webnovel

Jangan Menangis

Pak Hasan dan Nayla saling bertatapan selama beberapa saat tanpa ada yang berbicara, dan pada akhirnya Nayla tidak bisa menahan diri untuk bersembunyi di belakang Andre.

Pak Hasan menarik napas dalam-dalam dan mengangkat kepalanya. Kemudian dia menunjuk ke arah Nayla dan menatap Andre sambil berkata, "Apakah gadis kecil ini kerabat yang kau maksud?"

"Benar!" Andre mengangguk dengan semangat. "Ibu saya berkata bahwa dia adalah saudara perempuan baru saya yang akan tinggal di rumah kami mulai sekarang. Pak Hasan, dia adalah satu-satunya kerabat saya di sini selain Ibu saya."

"Jadi, apakah kau sedang mencoba bercanda dengan gurumu, Andre? Kau mengajak seorang gadis kecil untuk datang sebagai wali murid? Adikmu sendiri?" Pak Hasan bertanya dengan suara yang meninggi sambil menatap Andre dengan marah.

Pak Hasan benar-benar tidak menyangka bahwa muridnya akan melakukan hal seperti ini. Dosa apa yang dia miliki sehingga dia mendapat siswa yang sebandel ini dalam kelasnya!?

"Tapi aku ... Aku memang orang tua Kakak ..." Nayla menjulurkan kepalanya keluar dari belakang Andre sambil mengedipkan kedua matanya yang hitam dan besar ke arah Pak Hasan dan berkata dengan ragu.

""

Pak Hasan memejamkan mata dan mencoba menahan amarahnya yang hampir meledak. Kemudian dia mencoba tersenyum seramahn mungkin sambil berkata dengan lembut kepada kepada Nayla. "Gadis kecil, apakah kau tahu apa itu orang tua?"

"Aku tidak mengerti." Nayla menarik ujung pakaian Andre dengan satu tangan dan menggelengkan kepalanya dengan patuh. Kemudian dia melanjutkan ucapannya. "Tapi kata kakakku, aku bisa dianggap sebagai orang tuanya."

"Orang tua maksudnya adalah orang dewasa, seseorang yang bisa mengendalikan anak-anak sepertimu dan kakakmu. Dan kau masih anak-anak, bukan orang tua." Pak Hasan menatap Andre dengan jengkel sambil memberi penjelasan pada Nayla.

Tidak bisakah dia menjadi orang tua?

Nayla tercengang setelah mendengar kata-kata Pak Hasan. Apakah itu artinya dia tidak diperbolehkan untuk bermain di sekolah kakaknya?

Saat memikirkan hal ini, air mata mulai menetes dari matanya.

Pak Hasan memerhatikan Nayla yang berdiri di depannya. Tapi saat dia melihat bahwa Nayla mulai menangis, tiba-tiba dia menjadi panik dan bertanya. "Hei, Nak, kenapa kau menangis?"

Tapi Nayla tidak menjawab. Mulutnya tetap tertutup rapat, dan air mata yang besar terus berjatuhan membasahi pipinya.

"Jawab aku, nak. Mengapa kau tiba-tiba menangis?" Pak Hasan berbalik untuk mengambil selembar tisu dari mejanya dan meletakkannya ke tangan Nayla. "Aku tidak memarahimu, tapi kakakmu. Kenapa kau yang menangis?"

"Kakak berkata bahwa hanya orang tua yang bisa datang ke sekolahnya untuk bermain..." Nayla menggenggam tisu di tangannya dan berkata kepada Pak Hasan sambil menangis tersedu-sedu. "Dan...Dan Bapak bilang aku bukanlah orang tuanya. Apakah itu artinya aku tidak boleh bermain di sekolah Kakak? "

"..."

Pak Hasan terdiam setelah mendengarkan kata-kata Nayla.

Dia mendongak dan memandang Andre yang berdiri di samping Nayla dengan penuh amarah, seakan-akan dia ingin berteriak: "Ini semua gara-gara kau yang membawa gadis kecil ini ke sini!"

Tapi Andre hanya menunjuk ke arah Nayla dan diam-diam berkata pada Pak Hasan. "Anda membuatnya menangis."

"Sudah, sudah. Gadis kecil, jangan menangis. Jadi kau ingin bermain di sekolah kakakmu?" Pak Hasan buru-buru menarik selembar tisu dan sambil membantu Nayla menyeka air matanya, dia berkata dengan ramah. "Kalau aku boleh bertanya, berapa usiamy tahun ini? Apakah kau tidak bersekolah di taman kanak-kanak?"

"Aku belum pernah pergi ke sekolah." Pak Hasan merasa semakin sedih ketika mendengar ucapan Nayla.: "Dan..Dan Aku berusia lima tahun tahun ini."

