webnovel

#Bergabung #027

Seorang pria yang mengenakan topi dan masker berjalan dengan langkah cepat meski tidak dikejar oleh siapa pun, tidak juga sedang memburu waktu. Ia tahu akhir-akhir ini ada orang yang sedang mengawasi gerak-geriknya, membuatnya sering melihat ke belakang saat berjalan, atau memperhatikan sekelilingnya saat berada di suatu tempat atau hendak berpindah ke tempat lain. Ia tahu harus waspada, harus tetap berhati-hati.

Sebelum memasuki sebuah bangunan yang tampak sebagai gedung setengah jadi, pria itu sekali lagi menegok ke belakang, ke kanan, dan ke kiri. Bangunan itu terbengkalai dan kotor. Tidak heran jika banyak desas-desus mengenai makhluk kasatmata yang sering terlihat.

Di salah satu pintu dari sekian banyak pintu di lantai bawah adalah tempat tinggal pria itu. Ia bukan tunawisma dan sama sekali tidak cocok dengan kata itu.

Pria itu merogoh saku celananya untuk mengambil kunci. Ketika akan membuka pintu, ia menyadari ada yang tidak beres. Ia diam dan berpikir sesaat tapi kemudian tetap memutuskan untuk masuk.

Ruangan di balik pintu adalah tempat tinggal yang terlihat normal. Ada sofa, meja, dapur, kamar mandi, dan kamar. Memang tidak terlalu luas, tapi jauh dari kata kotor, jorok dan terbengkalai.

Ketika ada seseorang dari luar yang mengintip melalui kaca jendela atau lubang pintu, yang akan terlihat adalah sebuah ruang kosong, kotor, dan tidak terawat. Pemandang sama yang akan ditemukan di setiap ruangan dalam bangunan itu. Ilusi optik adalah cara penyamaran paling sederhana yang selalu ia andalkan, yang selalu bisa mengubah tempat persembunyiannya menjadi lebih aman.

Ruangan bersih di balik pintu memang cocok untuk ditinggali, tapi bukan tempat tinggalnya. Sebelumnya ruangan itu kotor dan penuh debu, sama sekali tidak berbeda dengan ruang-ruang lain dalam bangunan yang sama. Ia baru menyiapkan tempat itu beberapa hari lalu, mengubahnya menjadi layak huni.

Ada ruangan lain di lantai bawah yang hanya bisa dimasuki melalui tempat itu. Tuas pintu tersembunyi di kolong lemari. Ruang di lantai bawah lebih luas, lebih rapi, merupakan tempat persembunyian yang sebenarnya.

"Lama tidak berjumpa, Adiwangsa." Haidee menyapa dengan melambaikan tangan.

Firasat Adiwangsa benar. Ada yang masuk ke tempat persembunyiannya. Adiwangsa berbalik, berencana naik dan pergi tapi belum kakinya beranjak, seseorang muncul dari atas dan menodongkan senjata ke kepalanya. Orang bersenjata itu mengancam dengan menggunakan isyarat dan menyuruh Adiwangsa kembali.

"Sepertinya kamu begitu merindukanku, Haidee," Adiwangsa berbasa-basi.

Tanpa ada peringatan apa pun, Mark menyerang Adiwangsa. Kewaspadaan membuat Adiwangsa dapat menghindar dengan baik. Serangan kedua, Adiwangsa masih dapat menghindar. Serangan ketiga ia kewalahan dan perutnya berubah menjadi samsak hidup.

Mark mengubah serangan demi serangan dalam tempo cepat. Sama sekali tidak memberi kesempatan Adiwangsa untuk membalas.

Tubuh Adiwangsa terhuyung ke belakang. Hongli mendorong sebuah kursi beroda ke arah Adiwangsa dengan menggunakan kakinya. Adiwangsa terduduk tepat di kursi. Ketika ia akan beranjak untuk membalas serangan Mark, pistol Carl kembali ditodongkan ke kepalanya. Adiwangsa terpaksa patuh dan kembali duduk dengan manis.

Hongli yang sejak tadi memegang tali, mengikat tubuh Adiwangsa di kursi.

"Hati-hati, orang ini licik. Mungkin dia sudah menyiapkan jebakan untuk kita. Jadi, kalau dia bergerak sedikit saja tolong langsung tembak," Haidee mengingatkan. Mark segera mengokang senjatanya.

Adiwangsa menghela napas pasrah. "Apa yang kamu inginkan?"

"Mengajakmu bergabung."

"Kalau aku menolak?"

"Apa kamu pikir masih memiliki pilihan untuk menolak?" Haidee menaikkan alisnya.

Adiwangsa menatap Haidee tajam. Pria itu tampak angkuh kini, tahu cara menciptakan situasi dan mendominasi. Haidee yang sekarang memiliki kemampuan dan tidak lagi bisa dianggap remeh.

"Mau dengar cerita lucu mengenai kejadian tiga tahun lalu?" Haidee berkata pada teman-temannya.

"Kurasa tidak masalah untuk menghabiskan waktu."

"Ceritakan saja Haidee!"

Mark dan Hongli menyahut bergantian. Carl melipat tangannya di depan dada. Mata Adiwangsa menyipit, senyum yang tersungging di bibir Haidee membuat perasaannya tidak enak.

