webnovel

3. 'Noona'

Mansion yang besar. Aku tidak ada habis-habisnya jika diminta untuk menceritakan mansion yang ku tempati. Termasuk saat aku duduk disebuah kursi besi yang baru kemarin dicat ulang berwarna putih. Kursi panjang, cukup untuk berdua atau malah bertiga. Tapi aku memilih untuk mengubahnya menjadi kursi tunggal. Tidak boleh ada yang menempatinya selama aku ada disana. Aku nyaman seperti ini. Sendiri dengan sepi yang menyelimuti. Aku tidak suka keramaian. Aku tidak suka kebisingan. Dan yang paling utama adalah; aku benci gangguan.

Disebuah taman yang penuh dengan bunga. Warna warni segala macam bebungaan yang menyegarkan kala mata memandang. Hijau daunnya menenangkan, serta warna warni nya membuat dunia seperti lebih berwarna. Walau pada kenyataannya, aku tetaplah abu-abu.

Aku naif terhadap kebahagiaan. Aku egois pada apa yang ku mau dan harus terpenuhi. Pun kali ini adalah kali pertama aku tidak memberontak karena keputusan nenek. Kali pertama juga aku tidak terlalu menentang apa yang nenek inginkan yang katanya untuk kebaikanku itu.

Teringat saat dulu aku mentah-mentah menolak untuk melanjutkan sekolah, padahal waktu itu aku masih 13 tahun. Pikirku dulu, aku tak punya teman, aku pasti akan diejek karena tidak memiliki orang tua. Pasti mereka akan terus mengungkit bagaimana ia memiliki orang tua lengkap dan aku tidak. Aku benci takdir. Jika mau atau boleh meminta, mungkin lebih baik aku memutar waktu, memesan satu lagi tiket penerbangan agar aku ikut didalam pesawat bersama kedua orang tuaku. Ini akan lebih baik jika aku mati saja bersama mereka. Aku tidak akan tersiksa karena semua ini, pun aku tidak akan menanggung trauma sedalam ini.

Akhirnya nenek memberiku opsi terbaiknya. Aku menjalani home schooling yang sangat membosankan. Tapi kurasa itu lebih baik daripada aku harus bertemu mereka.

Dan kali ini. Universitas. Bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan semudah sekolah menengah yang masih bisa ditoleransi dengan home schooling. Nyatanya nenek benar-benar sudah merencanakan semuanya. Bayaran, keperluan, fasilitas, serta 'teman'. Semua itu sudah nenek siapkan bahkan tanpa aku tahu. Dan hari ini sungguhan menjadi awal bagi Kim Yerin menjadi cucu penurut. Tidak ada lagi pemberontakan. Tidak ada lagi penolakan. Semua keputusan itu, aku terima dengan baik. Beberapa anggukan manis yang sudah nenek artikan sebagai tanda mutlak persetujuan.

"Hai."

Seseorang terdengar menyapaku. Suara tipis yang familiar ditelingaku sejak 3 jam lalu setelah sarapan. Aku pun menoleh, mengarahkan obsidianku hingga aku bisa membingkai dengan sempurna sosok bocah kecil yang tidak bisa juga dibilang anak kecil. Umurnya memang masih 17 tahun, tapi aku menduga dia adalah laki-laki yang bisa diandalkan. Choi Jungkook.

"Aish! Sejak kapan bocah itu disana. Apakah sejak aku mulai menangis semenit yang lalu?" Batinku bersuara.

Aku masih gemar sekali menduga-duga. Praduga yang mungkin saja hanya sebuah asumsi tak mendasar. Atau malah sebuah persepsi dari isi kepala yang terlanjur tenggelam didalam palung gelap bernama trauma.

Jungkook terlihat masih diam saja. Berdiri disamping kursi yang kududuki, bahkan mungkin dia takut akan duduk disana. Iya harusnya memang aku mengusirnya saja sekarang. Dia mengangguku!

Tapi tidak ada semua itu. Aku lebih memilih mengalihkan atensiku pada hamparan bunga didepanku setelah aku mengetahui bahwa yang menyapaku adalah 'teman baruku'. Rasanya belum terbiasa memiliki teman. Memiliki orang lain yang asing dalam hidupku. Aku tidak memiliki satupun pengalaman tentang pertemanan. Sudah kubilang bahwa teman terakhirku adalah saat aku berumur 13 tahun. Dan itupun dia lantas menghilang begitu saja saat aku memutuskan untuk mengurung diriku.

