webnovel

Berpisah Lagi... Aku Akan Tetap Menunggu Kalian

BAB 20

Medan, 4 Februari 2019

Malam sebelumnya, kembali 3E menginap di sanggar Solidaritas Abadi. Mereka sampai di Medan jam 11 malam. Setelah memulangkan kekasih jiwa masing-masing, mereka memutuskan untuk menginap di sanggar saja dan tidak pulang ke apartemen masing-masing ataupun rumah orang tua mereka.

Pagi ini, kembali mereka terbangun dengan kondisi pakaian mereka yang berserakan di mana-mana di dalam kamar. Erick Vildy menggaruk-garuk kepalanya petanda bingung. Erwie Vincent sama sekali tidak peduli. Ia ke kamar mandi sebentar untuk buang air kecil. Erdie Vio melihat ke kiri dan ke kanan guna mencari di mana pakaian tidurnya yang berwarna hijau.

Erwie Vincent keluar dari kamar mandi. Dia mengenakan kembali pakaian tidurnya yang berwarna kuning. Erick Vildy menguap sebentar. Dia mengenakan kembali pakaian tidurnya yang berwarna merah.

"Sudah dua kali seperti ini. Aku mulai merasa ada yang aneh," kata Erick Vildy sembari berkacak pinggang dan mengerutkan dahinya.

"Ada yang masuk ke kamar kita dan menelanjangi kita dan kita masih terlelap tanpa menyadarinya sedikit pun? Kurasa itu tidak masuk akal, Rick… Kecuali… Kecuali orang itu juga memiliki sebentuk kekuatan aneh nan misterius, sama seperti kita, sama seperti Rendy Ibrahim dan Aldo Morales itu… Iya nggak, Wie…?" Erdie Vio beralih ke saudara tengah.

"Ada Jovan yang bisa kita tanyai. Selain kita, dia ada dalam bangunan ini kemarin malam bukan? Mungkin dia ada mendengar atau melihat sesuatu yang mencurigakan kemarin malam," sahut Erwie Vincent membuat suatu tebakan.

Dua E yang lain mangut-mangut menyetujui usul si saudara tengah. Ketiganya keluar dari kamar masih dalam kondisi memakai pakaian tidur masing-masing. Mereka ke lantai dua dan langsung bergerak ke kamar Dewa Perak.

***

Dewa Perak masih belum bisa membangkitkan kekuatan tiga bintang kemujuran yang ada dalam tubuh 3E. Dia mulai merasa tertekan dan tidak tahu dengan siapa dia harus berbagi segala keresahan dan kegundahan ini.

Dewa Perak mulai mengeluarkan ilmu penggandaan dirinya. Dia membagi dirinya menjadi tiga dewa buah-buahan. Keluarlah Dewa Semangka, Dewa Nenas, dan Dewa Melon dengan masing-masing jubah yang berwarna merah, kuning, dan hijau.

"Kemarin kita sudah mencobanya sekali lagi… Dan tiga bintang kemujuran masih sama, meredup sekali dan sesudah itu langsung padam. Aku tidak tahu lagi apa yang mesti kita lakukan baru tiga bintang kemujuran bisa bangkit," kata Dewa Semangka mulai merasa gusar.

"Mungkin apa yang dikatakan oleh Dewi Ruby benar adanya," Dewa Nenas membuat tebakannya dengan sebersit senyuman santainya.

"Apa memangnya? Kok aku tidak ingat Dewi Ruby ada mengatakan sesuatu berkenaan dengan tiga bintang kemujuran yang tidak bisa bangkit-bangkit ini?" tanya Dewa Melon mendekatkan wajahnya ke Dewa Nenas.

"Kau mungkin sudah lupa… Dewi Ruby pernah mengatakan bahwasanya tiga bintang kemujuran ini pilih-pilih tuan rumah mereka. Jika mereka merasa dewa ataupun dewi yang bersangkutan tidak layak menjadi tuan rumah mereka, mereka tetap takkan memunculkan diri. Begitu sih yang kudengar dari Dewi Ruby suatu hari…" kata Dewa Nenas.

"Jadi akhirnya mereka memilih 3E itu sebagai tuan rumah mereka? Ada salah tidak ini…? Mereka memilih tiga manusia biasa sebagai tuan rumah mereka?" kata Dewa Semangka masih mengerutkan dahinya.

"Buktinya adalah sampai sekarang, kita belum bisa membangkitkan mereka dan meminjam kekuatan mereka bukan?" kata Dewa Nenas mengangkat kedua bahunya dengan santai.

