webnovel

Mencari Erdie Vio

BAB 24

Ternyata Erick Vildy juga bertemu dengan seorang jenderal yang bertugas menjaga jembatan penyeberangan yang terdapat pada persimpangan enam jalur reinkarnasi. Begitu melihat sinar merah berkelabat dari bola mata Erick Vildy, sang jenderal penjaga langsung bersujud memberi hormat.

"Hormat saya pada Bintang Merah…" kata si jenderal penjaga.

"Berdirilah… Berdirilah…" kata Erick Vildy segera memberdirikan sang jenderal penjaga. Dia tidak menyangka di persimpangan enam jalur reinkarnasi seperti ini, tiga bintang kemujuran sungguh disegani dan dihormati. "Aku tidak sehebat itu. Aku kebetulan hanya dititipkan bintang merah oleh Dewa Perak dan Dewi Ruby yang ada di alam dewa sana."

"Ya… Siapa pun yang dipercayakan untuk menjaga atau dititipkan tiga bintang kemujuran tetap harus kami hormati, Tuan. Lihat… Dengan kekuatan dari Bintang Merah, makhluk-makhluk yang tidak berbaju itu, sudah ada sebagian dari mereka mulai mengenakan baju cokelat dan bahkan ada yang mulai mengenakan baju warna-warni."

"Apakah… Apakah… Apakah warna baju mereka menentukan ke mana mereka akan dilahirkan?" tanya Erick Vildy lagi.

Baru saja si jenderal penjaga ingin membuka mulutnya menjelaskan, mendadak dia melihat Bintang Kuning berdiri di belakang Bintang Merah. Spontan dia segera bersujud dan memberi hormat.

"Hormat saya pada Bintang Kuning…"

"Berdirilah… Berdirilah… Jangan sungkan… Jangan sungkan… Aku tidak sehebat itu," kata Erwie Vincent memberdirikan sang jenderal penjaga.

"Wie…! Wie…! Wie…! Kau ada di sini rupanya. Akhirnya aku menemukanmu… Akhirnya aku menemukanmu…" kata Erick Vildy serta-merta meraih adik pertamanya ke dalam pelukan. Beberapa tetes air mata keharuan mengalir turun dan membasahi baju tidur Erwie Vincent yang berwarna kuning.

"Aku baik-baik saja, Rick… Kau sendiri bagaimana? Kau baik-baik saja?" tanya Erwie Vincent melihat saudara sulungnya dari kepala hingga jari kaki. "Racun itu sudah tidak ada di tubuhmu lagi kan?"

"Sepertinya tidak ada lagi, Wie. Aku ingat aku sudah habis begitu racun itu mencapai klimaks. Aku ingat aku terlelap dalam sebuah tidur yang panjang. Begitu sadar, aku sudah berada di sini. Aku kira aku sudah mati. Aku ikut dalam barisan orang-orang yang berbaju cokelat itu. Kata jenderal penjaga ini, aku tidak ada dalam daftar nama mereka. Itu berarti aku masih hidup bukan?" kata Erick Vildy memberikan sedikit penjelasan.

"Aku juga merasa aku sudah tamat. Begitu ular-ular hitam siluman jahat itu menembus badanku, aku juga merasa aku terlelap dalam sebuah tidur yang panjang. Begitu tersadarkan, aku sudah berada di sini. Namun, aku masih mengenakan pakaian tidur yang terakhir kali aku kenakan. Seharusnya aku belum mati kan?" kata Erwie Vincent dengan senyuman santainya.

"Aku rasa ada seseorang di alam manusia sana yang merebut tiga bintang kemujuran kita dari tangan Siluman Batu Hitam itu dan mengembalikannya ke tubuh kita. Entah siapa itu ya…" Erick Vildy tampak menekur.

"Aku rasa juga begitu. Sekarang bagaimana kita menemukan Die Die dan kembali ke alam kita? Jika kita belum mati, tentu saja tak satu pun dari enam jalur itu bisa kita lalui untuk kembali ke alam kita bukan?" Erwie Vincent juga tampak menekur.

"Oh ya… Tadi kau belum menjelaskan masing-masing enam jalur ini akan membawa mereka ke mana, Jenderal?" tanya Erick Vildy berpaling kembali ke si jenderal penjaga.

"Yang tidak berbaju itu akan menuju ke alam neraka, karena perbuatan jahat mereka dan karena kebencian mereka semasa hidup. Yang berbaju hitam menuju ke alam binatang karena energi kebodohan mereka. Yang berbaju abu-abu dan berbaju cokelat akan menuju ke alam setan dan alam jin karena energi keserakahan dan kebencian mereka juga. Yang baju warna-warni akan dilahirkan kembali ke alam manusia. Yang berbaju putih akan dilahirkan ke alam dewa. Begitulah, Bintang Merah, Bintang Kuning… Semuanya akan membawa karma masing-masing dan meneruskannya ke kehidupan yang akan datang sesuai dengan energi karma masing-masing," kata sang jenderal sedikit membungkukkan badannya.