Sepertinya aku memang belum berbakat menjadi antagonis. Akhirnya aku bergeser, memberikan sedikit ruang untuk duduk. Aku tidak mengkhususkan aku menyisihkan tempat duduk ini untuk Jungkook, tapi karena hanya ada dia disana, maka sebutlah sekarang aku yang menyuruhnya duduk disampingku.

Mungkin nanti aku akan dibilang pembohong? Perihal perkataanku dan prinsipku. Aku menerima orang baru, dia duduk dikursi yang sama denganku dan orang itu jelas-jelas mengangguku ketenanganku. Tapi aku membiarkannya, walau aku membenci tiap-tiap poin yang tertera disana.

"Duduklah." ucapku sembari telapak tanganku yang tertutup hoddie abu-abu ini menepuk sisi kosong disamping kananku.

Jungkook pun beringsut menjatuhkan bokongnya ditempat yang sama aku menepuk-nepukkan telapak tanganku. Walau aku sudah berusaha sejutek mungkin, nampaknya Jungkook adalah tipe yang tidak gampang gusar dan menyerah begitu saja. Sepertinya Jungkook adalah laki-laki yang ambisius san benci kekalahan. Sebenarnya itu adalah cerminanku. Aku ambisius dan harus selalu menang. Tapi itu dulu dan aku kehilangan semuanya. Bukan kehilangan,tapi aku menghilangkan semuanya.

"Sedang gerimis noona. Apa kau tidak ingin masuk?" ucapnya begitu santai setelah berselang beberapa detik ia duduk disampingku.

Aku tidak menyangkal bahwa Jungkook itu sangat pengertian. Ah apakah aku berlebihan menilainya? Baiklah. Bahkan baru beberapa jam saja dia menjadi temanku. Tapi seolah dia bersikap seperti sudah menjadi temanku atau bahkan adik lelakiku dalam waktu yang lama. Kurasa Jungkook memang tipe manusia yang ahli mengakrabkan diri. Termasuk padaku yang sudah diajak bersahabat ini.

Aku mendengus setelah mendengar suaranya, sedikit kesal pada ya sebut saja pria, pria itu disampingku. Harusnya aku senang karena aku mulai diperhatikan. Tapi rasanya masih aneh sekali. Aku tahu dia tidak sedang memerintahku, hanya mengingatkanku bahwa iji sedang gerimis. Tapi entah kenapa semua kata-katanya seperti sebuah perintah dan aku sama sekali tidak menyukai kalimat perintah. Sekalipun aku bukanlah nyonya besar, aku tipe orang yang akan melakukan semauku.

"Aku akan disini. Sebentar lagi. Jika kau mau masuk, masuklah lebih dulu." ucapku tanpa menoleh padanya. Aku menikmati gerimis ini. Aku kembali bisa merasakan beberapa rintik menjatuh dikepalaku, juga diwajahku yang sedikit menengadah. Seperti sengaja aku menanti gerimis seperti ini. Nenek benar. Aku harus mulai menghilangkan trauma ini, kebencian ini.

Perlahan. Aku tahu ini akan sulit. Aku harus kembali mencintai apa yang semula aku benci. Aku harus mencoba membiasakan diri dengan orang baru, walau yang sebenarnya terjadi adalah aku masih takut sampai sekarang. Bahkan presensi Jungkook saat ini pun tidak bohong aku masih sedikit risih. Dia memang tampan, tapi dia lebih muda dariku. Dan itu cukup membuatku terus berpikir. Harusnya dia jadi adikku yang ku lindungi, bukan yang melindungiku. Namun aku masih berusaha keras menerima kehadirannya. Nenek menyebutnya teman dan ya, aku sendiri malah menganggapnya bodyguard.

Aku mulai mencoba dari hal kecil. Dan hari ini aku mencoba melawan gerimis. Aku terus berbicara pada isi kepalaku dalam hati bahwa aku harus mencintai apa yang memang dulu aku cintai. Aku menengadah, tak peduli pun jika Jungkook menatapku aneh atau pergi begitu saja tak peduli karena aku memang orang aneh.

