webnovel

#Presiden #043

Adiwangsa telah kembali. Ia sedang menunggu Haidee untuk membahas rencana penyelamatan Adiraja jika ibunya terlambat mengambil tindakan. Dua jam, tiga jam, dan Haidee masih juga belum kembali. Seharusnya kalau hanya keluar untuk menjenguk Carl tidak butuh waktu lama. Seharusnya jika hanya pergi ke rumah sakit, Haidee sudah kembali sejak tadi.

Merasakan firasat buruk, Adiwangsa berjalan mondar-mandir di ruangannya. Adiwangsa mencoba menghubungi ponsel Haidee lagi tapi masih tidak ada jawaban. Ponsel aktif, tapi panggilan yang masuk tidak diangkat.

Tidak ingin terus berprasangka, Adiwangsa mencari keberadaan Haidee melalui sinyal ponselnya. Berdasarkan sinyal ponsel Haidee, pria itu masih berada di rumah sakit.

Tunggu! Ada yang tidak beres.

Adiwangsa memeriksa waktu. Sinyal ponsel Haidee sama sekali tidak berubah sejak lebih dari tiga jam lalu. Titiknya masih sama.

"Sial!" Adiwangsa mengumpat kemudian pergi untuk memeriksa ke rumah sakit.

Akhir-akhir ini masalah yang muncul tidak ada habisnya. Sama sekali tidak ada waktu untuk merasa tenang dan aman. Tidak ada waktu untuk istirahat.

Segera Adiwangsa memacu kendaraannya dengan kecepatan penuh. Ia sudah membuang waktu terlalu lama dengan menunggu Haidee. Jika sesuatu yang buruk benar-benar terjadi seperti apa yang ia takutkan, tiga jam adalah waktu yang cukup untuk melakukan eksekusi sekaligus pembersihan.

Adiwangsa memukul setir, merasa kesal dengan dirinya sendiri. Seharusnya ia tidak lengah, seharusnya ia tidak membiarkan Haidee pergi seorang diri. Kenapa ia bisa begitu ceroboh, kenapa bisa begitu bodoh.

Sesuatu yang sebelumnya Adiwangsa minta untuk ibunya selidiki telah diselidiki. Hasilnya, memang ada orang yang mengarahkan Adiraja untuk meninggalkan Indonesia. Orang itu juga yang membantu mengurus segala keperluan Adiraja dari tiket, tempat tujuan, sampai seluruh akomodasi di Negara yang dituju.

Dugaan Adiwangsa terbukti. Seseorang memang mendekati Adiraja untuk mempengaruhinya. Seharusnya Adiraja bukan orang yang mudah dipengaruhi oleh orang lain, tapi toh pada akhirnya Adiraja tetap terpengaruh.

Poin pentingnya seseorang itu mengenal Adiraja, tahu titik lemahnya. Kemungkinan lain yang lebih parah mengetahui segala hal mengenai keluarganya.

Tidak sampai di situ. Ternyata orang yang mempengaruhi Adiraja bukanlah dalang utamanya. Merujuk cerita Haidee mengenai Hana Lutfia, bahwa bosnya dan bos Adiraja adalah orang yang sama, dalang di balik apa yang terjadi bukan dilakukan oleh seseorang, melainkan sebuah.

Adiwangsa merujuk nama sebuah Negara untuk ibunya jadikan patokan pada penyelidikan selanjutnya. Apakah orang yang mempengaruhi Adiraja pernah berhubungan atau bertemu dengan seseorang dari Negara itu. Jika benar, dugaan Adiwangsa tepat untuk yang ke sekian kalinya.

Adiwangsa telah sampai di rumah sakit. Ia mengenakan topi yang dipasang lebih rendah, dengan masker yang menyembunyikan wajahnya. Adiwangsa segera menuju ke arah ruang rawat Carl. Di depan pintu, seorang petugas berjaga sendiri. Tidak lama kemudian, teman jaganya yang lain datang.

