menelusuri hutan itu."

"Jepang? Memangnya tidak ada Anemone Kanada?" tanya Aidan.

"Ada," Samuel menjawab. "hanya jika kau mau menunggu hingga musim panas tahun depan, Tyler." Ia menyelesaikan penjelasan.

Setelah menempuh berjam-jam perjalanan, berganti kendaraan—yang sangat dinikmati dan dikagumi Raquela dan Edgar—serta mendapat arahan singkat dari Samuel dan beberapa masyarakat setempat yang mereka temui, kelompok tersebut tiba di sebuah daerah sunyi yang jauh sekali dari permukiman penduduk apalagi keramaian kota. Tempat itu bagai negeri antah-berantah yang berbeda alam dengan Bumi.

Lahan yang sangat luas bak lapangan sepak bola, bedanya diselingi rerumputan dan semak-semak dengan kondisi tanah yang tidak beraturan. Tidak ada pohon apa-apa di sini sehingga sinar matahari menyorot sejauh mata memandang. Bebatuan kering maupun berlumut bertebaran di mana-mana. Di kejauhan di hadapan mereka tampak sebuah lereng yang mengarah ke bukit berwarna kuning kecokelatan. Udara di tempat terbuka seperti ini cukup nyaman, tapi semakin lama terasa dingin karena matahari hampir kembali ke peraduan.

"Dari sini kita harus berjalan kaki hingga ke atas sana." ujar Samuel menunjuk sang bukit yang terlihat sunyi tak berpenghuni—dan memang seharusnya seperti itu.

Raquela mengerucutkan bibir. "Sayang sekali aku tidak bisa menaiki kendaraan Bumi yang sangat asyik lebih lama lagi."

"Kau benar," Edgar menyetujui. "aku suka kendaraan bernama kereta itu. Dia berjalan sangat cepat, jauh berbeda dengan kereta kuda yang berjalan lambat di Monte." timpal Edgar. Samuel dan Aidan hanya saling pandang melempar senyum.

"Tuan Putri, mari kita lanjutkan." ajak Samuel yang langsung ditanggapi oleh satu-satunya gadis di kelompok itu.

Aidan memandangi lingkungan sekitar dengan bosan. Di sekelilingnya terdapat semak-semak yang malah membuatnya mengantuk. Tumbuhan alang-alang yang bergoyang ke kiri dan ke kanan bagai pendulum seolah menghipnotis Aidan untuk berbaring dan memejamkan mata. Di sini saja sudah cukup menjadi hutan baginya dan sedetik yang lalu ia mendapati sinyal ponsel telah hilang dan berganti status menjadi panggilan darurat. Ia harus mengusir kebosanan. "Raqi," panggil Aidan. "apa kau memiliki saudara? Aku penasaran, bagaimana kalau menceritakan kehidupan istana padaku?"

Raquela berdeham. Ia tidak langsung menjawab seakan diliputi kegelisahan yang menyergap tiba-tiba karena baginya pembicaraan mengenai anggota kerajaan adalah hal yang cukup sensitif. Namun, hal itu segera mungkin ditepisnya. "Bagiku Kerajaan Axelle adalah tempat yang mengasyikkan." Raquela menatap langit sore yang biru tak berawan. Otaknya menggambarkan kerajaan di langit itu. "Aku menyukai istana, taman utama, pondok-pondok, dan tentu saja taman Anemone. Istana dihuni oleh banyak orang yang menyenangkan salah satunya Benjamin Arlie, ayah Edgar, yang masakan buatannya selalu kurindukan. Lalu para pelayan wanita yang konyolnya tidak bisa menahan mulut mereka untuk tidak menggosip dua-tiga pemuda tampan yang keluar-masuk istana. Tak lupa Komandan Ian dan Komandan Urie." Ia berdecak lalu tersenyum seraya menggeleng. "Sudah lama aku tidak berlatih dengan mereka. Di atas semua itu, aku tinggal bersama ayah serta dua kakak perempuan—Adrienne dan Leandra. Ibuku telah lama meninggal dunia ketika aku dilahirkan."

Kontan Aidan terkejut. "Aku turut berduka." ucapnya bersungguh-sungguh. Ia menatap Raquela yang mengangguk lantas tersenyum lebar. Entah gadis itu berusaha menutupi perasaan sedihnya atau kilau ceria itu memang muncul di matanya.

"Walau aku tidak pernah bertemu ibu secara langsung, aku tetap bersyukur memiliki ayah dan kedua kakakku. Kami sangat—" Kilau ceria itu mendadak goyah dan tenggorokannya tercekat. Raquela bagai diserang sebuah fakta yang menerobos jalan pikirannya. Aidan tidak yakin apakah fakta itu baik atau malah sebaliknya. Tiba-tiba udara di sekitar Raquela menipis seiring melesak kata-kata bernada otoriter dalam benaknya. Suara Leandra. Bentakan wanita itu di setiap waktu bila ada kesempatan terngiang jelas dalam pikiran Raquela. "—kami sangat dekat dan saling menyayangi."