"Tenang dulu, Dewa Semangka… Aku yakin akan ada cara lain yang bisa membangkitkan tiga bintang kemujuran. Hanya saja, sampai sekarang kita belum tahu apa itu…" kata Dewa Melon dengan senyumannya yang penuh keceriaan dan antusiasme.

"Kurasa kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Dewa Melon, Dewa Nenas… Jika memang kita tidak bisa membangkitkan mereka, kita harus minta tolong pada 3E untuk membangkitkan mereka. Kita akan meminjam kekuatan 3E untuk mengembalikan Dewi Ruby ke wujudnya semula. Menurut kalian bagaimana?"

"Dan kita harus berterus terang pada 3E tentang siapa sebenarnya Dewa Perak itu?" tanya Dewa Nenas dengan sebersit senyuman santainya.

"Kita tidak ada pilihan lain lagi bukan?" tanya Dewa Semangka dengan sebersit senyuman simpulnya.

Dari luar, 3E saling berpandang-pandangan karena mereka mendengar adanya tiga suara dengan tiga karakter yang berbeda dalam kamar Jovan Dellas. Mulai timbul satu kecurigaan di sini. Jelas-jelas ketiga-tiganya itu adalah suara Jovan Dellas semua. Tapi, dari gaya bicara, nada suara dan intonasinya, seolah-olah ada tiga orang dalam kamar tersebut. Apakah Jovan Dellas ini merupakan seseorang yang menderita kepribadian ganda?

Erick Vildy mendobrak pintu dengan kasar. Pintu langsung terkuak. Tampaklah tiga dewa buah-buahan di dalam kamar Jovan Dellas yang membuat 3E terhenyak seketika. Tiga dewa buah-buahan juga melihat ke arah 3E dengan tiga pasang mata mereka yang terbelalak lebar. Sudah tertangkap basah begini, mereka sama sekali tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.

"Hah? Siapa kalian?" teriak Erick Vildy terperanjat.

"Hah…? Jadi selama ini Jovan Dellas yang kita kenal itu ada tiga?" tanya Erwie Vincent tidak mempercayai penglihatannya.

"Hah? Ada tiga Jovan Dellas…! Apa sebenarnya yang terjadi di sini? Siapa kalian sebenarnya?" tanya Erdie Vio sama sekali tidak bisa mengedipkan matanya.

Tiga dewa buah-buahan berpandangan-pandangan sesaat. Menyadari tidak ada lagi yang bisa disembunyikan, ketiga-tiganya mengangguk dengan mantap. Masing-masing mengeluarkan sinar merah, kuning, dan hijau. Sontak tiga pasang mata 3E terbelalak lebar menyaksikan fenomena ganjil tersebut. Ketiga sinar bergabung satu sama lain dan akhirnya warna berubah menjadi warna perak. Tampaklah sosok Jovan Dellas tunggal di hadapan 3E sekarang, dengan pakaian putih keperakannya. Dewa Perak sudah menampakkan diri secara total di hadapan 3E sekarang.

"Jadi satu Jovan Dellas lagi…" Erick Vildy masih mengerutkan dahinya. "Kau juga memiliki sebentuk kekuatan aneh nan misterius seperti kami, Jov…?"

"Maafkan aku, 3E… Selama ini aku telah merahasiakan jati diriku yang sebenarnya dari kalian. Aku bukan Jovan Dellas. Dan aku juga bukan seorang manusia. Aku tidak berasal dari alam dimensi yang sama seperti kalian. Di alam kami, itu adalah hal yang biasa setiap dewa ataupun dewi memiliki kekuatan-kekuatan aneh nan misterius seperti yang kalian lihat tadi."

"Jadi… Jadi… Jadi kekuatan aneh nan misterius yang selama ini ada dalam tubuh kami itu juga berasal dari alam kalian?" tanya Erwie Vincent santai, membuat suatu tebakan.

Dewa Perak mengangguk cepat. Detik-detik berikutnya, Dewa Perak mulai memperkenalkan apa itu tiga bintang kemujuran, siapa itu Dewi Ruby, dan apa itu dimensi alam dewa kepada 3E.

***

Hari Senin pagi ini terasa sangat membosankan bagi Yenty Marlina. Hari ini dia tidak masuk kuliah. Dia kehilangan semangatnya untuk menjalani hari ini setiap kali dia teringat ciuman Julia Dewi kepada Erwie Vincent, dan parahnya sang pangeran pujaannya itu membalas ciuman dari Julia Dewi dengan kemesraan yang mendalam.