"Nah, Bintang Merah bisa menetralisir energi kebencian di alam semesta ini. Makhluk-makhluk yang tidak berbaju itu sudah ada sebagian yang mengenakan baju abu-abu atau cokelat, dan yang mengenakan baju cokelat sudah ada sebagian yang mengenakan baju warna-warni. Di lain pihak, Bintang Kuning bisa menetralisir energi kebodohan di alam semesta ini. Makhluk-makhluk yang berbaju hitam itu sudah ada sebagian yang mengenakan baju cokelat dan sudah ada sebagian lain yang mengenakan baju warna-warni. Lihatlah di sana…" kata sang jenderal penjaga menunjuk ke persimpangan enam jalur reinkarnasi yang ada di depan Erick Vildy dan Erwie Vincent.

"Memangnya, apa yang menanti mereka di ujung dari masing-masing enam jalur ini, Jenderal?" tanya Erwie Vincent lemah lembut nan santai.

"Akan ada jembatan penyeberangan seperti ini juga," kata sang jenderal penjaga menunjuk ke jembatan tempat mereka berdiri saat itu, "Setelah itu, akan ada pengadilan-pengadilan yang mengadili dan memutuskan hukuman mereka dan ke mana mereka akan dilahirkan. Di pengadilan akhir, sesudah diputuskan ke mana mereka akan dilahirkan kembali, secara otomatis tubuh mereka akan berubah menjadi seberkas cahaya sesuai dengan warna baju mereka masing-masing dan akan langsung bergerak ke alam mereka yang berikutnya. Begitulah, Bintang Merah, Bintang Kuning…" kata sang jenderal mengakhiri penjelasannya yang cukup panjang.

Erick Vildy dan Erwie Vincent terus menatap ke sekumpulan orang-orang yang berada dalam jalur mereka masing-masing dengan pandangan menerawang. Tidak ada yang bicara sama sekali.

Mendadak sinar mata Erwie Vincent tertuju pada seorang anak muda yang berada dalam jalur reinkarnasi ke alam manusia. Jelas anak muda tersebut berbaju hijau, dan dari belakang ia tampak mirip benar dengan Erick Vildy dan Erwie Vincent. Erwie Vincent menepuk ringan bahu saudara sulungnya dan menunjuk ke anak muda berbaju hijau tersebut. Mata Erick Vildy membesar seketika tatkala disadarinya siapa yang sedang ditunjuk oleh saudara tengahnya.

"Itu pasti Die Die, Wie… Ya… Ya… Tidak salah lagi… Baju tidur warna hijau itu hanya dia yang punya…" kata Erick Vildy berpaling lagi ke saudara tengahnya untuk memastikan asumsinya.

"Ayo kita lihat ke sana sebentar, Rick…" kata Erwie Vincent.

Setelah berpamitan dengan sang jenderal penjaga jembatan penyeberangan, kedua bersaudara itu segera bergerak menuju ke titik di mana saudara bungsu mereka berada.

***

"Pak…"

"Bu…"

"Kak…"

"Dik… Numpang tanya sebentar ya… Akan menuju ke mana ya jalur yang teramat panjang ini?"

Erdie Vio berusaha mengajak orang-orang di sekitarnya untuk bicara, tapi sama sekali tak ada yang menghiraukannya. Dengan pandangan mata yang kosong nan hampa, semuanya terus berjalan perlahan-lahan ke satu arah. Erdie Vio mulai kebingungan. Menuju ke mana sebenarnya jalur ini? Bagaimana kalau dia salah jalur dan tidak bisa kembali?

Erdie Vio akhirnya tiba di depan sebuah gerbang. Tampak sebuah gapura besar di depannya. Sama sekali tidak terlihat tulisan apa-apa pada gapura tersebut. Erdie Vio kebingungan lagi.

Erdie Vio bertemu dengan seorang yaksa penjaga di depan gerbang. Yaksa tersebut melihat ke arahnya dan menyadari Erdie Vio berbeda dengan yang lain.

"Tunggu sebentar!" terdengar nada-nada suara sang yaksa penjaga yang dingin dan serius. Erdie Vio berhenti dan terkesiap di tempatnya.

"Anda berbeda dengan yang lain, Tuan. Sinar mata Anda dan energi kehidupan Anda masih penuh. Anda tidak seharusnya berada di sini. Siapa nama Anda? Biar saya cek dulu di dalam daftar nama saya," kata si yaksa penjaga terus menatap Erdie Vio dengan kerutan yang dalam di dahinya.

"Erdie Vio… Erdie Vio Makmur…" kata Erdie Vio sembari merapatkan bibirnya. Dia terpaksa berdiri di samping gerbang dan membiarkan yang lainnya lewat dulu.

