"Sebelum pergi, aku ingin kamu menyelidiki seseorang." Haidee berkata setelah identitas dan surat-suratnya selesai.
"Kalau aku menolak?"
"Aku tidak akan pergi."
"Aku akan membunuhmu!" Adiwangsa mengancam. Ia menarik pistol dan mengarahkannya pada Haidee.
"Tidak akan mudah membunuhku." Haidee menyeringai wajahnya benar-benar mengisyaratkan tantangan kamu-boleh-mencoba-kalau-kamu-tidak-percaya.
Adiwangsa menatap tajam. Haidee benar-benar telah bertekad, anak itu sungguh keras kepala. Adiwangsa memilih mengalah. Ia menghela napas dan berjalan ke arah meja kerjanya, menarik laci, dan mengambil beberapa lembar kertas.
"Ini tentang wanita bernama Yumi Zahrani, kan?" Adiwangsa melemparkan kertas di tangannya. Ia sudah lama menyelidiki wanita itu. "Jatuh cinta benar-benar merepotkan," katanya kemudian meninggalkan Haidee sendiri.
***
Orang-orang yang selalu Haidee rindukan setelah ia bangun dari tidur panjangnya tentu saja keluarganya, orang-orang panti. Harusnya mereka bertemu dan merayakan keberhasilannya masuk sekolah kepolisian. Harusnya hidupnya baik-bak saja dan berbahagia. Harusnya.
Seandainya kecelakaan itu tidak menimpa Haidee, seandainya ia tidak koma, dan seandainya orang-orang itu tidak mengendus keberadaannya yang tanpa daya. Haidee ingin sekali bisa memutar waktu. Ingin kembali ke saat-saat semuanya baik-baik saja.
Haidee menatap dari kejauhan panti tempatnya tumbuh. Haidee nyaris tidak lagi mengenali tempat itu karena semuanya telah berubah. Benar-benar berubah. Hanya nama dan letaknya yang sama sekali tidak tersentuh perubahan.
Setelah orang-orang dari proyek Rekayasa Emosi Manusia mengambil alih perawatannya, panti menerima donasi dalam jumlah yang cukup besar secara berkala. Panti kemudian melakukan renovasi secara besar-besaran. Mereka tidak akan kekurangan lagi dan Haidee tidak perlu mengirim diam-diam lagi.
Memikirkan bahwa dirinya telah dijual membuat Haidee merasa sakit. Ternyata selama ini hanya dirinya saja yang merasa bahwa mereka adalah keluarga. Hanya dirinya yang merasa dicintai.
Haidee merasa marah, merasa dikhianati. Ia tidak akan menuntut atau melakukan pembalasan. Utang budi yang tidak akan pernah bisa Haidee bayar seumur hidup atas perawatan mereka telah lunas. Mereka tidak akan saling berutang lagi satu sama lain.
Di salah satu ruangan dalam panti di lantai dua, seorang wanita tua duduk di kursi goyang. Kepala panti. Ia sedang memperhatikan kertas-kertas bergambar yang anak-anak panti berikan padanya sebagai hadiah. Sesekali suara batuk terdengar dan menjadi lebih sering karena angin yang masuk melalui jendela yang terbuka lebar membuat suhu ruangan lebih dingin.
Haidee melangkah masuk ke dalam ruangan yang pintunya tidak tertutup. Ia melewati wanita tua itu, menutup jendela, kemudian mengambil selimut yang ada di punggung sofa dan meletakkannya di bahu kepala panti.
Kepala panti mengangkat wajahnya. Ia menaikkan kaca mata bacanya dan begitu terkejut melihat wajah siapa yang berada di depannya. "Haidee," katanya dengan suara parau.
"Ibu." Haidee berjongkok. Ia menyejajari wanita yang ia panggil ibu.
Kepala panti menyentuh wajah Haidee. Ia tersenyum dan merasa senang. Binar-binar matanya menunjukkan kebahagiaan. Senyumnya benar-benar tulus, penuh cinta. Bagaimanapun Haidee melihat, tidak ada kepalsuan yang bisa ia dapatkan di sana.
Perasaan Haidee meluruh dan semakin bercampur aduk. Ia pandangi wajah wanita yang ada di depannya. Keriput telah terlihat di mana-mana, tubuhnya renta, dan mudah terserang penyakit. Haidee sungguh mengasihinya, sungguh merindukannya.
"Apa kamu baik-bak saja? Apa luka-lukamu sudah sembuh?" Seolah baru teringat apa yang telah menimpa Haidee, wanita itu bertanya memburu.
Haidee menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Mereka memperlakukanku dengan buruk, mereka menyakitiku, membuatku dipenuhi duka." Haidee mengadu layaknya seorang anak yang butuh pembelaan, yang butuh perlindungan.
"Oh, anakku!" Kepala panti terisak dan memeluk Haidee.
Haidee ikut menangis, semakin terluka, semakin tidak bisa membenci. Ketika Haidee mengalihkan pandangannya, ia melihat ponsel yang diimpit di sisi paling kanan sedang menerima panggilan.
Untuk kedua kalinya Haidee merasa dikhianati.
"Apa aku sama sekali tidak ada artinya untuk Ibu?" Haidee melepaskan pelukannya. "Mereka benar-benar memperlakukanku dengan buruk." Air mata Haidee tumpah lagi.
"Mereka bilang itu yang terbaik untukmu. Demi negara..."
