"Rumah kamu di mana?" tanya Bara sambil matanya fokus menatap jalanan.
"Lurus aja," jawab Pradita. Ia memberitahu arahan alamatnya.
Sial! Maksud hati menolak cowok ganteng itu, ehh... ya lumayan ganteng lah, yang ada malah Bara jadi tahu nama dan alamat rumahnya. Belum lagi tindakan Bara yang heroik, ehh... sok keren maksudnya.
Berani-beraninya Bara menyentuhnya, lalu memeluknya dalam gendongannya. Waduh memeluk.
Selama ini hanya Danu satu-satunya pria yang pernah memeluknya. Rasanya sungguh berbeda.
Saat Danu memeluknya, terasa hangat dan menenangkan. Tapi saat berada dalam dekapan Bara, tepat di dadanya, Pradita hanya bisa menahan diri untuk tidak menjerit karena kaget, takut, dan berdebar-debar.
Bahkan sampai saat ini jantung Pradita masih berdebar-debar. Berada berdua bersama orang asing yang baru dikenalnya di dalam mobil, entah dia itu orang baik atau jahat, Pradita tidak tahu. Ia hanya bisa pasrah menurut ke mana pun Bara membawanya.
Sebenarnya tidak benar-benar pasrah, kan sejak tadi ia sendiri yang memberi arahan jalan pada Bara. Sejauh ini jalan yang ditempuh mereka benar.
Pradita melirik Bara. Lelaki itu tampak serius memegang setir. Tangan sesekali memindahkan tuas gigi yang berada di antara mereka. Tangannya lumayan kekar. Tentu saja. Tampak semudah itu Bara mengangkatnya, menggendongnya hingga ke mobil. Padahal jarak menuju ke mobilnya lumayan jauh.
"Kamu gak jawab pertanyaan aku," kata Bara.
Pradita mendongak, mengalihkan pandangannya dari si tangan kekar. "Eh, apa?"
Mereka berhenti di lampu merah. Bara menarik rem tangan lalu menatap Pradita.
"Tadi aku tanya, apa di rumahmu ada obat gosok." Bara mengulang pertanyaannya.
"Oh. Ada."
Pradita kemudian mengalihkan pandangannya dari si wajah ganteng itu, eeh... lumayan maksudnya. Ia bisa merasakan pipinya memanas. Sungguh, ia tidak pernah mendengar Bara bertanya tentang obat gosok itu sebelumnya. Atau jangan-jangan ia terlalu sibuk memperhatikan segala sesuatu tentang lelaki itu.
"Ngomong-ngomong ngapain lu tanya-tanya soal obat gosok?"
"Buat gosok kaki kamu dong," jawab Bara enteng sambil tersenyum manis.
"Memangnya lu mau gosokin kaki gua?" Pradita merasa bodoh menanyakan hal konyol seperti itu.
Bara terkekeh pelan. Lampu lalu lintas berubah hijau. Bara memasukkan gigi, lalu menurunkan rem tangan. Mobil kembali melaju. Aktifitas itu tidak luput dari perhatian Pradita.
Betapa luwesnya tangan Bara saat memindahkan gigi dari netral ke gigi satu. Jari-jarinya tampak panjang dan lentik.
"Kalau kamu minta, boleh-boleh aja sih."
Pradita membelalak. "Enak aja!"
Mobilnya terasa panas. Sepertinya AC nya tidak bekerja. Atau mungkin darah Pradita bergejolak.
Setibanya di rumah, Pradita lekas membuka pintu mobil. Ia turun dari mobil begitu saja. Kaki kirinya berdenyut hebat. Dasar bodoh! Bagaimana bisa ia lupa kalau kakinya baru saja terkilir.
Bara turun dari mobil dengan cepat, lalu menghampiri Pradita yang mukanya sudah pucat pasi.
"Kamu baik-baik aja?" tanyanya cemas.
Pradita tidak bisa berkata-kata. Ia memejamkan mata, menahan sakit. Dan untuk kedua kalinya, Bara menggendongnya lalu membawanya masuk ke dalam rumah. Beruntung sore itu tidak ada siapa-siapa di rumah. Gawat kalau sampai orang tuanya melihatnya digendong lelaki.
"Udah udah. Turunin gua di sini aja," kata Pradita merasa malu.
Bara mendudukkannya di sofa. Pradita merapihkan roknya yang agak tersingkap.
"Di mana obat gosoknya?" tanya Bara.
"Kalau gak salah ada di laci itu." Pradita menunjuk laci lemari di atas TV. Tanpa ragu Bara membuka laci, mengaduk-aduk isinya dan menemukan obat yang ia cari.
Pradita sudah melepaskan sepatu dan kaus kakinya. Buru-buru ia menendang sepatu itu jauh-jauh agar Bara tidak mencium aroma sepatunya.
Oh tidak. Tadi waktu di sekolah juga Bara pasti sudah mencium aroma kakinya. Sial! Bagaimana jika Bara sampai illfell? Oh ya ampun. Mengapa Pradita harus peduli?
Bara duduk di sebelah Pradita. "Sini." Bara menepuk pahanya.
Pradita membelalak. Untuk apa Bara menunjuk pahanya? Apa cowok itu mau supaya ia duduk di pangkuannya?
"Mau apa?" tanya Pradita waswas.
"Sini angkat kakimu ke sini. Aku mau obatin kaki kamu pake ini." Bara menggoyang-goyang botol obat gosok di tangannya.
Pradita ragu-ragu. Ia tidak mungkin mengangkat kakinya ke paha Bara. Memalukan!
"Ayo cepet!" Bara menarik paksa kaki Pradita yang sakit.
"Auw! Pelan-pelan!" teriak Pradita.
"Maaf." Bara nyengir lebar.
Pradita merasa canggung karena posisinya agak ... kurang senonoh. Ia yang masih memakai rok seragam, duduk sambil menumpukkan sebelah kakinya di atas paha Bara. Ia menyandarkan punggungnya sambil diganjal bantal.
Ia tidak memakai celana pendek. Semoga saja Bara tidak terlalu memperhatikan isi roknya. Untuk menghindari hal itu, Pradita menahan roknya dengan sebelah tangan. Entah apa perbuatan itu akan berguna atau tidak.
Dengan tekun Bara mengoles-oles cairan cokelat encer berbau pahit itu ke kaki Pradita sambil menggosoknya perlahan. Dengan segenap gengsi yang ada, Pradita menahan mulutnya untuk tidak menjerit kesakitan.
Rasanya benar-benar menyebalkan. Kakinya berdenyut-denyut minta tolong agar gosokkan tangan Bara dihentikan, tapi di sisi lain, hatinya berkata agar Bara jangan berhenti menyentuh kakinya.
Astaga! Pemikiran macam apa itu? Pradita memukul kepalanya sendiri.
"Ada apa?" tanya Bara terkejut sambil menatap Pradita.
"Eh gak apa-apa," jawab Pradita malu.