Yenty Marlina meneteskan air matanya. Dia merasakan suatu kesakitan yang tiada terperikan. Tak henti-hentinya wajah Erwie Vincent membayang-bayangi memori kesadarannya yang terdalam. Terus terbayang wajah Erwie Vincent dengan senyumannya yang lemah lembut nan santai dalam setiap relung perasaan Yenty Marlina. Terus terngiang suara Erwie Vincent yang lemah lembut nan santai, yang serak-serak basah dan seksi, yang terus berselarak dalam setiap kuncup pikiran Yenty Marlina. Sudah dua hari berturut-turut Yenty Marlina tidak bisa tidur dengan tenang. Makan dan minum pun tidak tenang. Segalanya terasa hambar dan membosankan. Segalanya menjadi hitam putih nan tak berwarna.

"Derita cinta yang bertepuk sebelah tangan memang sangat menyakitkan ya…" entah dari mana Rendy Ibrahim mendadak muncul di depan halaman rumahnya pagi ini. Yenty Marlina terperanjat dan cepat-cepat berdiri dan menyambut kedatangan Rendy Ibrahim.

"Bang… Bang Rendy… Kenapa mendadak Bang Rendy bisa datang ke rumahku pagi ini?" terdengar suara Yenty Marlina yang lemah lembut dan sedikit sipu-sipu malu.

"Aku baru saja sembuh dari sakitku. Begitu aku balik ke sanggar, kau dan Yenny Mariana sudah tidak tampak. Aku sangat menyayangkan kenapa kalian bisa meninggalkan sanggar Gagak Hitam begitu saja padahal kalian berdua bisa dibilang cukup berbakat dalam dunia seni atraksi naga dan barongsai dan cukup kubanggakan selama ini. Jadi, kembali aku bertanya-tanya kenapa kau dan Yenny Mariana bisa meninggalkan tim Gagak Hitam begitu saja. Begitu mendengar berita kepulangan 3E ke Medan dan bahwa kalian sudah pernah bertemu dengan 3E, sekarang aku jadi mengerti kenapa mendadak waktu itu kalian memutuskan untuk keluar dari Gagak Hitam…" kata Rendy Ibrahim dengan nada datar nonkomital.

"Sorry, Bang Rendy. Sorry… Really really sorry… Untuk perasaan sesaat, aku telah memutuskan sesuatu tanpa mempertimbangkannya dulu masak-masak," masih terdengar suara Yenty Marlina yang lemah lembut dan tersipu-sipu malu.

"Siapa… Siapa di antara kembar tiga Makmur itu yang telah berhasil mencuri hatimu dan menorehkan luka yang sedemikian dalam seperti ini?" tanya Rendy Ibrahim lagi.

Yenty Marlina tentu saja berada di pilihan yang dilematis antara mau menjawab pertanyaan itu atau tidak.

"Oke… Aku mengerti… Kau tidak usah menjawabnya," kata Rendy Ibrahim mengangkat tangannya ke udara. "Jadi, secepat itu kau menyerah dalam memperjuangkan cinta dan kebahagiaanmu, Yenty?"

Tampak sebersit senyuman misterius di sudut bibir Rendy Ibrahim.

"Hah?" tampak pandangan bingung nan penuh tanda tanya dalam sorot mata Yenty Marlina.

"Aku memiliki sebentuk kekuatan yang bisa membantumu dalam mendapatkan salah satu dari si kembar tiga Makmur itu. Kau percaya tidak?" tampak senyuman sinis Rendy Ibrahim di sini.

Yenty Marlina shocked mendengarnya. "Kekuatan? Maksud Bang Rendy adalah… adalah… guna-guna sehingga ia akan langsung meninggalkan kekasihnya yang sekarang dan berpaling padaku?"

Rendy Ibrahim meledak dalam tawa renyahnya. "Jika tidak bisa dengan cara yang biasa, kita harus menempuh dengan cara yang luar biasa. Anggap saja bantuanku kali ini terhadapmu adalah balasan dan semacam penghargaan untuk jasa-jasamu kepada sanggar Gagak Hitam selama ini. Setelah ini, setelah kau mendapatkan salah satu dari si kembar tiga Makmur itu, anggap saja kita impas… Anggap saja kita tidak saling berutang lagi. Bagaimana…?"

"Tapi… Tapi… Bukankah itu namanya aku menempuh jalan pintas untuk mendapatkannya, Bang Rendy? Lagipula, itu akan sangat tidak adil baginya dan bagi kekasihnya… Aku… Aku…" masih terdengar nada suara Yenty Marlina yang lemah lembut, tapi kali ini dia sudah tampak mengerutkan dahinya dalam-dalam.