"Tidak ada nama Erdie Vio Makmur di sini… Sama sekali tidak ada, Tuan. Anda masih belum mati, Tuan. Anda masih hidup. Anda tidak seharusnya berada di sini. Silakan balik ke depan dan ikuti petunjuk arah yang ada di sana untuk kembali ke raga Anda di alam manusia," kata sang yaksa menutup kembali buku catatan hidup dan mati miliknya.

"Benarkah…? Benarkah? Aku masih hidup? Kau tidak salah periksa bukan?" tanya Erdie Vio mulai menampakkan kembali semangat dan antusiasmenya. Sinar hijau berkelabat dari sepasang bola matanya. Melihat itu, tahulah si yaksa penjaga siapa yang kini tengah berdiri di hadapannya.

"Tidak mungkin saya salah periksa. Anda belum mati, Tuan. Anda adalah Bintang Hijau utusan dari alam dewa di atas sana. Bagaimana mungkin Anda sudah mati, Tuan? Yaksa Penjaga Gerbang memberi hormat pada Bintang Hijau…" kata si yaksa penjaga langsung bersujud dan memberi hormat.

"Berdirilah… Berdirilah… Aku hanya seorang manusia biasa yang dititipkan bintang kemujuran warna hijau oleh Dewa Perak dan Dewi Ruby dari alam dewa sana. Bagaimana mungkin seorang dewa sepertimu memberi hormat pada seorang manusia biasa sepertiku? Tidak mungkin… Tidak mungkin…" kata Erdie Vio buru-buru memberdirikan si yaksa penjaga.

"Siapa pun yang dititipkan tiga bintang kemujuran dari alam dewa di atas sana, wajib kami hormati, Bintang Hijau. Sekarang, Bintang Hijau mau ke mana?" tanya si yaksa penjaga lagi.

"Mmm…" Erdie Vio merenung sebentar, tetapi detik berikutnya sudah muncul kembali senyuman khasnya yang penuh antusiasme dan keceriaan. "Karena kau bilang aku masih hidup, tentu saja aku mau kembali ke tubuhku di alam manusia dan mencari kedua saudaraku."

"Tidak perlu cari lagi, Die," kata Erick Vildy dari belakang.

"Kami yang mencarimu dan sekarang kami sudah menemukanmu, Die," kata Erwie Vincent juga berdiri di belakangnya.

Perlahan-lahan, Erdie Vio berpaling. Dia mendapati sosok Erick Vildy dengan pakaian tidurnya yang berwarna merah dan sosok Erwie Vincent dengan pakaian tidurnya yang berwarna kuning. Senyum mulai merekah di bibir saudara bungsu. Dia menerjang ke arah kedua saudaranya. Beberapa tetes air mata keharuan dibiarkannya bergulir turun dengan bebas.

"Rick…! Wie…!" teriak Erdie Vio langsung meraih kedua saudaranya ke dalam pelukannya.

"Kau tidak apa-apa kan, Wie? Kau baik-baik saja?" kata Erdie Vio mengelus-elus perut dan dada si saudara tengah.

Erwie Vincent meledak dalam tawa santainya, "Tolong deh, Die… Aku tahu kau sudah begitu merindukan aku, tapi tidak perlu sampai elus-elus perut dan dadaku segala deh…"

"Kau tidak apa-apa kan, Rick? Racunnya sudah tidak ada lagi kan?" tanya Erdie Vio juga mengelus-elus dari perut, dada, hingga ke leher saudara sulungnya.

Erick Vildy meledak dalam tawa renyahnya, "Tolong tolong deh, Die. Sudah tidak ada racunnya. Racunnya sudah sirna. Kau berhasil mengalahkan Siluman Batu Hitam itu?"

"Maafkan aku, Rick, Wie… Aku gagal mengalahkannya. Kalau bukan gara-gara dia main racun dari belakang begitu, aku pasti sudah berhasil mengalahkannya. Aku merasa aku terlelap dalam tidurku yang panjang. Begitu tersadarkan dari tidurku yang panjang, aku sudah berada di sini," terdengar helaan napas panjang Erdie Vio, "Aku sungguh tidak berguna, Rick, Wie. Aku bukan hanya tidak bisa menyelamatkan kalian, tapi aku juga tidak bisa mempertahankan tiga bintang kemujuran dari tangan Siluman Batu Hitam itu."

"Tidak apa-apa. Buktinya nasib mujur tetap berpihak pada kita bukan? Ada seseorang di alam manusia sana yang telah merebut tiga bintang kemujuran dari tangan siluman jahat itu dan mengembalikannya ke tubuh kita. Aku jadi penasaran siapa itu…" kata si saudara sulung meletakkan tangannya ke bahu saudara bungsu.

"Jadi sekarang kita bisa kembali ke raga kita tidak ya di alam manusia?" tanya Erdie Vio sedikit cemas.

"Kalau kita ingin kembali ke alam manusia, tadi si yaksa penjaga gerbang itu bilang apa, Die?" tanya Erwie Vincent.

