webnovel

• Sepuluh. 

Ariqa Balqis, 26 tahun. Tinggi 165 senti. Kulit putih, bersih. Rambutnya panjang, hitam, tebal, lurus. Wajahnya oval dengan tulang pipi tinggi. Matanya kecil dan hidungnya mancung. Bibirnya penuh dan tetap merah meski tanpa pemulas.

Setelah menyelesaikan kuliahnya, Balqis hanya sempat bekerja beberapa bulan sebelum akhirnya melepas masa lajang. Ia menikah dengan seorang pemuda ternama. Putra pemilik perusahaan besar.

Hingga 4 tahun setelah menikah, mereka masih belum dikaruniai buah hati.

Bisa memiliki keluarga dengan ekonomi stabil adalah impian setiap orang. Tidak perlu khawatir akan makan apa besok, berapa tagihan air, listrik, dan segala macam cicilan bulanan. Tidak perlu memikirkan harus berhemat meski harga-harga kebutuhan pokok sedang melonjak. Tidak harus panik jika mendadak membutuhkan biaya kesehatan dalam jumlah besar.

Bagi orang luar yang melihat, Balqis adalah nyonya muda yang bergelimang harta dan kemewahan. Kehidupannya aman dan nyaman tanpa ada apa pun yang perlu dikhawatirkan. Penampilannya selalu terawat. Pakaiannya sehalus sutra. Barang-barangnya bermerek dan mahal. Memiliki dua orang pembantu, sehingga pekerjaannya sehari-hari hanya merawat diri dan suami.

Banyak wanita yang menatap iri dan mendambakan kehidupan yang Balqis miliki. Tapi, siapa yang tahu isi dalam rumah seseorang selain pemilik rumah itu sendiri.

Balqis tinggal di kawasan elite. Rumahnya berlantai dua dengan pagar dan tembok-tembok yang tinggi menjulang. Yang kedap suara. Tidak menyerupai istana atau kastil seorang putri memang, tapi jelas menandakan privasi yang terjaga ketat.

Rumah tempat Balqis tinggal terlalu luas untuk ditempati dua orang. Bagusnya ada dua orang asisten rumah tangga yang diperkerjakan sehingga Balqis tidak benar-benar sendiri ketika suaminya pergi bekerja atau dinas ke luar kota. Orang tua mereka pun sering berkunjung dan tidak jarang menginap.

"Paling bebannya hanya belum dikaruniai anak," celetuk seorang ibu ketika suatu kali Balqis menghadiri arisan RT yang rutin dilakukan setiap bulan. "Ada pasangan lain yang menikah 7-10 tahun baru dikaruniai anak. Jadi itu pasti hanya masalah waktu," tambahnya dengan nada menghibur.

"Betul, betul. 4 tahun itu belum apa-apa kalau dibanding pasangan lain," ibu yang lain menimpali. "Lagi pula ibu mertua Mbak Balqis, 'kan orangnya baik. Coba tanya ke orang-orang, kapan ibu mertua Mbak pernah omongin kekurangan menantunya. Kalau menantu lain, pasti sudah kena sindir terus. Mending kalau cuma disindir. Lah, kalau suaminya disuruh poligami bagaimana?"

Dua ibu yang lainnya mengangguk sependapat.

"Ngurus anak juga enggak semudah kelihatannya," si Ibu yang lain lagi menambahkan. "Lagian belum punya anak, 'kan bisa romantis setiap hari. Berasa pengantin baru terus."

Jadilah mereka menggoda Balqis.

Balqis hanya tersenyum. Tidak banyak berkomentar. Ia sudah terlalu sering menghadapi pembahasan semacam ini.

Ibu mertua Balqis memang baik. Bahkan mungkin salah satu yang terbaik dari mertua-mertua baik lain di dunia. Balqis tahu pasti itu. Dan dari semua pembahasan yang menjadikannya fokus cerita, hanya pembahasan mengenai mertua saja yang benar-benar tepat. Selebihnya, sama seperti sebuah pepatah, rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau.

Balqis adalah wanita yang baik hati, pintar, sopan, tidak banyak bicara, dan cantik. Ia selalu menjaga penampilannya baik di dalam maupun di luar rumah.

Balqis tidak pernah terlihat turun dengan rambut kusut atau penampilan berantakan karena baru bangun tidur. Rambut panjangnya selalu tersisir rapi dan terikat. Pakaiannya selalu sopan, tidak pernah asal tarik dari lemari.