Tidak mungkin Haidee masih berada di rumah sakit.

Sebelum meninggalkan rumah sakit, Adiwangsa menelepon ponsel Haidee lagi. Sampai saat ini ponselnya masih aktif. Saat dicari, getaran ponselnya berasal dari bak sampah dekat pintu keluar ruang ICU.

Adiwangsa kembali ke mobilnya. Ia mulai menganalisa. Orang yang menginginkan Haidee ada dua sisi. Sisi Arata Baswara dan sisi yang masih belum diketahui. Sisi yang kedua harusnya tidak akan bergerak secepat itu. Mereka telah kehilangan banyak orang di aksi yang terakhir, seharusnya mereka butuh waktu untuk menyusun rencana jika ingin beraksi lagi.

Sisi Arata Baswara lebih mencurigakan. Terakhir kali Adiwangsa mendatanginya untuk mengajukan kerja sama, Adiwangsa sudah merasa ada yang tidak beres karena syarat yang Arata ajukan bukan Haidee melainkan adiknya. Adiwangsa tahu bukan karena Arata tidak lagi menginginkan Haidee. Sekarang Adiwangsa tahualasannya. Pria itu telah menyiapkan rencana cadangan untuk mengambil Haidee kembali.

Tahu harus mulai mencari dari mana, Adiwangsa mengendarai mobilnya menuju kantor Arata.

Tidak perlu turun dari mobil untuk tahu orang yang dicarinya tidak ada di tempat itu. Kantor Arata terlihat sepi padahal di hari-hari biasa ada banyak penjaga yang mondar-mandir. Di rumah, di markas relawan, di lab. Riset dan teknologi, Arata tidak bisa ditemukan orang itu di mana pun.

Adiwangsa benar-benar panik. Sekali lagi ia meninju setir dan mengumpat. Ketika ia tidak tahu lagi harus mencari ke mana, atau melakukan apa, sebuah nama muncul di benaknya.

***

"Haidee Putra hilang! Pelakunya kemungkinan besar adalah Arata Baswara. Kita harus bergerak cepat sebelum terlambat." Adiwangsa langsung menyampaikan maksud kedatangannya begitu ia membuka pintu. Tanpa salam, tanpa permisi, tanpa mengetuk pintu lebih dulu.

Orang yang sedang Adiwangsa ajak bicara sedang duduk di meja kerjanya, membaca laporan. Ada pin di kerah kemejanya yang menunjukkan identitasnya sebagai orang penting. Orang penting kedua di N Island.

Melihat kedatangan Adiwangsa, Wakil Presiden mengalihkan pandangan dari laporan-laporan yang menumpuk di mejanya. Ia terlihat santai meski kabar yang baru saja Adiwangsa berikan benar-benar darurat.

"Selamat datang!" Seseorang yang berada di sisi kanan ruangan menyambut kedatangan Adiwangsa.

Adiwangsa menoleh dan melihat sosok yang tidak asing di matanya. Tentu saja bukan Haidee. Adiwangsa ingat pria itu adalah dokter yang tiga tahun lalu merawat Haidee setelah berhasil kabur dari lab.

Dalam ruangan tidak hanya ada Wakil Presiden dan Sang Dokter. Ada seorang lagi yang juga Adiwangsa kenal. Bukan Mark karena orang itu adalah penghianat. Orang ketiga adalah pria yang pergi bersama Adiwangsa untuk menghadapi Mark. Zen Ogawa.

"Kamu juga di sini?" Adiwangsa bertanya pada Zen.

"Apa yang kamu sampaikan pada Wakil Presiden, sudah lebih dulu kusampaikan. Aku akan membuatkanmu kopi, kamu bisa duduk dulu," kata Zen.

Wajah Zen masih memperlihatkan memar karena perkelahian tempo hari. Melihat situasinya, Adiwangsa segera mengerti. Zen Ogawa adalah mata-mata yang Wakil Presiden tempatkan dalam kubu Arata Baswara.