"Kita harus kembali ke depan persimpangan enam jalur reinkarnasi ini. Di sana katanya ada petunjuk arahnya. Kita ikuti saja dan secara otomatis kita nanti bisa balik ke alam manusia," kata Erdie Vio menunjuk ke depan.

"Oke deh… Kita kembali dulu ke depan persimpangan enam jalur reinkarnasi ini. Nanti di sana kita baru lihat bagaimana," kata Erick Vildy kepada dua saudaranya.

Dua E yang lain mengangguk mantap. Tiga E mulai berjalan ke depan, menerobos barisan kerumunan orang-orang yang akan dilahirkan kembali ke alam manusia. Erdie Vio memperhatikan wajah orang-orang yang ada di hadapannya. Semuanya memandang ke depan dengan pandangan hampa nan kosong. Sekarang dia mulai mengerti kenapa si yaksa penjaga gerbang tadi mengatakan ia berbeda dengan yang lain, dan langsung menyimpulkan bahwa ia masih hidup.

"Ada apa, Die…?" tanya Erwie Vincent dengan senyuman santainya.

"Banyak sekali yang mati hari ini. Semuanya akan dilahirkan kembali ke enam alam yang berbeda. Mereka tidak punya kesempatan lagi dalam kehidupan ini. Sementara kita masih punya kesempatan untuk kembali dan mengalahkan Siluman Batu Hitam," kata Erdie Vio dengan pandangan menerawang.

Erwie Vincent tampak tersenyum santai, "Begitulah, Die… Dunia ini… Setiap hari, setiap menit, dan bahkan setiap detik, hidup dan mati datang silih berganti."

"Tiba-tiba aku merasa kita bertiga adalah orang-orang yang beruntung di antara lautan puluhan ribu orang yang ada di sini. Setidaknya kita masih punya waktu dan kesempatan, Wie, Die," kata Erick Vildy sambil berjalan sambil memandang ke atas cakrawala putih dengan sorot matanya yang menerawang.

"Oke… Kita kembali ke raga kita dulu dan kita sama-sama hadapi Siluman Batu Hitam itu," kata Erdie Vio melingkarkan kedua tangannya ke leher kedua saudaranya. "Dengan kita bertiga bersama-sama, kali ini aku yakin kita bisa mengalahkannya."

Tiga E berjalan berbarengan ke depan persimpangan enam jalur reinkarnasi. Sisa-sisa langkah yang ada ditempuh dengan cerita kenyataan tentang siapa sebenarnya mereka bertiga dan apa kaitan mereka bertiga dengan Dewa Perak dari Erick Vildy dan Erdie Vio kepada Erwie Vincent.

Makin eratlah persaudaraan, kekompakan dan kedekatan di antara 3E sekarang.

***

Dua jam berlalu. Tampak mata Dewi Ruby, Melisa Rayadi dan Sabrina Marcelina masih sembab ketika mendadak mereka merasakan aksesoris dan jubah kebesaran Dewa Perak mulai bermunculan lagi satu demi satu. Dewi Ruby spontan memekik kegirangan.

"Rin! Mel! Lihat ini! Lihat ini!" kata Dewi Ruby memanggil-manggil Melisa Rayadi dan Sabrina Marcelina supaya mereka mendekat ke arahnya. Spontan kedua nama yang dipanggil langsung berlari-lari kecil mendekati Dewi Ruby dan Dewa Perak.

"Wow…! Aksesoris dan jubah kebesaran Dewa Perak yang sudah layu barusan kini tampak segar dan bermunculan lagi satu demi satu," kata Sabrina Marcelina dengan sepasang matanya yang takjub.

"Apakah… Apakah… Apakah itu berarti 3E ada harapan dalam mengalahkan Siluman Batu Hitam, Dewi Ruby?" tanya Melisa Rayadi dengan matanya yang mulai berkilauan nan berbinar-binar.

Dewi Ruby mengangguk dengan penuh semangat dan antusiasme, "Iya, Mel, Rin… Apa yang terjadi pada 3E akan berdampak langsung pada Dewa Perak. Lihat… Hawa dewanya mulai bangkit lagi. Segala aksesoris dan jubah kebesarannya mulai segar kembali. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja, Mel, Rin. Tiga E akan mengalahkan Siluman Batu Hitam itu dan mereka akan kembali dengan selamat."

Tampak sekelumit harapan dan asa yang mulai menyala kembali dalam sorot mata Melisa Rayadi dan Sabrina Marcelina.

***

Sinar pada tubuh 3E mulai meredup. Perlahan-lahan, ketiganya mulai membuka mata masing-masing. Angin malam kembali berhembus. Cakrawala gelap masih meladung di atas mereka. Tiga E tentu saja sedikit terhenyak nan terperanjat kaget melihat sosok Aldo Morales dan Siluman Batu Hitam di hadapan mereka.

"Rendy Ibrahim? Aldo Morales?" Erick Vildy dan Erwie Vincent kurang bisa percaya dengan penglihatan mereka.