"Kau merasa itu tidak adil bagi mereka. Lalu, dengan kondisimu yang sekarang, dengan cintamu yang bertepuk sebelah tangan sekarang, apakah kau merasa itu adil bagimu? Jika kau merasa itu memang adil bagimu, ya sudah… Anggap saja aku tidak pernah datang ke sini pagi ini, dan anggap saja aku tidak pernah mengatakan apa-apa kepadamu."

Rendy Ibrahim berlalu pergi begitu saja. Tak lama kemudian, Yenty Marlina mengejarnya lagi sampai ke jalan kecil di depan rumahnya.

"Bang Rendy… Bang Rendy…" panggil Yenty Marlina lagi.

Rendy Ibrahim berpaling lagi dengan wajahnya yang datar tanpa emosi.

"Aku bersedia menerima bantuan dari Bang Rendy… Aku bersedia… Bantulah aku, Bang… Aku rela melakukan apa saja supaya ia bisa berpaling ke diriku," kata Yenty Marlina lemah lembut, tapi dalam sorot matanya Rendy Ibrahim bisa melihat kemantapan hatinya.

Dari tangan Rendy Ibrahim muncullah seberkas sinar hitam. Mata Yenty Marlina sedikit membesar melihatnya. Dia mundur dua langkah. Namun, perasaan cintanya sudah berubah menjadi sebuah obsesi. Obsesi tersebut sudah mengalahkan segala akal sehatnya dan pertimbangan-pertimbangannya yang rasional. Tampak sinar hitam tersebut menggumpal menjadi sebuah pil. Pil tersebut juga berwarna hitam pekat.

Pil diserahkan Rendy Ibrahim kepada Yenty Marlina.

"Dengan memberikan ini ke dia, yakinlah… Dia akan langsung melupakan kekasihnya itu dan berpaling ke dirimu, Yenty. Pil ini tidak boleh lewat 24 jam. Jika tidak, khasiatnya tidak akan ada lagi. Oleh karena itu, berikan pil ini ke dia malam ini juga… Salah satu dari si kembar tiga Makmur itu akan langsung menjadi milikmu begitu ia menelan pil ini," tampak senyuman sinis yang menyakinkan dari raut wajah Rendy Ibrahim.

Yenty Marlina mengangguk-ngangguk pasti begitu ia menerima pil itu. Nanti malam dia akan mencari kesempatan untuk memasukkan pil itu ke dalam makanan ataupun minuman Erwie Vincent.

Rendy Ibrahim tersenyum sinis lagi. Itu adalah racun, Bodoh. Selamat karena telah jatuh ke dalam perangkapku. Racun itu akan mengikat jiwa si pemakannya dan mengeluarkan bintang kemujuran yang bersemayam dalam tubuhnya selama ini. Kau kira aku masih begitu baik hati mau membantumu mendapatkan laki-laki yang kauinginkan dan kauharap-harapkan itu, setelah kau mengkhianati sanggar Gagak Hitam? Dasar tolol…! Itulah sebabnya salah satu dari si kembar tiga Makmur itu lebih memilih kekasihnya daripada memilihmu yang ketololannya sungguh-sungguh tidak tertolong lagi…!

Rendy Ibrahim berlalu dari rumah Yenty Marlina. Sebersit senyuman sinis tampak menghiasi sudut bibirnya.

***

"Jadi Dewi Ruby tidak selamat dari pertarungan yang terakhir itu dan akhirnya ia menitipkan tiga bintang kemujuran itu pada diri kami bertiga melalui lorong waktu?" Erick Vildy terduduk lemas di tempatnya.

"Aku dan Die Die sebenarnya berasal dari masa lalu ya…" kata Erwie Vincent mereka-reka selama beberapa saat. "Kau bisa membuka lorong waktu ke masa depan dan ke masa lalu?"

"Hanya Maha Dewa dan Dewi Ruby yang bisa membuka lorong tersebut. Waktu itu, dia membuka lorong waktu dengan kekuatan dari tiga bintang kemujuran ini. Siluman Batu Hitam tahu dia akan menitipkan tiga bintang kemujuran ke masa lalu. Siluman Batu Hitam berusaha merebutnya dan terjadilah tarik-menarik di dalam lorong waktu. Karena batas antara dua dimensi dipaksakan secara terus-menerus, batas tersebut mengalami pergolakan dan memicu terjadinya gempa dimensi. Gempa dimensi tersebut telah membuat Dewi Ruby tidak terselamatkan, bahkan oleh kekuatanku sendiri, membuat Siluman Batu Hitam tersedot ke alam manusia di zaman ini juga, dan telah membuat kalian bertiga yang seharusnya berada di tiga zaman yang berbeda, menjadi berkumpul di zaman yang sama ini," kata Dewa Perak panjang lebar dan akhirnya ia menyudahi narasinya.