Aku memejam, merasakan tiap titik-titik gerimis mulai menjatuh diseluruh sisi wajahku secara bergantian. Aku mencoba sekuat tenaga untuk tidak menangis. Menahan kelopak mataku yang memanas agar tidak mengeluarkan air mata. Ingatan-ingatan itu. Ingatan tentang semuanya. Sehari sebelum semesta mengujiku begitu berat. Sehari sebelum aku kehilangan semuanya. Serta satu jam sebelum aku mendapat kabar buruk yang telah meleburkan semuanya yang ada dalam diriku.

Tak sadar jemariku meremat kuat hoddie ku sendiri. Ini terlalu pahit jika terus teringat saat aku sengaja menyapa gerimis. Hujan. Aku mulai bisa merasakan butiran air itu membesar. Aku mulai merasakan tekanan lain. Kesepian, kesendirian dan aku merindukan mereka.

"Aku akan tetap disini jika noona tidak mau masuk." ucap Jungkook yang masih bisa kudengar walau dia sengaja menyuarakannya dengan nada yang melirih.

Aku membuka mataku. Menoleh kearah samping dengan Jungkook yang ternyata tidak sama sekali mengubah posisinya. Artinya dia mengatakan itu tanpa menoleh kearahku juga. Ah itu bagus, ia tak perlu melihat mataku yang memerah dan hidungku yang juga tak kalah merah.

"Kita akan kuliah besok Jung. Lebih baik sekarang kau pulang. Jangan terlalu khawatirkan aku." Aku mengusirnya. Menasihatinya walau sebenarnya aku hanya ingin ia enyah dari sana dan membiarkanku berkenalan lagi dengan hujan. Memperbaiki hubunganku dengan hujan. Siapa tahu kali ini aku berhasil.

Belum juga aku sempat berkenalan lebih lama, tiba-tiba dia menggapai lenganku. Menarikku hingga kedalam rumah. Dia tidak kasar, juga cengkeramannya tidaklah terlalu kuat. Tapi entah kenapa cara dia menyeretku, aku sangat tidak menyukainya.

Jungkook membawaku kedalam dapur. Taman belakang rumah memang dekat sekali dengan dapur dan sekarang disinilah aku sampai. Aku menatap lekat-lekat pada manik sehitam jelaga milik Jungkook yang masih teduh walau aku menembuskan tatapan seperti ingin membunuh. Selang hanya beberapa detik, aku telah menghempas tangannya dengan kasar. Mengelus pergelangan tanganku sembari mengusapnya begitu halus.

Ini keterlaluan. Harusnya dia tidak boleh bersikap seperti itu, karena dia adalah 'teman baru', tidak lebih daripada itu.

"Jangan mencoba mendominasiku. Tugasmu hanya menjagaku dan menjadi temanku. Begitu kan kata nenek? Jadi mulai hari ini dan seterusnya tetaplah profesional sebagai teman!" ucapku tegas. Menatap kembali lamat-lamat iris yang terbungkus oleh puppy eyes yang begitu lucu.

Jungkook hanya terdiam mendapat perlakuan dariku. Mendengar semua yang aku celotehkan karena aku sungguhan kesal. Ini terkesan di dunia ini hanya sebuah panggung drama musikal. Aku mampu melihat kelopaknya yang melebar kala aku menepis tangannya. Sungguh aku tidak berniat menghancurkan nama keluargaku. Tapi ini bukanlah apa yang aku inginkan. Pertemanan? Iya, aku bodoh dalam hubungan pertemanan.

Aku menarik nafasku panjang. Menyemburkannya keudara selanjutnya. Aku mencoba menghandle kekesalanku sendiri. Aku tidak suka, Jungkook terlalu ingin mendominasi. Walaupun aku tahu tujuannya baik, ia hanya ingin aku tidak hujan-hujanan dan sakit pada akhirnya.

"Aku hanya tidak ingin noona sakit." ucap Jungkook dengan nada yang melirih dan sorot matanya meneduh. Aku tidak bodoh, aku bisa melihat penyesalan dimatanya kala dia mengatakan itu. Tipikal adik yang baik, tapi kenapa aku tidak bisa marah hanya karena wajah inosennya yang begitu menggemaskan.

Aku tidak tersenyum, pun tidak menunjukkan ekspresi apapun. Pikirku, Jungkook harus menyadari kesalahannya, dan ia harus meminta maaf setidaknya. Sorot mataku tidak meneduh sama sekali. Seperti tatapan ingin membunuh, tapi yang membuatku heran adalah; Jungkook sama sekali tidak gentar. Dia tetap membalas tatapanku, bahkan dia seperti ingin menyelam dalam kedalam duniaku lewat kedua manik hazelku.