"Siluman terkutuk itu meminjam raga Rendy Ibrahim yang sudah meninggal, Rick, Wie. Dia mengorbankan sekutunya sendiri demi tercapainya tujuannya yang egois dan serakah!" kata Erdie Vio mendelik tajam ke Siluman Batu Hitam.

"Selamat datang kembali ke dunia manusia, 3E… Selamat menunaikan tugas kalian dalam membasmi sang siluman jahat yang mengancam masa depan alam manusia dan alam dewa…" kata Aldo Morales dengan sebersit senyuman sinis pada sudut bibirnya.

"Aldo Morales? Kau… Kau… Kau yang mengembalikan tiga bintang kemujuran ke tubuh kami bertiga? Kenapa…?" Erwie Vincent menatap Aldo Morales dengan terheran-heran.

Aldo Morales terbahak sejenak, tapi kemudian dia melihat ke Siluman Batu Hitam dengan tatapan nanar, "Hutang mimpi dibayar dengan mimpi. Dia telah menghancurkan satu-satunya impianku yang sangat berharga. Gantinya, aku telah merusak dan menghancurkan mimpinya yang juga sangat berharga. Hutang nyawa dibayar dengan nyawa. Dia masih ada hutang satu nyawa denganku. Dan, kalian bertiga yang akan membantuku menagihnya."

"Hah? Jadi Siluman Batu Hitam yang telah menghabisi Stella Kuangdinata? Sudah kuduga…" kata Erdie Vio menatap sang siluman jahat dengan tatapan nanar.

"Dia meminjam tangan Rendy Ibrahim untuk menghabisi gadis yang teramat sangat kucintai… Dia bukan hanya memperalat Stella untuk tujuannya sendiri yang egois, tetapi ia juga menghabisi dan menyingkirkannya begitu saja tatkala ia sudah tidak membutuhkannya. Apakah itu bisa dimaafkan? Tentu saja tidak bukan…?" tampak mata Aldo Morales yang mendelik tajam ke Siluman Batu Hitam.

"Diam kau, Aldo Morales! Kau terkutuk! Kau tidak lebih dari seekor siluman sepertiku! Aku akan merebut kembali tiga bintang kemujuran dan menghancurkanmu bersama-sama dengan 3E! Aku akan membinasakan kalian semua!" masih terdengar jeritan Siluman Batu Hitam yang berkumandang ke segala arah.

Sang siluman jahat mulai menerjang ke arah Aldo Morales dan 3E. Aldo Morales sendiri mulai berubah menjadi sekumpulan asap hitam dan menghilang dari tempat itu. Terpaksa 3E yang menghadapi dan menjadi lawan Siluman Batu Hitam. Terjadilah laga tangan dan kaki antara sang siluman jahat dan 3E. Ledakan gelombang energi kekuatan terjadi beberapa kali di udara dan di tanah.

Siluman Batu Hitam mengayunkan kedua tangannya ke udara. Terbentuklah gulungan tanah dan bebatuan yang langsung diarahkannya ke 3E. Tiga E langsung terkurung di dalam gulungan tanah dan bebatuan tersebut. Kembali Erdie Vio ingat apa yang terjadi pada dirinya dalam pertarungan yang sebelumnya.

"Hati-hati, Rick, Wie… Dalam gulungan tanah dan bebatuan ini terdapat racun yang akan masuk ke dalam tubuh kita tanpa kita sadari. Aku lengah di sini dan sejurus kemudian aku sudah keracunan," kata Erdie Vio memberi peringatan pada kedua saudaranya.

Erick Vildy mengangguk mantap, "Jangan khawatir, Die. Sinar merahku ada penahan racunnya. Jika bukan masuk melalui mulut, aku masih bisa mengatasinya."

Saudara sulung mengarahkan sinar merahnya ke segala arah. Saudara tengah juga mengarahkan sinar kuningnya ke gulungan tanah dan bebatuan yang mengurung mereka. Dalam sekejap, gulungan tanah dan bebatuan yang mengurung 3E hancur seketika. Kali ini, saudara bungsu mengayunkan tangannya ke udara. Dengan menggoyang-goyangkan kedua tangannya, ia berhasil mematahkan banyak ranting dan batang pohon. Dengan sekali sapuan tangan lagi, sinar hijau memancar dari tangan kanannya. Sinar hijau segera mengarahkan semua ranting dan batang pohon menuju ke arah Siluman Batu Hitam.

Tak ayal lagi, Siluman Batu Hitam terkena hujaman ranting-ranting dan batang-batang pohon yang bertubi-tubi. Tampak darah hitam muncrat dari mulutnya. Siluman Batu Hitam terkapar tidak berdaya di tanah sekarang.

"Aku tidak akan kalah… Siluman Batu Hitam tak mungkin kalah dari tiga manusia biasa. Aku tidak mungkin kalah…" kata Siluman Batu Hitam masih berusaha berdiri dengan tegak.