Tampak 3E yang kini lemas di tempat masing-masing, karena masih belum bisa menerima fakta & kebenaran yang baru saja mereka dengar.

"Kau tahu dari zaman mana aku dan Wie Wie berasal?" tanya Erdie Vio, masih dengan senyumannya, namun senyuman tersebut tampak hambar dan tidak berwarna.

"Tidak… Maha Dewa hanya menunjukkan padaku apa yang terjadi pada diri kalian bertiga sesaat setelah pergolakan dimensi ruang dan waktu itu terjadi dan tiga bintang kemujuran berhasil masuk ke dalam tubuh kalian bertiga. Kalian jadinya berkumpul di satu zaman yang sama. Akhirnya kalian bertemu satu sama lain dan jadilah 3E yang sekarang," kata Dewa Perak lagi nonkomital.

"Entah kenapa rasanya aku ingin bertemu dengan kedua orang tua kandungku, Dewa Perak. Jika Dewi Ruby ada di sini, apakah ia bisa membawaku ke masa lalu sehingga aku bisa bertemu dengan kedua orang tua kandungku?" tampak air mata mulai menggenang dan menetes turun dari pelupuk mata Erdie Vio.

"Bisa… Tapi, pertama-tama kita harus menggabungkan kekuatan tiga bintang kemujuran kalian dulu. Dengan menggabungkan kekuatan dari tiga bintang kemujuran kalian, kita bisa mengembalikan Dewi Ruby ke wujudnya semula. Apakah… Apakah… Apakah kalian bersedia membantuku dalam hal ini?" tanya Dewa Perak harap-harap cemas.

Erick Vildy berdiri dengan mantap kali ini. Dia berjalan ke arah kedua saudaranya dan meletakkan kedua tangannya di atas bahu kedua saudaranya.

"Oke… Kita kembalikan Dewi Ruby ke wujudnya semula. Kita akan minta tolong pada Dewi Ruby untuk membuka lorong waktu dan membawa Wie Wie dan Die Die ke masa lalu untuk menjumpai kedua orang tua mereka."

Dua E yang lain menatap Erick Vildy dengan tatapan mereka yang menyimpan sejuta keharuan.

"Rick… Rick… Kenapa… Kenapa kau mau kami ke masa lalu untuk melihat kedua orang tua kandung kami?" kini tampak air mata Erwie Vincent mengalir turun dari pelupuk mata.

"Aku memahami perasaan dan posisi kalian. Jika saja aku jadi kalian, setidaknya aku ingin tahu dan memastikan kedua orang tuaku kini baik-baik saja dan sehat walafiat meski mereka hidup tanpa aku…" kata Erick Vildy membuang pandangannya ke arah lain. Dia paling tidak tahan dengan adegan tangisan yang mengharu biru seperti ini.

"Thanks, Rick… Thanks very much… Aku hanya ingin memastikan mereka baik-baik saja. Aku tidak ingin menjalani masa depanku dengan rasa penasaranku dan rasa bersalahku karena aku tidak tahu-menahu soal keberadaan kedua orang tua kandungku. Setelah itu, aku akan kembali ke sini…" kata Erwie Vincent mengangguk mantap.

"Aku akan ikut kalian ke masa lalu juga… Kupastikan akan kubawa kalian ke zaman ini lagi. Terus terang saja… Tanpa kalian di sisiku, aku merasa hidupku menjadi hampa dan tak ada tujuan," kata Erick Vildy menampilkan senyuman penghiburannya yang bertaut dengan air mata yang bergulir turun dengan bebas.

Kini tampak senyuman Erdie Vio yang khas, yang penuh dengan keceriaan dan antusiasmenya, "Kami tak mungkin tidak kembali, Rick… Bagi aku dan Wie Wie, kau adalah dunia kami. Kita bertiga akan saling melengkapi. Kita bertiga akan selalu bersama. Tiga E takkan pernah bubar. Iya kan?"

Tiga E saling mengangguk dan mengiyakan. Tiga sinar mulai berpendar dari tubuh masing-masing. Tiga sinar dengan tiga warna yang berbeda mulai berpusat di satu titik di atas kepala ketiganya. Dewa Perak juga mengangguk mantap. Dia mengeluarkan seberkas sinar perak ke atas juga. Sinar perak dan sinar tiga bintang kemujuran mulai bersatu dan menyebar ke arah lain.

