Sesuai dugaan Adiwangsa, pelarian hari ini tidak berjalan semudah sebelumnya. Setelah berhasil mengecoh, berkelahi, dan bersembunyi, pada akhirnya mereka tetap terkepung. Haidee yang pertama kali tertangkap. Para pengejar telah belajar banyak dari kesalahan-kesalahan mereka sebelumnya.
Adiwangsa terkepung di halaman parkir dengan Haidee sebagai tawanan. Kesempatan untuk melarikan diri sangat sulit didapat tapi Adiwangsa tetap tidak berhenti berpikir dan mencari celah. Paling tidak jika ia berhasil melarikan diri, ia bisa menyusun rencana lagi untuk membebaskan Haidee. Seandainya ia juga ikut tertangkap, maka habislah semua.
Saat masih bertahan, suara sirene mobil polisi terdengar. Tampaknya ada orang yang telah memanggil polisi untuk meredakan kekacauan yang terjadi. Bagus! Proyek Rekayasa Emosi Manusia adalah proyek rahasia, mereka tidak akan berani terlibat dengan polisi atau media akan mengendus gerak-gerik mereka.
Ketika akhirnya mendapat kesempatan untuk melarikan diri, Adiwangsa melihat salah seorang dari para pengejar yang menangkap Haidee mengeluarkan suntik bius. Sebelum berhasil menyuntikan obat pada tubuh Haidee, Adiwangsa melepas dan melemparkan sepatu catsny. Tepat sasaran, mengenai kepala targetnya.
Kesempatan digunakan Haidee untuk menghajar satu orang sisanya. Ia kemudian bergabung dengan Adiwangsa dan melarikan diri. Mereka harus cepat. Jika sampai tertangkap oleh polisi, pelarian Haidee ke luar negeri malam ini akan gagal. Adiwangsa bertekad untuk menyelesaikan misinya malam ini juga.
Mereka melarikan diri dengan cara melompat dari pagar bagian samping bangunan, kemudian menuju ke tempat kendaraan Adiwangsa terparkir. Kali ini Adiwangsa telah menyembunyikan mobilnya dengan baik karena ada tas berisi data pribadi dan kelengkapan surat-surat Haidee. Ia tidak akan kecolongan seperti terakhir kali.
Sebelum lurus menuju pelabuhan, Adiwangsa menepi ke sebuah swalayan untuk membeli beberapa minuman. Ini akan menjadi terakhir kalinya ia mentraktir Haidee.
Adiwangsa akan segera mengantar Haidee meninggalkan Negara ini, ia lega karena pekerjaannya selesai. Ia akan segera kembali ke kehidupannya yang tenang dan membosankan. Kembali ke hari-harinya sebelum misi menggagalkan proyek Rekayasa Emosi Manusia datang. Kembali melanjutkan apa yang tertunda.
"Apa yang akan kamu lakukan setelah misimu selesai?" Haidee bertanya ketika mereka telah sampai di pelabuhan.
Pelabuhan terlihat sepi tanpa aktivitas yang berarti. Masih ada beberapa menit sampai kapal yang akan menyelundupkan Haidee keluar dari N Island datang. Mereka membuat janji bertemu pukul sembilan malam.
Kapal yang akan menjemput Haidee adalah jenis kapal penangkap ikan milik sebuah perusahaan. Begitu kapal telah berlayar meninggalkan batas perairan N Island, kapal akan mengganti bendera sebagai bentuk penyamaran.
"Aku? Tentu saja hidup santai dan bermalas-malasan sampai misi berikutnya datang," jawab Adiwangsa. Ia duduk di kap depan mobil sementara Haidee bersandar di depan pintu mobil.
"Apa kamu tidak berpikir untuk berhenti dari pekerjaan ini dan hidup normal?" tanya Haidee lagi.
"Aku?" Adiwangsa mengulang. Ia terlihat ragu untuk beberapa saat tapi tetap menjawab, "Aku belum menemukan apa yang kucari, jadi aku tidak bisa berhenti." Suara srot-srot yang begitu berisik menandakan kotak minuman Adiwangsa telah habis.
Haidee tidak melanjutkan pembahasan, tidak juga berencana mencari tahu kehidupan Adiwangsa lebih jauh. Setiap orang tahu apa yang harus mereka lakukan untuk melanjutkan hidup, begitu pun Adiwangsa, begitu pun dirinya.
Adiwangsa melempar kotak minumannya ke arah tempat sampah terdekat kemudian turun dari kap mobil. Kakinya hanya beralaskan sebelah sepatu. Ia tidak sempat mengambil sepatu yang ia lempar karena buru-buru melarikan diri.