Dengan membuka tangannya dan mengarahkannya sekali lagi ke 3E, Siluman Batu Hitam memancarkan energi hitamnya lagi ke 3E. Erick Vildy menghadang energi itu dengan memancarkan gelombang merahnya. Terjadilah laga gelombang energi di udara.

Erwie Vincent melesat ke udara. Dengan sekali menyapukan tangannya di udara, terbentuklah banyak sekali pedang kecil warna kuning. Pedang-pedang kecil segera melesat secepat kilat ke arah Siluman Batu Hitam. Siluman Batu Hitam yang tak punya persiapan tentu saja langsung terkena serangan dari bintang kuning tersebut. Kembali Siluman Batu Hitam terhempas ke belakang. Dirinya menghantam ke bebatuan hitam yang ada di belakangnya. Tampak darah hitam yang menyembur keluar dari mulutnya seperti air mancur.

"Menyerahlah, Siluman Tengik! Kau sudah tiba pada ujung jalanmu. Enyahlah dari alam manusia ini! Kau sama sekali tidak diterima di sini," terdengar teriakan Erick Vildy yang berdentum di tengah-tengah angin malam yang mendesir.

"Kami takkan menghabisimu. Oleh sebab itu, segera pergi dari alam manusia ini! Pergi dari sini sejauh mungkin!" kata Erwie Vincent lemah lembut nan santai, tapi tampak sepasang matanya yang mendelik tajam ke Siluman Batu Hitam.

Erdie Vio menatap Siluman Batu Hitam dengan sorot mata nanar, "Inikah impianmu yang kaubangga-banggakan itu, Siluman Batu Hitam? Aku sudah pernah bilang padamu bukan? Jika kau terlalu serakah dan hanya mengandalkan kekuatan dari luar, selamanya kau takkan memperoleh apa pun yang kauimpikan."

Siluman Batu Hitam menatap 3E di hadapannya dengan tatapan penuh kebencian dan ketidakpuasan. Tampak jelas ia masih belum bisa menerima kekalahannya. Terdengar tawanya yang terbahak-bahak ke cakrawala gelap nan berbintang malam itu. Mendadak ujung bintang tertinggi malam itu mulai turun ke tanah. Sinar merah muda tampak semakin terang dan semakin terang di mata Siluman Batu Hitam. Tampaklah sosok Dewi Ruby dengan jelas di hadapannya kini.

"Dewi Ruby… Dewi Ruby… Dewi Ruby… Kau datang untuk bertemu denganku?" Siluman Batu Hitam tidak bisa berdiri dan berjalan dengan sempurna lagi. Dia hanya bisa merangkak selangkah demi selangkah sampai akhirnya ia mencapai tempat Dewi Ruby berdiri.

"D… D… Dewa… Dewa Batu Hitam…" panggil Dewi Ruby dan kali ini ia tidak membahasakannya sebagai seekor siluman lagi. "Pantaskah semua ini? Pantaskah kau berbuat begini dan akhirnya kau sama sekali tidak mendapatkan apa-apa?"

"Pantas… Pantas… Tentu saja pantas…" terdengar kalimat Siluman Batu Hitam yang terbata-bata. "Untuk Dewi Ruby, apa pun pantas dilakukan. Kau datang ke sini untuk bertemu denganku bukan, Dewi Ruby? Kau ingin bilang kau mencintaiku? Iya kan? Iya kan, Dewi Ruby?"

Dewi Ruby menggigit bibirnya dan membuang muka ke arah lain. Tampak 3E saling berpandangan sesaat. Ternyata cinta Siluman Batu Hitam pada Dewi Ruby sebegitu mendalam, sebegitu besar. Namun, sayang sekali… Cinta yang sebegitu mendalam dan sebegitu besar hanya sia-sia belaka karena cinta itu sama sekali tak berbalas. Bagaimanapun juga, Dewi Ruby tidak bisa membalas perasaan cinta Siluman Batu Hitam. Bagaimanapun juga, Dewi Ruby hanya mencintai Dewa Perak seorang.

"Aku… Aku sudah tidak lama lagi di sini, Dewi Ruby… Waktuku sudah tidak banyak lagi, begitu pula dengan kesempatanku untuk melihatmu. Aku hanya ingin mendengar… hanya ingin mendengar kau bilang… bilang… bilang kau mencintaiku, Dewi Ruby… Bisakah… Bisakah… Bisakah kau mengatakannya padaku sekarang? Jika kau malu mengungkapkannya di depan mereka, tak apa-apa… Kau bisa… bisa… bisa membisikkannya di telingaku, Dewi Ruby… Katakanlah, Dewi Ruby… Katakanlah, Dewi Ruby… Itu adalah kalimat terakhir yang ingin sekali aku dengar darimu…"

Dewi Ruby menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Jelas tampak ia berada dalam suatu pilihan yang dilematis saat itu. Air mata dibiarkannya bergulir turun setetes dan membasahi wajah Siluman Batu Hitam yang kini tengah bergolek lemah dan tidak berdaya dalam pelukannya.