Dewi Ruby… Kembalilah… Kembalilah… Dewi Ruby… Ini aku, Dewa Perak… Kembalilah ke sisiku… Aku tahu kau bisa mendengarku, Dewi Ruby. Kembalilah, Dewi Ruby…

Sinar hasil gabungan antara sinar perak dengan sinar tiga bintang kemujuran mulai membentuk sesosok manusia. Mulai tampak bentuk kepala, badan, akhirnya tangan dan kakinya. Mulai terbentuk pakaian luar dan aksesorisnya. Sinar perlahan-lahan mulai meredup. Tampaklah sosok Dewi Ruby yang asli di hadapan mereka.

Sontak 3E terperanjat bukan main karena ternyata sosok Dewi Ruby mirip benar, bak pinang dibelah dua dengan Stella Kuangdinata.

"Stella! Stella Kuangdinata!" teriak 3E berbarengan.

Dewa Perak pun mengerutkan dahinya. Kenapa 3E meneriakkan satu nama yang begitu asing di telinganya? Jelas-jelas ini adalah Dewi Ruby yang dicintainya. Kenapa mereka malah meneriakinya dengan satu nama asing yang lain?

"Dewi Ruby… Dewi Ruby… Akhirnya aku berhasil mengembalikan wujudmu seperti semula. Akhirnya aku bisa melihatmu kembali… Akhirnya kau kembali terasa nyata dalam pelukan Dewa Perak, Dewi Ruby…" kata Dewa Perak meraih sang dewi pujaan ke dalam pelukannya.

Tampak air mata Dewa Perak yang menggenang dan akhirnya menganak sungai. Dia terus memeluk sang dewi pujaannya seakan-akan enggan untuk melepaskannya lagi.

Tangis Dewi Ruby pecah berderai dalam pelukan sang dewa pujaannya. Tiga E masih berada di batas antara keharuan dan keterkejutan mereka. Mereka hanya bisa menyaksikan adegan di hadapan mereka dengan tatapan bengong.

***

Tampak Pak Faiz dan Nyonya Florencia yang keluar dari wihara di mana biasanya Nyonya Florencia mengikuti kebaktian. Mereka masuk ke dalam mobil. Sopir tampak sudah siap sedia di balik kemudi.

Mobil keluar dari areal halaman wihara. Tampak Pak Faiz dan Nyonya Florencia yang duduk di baris kedua di dalam mobil. Sepanjang perjalanan, Nyonya Florencia terus membenamkan diri ke dalam pelukan suaminya.

"Peluk aku, Faiz… Aku tidak tahu apakah aku mesti bersedih atau bergembira dengan terkuaknya fakta ini. Aku… Aku… Aku… Semuanya bercampur baur dan saling bertaut satu sama lain. Aku jadi bingung entah perasaan mana yang harus kuprioritaskan," kata Nyonya Florencia di batas antara keharuan dan kebahagiaannya.

"Kalau saja selama ini Suhu Ce Hui tidak terkenal dengan ramalannya yang 80% mendekati kebenaran, tentu saja aku takkan percaya dengan prediksinya tadi. Terlalu imajinatif, terlalu fantastis, dan terlalu mustahil untuk diterima sebagai suatu kenyataan… Tapi, percaya tidak percaya… Prediksinya semua klop benar dengan semua fakta dan kenyataan yang mencuat ke permukaan selama ini," kata Pak Faiz mangut-mangut.

"Aku sekarang lega, Faiz… Tiga E kita bukan laki-laki homo. Meski saling memeluk ketika tidur, mandi sama-sama ketika sama-sama sudah dewasa, dan bahkan tidur telanjang sama-sama, kini aku tahu alasan kenapa mereka bisa seperti itu. Alasan itu… Alasan itu sungguh membuatku lega, Faiz…" kata Nyonya Florencia kembali merebahkan kepalanya ke pelukan sang suami.

"Mereka terlalu dekat, terlalu kompak, terlalu seiya sekata dan aku rasa kedekatan itu tidaklah wajar. Kini aku mulai mengerti kenapa hal demikian bisa terjadi. Dan, bahkan katamu kau dengar dari Julia Dewi, Melisa dan Sabrina, mereka bisa kongsi makanan dari satu piring yang sama… Masing-masing tidak memasukkan makanan ke mulut sendiri, melainkan ke mulut dua saudara yang lain. Anehnya adalah, masing-masing tidak kelebihan ataupun kekurangan suap," kata Pak Faiz mangut-mangut. "Sekarang aku mulai mengerti kenapa bisa demikian."

