webnovel

7. 'Maaf, Noona.'

Aku merasakan nyeri dibagian arteri tangan kiriku, ini seperti telah terkena tusukan jarum, tapi aku belum membuka mataku. Mataku masih sangat berat untuk terjaga, bahkan aku mampu merasakan tangan kananku seperti sedang diusap halus dan lembut. Aku tidak tahu siapa yang melakukannya, tapi sentuhan itu cukup membuatku bisa melupakan rasa nyeri dilengan kiriku.

Belum sempat bertanya-tanya siapa yang melakukannya. Tiba-tiba terasa benda kenyal yang menyentuh punggung tanganku. Orang itu mengecupnya? Dengan bibirnya? Astaga. Bolehkah aku membuka mata saja sekarang? Ah sungguhan tapi sepertinya kelopakku tidak bisa kubuka, ini sangat berat. Bahkan saat aku sudah berusaha semaksimal mungkin pun aku masih merasakan kelopakku masih terkatup sangat rapat. Aish! Ada apa ini?

"Noona... Jangan membuatku khawatir..."

Oh benarkah? Jungkook? Dia melakukannya? D-dia yang melakukannya? Sial! Kenapa aku harus bertanya-tanya sedari tadi? Apakah aku sedang mengharapkan kehidupan disney lagi?

Suara Jungkook lagi-lagi menyita atensiku. Ini seperti dia sedang berperan menjadi seorang kekasih. Namun sekali lagi, aku membenci kehadirannya, karena bagaimana pun juga karenanya lah aku jadi harus pergi ke universitas seperti ini.

Mendadak aku bisa menggerakkan kelopakku. Membuka perlahan hingga aku bisa mengerjap dengan begitu pelan. Menyesuaikan kilatan cahaya yang masuk melalui celah yang kubuat diantara dua sisi kelopakku. Aku kembali mengerjap, kali ini lebih pelan karena aku sudah mulai bisa melihat sekeliling. Langit-langit yang tampak bersih dengan sebuah cahaya berbentuk bola yang sangat menyilaukan. Ah apa aku sedang di surga?

Kembali aku mengerjap sekali lagi. Masih sama. Tapi menjadi lebih jelas. Cahaya bola itu ternyata hanyalah sebuah lampu neon. Oh. Jadi aku bukan di surga ya. Aku mengedarkan pandangan, mengenali satu persatu yang aku lihat dari kiri kekanan.

Sebuah nakas putih dengan segelas air bening tergeletak diatasnya. Gelas tinggi yang ditutup dengan tutup berwarna biru. Serta sebuah vas bunga kecil dengan beberapa tangkai bunya anyelir merah muda yang tepat berada disamping kiri gelas. Aku mengamatinya sejenak, dan seketika aku mengerti, itu bukan bunga anyelir asli, itu hanya sebuah anyelir plastik palsu. Pantas saja, terlihat kaku sekali.

Aku melanjutkan edaran mataku, sebuah jendela besar yang tirainya masih utuh tidak tersingkap sama sekali. Dan sebuah pengatur suhu tepat diatas jendela. Dan saat aku hendak melanjutkan petualangan mataku, mendadak presensi pria yang menunduk ini langsung membuatku terpaku.

Setelan yang sama dan bentuk rambut yang sama. Satu lagi, tato perisai yang sama. Ini Jungkook. Dugaanku benar kan?! Suara yang dua kali memanggil 'noona' itu benar adanya. Jungkook ada disini dan dia terlihat masih menggenggam erat tanganku dan sesekali memainkan jemari lemasku. Aku bisa merasakan genggamannya gelisah, setiap pergerakannya selalu acak dan tak tentu arah. Apa dia sedang mengkhawatirkanku?

Hampir saja aku meraih puncak kepalanya, lenganku bahkan sudah terulur sampai diatas kepalanya. Hanya butuh beberapa senti saja aku sudah bisa mengusak rambutnya. Namun itu semua tidak terjadi, telapak tanganku yang tadinya terbuka, kini mengepal. Aku menariknya begitu cepat, menjauhkan lenganku dari kepalanya. Aku tidak boleh melakukannya. Jungkook hanyalah orang dibawah perintah nenek yang bertugas menjagaku dan melindungiku. Bukan seorang 'teman' sungguhan yang tidak terikat sebuah perjanjian dan bayaran. Jungkook berbeda.

"Jungkook..." ucapku lirih sekali, namun beruntungnya pria yang kupanggil namanya itu langsung mendongak. Tenagaku masih tidak ada, bahkan untuk sekedar membawa pita suaraku untuk berbicara dengan nada seperti biasa pun rasanya sangat sulit.

Jungkook mengangguk, ia memberikan respon atas panggilanku. Namun seketika itu juga aku menangkap sesuatu. Pria yang manis ini? Mengapa matanya merah dan hidungnya juga. Ada apa? Dia menangis?

"Jung, hidungmu."celetukku sembari menunjuk hidungnya yang sungguhan memerah. Seperti orang yang baru saja menangis, ah apa mungkin Jungkook juga habis menangis?

"Noona baik-baik saja?" tanyanya begitu manis, kurasakan juga rematan jemarinya mengerat. Sungguhan? Apa sekarang dia mengkhawatirkanku?