Sepertinya Adiwangsa harus meralat satu hal, kelebihan Zen Ogawa bukan terletak pada kemampuan meretas, pikirannya yang sederhana, atau kemauan dan sifat pekerja kerasnya. Kelebihan terbesar Zen adalah keluguan dan sifat polosnya. Dengan karakternya itu, jangankan Arata Baswara, seluruh dunia pun bisa ia tipu.

"Adiwangsa tidak suka kopi," Wakil Presiden menimpali. Ia beranjak dari kursi singgasananya menuju kulkas mini di sisi kiri mejanya dan melemparkan susu UHT kotak ke arah Adiwangsa dan satu kotak lagi. Wakil Presiden kemudian duduk di satu meja yang sama dengan Sang Dokter yang hanya sibuk membaca buku dalam bahasa asing.

"Oh, pantas aku sudah melihat minuman itu dalam kulkas tapi tidak juga ada yang menyentuhnya. Ternyata sudah dipersiapkan untuk orang lain." Zen bermonolog sendiri.

"Sudah lama? Jangan-jangan sudah expired." Adiwangsa yang telah menancapkan sedotan, segera memeriksa tanggal kadaluwarsanya.

Aman, masih tersisa satu tahun lagi. Adiwangsa ikut duduk di kursi yang masih kosong. Ia perhatikan keadaan dalam ruang kerja Wakil Presiden. Dibanding ruang kerja, mungkin lebih tepat disebut markas. Selain rak buku besar di belakang dokter, ada dispenser, mesin kopi, kulkas, kompor portabel di atas meja di samping pintu. Ada juga lemari kecil yang menempel di dinding di atas meja kompor. Jika harus menebak apa isinya, Adiwangsa yakin ada mi instan salah satunya.

Wakil Presiden disebut-sebut memiliki kepribadian yang berbeda dibanding pejabat pemerintah lain. Adiwangsa tahu hal itu benar. Kalau tidak, mana mungkin mereka bisa cocok satu sama lain. Melihatnya lagi sekarang, Adiwangsa perlu meralat kata 'berbeda' yang ada di kamusnya.

"Sekarang bagaimana?" Adiwangsa kembali membahas tujuan kedatangannya.

"Jangan khawatir, sudah diurus!" Sang Dokter menjawab.

Adiwangsa menatap Wakil Presiden untuk memastikan, dan pria itu mengangguk yakin. Meski orang yang menjamin adalah Wakil Presiden, Adiwangsa tetap tidak bisa berhenti cemas. "Kalian semua ada di sini, jadi siapa yang pergi mengurus?"

"Menurutmu?" Bukannya menjawab Wakil Presiden justru balik bertanya.

Adiwangsa secara bergantian menatap Sang Dokter, dan Zen Ogawa yang sibuk meracik kopi. Sepertinya menjadi seorang barista adalah cita-cita Zen.

"Jangan, khawatir!" Kali ini Zen yang menekankan. "Bahkan kalau kami yang turun tangan pekerjaan kami tidak akan berhasil dengan sepenuhnya tuntas."

Oke, Adiwangsa tidak akan bertanya lagi. Ia sudah tahu jawabannya.

"Tapi aku masih penasaran dengan satu hal." Adiwangsa mencondongkan tubuhnya, menghadap Wakil Presiden yang ada di ujung lain meja. "Kenapa mereka masih menginginkan Haidee? Bukankah Profesor Rekson telah mati, Kun, dan Lukas juga sedang bermasalah karena kepemilikan senjata api. Jika tujuannya bukan untuk membunuh artinya... masih ada sesuatu yang tertinggal di tubuh anak itu."

"Binggo! Tebakanmu benar sekali." Wakil Presiden bertepuk tangan. "Tapi harusnya kamu bisa menebak lebih cepat dari ini. Bukankah saat di pelabuhan saya sudah memberimu klu."