"Pulanlah Jung. Aku sedang tidak ingin ditemani." ucapku dengan penuh penekanan. Walaupun aku sudah bisa mengatasi kekesalanku, aku hanya ingin Jungkook tidak semaunya sendiri. Seperti tadi, menyeretku tanpa aba-aba dan itu membuatku tak nyaman. Tujuannya jelas baik, namun caranya memperlakukanku, aku tidak menyukainya.

Kulihat Jungkook masih berdiri disana saat aku berbalik dan melenggang meninggalkannya didapur. Entahlah, aku tak tahu apa yang dia pikirkan tentangku. Mungkin dia akan berpikir bahwa aku adalah orang aneh. Atau lebih parahnya lagi aku orang gila.

Aku menaiki anak tangga satu persatu. Aku ingin segera menuju kamarku. Sudah aku bilang, aku benci dunia selain kamarku yang sepetak. Dan disaat aku hendak membuat semuanya kembali baik, bocah laki-laki itu mengacaukannya.

Aku menutup pintu kamarku dengan sedikit kasar, hingga jebretannya sungguh memekakkan telinga. Tapi aku yakin suara ini tidak akan sampai ke ruangan nenek. Jadi aku tak terlalu khawatir jika apa yang sekarang aku lakukan ini memgganggunya.

Aku merebahkan tubuhku, diatas ranjang yang sangat aku rindukan. Hanya beberapa jam saja aku meninggalkannya namun aku sudah sangat merindukannya. Dan Jungkook? Ah biarlah, aku sudah mengatakan dia untuk segera pulang. Aku sedang tidak ingin diganggu hari ini.

Niat awalku sebelum dia berlaku seperti itu adalah; mungkin duduk ditaman dengan sedikit hujan-hujanan akan sedikit menyenangkan. Berlarian hingga menimbulkan bunyi kecipak kaki dan air yang begitu merdu. Menghirup dalam-dalam aroma petrichor yang sudah lama sekali aku tidak menghidunya. Ini lebih seperti aku akan menyambut yang baru, tapi sekali lagi, Choi Jungkook mengacaukannya.

Hampir setengah jam aku menghabiskan waktuku didalam kamar hanya untuk membaca buku Sherlock Holmes ini. Aku sudah membacanya hampir separuh buku. Ditemani secangkir teh herbal yang tidak terlalu manis serta setoples stik coklat yang bahkan aku tidak menyentuhnya sama sekali.

Aku mengangkat daguku, menghadap jendela balkon kemudian mendadak teringat sesuatu.

"Apa Jungkook sudah benar-benar pulang?"

"Apa aku keterlaluan padanya?"

Entah kenapa aku menjadi teringat bocah laki-laki itu. Aih! Jangan katakan dia bocah laki-laki, mulai sekarang kita sebut saja Jungkook adalah seorang pria muda. Dia bahkan baru lulus dari sekolah menengah. Aku akan katakan dia 'pria' saja.

Jungkook benar-benar berhasil merebut seluruh atensiku. Dia tidak berontak sama sekali kala aku membentaknya dan menyuruhnya pulang. Sebenarnya aku kasihan, tapi sayangnya kekesalanku lebih dominan saat itu.

Ah lupakan! Mungkin aku akan membuat hubungan pertemanan ini lebih baik besok. Mengingat besok adalah hari pertamaku pergi ke universitas dan tentu saja seperti apa yang nenek katakan, aku harus pergi bersama Jungkook.

"Mari perbaiki semuanya, tuan Choi. Aku akan membuat pekerjaanmu mudah dan nenek bangga padamu." ucapku sebelum aku menutup bukuku dan beralih menikmati secangkir teh herbalku. Mendengarkan suara hujan yang semakin terdengar sangat jelas. Aku berusaha menikmatinya, meskipun pada setiap sekon suara itu menembus perunguku, aku selalu merasa seperti tercabik-cabik hingga habis.

"Tapi aku perlu waktu, Jung." Kemudian aku memejam. Berusaha meredam pikiran-pikiran yang berkeliaran kesana kemari tanpa kendali.

"Choi Jungkook. Aku... Akan berusaha menjadi apa yang kau inginkan. Teman kan?"

[]

Próximo capítulo