Sebagai seorang Nyonya, Balqis selalu mengatur dirinya lebih dulu sebelum mengatur rumah.

"Eh, eh." Seorang teman menyenggol Balqis dengan menggunakan sikunya. Nanda. "Di daftar absen yang disebar di grup WA ada nama Rasyid Aldebaran," tambahnya menatap Balqis penuh arti.

"Rasyid Aldebaran siapa?" Seseorang menyahut. Zahra. Melihat kedua sahabatnya saling tatap-menatap penuh arti, Zahra menjadi curiga. "Hayo, ada apa ini? Kudeta apa yang diam-diam kalian rencanakan di belakangku?"

Balqis dan Nanda hanya senyum-senyum, kemudian kembali sibuk dengan tugas masing-masing.

Balqis kembali pada daftar ceklistnya, sementara Nanda fokus pada editan foto di laptopnya. Keduanya kompak mengabaikan pertanyaan Zahra.

Tidak terima diacuhkan, Zahra melompat masuk di antara Balqis dan Nanda. Ia mengaitkan kedua lengannya ke leher keduanya. Mereka bertiga yang berada di atas ranjang lalu terjungkal ke belakang. Mereka tertawa.

"Berani-beraninya kalian main rahasia-rahasian!" protes zahra.

"Makanya, jadi teman itu yang peka dong!" tukas Nanda masih sok misterius.

"Hei, kalau aku enggak peka, aku enggak akan menangkap basah kode-kode kalian berdua!" Zahra mengalihkan dua jarinya dari matanya ke mata Balqis dan Nanda secara bergantian.

Zahra dan Nanda adalah dua teman terdekat Balqis saat masih di SMA. Mereka terus menjaga komunikasi dan menjadi lebih sering bertemu karena reuni yang sudah digagas sejak tahun lalu akhirnya bisa terlaksana.

Reuni yang diadakan hanya untuk satu angkatan. Angkatan mereka saja. Jika sukses, mereka akan merencanakan reuni akbar sebagai kegiatan selanjutnya.

Wacana reuni akbar sebenarnya sudah lama terdengar. Sudah lebih dulu dicanangkan. Sudah digadang-gadangkan sebanyak lima kali. Namun tidak satu pun dari kelima rencana itu bisa terlaksana.

Balqis, Zahra, dan Nanda. Ketiganya adalah panitia reuni satu angkatan yang mereka gagas. Zahra adalah ketua panitia. Meski seperti itu, ia adalah orang yang paling santai dari para panitia yang lain.

Balqis adalah wakil ketua. Dibanding Zahra, beberapa pekerjaan lebih banyak dilimpahkan pada Balqis karena teman-teman lebih mempercayai kapasitasnya. Seperti saat ini. Balqis memeriksa kembali segala persiapan yang telah dibuatnya.

Nanda bertugas sebagai sekretaris. Ia sedang memoles slide desainnya agar lebih menarik. Memilih foto-foto dan gambar yang memiliki kualitas dan penggambaran situasi yang terbaik.

Balqis, Zahra, Nanda bersama dengan panitia-panitia dari kelas lain mempersiapkan segala hal dengan sebaik-baiknya. Mereka semua mengerahkan usaha terbaik mereka.

Sepertinya kecuali Zahra. Karena selagi Balqis dan Nanda sibuk, Zahra sejak tadi hanya bermain dengan ponselnya. Memantau grup WA dan bolak-balik patroli di semua akun media sosialnya.

Zahra dan Nanda berada di rumah Balqis. Mereka berencana menginap karena kebetulan suami Balqis sedang dalam perjalanan dinas.

Balqis, Zahra, dan Nanda baru saja kembali dari memeriksa dekorasi tempat acara. Memang belum selesai 100 persen. Tapi karena panitia yang lain juga berada di sana untuk mengawasi, Balqis dan yang lainnya bisa kembali untuk memeriksa beberapa persiapan lain.

"Zahra, kamu sudah telepon katering buat ingatkan mereka acara kita dimulai jam 08.30?" Nanda bertanya mengingatkan.

Dari mereka bertiga, sejak SMA Nanda satu-satunya yang mengenakan kerudung. Yang tubuhnya paling pendek dan paling mudah baper. Nanda penyuka warna pastel. Anaknya ceria sekaligus cengeng. Karena kecengengannya itulah teman-teman menjulukinya tukang baper.