"Terakhir kali aku membantu memperlancar hubungannya dengan seorang wanita. Cantik dan cukup seksi, tapi yang dia lakukan justru meninggalkan wanita itu begitu saja. Membuat usahaku sia-sia." Nada bicara Haidee terdengar merendahkan.

Mark tertawa dengan sangat keras. "Bro, apa kamu masih normal? Apa kamu seorang pria?"

"Wah, baru kali ini aku bertemu dengan pria yang begitu bodoh!" Carl mencibir.

"Meninggalkan wanita cantik dan seksi begitu saja bukan hanya merusak harga dirimu, tapi juga menjatuhkan harga diri wanita itu. Aku turut berduka untuk wanita itu," Hongli menambahkan.

Mereka secara bergantian mencibir dan menertawai Adiwangsa. Mengulang-ulang kalimat yang sama, membuat Adiwangsa terlihat seperti pria yang benar-benar bodoh.

"Sial! Apa menjadi pria bak-baik itu sebuah aib? Kenapa aku menjadi sangat malu sekarang?" Adiwangsa membatin sembari menekuk wajahnya.

Sembari menunggu teman-temannya puas memperolok Adiwangsa, Haidee berkeliling. Ia memperhatikan segala hal dalam ruangan, kemudian menyadari barang-barang dan tata letaknya sama dengan tempat tinggal Adiwangsa sebelumnya. Semua sama, susunan, penempatan barang-barang di dapur, kamar, rak buku, bahkan tempat Adiwangsa bekerja dengan satu set komputer miliknya.

Haidee beralih pada kulkas dan melihat tumpukan susu kotak UHT di sana. Di dapur tidak hanya ada bumbu-bumbu dapur, tapi juga ada kopi.

Kopi? Tidak mungkin, mustahil! Seingat Haidee, Adiwangsa sama sekali bukan peminum kopi. Bahkan aromanya saja Adiwangsa tidak suka. Jadi, untuk apa Adiwangsa menyimpan kopi dalam ruangannya. Jangan-jangan...

Untuk memastikan, Haidee mengangkat stoples kopi. Takarannya masih penuh. Lebih dari itu stoples kopi bahkan masih disegel. Haidee berbalik, memperhatikan ulang segala hal yang ada di ruangan. Ia menghitung, membandingkan dengan apa yang ada dalam ingatannya.

Semua sama, benar-benar sama persis dengan apa yang ada di tempat Adiwangsa tinggal sebelumnya. Semua sama, kecuali tambahan 4 kursi yang ada dalam ruangan.

Melihat perubahan ekspresi Haidee, Adiwangsa menyeringai. Sebelumnya Adiwangsa sempat ragu karena Haidee tidak kunjung menyadari petunjuk-petunjuk yang ia tinggalkan. Tapi, meski terlambat, Haidee akhirnya sadar juga. Membuat usaha susah payah Adiwangsa tidak sia-sia.

"Kamu sudah memprediksi kedatanganku?" Haidee menatap tajam.

Senyum Adiwangsa semakin terlihat licik. "Selamat datang kembali!" katanya kemudian mengentakkan kakinya dua kali ke lantai.

Semburan asap tipis keluar dari ventilasi. Carl melepaskan tembakan tapi Adiwangsa telah mengentakkan kakinya lebih dulu untuk mendorong kursi menjauh. Kursi berbelok dan terdorong ke belakang. Peluru Carl yang bertugas melukainya pun gagal menjalankan tugas.

Kursi Adiwangsa terus terdorong ke belakang dan menabrak dinding. Mark dan Hongli telah bersiap untuk menyerang tapi mereka menjadi lemah dalam waktu yang cepat kemudian ambruk ke lantai.

Satu per satu lawan-lawannya ambruk ke lantai. Dari Hongli, Carl, Mark, dan Haidee.

Setelah lawan-lawannya ambruk, Adiwangsa mengentakkan kakinya lagi tiga kali. Asap tipis berhenti menyembur. Setelah udara dalam ruangan sepenuhnya bersih, Adiwangsa kembali bernapas dengan normal.

Tidak ingin membuang waktu, Adiwangsa mengeluarkan belati yang ia sembunyikan di balik lengan jaketnya. Perlahan ia mulai memotong tali hingga putus dan ikatannya terbuka.

Adiwangsa telah mempersiapkan semuanya dengan matang. Ia memprediksi berbagai situasi yang mungkin akan menimpanya. Ketika Adiwangsa mulai dibuntuti sebulan lalu, ia sama sekali tidak menyangka kalau semua itu ulah Haidee.

Adiwangsa sadar memiliki banyak musuh yang mungkin saja salah satunya telah berhasil mengendus keberadaannya. Adiwangsa menunggu telah menyiapkan segala macam taktik untuk menyambut penyerangnya. Tapi, orang yang diam-diam memata-matainya tidak juga kunjung bertindak. Adiwangsa kemudian mengevaluasi kembali segala situasinya dan mendapati nama Haidee Putra dalam daftar tebak-tebakannya.

Begitu selesai dengan dirinya, Adiwangsa mengikat tangan dan kaki Hongli, Mark, dan Carl kemudian menggeletakkan ketiganya begitu saja di lantai. Adiwangsa juga mengikat tangan dan kaki Haidee kemudian menariknya ke kursi yang sebelumnya digunakan untuk mengikatnya.

###

Próximo capítulo