"Klu?!" Dengan kalimat yang memiliki banyak makna seperti itu bagaimana mungkin Adiwangsa tahu kalau jawabannya ada dalam tubuh Haidee. "Kenapa harus memakai klu? Kenapa tidak mengatakannya secara langsung dengan jelas?"

"Hei, ayolah! Kita berada di Negara dengan kepentingan yang berbeda. Kalau saya mengatakannya secara terang-terangan bukankah artinya saya mengkhianati Negara saya?"

Adiwangsa tertawa menyedihkan. "Apa bedanya? Toh, orang yang paling tidak setuju dengan proyek itu adalah Anda." Adiwangsa menghela napas, tidak menyangka pria di depannya bisa menjabat sebagai wakil presiden. "Jadi, apa yang tertinggal dalam tubuh Haidee?"

"Mungkin sebuah chip." Dokter menurunkan buku yang sebelumnya ia baca. Adiwangsa melirik sampul dan tahu kalau buku itu mengulas segala hal mengenai parasit. "Haidee melakukan pemeriksaan saat di rumah sakit. Aku tidak mengatakan mengenai benda asing yang tertinggal di kepalanya karena aku berpikir dia akan datang untuk pemeriksaan selanjutnya. Ternyata setelah hari itu, kamu membawanya kabur meninggalkan rumah sakit."

Adiwangsa berpikir sesaat. "Apa itu ada hubungannya dengan halusinasi yang Haidee alami?"

"Mungkin ada, mungkin tidak," jawab Sang Dokter tidak pasti. "Jika pun ada, saya tidak bisa mengatakan dengan pasti seberapa besar pengaruhnya karena pemeriksaan yang saya lakukan belum cukup."

Adiwangsa mengangguk mengerti.

"Tentang kelompok lain yang menginginkan Objek 011…" Adiwangsa beralih ke pembahasan lain yang sama seriusnya.

"Maksudmu tentang keterlibatan Negara ketiga?" tebak Wakil Presiden.

Adiwangsa mengangguk. "Anda tahu?"

"Tidak mungkin saya bisa duduk di kursi wakil presiden kalau kemampuan otak saya kalah darimu," canda Wakil Presiden. "Percaya atau tidak, Negara ketiga ini juga terlibat dalam kasus ayahmu."

Adiwangsa mengerutkan keningnya . Ia tidak ingin menebak-nebak, ia butuh penjelasan.

"Negara ketiga ini yang saat itu menggoda Moissani Sekai yang masih terlalu naif. Mereka melakukan pertukaran yang menguntungkan kedua belah pihak. Moissani Sekai mengirimkan mata-mata ke Indonesia untuk menyelidiki sebuah proyek yang sedang Negara kalian kembangkan. Setiap informasi yang didapatkan mata-mata itu akan dikirim ke Negara ketiga."

Satu kotak susu UHT Adiwangsa telah kosong. Ia beralih ke kotak yang lain.

"Negara ketiga ini sendiri tidak mungkin mengirimkan sendiri orangnya karena telah sejak lama Indonesia tidak lagi memiliki kepercayaan pada Negara itu. Keuntungan yang Moissani Sekai dapatkan adalah harga alutsista yang lebih murah, yang kelebihan dananya kemudian masuk ke saku pribadi," jelas Wakil Presiden.

"Jadi berita korupsi itu benar?"

Wakil Presiden mengangguk. "Bocornya korupsi Moissani Sekai jaman itu juga karena ulah Negara ketiga. Mereka kemudian membantu dengan mengarang kebohongan lain. Dengan begitu Moissani Sekai tidak akan bisa lepas dari kendali mereka. Melihat kepribadian Moissani yang ambisius dan serakah, mereka yakin dapat memetik manfaatnya suatu hari nanti."

Wakil Presiden mengambil jeda sesaat sebelum melanjutkan. Ia menatap Adiwangsa yang masih menyimak.