"Menurutmu, apakah mereka bertiga perlu tahu mengenai fakta ini tidak, Faiz?" tanya Nyonya Florencia masih dalam pelukan sang suami.

"Jika tidak terpaksa, aku rasa mereka tidak perlu tahu, Flor. Malam ini kita ada pertemuan penting dengan orang tua dari Melisa, Julia Dewi, dan Sabrina, Flor. Sedikit banyak, pembicaraan tentang rencana pernikahan 3E kita dengan putri-putri mereka pasti akan menyita waktu dan perhatian kita malam ini. Mari kita fokuskan dulu perhatian kita ke sana karena itu adalah masa depan. Masa lalu biarkan aja ia berlalu. Oke, Flor…?"

"Oke, Faiz… Aku ikut rencana dan perhitunganmu saja…" kata Nyonya Florencia dengan senyuman simpulnya.

Pak Faiz mendengus sebentar dengan sedikit tawa ditahan, "Dengan melihat kedekatan dan kekompakan 3E, aku mulanya berpikir memang benar ada beberapa manusia yang bisa saling mengandalkan, bisa saling melengkapi dan menolong dan membantu seperti belahan jiwa yang nyata."

"Dan sekarang setelah mengetahui semua fakta yang ada, apa yang kaupikirkan tentang semua kedekatan dan kekompakan mereka, Faiz?" tanya Nyonya Florencia sedikit penasaran.

"Aku kecewa kembali loh, Flor…" kata Pak Faiz dengan nada skeptisnya. "Seperti ketika aku kecil loh… Di saat aku masih kecil, aku suka sekali menonton serial Super Sentai yang dari Jepang itu. Aku selalu yakin, percaya, dan berharap akan ada seorang pahlawan yang bisa menolongku dan membantuku kapan pun aku membutuhkan bantuan dan pertolongannya. Nyatanya, di saat aku besar, aku harus kecewa dengan fakta bahwa yang benar-benar bisa menjadi pahlawan bagi kita dan bisa ready 24 jam untuk kita, tidak lain tidak bukan hanya diri kita sendiri…"

"Jangan khawatir, Faiz… Meski tidak bisa ready 24 jam buatmu, aku yakin aku akan selalu ada di sana ketika kau sedang membutuhkan kehadiran dan bantuanku. Aku akan berusaha semaksimal mungkin, Faiz… Karena aku adalah pendampingmu… Tadi aku lupa menanyakan satu hal kepada Suhu Ce Hui, Faiz… Bisa nggak ya kita meneruskan jodoh ini ke kehidupan yang mendatang?" tukas Nyonya Florencia setengah berkelakar.

Pak Faiz hanya meledak dalam tawa renyahnya. Dia kembali meraih sang istri ke dalam pelukannya. Perjalanan pulang ditempuh dengan pembicaraan mereka mengenai rencana-rencana pernikahan 3E mereka.

***

"Jadi… Jadi benar kau adalah Dewi Ruby dan bukan… bukan… bukan Stella Kuangdinata?" tanya Erdie Vio sekali lagi, sembari mengelilingi Dewi Ruby dan memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Tentu saja bukan… Kenapa kalian bisa yakin sekali aku adalah Stella Kuangdinata? Apakah aku mirip sekali dengannya?" tanya Dewi Ruby dengan nada yang agak ganjil nan misterius.

Erick Vildy menepuk jidatnya, "Sayang sekali sudah tidak ada fotonya di HP. Jika masih ada, akan kami tunjukkan fotonya dan kau pasti akan terkejut dengan kemiripan kalian. Bak pinang dibelah dua. Mirip sekali… Andaikan Stella Kuangdinata masih hidup dan dia ada di sini sekarang, pasti kalian berdua bagai kembar identik dan susah dibedakan lagi."

"Jadi si Stella Kuangdinata ini sudah meninggal sekarang?" tanya Dewa Perak mengerutkan dahinya. "Kok kalian tidak pernah cerita mengenai si Stella selama ini ya?"

"Panjang ceritanya…" kata Erwie Vincent dengan nada suaranya yang santai. "Dan lagipula si Stella ini membawa kenangan buruk bagi kami, jadi kami jarang menceritakannya."

"Jadi… Jadi… Jadi apakah Dewi Ruby ini bisa… bisa… bisa membuka lorong waktu yang akan mengantar aku dan Wie Wie bertemu dengan kedua orang tua kandung kami?" tanya Erdie Vio lagi dengan harap-harap cemas.