"Aku baik. Kau sendiri? Apa habis menangis?" tanyaku reflek begitu saja. Ah aku sama sekali tidak merencanakan pertanyaan itu, tapi melihat air muka Jungkook yang terlihat sangat kacau, itu membuatku juga merasa sedikit kasihan padanya. Apa dia sungguhan habis menangis? Atau kenapa? Seseorang menyakitinya?

"Tidak. Mana mungkin iron man menangis." tepisnya dengan kepercayaan diri yang seketika membuatku membuang nafas--sebal.

Bisakah bocah banyak omong ini diam sebentar? Ah jangan. Jangan suruh Jungkook diam, atau nanti dia akan sungguhan diam seperti tadi tadi pagi. Itu mengesalkan. Baiklah, aku tidak akan menyuruhnya diam. Dia ini terlalu penurut asal kau tahu!

"Sok kuat!" Aku membuang muka, berdecih sembari bergumam sengaja dengan suara keras. Aku sengaja ingin dia mendengarnya. Dasar sok kuat!

Aku pun langsung bisa menangkap kekehan receh yang khas darinya. Tidak, ini baru kali pertama aku mendengar Jungkook terkekeh seperti itu. Ah, mengapa semakin lama bocah ini semakin menggemaskan?!

"Jung, apa ini sungguhan rumah sakit?" tanyaku setelah aku mengingat bahwa terakhir kali aku berada di baseman kampus, dan apa yang aku lihat sekarang, aku sudah berada di-- sepertinya ini sungguhan rumah sakit. Aku sempat melirik lenganku, dan sudah seperti dugaan bahwa selang infus sudah terpasang di arteriku. Apa perihal pandanganku yang menggelap, aku sungguhan pingsan? Ah kukira aku sudah di surga tadi.

Aku menoleh kearah Jungkook yang masih tidak sama sekali melepas genggaman tangannya. Air mukanya sama sekali tidak berubah, dan selanjutnya dia hanya mengangguk, membenarkan pertanyaanku bahwa sungguhan aku berada di rumah sakit.

Mendapat satu saja anggukan penuh keyakinan dari Jungkook, percayalah itu cukup membuatku kembali merasakan hawa dingin yang merasuk dan menjalar ke seluruh tubuhku, menyatu kedalam desiran darahku dan memenuhi isi kepalaku. Bagaimana jika dokter itu datang lagi dan para perawat itu mulai menyuruhku minum obat. Dan satu lagi, bagaimana jika nanti dokter itu menyuruh Jungkook keluar dari ruanganku saat akan memeriksa keadaanku? Aku akan sendirian?

Tidak! Aku tidak akan membiarkannya! Aku hanya perlu menggenggam tangannya, bukan?

"Aku akan memanggil dokter sebentar."

Deg. Mendadak jantungku berdegup dua kali lebih cepat dari degup normalku. Rasanya seperti ingin merosot ke perut seketika setelah Jungkook mengatakan akan memanggil orang berjas putih itu.

Lagi dan lagi. Aku kembali meremat jemarinya. Entahlah, jangan dihitung berapa kali aku mengeratkan jemariku agar tidak terlepas dari genggamam Jungkook. Ini lebih seperti, sungguhan aku tidak ingin Jungkook jauh-jauh dariku.

Setelah aku mendapat atensi penuh darinya. Aku segera menggeleng pasrah. Jangan dokter. Tolong jangan panggil dia kemari. Seperti itulah jika kekhawatiranku terucap lantang. Namun saat ini semua rontaan itu masih bersarang hanya didalam benak saja. Sedangkan kata yang keluar hanyalah, " Jangan..."

"Tapi... Noona..." Raut Jungkook berubah khawatir. seperti dia khawatir pada keadaan fisikku tapi juga khawatir pada kegelisahan yang tergambar didalam sorot mataku. Tebakanku. Aku tidak tahu persis apa yang Jungkook sedang rasakan tentang semua ini. Tapi jika aku menyelam kedalam manik matanya, aku juga mendapat suatu kekhawatiran yang begitu besar didalamnya.

"Jung... Jangan... Aku mohon..." ucapku melirih. Benar-benar aku tidak ingin dia merealisasikan keinginannya. Aku akan berusaha mencegahnya sebisaku. Harus! Aku tak mau perawat itu membuatku merinding dan orang berjas putih itu kembali menyentuhku untuk memasang selang infus lagi.

"Baiklah kita akan pulang, tapi sekali ini saja noona. Dokter harus memastikan keadaanmu. Aku tidak ingin noona kenapa-kenapa." Satu kalimat dengan satu tarikan nafas yang langsung membuatku meremang seketika. Benarkah Jungkook yang mengatakannya?

"Nanti nenek anak memarahiku jika aku tidak becus menjadi temanmu." sambungnya. Namun mendengar itu, rasa haruku berubah menjadi kesal, tapi ini tidak kentara diwajahku, mungkin Jungkook hanya masih mendapati air muka khawatirku saja.

'Ternyata semuanya hanya karena nenek. Menyebalkan!' batinku mengumpat. Nenek dan selalu nenek. Bisakah sekarang Jungkook melakukannya karena dirinya sendiri? Lupakanlah saat nenek yang memintanya menjadi temanku. Itu memuakkan sekali!

"Tidak. Mereka harus datang. Maaf noona, tapi kali ini keputusanku lebih baik daripada permintaanmu."

[]

Próximo capítulo