"Aku… Aku… Aku…" tampak Dewi Ruby kesulitan mencari kata-kata yang tepat yang akan dikatakannya kepada Siluman Batu Hitam.

"Tidak apa-apa… Tidak apa-apa… Jika kau kesulitan mengungkapkannya, tidak apa-apa, Dewi Ruby. Yang jelas, jangan meneteskan air mata demi aku, Dewi Ruby. Jangan meneteskan air mata demi aku karena aku merasa… aku merasa… merasa tidak pantas kautangisi. Aku… Aku… Aku sudah cukup senang di saat-saat terakhirku, aku bisa melihatmu untuk yang terakhir kali. Aku… Aku… Aku sudah cukup puas karena aku akan mati dalam pelukanmu," kembali kalimat-kalimat Siluman Batu Hitam terbata-bata.

"Terima kasih, Dewa Batu Hitam… Terima kasih… Terima kasih untuk segala cintamu terhadapku selama ini. Aku tidak bisa mengatakan aku mencintaimu, tapi setidaknya biarkanlah aku berterima kasih padamu untuk segala cinta dan perhatianmu kepadaku selama ini. Aku… Aku… Aku kira aku sama sekali tidak pantas untuk kaucintai seperti ini, Dewa Batu Hitam. Aku kira aku sama sekali tidak pantas menerima semua cinta dan pengorbananmu, Dewa Batu Hitam. Karena pada akhirnya, aku tetap tak kuasa mengatakan aku mencintaimu. Aku hanya bisa mengatakan terima kasih... Terima kasih…" terdengar tangisan dan isakan kecil Dewi Ruby di sini.

Tampak sebersit senyuman ketidakberdayaan dan senyuman lemah merekah di sudut bibir Siluman Batu Hitam.

"Aku sudah senang sekali mendengar kata-katamu itu, Dewi Ruby. Tidak apa-apa… Tidak apa-apa… Dengan mendengar kata-katamu itu, segalanya menjadi tidak tergantikan. Dengan demikian… Dengan demikian… Dengan demikian, aku akan pergi tanpa sebilur pun rasa penyesalan…"

Itulah kalimat terakhir Siluman Batu Hitam. Perlahan-lahan, mulai dari kaki, asap hitam mulai menyelimuti. Asap terus naik hingga ke badan, leher, tangan dan akhirnya kepala pun diselimuti oleh asap hitam. Sekujur tubuh Siluman Batu Hitam kontan lenyap tak berbekas dari pelukan Dewi Ruby.

"Pergilah dengan tenang, Dewa Batu Hitam… Jangan pernah berpaling lagi melihat kembali ke kehidupanmu kali ini yang penuh dengan kepedihan dan penderitaan. Jika… Jika ada jodoh lagi di kehidupan mendatang, ku ingin kita menjadi teman baik – seperti saudara, seperti belahan jiwa, seperti kedekatan dan kekompakan 3E – tidak lagi menjadi musuh dalam peperangan."

Air mata keharuan bergulir turun setetes lagi dari pelupuk mata Dewi Ruby. Setelah itu, tampak sebersit senyuman ketenangan di sudut bibirnya.

Tiga E menyapukan tiga sinar mereka ke berbagai arah. Secara otomatis, dunia dimensi lain yang diciptakan oleh Siluman Batu Hitam sirna seketika dan mereka kembali ke alam nyata. Mentari mulai menampakkan diri di ufuk timur. Tiga E saling berpandangan sesaat. Tampak ketiganya bergandengan tangan, menyongsong hari baru yang telah datang, di tahun yang baru, dengan kesempatan yang baru, dengan harapan dan asa yang baru.

Tampak sinar mentari yang masih pucat di cakrawala belahan timur, namun ia mengandung janji akan hari yang cerah.

***

Erick Vildy berdiri di depan sanggar Solidaritas Abadi. Begitu melihat sang pangeran pujaan merentangkan kedua tangannya, langsung Melisa Rayadi terbang ke dalam pelukan kehangatan tersebut.

"Apakah… Apakah… Apakah kau merindukan aku?" tanya Erick Vildy sembari membelai-belai kepala sang putri pujaannya.

"Iya… Tapi tidak sebesar kepedihanku saat kau tak ada, tidak sebesar kegelisahanku saat kau hampir tidak kembali, dan tidak sebesar penantianku ketika mendadak aku merasa segala harapan dan asa 'kan menghilang," kata Melisa Rayadi tetap membenamkan kepalanya dalam pelukan hangat sang pangeran pujaan.

"Sorry, Mel… Benar-benar sorry, Mel… Kini Siluman Batu Hitam sudah berhasil dihentikan. Kelak ke depannya kau tak perlu lagi merasakan kegelisahan, kepedihan, dan penantian yang serupa," kata Erick Vildy menatap sang putri pujaan dengan sorot mata sejuta cinta dan kelembutan.