"Identitas ayahmu sebagai mata-mata yang tiba-tiba terbongkar juga ulah mereka. Ayahmu berhenti memberi informasi dan diam-diam menghilang dari pengawasan mereka. Untuk menghindari konflik dengan N Island yang mungkin sudah ayahmu curigai memang tujuan dari Negara ketiga ini, ayahmu pun memutuskan untuk bunuh diri."

Wakil Presiden kembali memberi jeda untuk memperhatikan reaksi Adiwangsa. Meski pilihan yang ayahnya ambil untuk kebaikan kedua Negara, dibanding rasa bangga Adiwangsa lebih terlihat marah dan berduka. Tentu saja, karena Adiwangsa sedang berdiri di posisi seorang anak yang telah kehilangan ayahnya.

"Perusahaan keamanan yang didirikan Negara ketiga di Pulau Gama dengan bantuan Moissani Sekai adalah kedok untuk mengordinasi mata-mata yang mereka utus untuk mencari tahu mengenai proyek Rekayasa Emosi Manusia. Ketika Moissani Sekai memutuskan untuk maju lagi dengan pencalonan dirinya, Negara ketiga semakin berani bertindak agresif. Tiba-tiba membunuh Moissani Sekai mungkin mereka baru sadar kalau Moissani Sekai memiliki sifat yang sangat menyebalkan."

"Mungkin juga untuk membungkamnya karena pria itu adalah satu-satunya saksi yang tersisa untuk masalah ini," Dokter menimpali. Caranya berbicara tidak lagi mirip seorang dokter. "Karena kalau kasus ini di bawa ke peradilan internasional, tidak ada lagi bukti yang tersisa untuk memberatkan Negara ketiga."

Dugaan Sang Dokter masuk akal.

"Saya bertanya-tanya tentang peran Adiraja?" Zen yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, bertanya.

"Jangan lupa tujuan lain Negara ketiga untuk menciptakan perpecahan." Wakil Presiden kembali berbicara. "Meminjam tangan dari Negara lain untuk menyelesaikan masalah jelas mereka bertujuan mengadu domba. Dugaan saya, jika Adiwangsa tidak mengacaukan rencana mereka, Adiraja akan memikul semua tanggung jawab. Termasuk tentang pembunuhan Moissani Sekai dan Objek 011."

"Adik pembunuh, kakak mata-mata proyek penelitian. Bukannya sangat cocok sebagai Duo tukang onar dari Indonesia," kata Sang Dokter sembari mengangkat kedua bahunya bersamaan.

"Masih ada satu saksi lagi." Adiwangsa mengabaikan lelucon Sang Dokter dan mengatakan informasi penting. "Haidee pernah bertemu dengan seorang saksi yang sedang dalam pelarian. Orang itu yang memberi Haidee informasi mengenai dugaan korupsi yang Moissani Sekai lakukan. Jika kalian bisa menemukan orang itu dan meyakinkannya agar mau bersaksi, pasti akan sangat membantu."

Semua orang saling bertukar pandangan, mereka terlihat antusias. Akhirnya ada secercah harapan.

"Karena pembahasan sedang serius, Wakil Presiden boleh saya bertanya mengenai hal pribadi?" Pembahasan mengenai Negara ketiga tampaknya telah selesai, Zen yang penasaran mengenai sesuatu membuka pembahasan lain. "Kenapa Anda hanya setuju menjadi wakil presiden?"

Zen meninggalkan meja bartendernya dan meletakkan begitu saja biji kopi yang sebelumnya ia giling. Ia menarik kursi dan duduk di sisi lain. Padahal masih ada banyak tempat di kursi yang Sang Dokter tempati seorang diri.

Wakil Presiden mengusap kepala bagian belakang Zen. Mereka benar-benar terlihat dekat.

"Presiden adalah orang yang tidak kenal kompromi. Harus memutuskan hal-hal untuk kepentingan yang lebih banyak, lebih luas, bahkan meski hal-hal itu bertentangan dengan keinginannya. Karena itulah saya harus ada. Saya harus ada sebagai hati nurani Presiden, sebagai penyeimbang keputusannya."

