Profesor Rekson kembali saat kejar-mengejar Adiwangsa berada di sesi paling seru. Profesor sendiri sama sekali tidak tertarik dengan tikus penyusup itu. Tujuan kedatangan si penyusup jelas untuk mendapatkan Objek. Jadi, jika Objek 011 masih aman berada dalam ruangan, otomatis tujuan kedatangan penyusup gagal.
Profesor datang dengan membawa beberapa teknisi dari perusahaan lain. Begitu cadangan listrik telah dikembalikan, Generator set telah diperbaiki, arus listrik kembali mengalir dan kegelapan berakhir.
Langkah kaki Profesor bergegas menuju ruang khusus. Ia berjalan dengan cepat dan terburu-buru. Ketua dan wakil lab. mengikuti, disusul oleh Kun dan Lukas.
Begitu pintu dibuka dan tidak ada siapa pun dalam ruangan, wajah Profesor merah padam. Tatapannya tertuju pada meja dan lubang angin yang kisi-kisinya tergeletak di lantai.
"Sekarang bagaimana?" Wakil Ketua yang pertama kali mengeluarkan suara. Ia berbicara pada Ketua lab. tapi suaranya jelas menyindir Profesor. "Lab. kita pasti tamat kalau sampai media mengendus kejadian ini."
"Profesor Rekson," Ketua lab. akhirnya ikut berbicara "Sepertinya sekarang Anda sudah semakin arogan. Bukankah tadi Anda bilang akan mengatasi masalah ini sendiri? Sekarang, hasilnya apa?"
Profesor tidak menyahut. Ia hanya menundukkan kepalanya. Ia tahu hal ini terjadi memang karena kesalahannya, keteledorannya.
Ketua lab. menghela napas. "Sepertinya saya harus berbicara pada Menteri Riset secara langsung, juga menyiapkan konferensi pers dan menjelaskan situasinya sebelum media yang lebih dulu bertanya."
"Saya akan mempersiapkan perihal konferensi persnya," Wakil Ketua menyahut.
"Profesor, tolong jangan diulangi lagi kejadian seperti ini," Ketua lab. berkata sinis.
"Baik," jawab Profesor masih menundukkan kepala. Kedua tangannya mengepal erat.
Ketua lab. pergi dan wakilnya mengekor dengan patuh. Ada banyak hal yang harus mereka lakukan setelah ini.
Tangan Profesor masih mengepal. Sampai di suatu titik, ia menghantamkan tinjunya pada kaca tebal ruang khusus. Kemarahannya sebesar kekuatannya tapi kaca itu tetap bergeming. Seandainya itu kaca biasa, jelas kaca itu sudah pecah menjadi beberapa keping bagian, jelas akan ikut merobek kulit tangannya.
Kun dan Lukas masih berdiri di belakang Profesor, keduanya begitu terkejut. Profesor kebanggaan mereka yang biasanya begitu tenang dan bisa mengendalikan setiap situasi kini terpojok. Kun dan Lukas yang awalnya ingin menyampaikan beberapa laporan hanya bisa mengunci rapat mulut mereka.
Profesor Rekson memejamkan matanya, menarik napas panjang, dan mengembuskannya sekaligus. "Tugaskan beberapa orang untuk mencari. Tidak perlu dalam jumlah besar karena kita tidak boleh menarik perhatian. Mulai saat ini kita harus semakin berhati-hati."
"Saya akan pergi memilih beberapa orang yang kooperatif." Lukas menawarkan diri.
Profesor mengangguk setuju dengan cepat. "Setelah Objek berhasil ditemukan, jangan ada tindakan. Awasi saja dan laporkan pada saya."
"Baik." Lukas mengangguk patuh dan pergi dengan berlari.
Kun maju selangkah. "Profesor, Anda baik-baik saja?" tanyanya tidak bisa merasa tidak khawatir.
Profesor hanya mengangguk. Ia memang sedang tidak baik-baik saja, tapi ia tidak boleh begitu larut dengan suasana hatinya yang buruk atau segalanya akan menjadi semakin buruk. Pikirannya harus tetap jernih dan otaknya harus tetap fokus bekerja. Tanggung jawab yang ada di pundaknya benar-benar besar. Semua berkaitan dengan masa depan N Island dan kejayaan sebuah teknologi
"Ada laporan terbaru?" tanya Profesor pada Kun.