Meski hanya sebesar butiran pasir di tepi pantai, Aidan merasa nada bicara Raquela bergetar ketika melanjutkan kalimat tersebut. Namun, Aidan bersungguh-sungguh ingin mengetahui kisah kehidupan kerajaan yang konkret, bukan hanya rekayasa yang diceritakan ayah atau ibumu menjelang tidur di malam hari. Jika mendengar penuturan dari gadis itu, Aidan mengira tidak ada kisah dongeng kerajaan yang benar-benar damai sejahtera kendati ditopang oleh pertamanan bunga-bunga indah yang memiliki kekuatan ajaib. Karena memang, selalu saja ada yang berusaha menggulingkan pemerintahan sang raja.

"Kau pernah berkata bahwa mencari Anemone baru adalah kewajibanmu," Tidak hanya jalanan di depan yang membuat Aidan berhati-hati, tapi juga pertanyaan yang akan diajukannya. "mengapa demikian? Apa raja yang menyuruhmu melakukannya?"

Raquela langsung menoleh memicingkan mata. "Dan kau sudah pernah dengar hal itu dari ocehan Edgar."

"Maafkan aku," Aidan tertangkap basah. "aku hanya penasaran."

Ujung jubah Raquela melayang-layang diterpa angin sementara ransel kamping menempel lekat di atas punggung. "Aku merasa bertanggung jawab untuk mencari Anemone ke Bumi bukan karena hal yang disengaja, melainkan adanya sebuah tuntutan yang diminta oleh salah satu kakakku. Bila kau mengira bahwa menjalani misi yang amat berbahaya ini adalah hasil dari keputusanku sendiri, Aidan," Raquela membalas tatapan Aidan. Mata hijau pirusnya berkilat tajam. "Kau telah salah menilai. Kenyataannya aku mengharapkan imbalan jika perjalanan ini membuahkan hasil yang dibutuhkan kakakku sekaligus duniaku. Jadi, bukan ayah yang menyuruh putri bungsunya memulai sebuah perjalanan mengerikan yang berpotensi menewaskan sang putri itu sendiri, tapi akulah yang mengawali semuanya dan melarikan diri dari istana bersama Edgar."

"Karena tuntutan dari kakakmu?"

"Juga imbalan yang kuinginkan."

Aidan merasa jika menanyakan suatu hal kepada Raquela tidaklah cukup memuaskan dan hanya akan menimbulkan pertanyaan lain yang kian membuatnya penasaran. Kini imbalan yang disebut oleh gadis itu justru menciptakan tanda tanya besar yang mejadi teka-teki—sebuah hal penting pasti sangat diinginkan Raquela Walmond hingga menempatkan dirinya di bibir jurang petualangan ini.

Dayangnya, makna dari imbalan tersebut tidak pernah diketahui Aidan karena sekarang mereka telah mencapai lereng bukit dan bersiap mendaki. Beruntungnya tanah di bawah kaki cukup mudah untuk dipijak dan keadaan lereng yang terbilang landai. Keempat orang itu berbaris ketika mendaki—Edgar di paling ujung atas telah mencapai setengah dari tinggi bukit. Di belakangnya ada Samuel lalu Raquela dan terakhir Aidan. Matahari kian meluncur turun di ujung perbatasan tempat itu.

Tak berapa lama kemudian Edgar berhasil menapaki puncak bukit. Ia berdiri sambil memegang lutut untuk mengambil napas. Satu per satu kawan yang lain menyusul. Ketika Samuel telah berada di sampingnya, Edgar segera mengulurkan tangan dan Raquela meraihnya. Sedangkan Aidan dibantu oleh Samuel. Tepat sesaat Aidan menginjakkan kaki di atas puncak, Edgar berteriak gembira.

"Lihat, itu hutannya!"

Dan benar apa yang Edgar katakan, jajaran pohon-pohon yang tinggi menjulang muncul di kejauhan. Dari jarak beratus-ratus meter mungkin hutan tersebut terlihat kecil dan sangat pendek, tapi tunggu setelah kau tiba tepat di depan salah satu pohon itu, karena yang akan kau dapatkan adalah suasana menakutkan nan gelap yang ditumbuhi semak belukar dan pepohonan dengan batang tebal serta daun yang lebat.

"Ya Tuhan," Aidan bergidik ngeri. "selamatkan kami."

*

Próximo capítulo