Zen Ogawa semakin antusias menyimak. Selama ini ia berdiri di sisi Wakil Presiden karena utang budi. Ia tidak pernah menanyakan alasan dari setiap keputusan Wakil Presiden, juga tidak tertarik ingin tahu. Ia percaya. Selama tidak melukai hati nuraninya, ia tidak akan meragu.

"Arata Baswara menawarkan sebuah proyek untuk kebaikan Negara, untuk kepentingan yang lebih luas. Jika proyek berhasil, sejarah akan mencatat nama N Island, perubahan dan dampak keberhasilannya bukan hanya sekadar pengakuan. Negara lain tidak akan ragu untuk berinvestasi, segalanya akan berubah. Jika gagal? Negara yang sedang berkembang harusnya tidak perlu takut menghadapi kegagalan. Yang harusnya ditakutkan adalah tidak pernah memulai dan mencoba melakukan apa pun."

Adiwangsa tidak pernah tertarik dengan politik, ikut mendengarkan dengan antusias. Hitung-hitung menambah pengetahuan.

"Presiden tidak sepenuhnya setuju dengan ide Arata karena yang dijadikan objek adalah manusia, warganya sendiri. Tidak ada jaminan penelitian tidak memberi efek samping. Arata meyakinkan berkali-kali. Jika untuk kebaikan Negara, Presiden tidak boleh mengulur-ulur waktu. Karena itulah Beliau memberi saya tugas untuk diam-diam bekerja sebagai nuraninya."

"Negara kalian benar-benar penuh drama," celetuk Adiwangsa.

"Seperti hari ini, ketika akhirnya proyek yang Arata kembangkan menciptakan kekacauan, masalah di mana-mana, saat itulah Presiden turun tangan langsung," jelas Wakil Presiden. "Alasan lain, karena Presiden hanya bisa menjabat dua kali, sementara tidak ada batasan untuk menjadi wakil."

Karena tidak ada lagi yang bisa Adiwangsa lakukan selain menunggu kabar mengenai Haidee, ia pun beranjak. Selanjutnya, Zen Ogawa yang akan ditugaskan untuk masalah mencari orang.

"Tunggu!" Wakil Presiden menahan langkah Adiwangsa. "Begitu Haidee diselamatkan, dia akan segera melakukan pengobatan untuk menyembuhkan efek samping penelitian dan dampak benda asing yang ada di kepalanya. Setelah itu, dia akan kembali ke masyarakat seperti tidak ada yang pernah terjadi. Artinya…"

"Aku tahu," sahut Adiwangsa. "Tidak perlu menghawatirkanku untuk itu. Bukankah sejak awal aku adalah serigala kesepian," tambahnya. "Kalau tidak ada yang perlu disampaikan lagi, aku pergi."

"Tunggu!" Kali ini yang menahan adalah Sang Dokter. Ia sedang memeriksa ponselnya, sepertinya baru saja menerima informasi. "Adikmu membuat masalah lagi. Dia kabur dari rumah sakit dan melukai dua orang polisi yang berjaga."

"Kabur?" Adiwangsa mengulang. "Benar-benar kabur, bukan hanya sekadar mencari angin di atap?" Sang Dokter menggeleng. "Melukai dua orang polisi? Bukan hanya membuat mereka pingsan?" tanya Adiwangsa lagi, Dokter menggeleng lagi.

Adiwangsa mengerutkan kening. Mungkinkah ibunya telah bergerak? Tapi tidak mungkin ibunya bergerak tanpa memberitahunya. Tidak mungkin melakukan hal-hal yang bisa merenggangkan hubungan kedua Negara. Tidak mungkin melakukan tindakan ceroboh di siang bolong.

Mungkinkah Adiraja benar-benar kabur? Tapi kenapa anak itu tidak mau menunggunya? Apa yang ada di pikirannya?

###

Próximo capítulo