Kun mengangguk. Ia mendekat selangkah lagi. "Obat itu telah berhasil diekstrak. Setelah diteliti ternyata bahan bakunya berasal dari tumbuhan yang hanya hidup di dalam pegunungan Indonesia.
"Indonesia?"
"Lima tahun lalu tim ekspedisi flora dari Australia adalah peneliti yang pertama kali menemukan jenis tanaman itu. Awalnya Australia berencana mengembangbiakkan tanaman itu di negaranya, tapi tanaman itu tidak bisa dibawa keluar dari pegunungan tempatnya tumbuh. Menurut hasil riset, tanah yang bermineral tinggi adalah penyebabnya.
Profesor mengangguk-anggukan kepalanya mendengar penjelasan Kun. "Jadi penyusup itu berasal dari Indonesia?" tambahnya bergumam.
"Indonesia sebelumnya tidak pernah begitu agresif. Kemungkinan ini adalah aksi balas dendam, mengingat mata-mata Negara kita pernah mengacaukan eksperimen mereka 10 tahun lalu," duga Kun.
Profesor mengangguk setuju. Dugaan Kun cukup masuk akal. Indonesia adalah Negara maju yang dinobatkan menjadi Negara adidaya selanjutnya. Cukup beralasan jika aksi mereka disebut balas dendam sekaligus peringatan, 'Apa yang negaramu lakukan, kami bisa kembalikan dua kali lebih buruk.'
"Kita tinggalkan saja masalah penyusup itu. Arata Baswara telah mengutus asistennya untuk menyelidiki masalah itu."
"Baik."
"Kalau sudah tidak ada apa-apa lagi kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu."
Kun mengangguk dan undur diri.
Profesor memperhatikan ruangan yang sebelumnya digunakan untuk mengurung Objek 011. Ia pandangi dari sudut ke sudut, dari ranjang, sampai lubang angin yang terbuka. Setelah puas melihat-lihat, Profesor menutup pintu dan kembali ke ruangannya.
Ruangan Profesor gelap dan ia biarkan tetap gelap. Profesor melepas jubah putih yang ia kenakan dan menggantungnya. Ia kemudian menjatuhkan diri di atas kursi. Di tempat yang gelap, tenang, dan hanya ada ia seorang diri, Profesor tidak lagi bisa berpura-pura kuat. Ia mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Keletihan terlihat jelas di wajahnya yang semakin menua.
Foto keluarga dalam sebuah pigura berdiri di atas meja kerjanya. Ada Profesor, anak perempuan yang lucu, dan istrinya yang cantik. Foto itu diambil 15 tahun lalu.
Profesor menatap foto keluarganya lekat. Tatapannya dipenuhi luka dan kesedihan. Kerinduan yang sangat terhadap dua orang yang paling ia cintai memenuhi dadanya. Profesor menyembunyikan wajahnya di balik lipatan lengan di atas meja. Bahunya terlihat begitu rapuh. Tidak lama kemudian, bahu itu bergetar.
Profesor adalah orang yang sangat berdedikasi pada pekerjaannya, pada ilmu pengetahuan. Sebelum ditarik untuk bekerja pada Pemerintah, Profesor adalah seorang pengajar di sebuah universitas Swasta. Profesor sangat tertarik dengan ide proyek Rekayasa Emosi Manusia sehingga tidak ada alasan untuk menolak bergabung.
Bagi Profesor, ilmu pengetahuan adalah tingkat tertinggi dari segala peradaban. Tanpa ilmu pengetahuan, tidak ada kemajuan, tidak ada keunggulan. Manusia akan menjadi makhluk terbelakang, akan musnah.
Profesor menikah di usia 25 tahun. Ketika itu ia adalah pria paling berbahagia di dunia. Setelah satu tahun menikah, mereka memiliki gadis kecil yang lucu dan lincah. Pulang ke rumah selepas selesai bekerja menjadi hal yang paling Profesor tunggu-tunggu.