"Anggap ini pesan terakhir dari kakak." Adiwangsa mengaitkan lengannya ke leher Haidee. "Fokus saja pada penyembuhanmu dan hidup dengan damai. Jangan kembali lagi ke sini, oke?" Adiwangsa menepuk bahu Haidee.
Haidee hanya menyeringai, menanggapi sikap Adiwangsa yang sok dekat. Ia tidak menjawab. Ada banyak hal yang masih belum bisa ia lepaskan.
Sebuah kapal terlihat dari kejauhan. Lampunya yang berkedip dua kali adalah tanda bahwa kapal yang datang adalah kapal yang Adiwangsa tunggu-tunggu.
Waktunya berpisah. Haidee mengambil ransel dari dalam mobil. Semua dokumen, kartu identitas, serta uang tunai yang Adiwangsa persiapkan sebagai bekal ada di sana. Tidak lupa beberapa lembar pakaian ala kadarnya.
"Aku sudah menyiapkan hadiah untukmu. Anggap itu sebagai ucapan terima kasih," kata Haidee. "Aku pergi." Haidee menepuk bahu Adiwangsa dan berlalu.
Mendengar kata 'Hadiah' yang Haidee ucapkan, Adiwangsa sama sekali tidak merasa senang atau merasa dihargai. Ia tahu Haidee bukan tipe orang yang begitu rendah hati. Sekarang justru perasaannya jadi tidak enak, seperti sebuah firasat buruk.
Adiwangsa masih berdiri di tempatnya. Ia ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri kalau Haidee menaiki kapal. Ia tidak ingin pria itu berubah pikiran dan menambah beban pekerjaannya.
"Mau bertaruh? Menurutku ini belum selesai." Seseorang keluar dari persembunyiannya begitu kapal bergerak menjauh.
Adiwangsa hanya melirik melalui sudut matanya. "Jadi Anda orang yang menelepon polisi? Tidak takut ada perpecahan internal?"
Orang yang berdiri di belakang Adiwangsa tersenyum. "Kalau saya tidak turun tangan langsung, mana mungkin polisi mau bergerak. Lagi pula semakin cepat kamu tahu siapa lawanmu, maka akan semakin baik."
Adiwangsa tidak menanggapi. Tidak tertarik dengan urusan internal orang lain. Karena hal yang ingin ia pastikan telah ia pastikan, tidak ada lagi alasan untuknya tinggal lebih lama. Waktunya menyetorkan laporan dan tidur panjang.
Adiwangsa menguap dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ia masuk ke dalam mobil dan meninggalkan orang itu sendiri.
Perjalanan pulang begitu tenang. Setelah Adiwangsa memarkirkan kendaraannya di tempat biasa, ia berjalan menuju halte. Ia menempelkan bulatan hijau yang menyatakan bahwa tugasnya telah selesai dengan sukses. Ia pulang ke rumah dengan berjalan kaki, bersiul riang sepanjang jalan.
Waktunya tidur pulas.
Ketika sampai di depan pintu rumah, tanda yang Adiwangsa tinggalkan untuk mendeteksi jika ada seorang penyusup masuk, terlepas. Adiwangsa segera teringat perkataan pria yang ia tinggalkan di pelabuhan bahwa semuanya belum selesai.
Adiwangsa masuk ke dalam rumah perlahan, pelan-pelan. Ia melepaskan sepatunya. Karena bergerak dengan sebelah sepatu, dan sebelah kaki telanjang sangat tidak nyaman.
Penyusup tidak ada di ruang 304. Adiwangsa telah memeriksa setiap sudut dalam ruangan itu.
Harusnya pintu rahasianya tidak mudah ditemukan. Adiwangsa memeriksa tanda yang ia tinggalkan di sisi rak buku, bahkan tanda itu juga bergeser dari tempatnya. Adiwangsa benar-benar harus waspada dengan siapa pun penyusup yang datang. Lawannya kali ini tidak bisa dianggap remeh.
Adiwangsa menggeser rak dan masuk melalui pintu yang ada di belakangnya. Ia meningkatkan kewaspadaannya, langkahnya tanpa suara. Adiwangsa memperhatikan setiap bagian dalam ruangan yang masih tampak sama seperti saat ia tinggalkan. Tidak ada yang berubah, tidak ada yang disentuh. Bahkan komputernya masih tetap dalam mode mati. Jelas yang sedang si penyusup incar adalah dirinya.
Langkah Adiwangsa masih perlahan, masih tanpa suara. Di kamarnya, bayangan seseorang mulai terlihat. Semakin Adiwangsa mendekat, semakin bentuk tubuh si penyusup terlihat jelas.
"Ada yang aneh," Adiwangsa membatin. Ia masih tetap berdiri di tempatnya dan mengintip dengan matanya.