"Sudah. Balqis tadi yang telepon kateringnya waktu kita di luar," jawab Zahra bangga. Seolah ia yang mengerjakan semua tugasnya. "Eh, mau mengalihkan pembahasan, ya!" Zahra menangkap basah niat Nanda. Ia kembali mengaitkan lengannya ke leher Nanda dan menggelitikinya.

Zahra ada tipe yang tomboi, penuh semangat, bersuara keras, dan kuat. Rambutnya pendek di atas bahu dan tanpa poni. Zahra menguasai ilmu bela diri dan pernah memenangi beberapa pertandingan sekala Nasional.

Zahra cukup berprestasi ketika itu. Sayangnya ibu Zahra ingin ia kembali menjadi gadis yang feminin dan lemah lembut. Ibunya, tanpa sepengetahuan Zahra, memberhentikannya dari ekskul bela diri.

Meski telah berhenti, Zahra yang sudah telanjur tomboi tidak pernah bisa kembali feminin lagi. Zahra bahkan pernah kabur dari rumah karena aturan-aturan ketat ibunya mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh Zahra lakukan.

"Cepat kasih tahu. Kasih tahu!" Zahra masih belum berhenti menggelitiki.

"Iya, iya," kata Nanda di sela-sela tawanya. Ia menyerah. Tidak sanggup tertawa lagi. "Aku pernah menangkap basah Balqis curi-curi pandang ke arah Al waktu SMA," bisik Nanda walaupun suaranya tetap bisa didengar Balqis.

"Al?"

"Rasyid Al-debaran. Seingatku nama panggilannya Al," jelas Nanda.

"Terus, Rasyid Aldebaran itu yang mana anaknya?" Zahra bertanya polos.

Nanda menepuk jidatnya, "Cari tahu sendiri!" katanya malas menjelaskan.

Nanda menjatuhkan tubuhnya. Tatapannya lurus ke arah langit-langit kamar yang bersih dan putih.

"Itu sudah lama sekali. Sekarang Balqis sudah bertemu belahan jiwanya. Kira-kira kita kapan ya?" tanya Nanda entah pada siapa.

"Eh, gua enggak pingin buru-buru nikah, ya. Kita masih muda kok," komentar Zahra namun tatapannya tetap fokus pada layar ponselnya. Ia sibuk mencari profil Rasyid Aldebaran. "Artis luar banyak yang umur 30 tahunan tapi belum nikah," tambahnya santai.

"Mereka artis," sahut Nanda. "Kita mah apa, cuma sisa rempahan rempeyek."

"Enak aja sebut-sebut gua rempahan rempeyek. Kalau lu mah, iya," sunggut Zahra.

"Zahra, jangan sampai ya kamu omong tentang umur 30 tahun belum nikah di depan ibumu." Balqis yang sejak tadi hanya senyum-senyum mendengar ocehan kedua temannya, ikut masuk dalam pembicaraan.

"Bisa diamuk tujuh turunan dia," Nanda menambahkan. Ia dan Balqis tersenyum geli. Tidak bisa membayangkan bagaimana ibu Zahra akan bereaksi.

Zahra memonyongkan bibirnya. Tidak ingin melanjutkan pembahasan mengenai ibunya. Ia kembali fokus pada pencariannya.

"Aku dapat! Aku dapat!" seru Zahra akhirnya. "Wah, Balqis dia polisi, ya. Cie..." Zahra beralih menggoda Balqis. Ia beralih menggelitiki Balqis. Tapi mendadak Balqis mengaduh kesakitan.

"Kenapa?"

"...Sepertinya salah urat," jawab Balqis sekenanya. Ia mengusap pelah bagian pinggang yang sakit.

"Sudah tua, sih," celetuk Zahra dan mereka kembali tertawa.

Balqis mengenal Zahra dan Nanda karena mereka satu kelas di kelas XI. Ketika itu Balqis adalah siswi pindahan. Mereka semakin akrab saat kembali berada di kelas yang sama di kelas XII. Ketiganya banyak menghabiskan waktu bersama. Jalan-jalan, berbelanja, dan curhat mengenai segala hal.

Mereka sama seperti remaja perempuan lainnya. Rela menabung agar bisa membeli gantungan ponsel sama. Demi bisa sering-sering nongkrong dan membeli baju dengan model dan warna yang sama. Demi bisa kelihatan kompak.