"Lalu kenapa kau tidak pergi ke sekolah ketika kau sudah berusia lima tahun? Seharusnya kau sudah bisa masuk ke kelas TK kecil." Tapi ucapan Pak Hasan justru membuat Nayla menangis lebih keras. Reaksi gadis kecil itu membuat Pak Hasan tidak tahu harus berkata apa.

"Aku ..." Nayla memandangi Pak Hasan di depannya, dan tiba-tiba dia teringat dengan hari-hari sebelum dia dibawa pulang oleh ibunya. Air matanya mengalir semakin deras.

"Ah, kenapa kau malah menangis semakin keras?" Pak Hasan melihat Nayla menangis tersedu-sedu sehingga hidung kecilnya memerah. Dia mengalihkan pandangannya yang ke arah Andre yang berdiri di sampingnya dengan tak berdaya .

Andre sendiri juga memandang Nayla yang terlihat sangat sedih sampai menangis dengan ekspresi bingung. Beberapa saat kemudian, dia mengulurkan tangannya dan menepuk bahu Nayla dengan lembut sambil berkata, "Nayla, jangan menangis."

"Ya ..." Setelah mendengar ucapan kakaknya, Nayla segera menyeka air mata di wajahnya dengan tangan.

Hanya saja matanya masih terlihat basah dan merah.

Pak Hasan menatap Andre dengan datar dan berkata dengan jengkel. "Ternyata dia mau mendengarkanmu dengan baik."

"Saya juga tidak menyangka ..." Andre mengernyitkan keningnya dan melirik Nayla yang berdiri di sampingnya.

Dia benar-benar tidak menyangka bahwa meskipun dia hanya mengucapkan kalimat sederhana seperti itu, tangisan Nayla langsung berhenti secara tiba-tiba.

Seolah-olah dia takut bahwa kebahagiannya akan menghilang jika dia terus menangis.

Andre mencoba mengingat-ingat saat ketika dia baru berusia lima tahun. Sepertinya dia suka menangis terus sepanjang hari. Dan tidak peduli apa yang dikatakan atau dilakukan oleh ibunya, selama dia belum puas menangis, maka dia tidak akan berhenti menangis.

Dibandingkan dengan Andre saat dia masih berusia lima tahun, Nayla tampak jauh lebih patuh.

"Apakah kau ingin bermain di sekolah kakakmu?" Pak Hasan melihat bahwa Nayla akhirnya berhenti menangis, dan dia segera bertanya padanya.

"Ya." Nayla mengangguk dengan lesu.

"Baiklah, kalau begitu kau boleh bermain. Aku tidak akan menghentikanmu."

"Tapi ... Kakak berkata bahwa hanya orang tua saya yang boleh bermain di sekolah," kata Nayla dengan takut

"..."

Pak Hasan menghela napas. Setelah beberapa saat, dia berkata dengan enggan kepada Nayla, "Kalau begitu kau akan kuanggap sebagai orang tua Andre."

"Benarkah?" Tanya Nayla dengan bersemangat. Matanya terlihat berbinar-binar.

"Benar." Pak Hasan menghela nafas dalam-dalam dan menjawab.

"Tapi kenapa Kakak harus membawa orang tuanya ke sini?" Tanya Nayla sekali lagi. Dia menatap Pak Hasan dengan bingung.

"Ini ..." Pak Hasan memandang Nayla dengan ekspresi malu dan ragu untuk waktu yang lama sebelum menjawab. "Bukan apa-apa. Aku hanya meminta orang tuanya untuk mengunjungi sekolah."

"Kalau begitu, nanti jika Kakak harus memanggil orang tuanya lagi ke sekolahnya, apakah Bapak akan mengizinkanku untuk datang?"

"Itu...Bagaimana, ya..." Pak Hasan berkata dengan canggung.

"Tidak bisakah?" Nayla menunduk dengan sedih.

"Ehm, bukan begitu. Selain mengundang orang tua murid untuk mengunjungi sekolah, ada hal lain yang harus mereka lakukan yaitu untuk mendengarkan berbagai macam masalah." Pak Hasan memberi penjelasan kepada Nayla dengan sabar." Dan sekarang kau masih terlalu muda jadi kau tidak bisa melakukannya. "

"Memangnya apa masalahnya?"

"Misalnya kakakmu sering bertengkar dengan teman sekelas. Kakakmu juga sering berlaku kasar pada teman-teman perempuannya di kelas, dan belakangan ini kakakmu tidak belajar dengan baik sehingga nilai ulangannya turun lagi ..." Pak Hasan mulai merasa pusing saat menyebutkan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh Andre.

Sebenarnya Pak Hasan tahu bahwa Andre adalah anak yang cukup cerdas, tapi entah kenapa dia selalu menyebabkan berbagai macam masalah sepanjang hari.

Próximo capítulo