Si penyusup bertubuh ramping. Kakinya telanjang tanpa alas, jenjang. Rambutnya panjang, kecokelatan, dan bergelombang. Ia mengenakan kemeja putih kebesaran, sepanjang paha, dan transparan.
"Malam," katanya dengan suara yang dimanis-maniskan.
Adiwangsa terperangah, mulutnya terbuka, dan tubuhnya mematung. Matanya tidak mampu berkedip untuk beberapa saat. Telinganya seolah tengah mendengar latar musik penuh gairah. Adiwangsa kemudian menelan ludah dan menggeleng.
"Hana, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Adiwangsa setelah akal sehatnya kembali.
"Bukannya kamu sendiri yang bilang akan kita lanjutkan kapan-kapan?" Hana masih berbicara dengan suara yang dimanis-maniskan, genit.
"Hana... apa kamu lagi mabuk?"
"Zen Adnan!" Hana membentak. Berhenti bersikap genit dan bersuara manis.
Hana mendekat ke arah Adiwangsa dengan langkah cepat, sementara Adiwangsa mundur memberi jarak. Adiwangsa bergerak secepat langkah Hana mendekat. Ia bahkan merentangkan tangannya sebagai isyarat agar Hana berhenti.
"Zen Adnan, aku sudah menurunkan harga diriku untuk memulai lebih dulu tapi kamu membuatku merasa seperti orang bodoh dan malu. Berhenti berpura-pura. Apa kamu bukan pria?!"
"Enak saja!" tepis Adiwangsa tidak terima.
"Kalau begitu buktikan!"
Adiwangsa memperhatikan Hana lekat. Tatapan matanya mulai melunak, tampaknya ia mulai tergoda. Hening. Adiwangsa tengah berdebat sengit dengan bagian dirinya yang lain, logikanya rontok. Ia telah membuat keputusan, tapi kemudian ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
Adiwangsa bisa saja menganggap ini cinta satu malam, tapi bagaimana caranya ia menjamin hubungan satu malamnya akan selesai hanya dengan satu malam. Bagaimana jika ia terjerumus dan lahir malam-malam selanjutnya.
"Hana, kamu tahu aku siapa?"
Hana mengangguk, "Mata-mata tapi aku tidak peduli," katanya tak acuh.
Adiwangsa menghela napas. "Kamu tahu kalau pekerjaanku penuh risiko dan berbahaya. Memilih tetap di sisiku juga akan menjerumuskanmu dalam bahaya."
"Aku tahu dan aku tidak peduli!" ulang Hana tegas.
Jatuh cinta memang merepotkan, tapi menghadapi wanita yang sedang jatuh cinta 100 kali lebih merepotkan.
"Bagaimana kalau kita kabur saja? Kita tinggalkan Negara ini, juga jangan kembali ke negaramu. Dunia sangat luas. Kita pasti bisa menemukan tempat untuk kita berdua." Hana berseru antusias.
"Kita akan dicap sebagai penghianat negara."
"Sekali lagi, aku-tidak-peduli!" kata Hana untuk yang ketiga kalinya. "Kita berdua saja sudah cukup."
Adiwangsa sungguh frustrasi. Tampaknya Hana benar-benar telah menonton terlalu banyak drama romantis. Tidak heran kalau wanita itu sering dipermainkan oleh pria.
"Aku tidak bisa." Adiwangsa menggeleng. "Mungkin untukmu tidak ada yang kamu pedulikan, tapi aku ada..."
"Zen..." Hana mulai merengek.
"Stop!" Adiwangsa menolak dengan tegas. "Dunia kita sungguh berbeda Hana. Sekarang, silakan pergi!"
"Tidak!" Hana duduk di lantai.
Menghadapi satu orang seperti Hana benar-benar membuat Adiwangsa frustrasi, setres. Ia mengacak-acak rambutnya. "Terserah! Kalau begitu aku yang pergi."
"Aku tidak peduli! Aku akan menunggumu di sini!" pekik Hana.
Adiwangsa keluar dari pintu yang berbeda. Pintu yang benar karena ia kini ada di balik pintu ruang 303. Sebelum pergi ia menekan sebuah tombol yang mengakibatkan bubuk bius memenuhi udara.
Sekilas ruang 303 terlihat luas dan kosong. Sebenarnya jika dijelajahi, luas ruangan tidak lebih dari lima langkah. Kesan luas yang terlihat berasal dari ilusi optik. Kaca-kaca memenuhi bagian lain dinding sehingga memantulkan gambaran yang tidak nyata. Ruangan sebenarnya ada di balik dinding. Tempat di mana Adiwangsa tinggal.
"Wanita itu benar-benar sesuatu." Adiwangsa berkata setelah mengunci pintu. Sekarang Adiwangsa paham maksud 'Hadiah' yang Haidee katakan dan firasat buruk yang ia rasakan.