Sama seperti adegan si saudara sulung, Sabrina Marcelina juga terjun ke dalam pelukan kehangatan sang pangeran pujaan begitu dilihatnya Erdie Vio berdiri di halaman sanggar Solidaritas Abadi dan merentangkan kedua tangannya.

"Bagaimana… Bagaimana… Bagaimana kau melewati waktu ketika aku tak ada, Rin?" tanya Erdie Vio juga membelai-belai kepala sang putri pujaannya.

"Serasa merantai hati, serasa tidak bisa berjalan ke depan ataupun ke belakang, Die. Saat-saat tanpamu adalah saat-saat yang takkan mau kujalani lagi di masa mendatang. Jika kau benar-benar mencintaiku, Die, pastikan saat-saat seperti itu takkan menghampiri hidupku lagi ya…" Sabrina Marcelina membiarkan beberapa tetes air mata keharuannya bergulir turun membasahi pakaian tidur warna hijau sang pangeran pujaan.

"Aku tak berani berjanji, Rin… Namun, aku akan mengupayakannya, Rin… Siluman Batu Hitam telah berhasil dihentikan. Kelak bersama-sama denganku, waktu akan terasa berjalan sangat cepat bagimu, Rin. Aku bisa pastikan itu…" kata Erdie Vio dengan senyuman khasnya yang penuh dengan keceriaan dan antusiasme.

Sabrina Marcelina mengangguk lembut. Dia kembali membenamkan kepalanya ke dalam pelukan kehangatan sang pangeran pujaan.

Cinta dan kebahagiaan meruak di reluk-reluk hati Melisa Rayadi dan Sabrina Marcelina.

Mentari pagi bersaing gemintang ribuan cinta dalam relung pikiran Erick Vildy & Erdie Vio.

***

Melihat si suster membawakan sarapan pagi ke dalam kamar Julia Dewi, Erwie Vincent menawarkan diri dia saja yang membawakan sarapan pagi tersebut. Selesai mandi pagi ini, dia langsung tampil dalam kaos kuning dan celana panjang cokelat dan segera bertolak ke rumah sakit tempat Julia Dewi dirawat.

Kebahagiaan perlahan menyelangkupi batin Julia Dewi tatkala dilihatnya sang pangeran pujaannya telah kembali ke alam realita dengan selamat.

Erwie Vincent meletakkan sarapan pagi tersebut di hadapan Julia Dewi dengan sebersit senyuman santai yang sudah menjadi ciri khasnya.

"Lapar? Ini sarapanmu pagi ini, Jul… Sudah kutambahkan dengan sedikit bumbu cinta," bisik Erwie Vincent di samping telinga sang putri pujaannya. Ia duduk di tempat tidur, di samping putri pujaannya dan meraihnya ke dalam sebuah pelukan.

Damai merambak di padang sanubari Julia Dewi. Ia langsung merebahkan kepalanya ke bahu sang pangeran pujaan, "Tentu saja aku lapar, Wie… Lapar karena aku menghabiskan terlalu banyak energi untuk mengkhawatirkan keadaanmu, Wie… Lapar karena aku terlalu lelah berkelana di persimpangan enam jalur reinkarnasi mencari-carimu, Wie…"

Sedikit perasaan bersalah menggeligit batin Erwie Vincent. Ia mempererat pelukannya.

"Kelak bersama-sama denganku, kau tidak perlu selelah itu lagi, Jul. Siluman Batu Hitam telah berhasil dihentikan. Kelak kita hanya akan konsentrasi kepada keluarga kecil kita saja, Jul. Kau setuju?" bisik Erwie Vincent lemah lembut lagi di telinga sang putri pujaan.

"Dan kedua saudaramu juga tentunya, Wie. Selain keluarga kecil kita, yang menjadi prioritas utamamu kan dua saudaramu juga kan?" celetuk Julia Dewi sambil mengulum senyumannya.

"Tentu dong, Jul…" terdengar nada renyah suara Erwie Vincent. "Kan sudah kukatakan kepadamu bukan? Mereka berdua adalah belahan jiwaku. Takkan terpisahkan lagi. Perlahan-lahan akan kuceritakan padamu nanti."

"Kalau mereka berdua adalah belahan jiwamu, aku adalah apamu dong, Wie?" pancing Julia Dewi dengan senyum dikulum lagi.

"Mereka adalah belahan jiwaku, sementara kau adalah jodohku. Simple bukan?" kata Erwie Vincent dengan sebersit senyuman santainya.

Julia Dewi meledak dalam tawa renyahnya.

"Suapi aku bisa, Wie?" bisik Julia Dewi di telinga sang pangeran pujaannya.

Erwie Vincent mendaratkan satu ciuman mesra ke kening sang putri pujaannya. Makanan mulai dimasukkan suap demi suap ke mulut sang putri pujaannya.

Cinta dan kelembutan menggelincir di pesisir pikiran Julia Dewi.

Cinta dan kebahagiaan menggeligit di kuncup batin Erwie Vincent.

Próximo capítulo