Karier yang cemerlang, keluarga yang harmonis dan penuh cinta, Profesor merasa hidupnya dikelilingi keberuntungan. Tapi kemudian, dunianya berputar dengan cepat. Istri dan anaknya meninggal dalam kecelakaan. Pelakunya adalah seorang pemuda mabuk yang menyetir dengan ugal-ugalan.
Polisi memproses kasus dengan cepat. Ketika penangkapan akan dilakukan, orang tua pemuda itu telah mengirim anaknya kembali ke negaranya.
Orang tua pemuda itu adalah seorang pebisnis, mereka datang ke N Island selain untuk memperluas ekspansi perusahaan, mereka sekeluarga juga datang untuk berlibur.
N Island adalah Negara yang masih begitu muda kala itu. Masih belum terlibat perjanjian ekstradisi dengan banyak negara. Jalur diplomasi dan pendekatan yang digunakan terhadap Negara asal pelaku tidak memberikan hasil apa pun.
Kasus itu begitu menggemparkan pada zamannya. Masyarakat melakukan protes keras sampai akhirnya perjanjian kerja sama yang seharunya disetujui pun dibatalkan. Seruan boikot pun datang dari berbagai kalangan.
Profesor benar-benar merasa bersalah. Seandainya malam itu ia datang tepat waktu, istri dan anaknya tidak akan turun ke jalan, dan mencari taksi. Seandainya Negara mereka sudah cukup kuat, pelaku pasti sudah ditangkap dan diadili.
Yang Profesor lakukan kemudian membenamkan diri dalam pekerjaan. Sepanjang waktu, sepanjang minggu, sepanjang tahun. Semua telah berlalu selama lebih dari sepuluh tahun tapi hatinya tetap masih berduka. Rasanya seperti ia belum mendapat pengampunan. Kerja kerasnya masih belum mampu menghasilkan apa pun.
12 tahun adalah waktu yang panjang. Ia telah menua. Kadang ia merasa begitu kesepian sampai rasanya akan mati. Ia merasa jiwanya begitu kosong.
Profesor terus membenamkan diri dalam pekerjaan, tapi bahkan pekerjaan yang ia curahkan seluruh hidupnya di sana sama sekali tidak mampu memberikan apa yang ia inginkan, tidak mampu mengabulkan harapan-harapannya. Ia hanya ingin keberhasilan, tapi Tuhan bahkan tidak memberikan hal terakhir yang ia inginkan.
Pekerjaan adalah satu-satunya yang Profesor Rekson miliki. Tidak dapat dipungkiri kalau ada bagian kehidupan yang ia input ke dalam mimpi Objek 011 mengenai dirinya.
Profesor saat kecil juga sering diintimidasi. Orang tuanya memiliki kewarganegaraan yang berbeda, dan menjadi minoritas berarti tidak sama. Meski lahir di Negara yang sama, memiliki kartu identitas yang sama, dan sama-sama membayar pajak, sekali berbeda maka selamanya tidak akan pernah sama.
Semakin dewasa semakin Profesor tidak lagi pernah memikirkan identitas dan asal-usulnya. Toh, ia telah melakukan pengabdian yang lebih dibanding banyak orang yang pernah merendahkannya. Toh, kecintaannya terhadap N Island telah terbukti dibanding banyak orang yang juga mengaku cinta.
Profesor menikah di usia 25 tahun dan kehilangan keluarga yang merupakan seluruh hidupnya di usia 28 tahun. Harusnya ia berkesempatan memulai hidup baru dan berbahagia, tapi lukanya tak kunjung sembuh dan rasa sakitnya tidak juga mereda.
Profesor adalah orang yang paling mengerti bagaimana dukanya, rasa sakit, perasaan putus asa, dan ingin menyerah. Tapi Profesor yang seharusnya paling mengerti justru menanamkan perasaan-perasaan yang sama ke dalam mimpi Haidee, terus menaikkan tingkat duka dan rasa sakitnya. Berulang, selama tujuh tahun.
Orang yang pernah merasakan hal yang sama seharusnya adalah orang yang paling mengerti. Harusnya...
###