Memikirkan lagi penampilan Hana, wajahnya, suaranya, caranya menggoda, pikiran Adiwangsa dipenuhi hal-hal kotor. Dipikirkan lagi sekarang membuatnya ragu pada dirinya sendiri.
"Sial, dia benar-benar seksi!" Adiwangsa mengumpat. Terlebih menyayangkan kesempatan yang ia lewatkan. "Apa aku lakukan saja, ya? Toh dia yang minta dan bukan aku yang memaksa," katanya mulai mempertimbangkan.
Adiwangsa kembali berbalik. Ia sudah memegang gagang pintu, tapi tangannya kemudian berhenti.
"Ah, tidak-tidak!" Adiwangsa menepuk-nepuk wajahnya. "Memangnya aku laki-laki yang mudah digoda," tambahnya beranjak pergi, tidak ingin lagi menoleh ke belakang.
Tidak ada hal khusus yang Adiwangsa lakukan di luar karena sejak awal rencananya setelah pulang adalah tidur pulas. Ia hanya berkeliling, mondar-mandir.
Tiga puluh menit kemudian, Adiwangsa kembali. Obat bius telah bekerja dan selama 12 jam penuh korbannya tidak akan bisa bangun. Adiwangsa menyelimuti tubuh Hana dan mengangkatnya untuk mengantar pulang.
Sangat disayangkan melepaskan Hana begitu saja, tapi apa yang Adiwangsa cari belum ia temukan. Hidup Hana juga terlalu berharga untuk dilalui penuh marabahaya.
"Sebenarnya aku ingin memintamu untuk menungguku." Kendaraan Adiwangsa telah menepi. Ia duduk menghadap Hana. Wanita itu benar-benar cantik, begitu pun saat tertidur. "Tapi apa kira-kira kamu akan menungguku? Aku bahkan tidak bisa menjanjikanmu waktu. Aku bahkan tidak tahu apa keputusanku ini benar."
Adiwangsa tersenyum samar. Ia memutuskan tinggal di dalam mobil sedikit lebih lama. Juga menikmati kebersamaannya dengan Hana sedikit lebih lama.
Keesokan harinya ketika Hana telah sadar dan kembali ke apartemen tempat Adiwangsa tinggal, tidak ada siapa-siapa di sana. Bahkan jejak seseorang pernah tinggal dalam waktu lama pun telah dihapus. Pemilik apartemen yang ditanya tidak tahu apa-apa. Bersikeras untuk membisu.
Hana mengumpat kesal, berteriak marah.
Di lain hari, dua hari setelah puas bermalas-malasan dan tidur sepanjang hari, Adiwangsa pulang ke Indonesia. Ia pulang tanpa memberi kabar, bahkan tanpa persiapan. Sebenarnya Adiwangsa tidak berencana pulang secepat ini, tapi keinginan menuntunnya.
Rumahnya masih sama. Tanahnya tidak luas, tapi bangunannya menjulang dengan angkuh. Adiwangsa berjalan dan masuk dengan cara memanjat gerbang yang tertutup tanpa penjaga. Ia masuk. Tujuannya adalah ruang di lantai dua, dan targetnya adalah bertemu ibu.
"Aden sudah pulang?"
Seorang pengurus rumah menyapa tapi Adiwangsa hanya berlalu begitu saja. Tidak ada senyum sama sekali di wajahnya. Dengan susah payah ia berusaha menguatkan hati.
Ruangan kerja di lantai dua terletak tepat di depan tangga. Ketika Adiwangsa memburu masuk tanpa permisi, ibu sedang sibuk dengan setumpuk laporan di mejanya.
"Aku pulang," kata Adiwangsa.
Ratu Khalisa mengangkat wajah, mengalihkan perhatian dari pekerjaannya. Tatapannya angkuh layaknya seorang ratu, kuat, penuh karisma.
"Apa Ibu yang memaksa Ayah bunuh diri?"
Pertanyaan Adiwangsa yang tiba-tiba segera mengubah ekspresi Ratu Khalisa. Sudut bibirnya ia tarik mengatup rapat, tatapannya lurus menembus ke dalam mata anaknya.
"Tidak perlu Ibu jawab." Sebuah suara menyahut. Adiwangsa mengalihkan pandangannya pada sumber suara, adiknya.
Adiraja melangkah masuk. Ia telah tumbuh menjadi sangat tinggi dibanding saat terakhir Adiwangsa ingat. Penampilannya bersih, rambutnya disisir rapi. Wajahnya tampan dengan kulit putih.
Adiraja menatap tajam ke arah kakaknya. Masih tidak suka Adiwangsa mengungkit masa lalu.
###