Haidee menggeleng, kemudian berdiri dari jongkoknya untuk menjauhkan diri. "Aku tidak akan menuntut kalian untuk mengerti. Mulai hari ini kita tidak saling berutang lagi. Jaga baik-biak kesehatan ibu, selamat tinggal."
Haidee tidak ingin mendengarkan alasan lagi, tidak sanggup. Ia pergi meninggalkan wanita tua itu tanpa mendengarkan seluruh penjelasannya, pergi meninggalkan panti. Haidee tidak akan kembali lagi. Ia tidak akan bisa pulang setelah tahu tempat itu bukan rumahnya, setelah tahu orang-orang yang ia kasihi sama sekali tidak menganggapnya keluarga.
Setelah bangun dari tidur panjang selama tujuh tahun, Haidee sadar tubuhnya dijadikan objek penelitian oleh negaranya. Ia akhirnya bisa bebas dari lab. tapi segera akan kehilangan kewarasannya. Sesuatu yang kemungkinan adalah efek samping penelitian mulai menghantuinya. Kemudian ia kehilangan keluarga, kehilangan rumah untuk pulang. Haidee benar-benar sendiri, benar-benar sebatang kara.
Kehidupan Haidee telah dijungkir balikkan oleh takdir. Semua hal yang sebelumnya ia miliki tidak hanya diambil dengan cara yang menyakitkan tapi berakhir dengan tidak lagi memiliki kendali atas dirinya. Rasa sakit, marah, dan perasaan kehilangan yang menghantui dalam mimpinya pun menjelma nyata.
Haidee menghapus air matanya. Berhenti menangis dan berhenti menjadi cengeng. Ia hanya akan terlihat menyedihkan jika terus meratap. Ia merogoh saku jaketnya, sebuah alamat tertulis dalam kertas yang ia robek sembarangan. Tempat itu akan menjadi tempat terakhir yang ia tuju. Tempat untuk menetapkan hati.
***
Di sebuah ruang rawat, seorang anak berusia 3 tahun terbaring dengan mata terpejam. Infus dan alat bantu pernapasan terpasang di tubuhnya yang mungil. Bocah itu telah berbaring di sana lebih lama dari separuh usianya.
Ketika lahir, dokter telah mengatakan bahwa anak itu mengalami kelainan genetik yang langka. Paling lama hanya akan bertahan sampai usia satu tahun. Sayangnya belum sampai satu tahun, anak itu sudah tidak lagi sadarkan diri. Sampai hari ini, detik ini.
Orang tua si anak tidak ingin menyerah. Meski ilmu kedokteran belum bisa menyebutkan dengan pasti penyakit apa yang menggerogoti buah hati mereka, juga belum menemukan metode pengobatan yang tepat. Karena tidak banyak penyakit sejenis ditemukan, tidak banyak juga yang bisa dijadikan acuan. Bukankah karena ilmu kedokteran terus melakukan riset dan kajian artinya masih akan ada harapan. Mungkin suatu hari nanti anak mereka akan bangun dengan sendirinya. Mungkin suatu hari nanti saat ilmu kedokteran semakin berkembang pesat, cara pengobatan akan ditemukan.
Dengan memegang sedikit harapan yang masih tersisa, kedua orang tua anak itu memutuskan untuk bertahan. Untuk tetap menjaga buah hati mereka.
Tapi harapan adalah sebuah pedang bermata dua. Satu sisi dapat membangkitkan tekad dan semangat, sisi yang lainnya mampu melukai dan menciptakan rasa sakit. Semakin harapan itu digenggam, semakin pengharapan melambung tinggi, dan semakin dalam luka menorehkan dukanya.
Memiliki harapan adalah melelahkan, tapi tidak berharap justru tidak memiliki apa-apa.
Tidak tahu harus berharap sampai kapan membuat hubungan yang seharusnya saling menguatkan dan mendukung, menjadi berjarak, menjauh, dan akhirnya berpisah. Salah seorang dari mereka merasa lelah, merasa tidak mampu lagi memikul pengharapan yang tidak ada habisnya.
Setelah salah satu dari mereka pergi, tinggal satu orang sendiri. Tetap bersikeras memegang harapan yang ia punya. Tetap bersikeras tidak menyerah, tidak ingin kalah. Satu orang yang tersisa adalah Yumi Zahrani.
Yumi memasuki ruang rawat anaknya. Ia mengambil ember kecil, mengisi dengan air hangat. Dengan handuk ia mulai membersihkan tubuh anaknya. Ia bercerita singkat tentang cuaca hari ini dan apa hal menarik yang baru saja ia temui. Setelah tidak ada lagi yang bisa ia ceritakan, Yumi bersenandung pelan. Suaranya merdu, lembut. Lagu yang ia senandungkan mampu memberikan kekuatan teruntuk dirinya sendiri dan orang yang ikut mendengarkan.
Di dalam ruangan itu tidak hanya ada Yumi dan putranya. Ada orang lain di sana. Bersembunyi di balik tirai jendela. Ia telah berada di sana satu jam sebelum Yumi datang. Haidee Putra.
Lagu yang Yumi senandungkan terdengar tidak asing. Haidee merasa pernah mendengarnya. Semakin Haidee mendengarkan, semakin ia yakin.
Ini adalah suara yang Haidee dengar dalam mimpinya. Ini adalah suara yang memberinya kekuatan saat ia merasa begitu lelah. Suara ini yang menghiburnya saat kesedihan dan amarah menggerogoti perasaannya. Suara ini yang mendorongnya, yang membuatnya mampu bertahan dari lembah keputusasaan.
"Ternyata benar kamu orangnya." Haidee keluar dari persembunyiannya.
###