Sejak di SMA, Balqis selalu menjadi juara kelas. Ia juga ketua di kelas XII. Nanda tidak sepandai Balqis, tapi rangkingnya tidak pernah bergeser dari 5 besar. Sementara Zahra, ia hanya menonjol di bidang olahraga. Bahkan keseniannya tidak pernah bisa mencapai angka 7.

Mereka saling melengkapi dengan kelebihan masing-masing.

Zahra beruntung memiliki teman-teman yang pintar. Yang mau memaksanya ikut belajar bersama sebelum ujian tiba. Yang terus-menerus mengomelinya ketika malas.

Sementara Balqis dan Nanda merasa beruntung memiliki Zahra yang selalu bisa meramaikan suasana, yang penuh dengan ide.

Memasuki perguruan tinggi, mereka mulai jarang bertemu tapi tetap menjaga komunikasi. Sekali dalam sebulan mereka akan mencari waktu luang untuk berkumpul.

Meski hanya sebulan sekali, mereka tetap antusias. Saling menyapa dan bertukar cerita. Mereka tetap akrab. Balqis tetap pendiam, Nanda tetap cengeng, dan Zahra tetap yang paling heboh.

"Oh iya, aku jadi keingat kejadian kemarin sore." Zahra membuka pembahasan baru. "Kemarin, waktu beli minum buat anak-anak, aku sama Nanda lagi mengobrol tentang tipe cowok idealnya si Nanda."

Zahra bercerita dengan heboh. Nanda mencoba menghentikannya tapi gagal. Fisiknya tidak akan pernah setara dengan tenaga Badak Zahra.

Dari ketiganya, Zahra paling tinggi, paling kuat, dan yang paling keras suaranya. Walaupun ibunya melarang ikut latihan bela diri dan memang telah lama keluar dari perguruan, diam-diam Zahra masih sering berlatih sendiri di rumah.

"Nanda menunjuk orang yang dia lihat di jalan. Dari belakang sih kelihatan keren. Badannya bagus, tinggi, pakaiannya juga rapi. Tapi pas dilihat dari depan, ternyata bapak-bapak. Mungkin lebih tua dari bapaknya Nanda. Aku baru tahu kalau ternyata tipenya si Nanda itu yang lebih tua dari bapaknya." Tawa Zahra pecah memenuhi seisi kamar.

"Hush!" tegur Balqis dan Nanda bersamaan.

"Istighfar Zahra, ingat kodrat kalau kamu itu perempuan," sindir Nanda.

"Susah ya kalau anak Rock macam gua gaulnya sama yang satu Nyai dari pondok. Yang satu lagi Putri Keraton," seloroh Zahra.

Kali ini Balqis dan Nanda yang tertawa.

Balqis sangat senang berada di antara Zahra dan Nanda. Hanya bersama kedua temannya ia tidak merasa menjadi seorang nyonya. Tidak diperlakukan seperti nyonya. Tidak ada yang menyinggung apa yang ia miliki. Tidak ada yang menanyakan berapa jumlahnya. Tidak ada pertanyaan kapan punya momongan. Tidak juga tentang keluh-keluhan ekonomi, harga saham, atau kehidupan rumah tangga yang berat.

Bersama dengan Zahra dan Nanda, Balqis merasa masih sama seperti remaja 8 tahun lalu.

"Heh, aku klarifikasi ya Balqis. Bukan tua tapi dewasa." Nanda meluruskan olok-olok Zahra.

"Iya, tapi kalau dewasa yang seusia bapakmu itu ya over. Alias tua." Zahra tertawa lagi.

Nanda yang tidak terima, mendebat Zahra. Zahra yang tidak mau kalah, terus membalas dengan mengulang-ulang kalimatnya.

Karena kesal Nanda akhirnya melempar Zahra dengan bantal. Perang mulut pun dengan cepat berubah menjadi perang bantal. Keduanya saling lempar dan pukul. Balqis yang tidak ikut-ikut pun turut menjadi sasaran.

Kegaduhan yang terjadi seketika menjadi tenang saat mendengar pintu diketuk.

Ariqa Balqis: Nyonya muda.

Zahra: Tomboi.

Nanda: Cengeng.

NurNurcreators' thoughts
Próximo capítulo