Dewi Ruby serta-merta berpaling ke arah Dewa Perak lagi.

"Mereka adalah 3E, yaitu tiga anak manusia dari tiga zaman yang berbeda, Dewi Ruby. Waktu itu, kau memasukkan tiga bintang kemujuran itu ke dalam tubuh mereka. Pertarunganmu waktu itu dengan Siluman Batu Hitam telah menyebabkan suatu pergolakan dimensi ruang dan waktu dan mereka jadinya berkumpul di satu zaman yang sama. Kini Wie Wie dan Die Die ingin kembali ke zaman mereka dan melihat kedua orang tua kandung mereka," kata Dewa Perak memberikan sedikit penjelasan kepada sang dewi pujaannya yang baru saja muncul.

"Tapi bukankah selama ini kalian berdua juga memiliki orang tua di zaman ini? Bukankah semua orang tua itu sama saja…?" tanya Dewi Ruby kesulitan menemukan kosakata yang pas untuk Erwie Vincent dan Erdie Vio.

Erick Vildy menggeleng, "Tentu saja berbeda. Meski kedua orang tuaku selama ini memperlakukan kami secara sama dan adil, tentu saja itu tetap takkan sama dengan kasih sayang dari kedua orang tua kandung mereka bukan? Biarkanlah mereka kembali ke zaman mereka, Dewi Ruby. Wie Wie dan Die Die hanya ingin memastikan kedua orang tua kandung mereka itu baik-baik saja dan setelah itu mereka akan kembali ke zaman ini."

"Lagipula, Rick akan menemani kami dan…" belum sempat Erdie Vio menyelesaikan kalimatnya, Dewi Ruby sudah memotong kalimatnya.

"Tidak… Rick bukan berasal dari zaman itu, Die," kata Dewi Ruby menggeleng lembut. "Dia tidak bisa ke zaman itu bersama-sama dengan kalian. Wie Wie juga tidak bisa ke zamanmu. Dan kau juga tidak bisa ke zaman Wie Wie. Manusia yang sudah dewasa seperti kalian tidak sama seperti kami para dewa-dewi yang bisa bebas berpergian ke mana saja melalui lorong waktu. Ada beberapa hal yang membedakan kalian para manusia dengan kami para dewa-dewi."

"Ini sungguh tidak adil… Kami sudah berjanji untuk tidak terpisahkan di lain-lain tempat lagi," celetuk Erwie Vincent langsung lemas dan ia bersandar pada dinding di belakangnya.

"Sekarang kami malahan akan terpisahkan di tiga zaman yang berbeda," sahut Erdie Vio terduduk lemas di kursinya.

"Tidak apa-apa... Dengan atau tanpa aku, kalian tetap harus kembali ke zaman kalian sebentar dan memastikan kedua orang tua kandung kalian baik-baik saja. Setelah itu, kalian akan kembali," kata Erick Vildy meletakkan kedua tangannya di bahu kedua saudaranya, memberi mereka semacam dorongan semangat untuk meneruskan apa yang sudah menjadi pilihan dan keputusan keduanya.

Saudara tengah dan saudara bungsu menatap saudara sulung sejenak. Erick Vildy mengangguk mantap. Sejurus kemudian, baik Erwie Vincent maupun Erdie Vio juga mengangguk mantap.

"Begitulah… Hanya ada satu pilihan yang bisa diambil, Wie, Die… Tidak kedua-duanya bisa diambil. Jika kalian mau kembali ke zaman kalian masing-masing untuk menengok keadaan orang tua kandung kalian, itu bisa-bisa saja," kata Dewi Ruby.

"Tapi kalian harus pergi sendiri-sendiri dan kembali lagi setelah itu. Ketahuilah, 3E… Setiap saat bisa saja Siluman Batu Hitam bangkit dari pertapaannya dan mengincar tiga bintang kemujuran yang ada dalam tubuh kalian bertiga. Jika tiga bintang kemujuran terpisah-pisah di lain-lain tempat apalagi di lain-lain zaman, akan sangat sulit bagiku dan bagi Dewi Ruby untuk memaksimalkan kekuatan tiga bintang kemujuran itu dan mengalahkan Siluman Batu Hitam. Kalian mengerti kan? Jadi kalian harus kembali ke zaman ini," kata Dewa Perak juga harap-harap cemas kali ini.

Erwie Vincent dan Erdie Vio mengangguk mantap.

"Mereka pasti akan kembali… Mereka pasti akan kembali… Aku percaya pada mereka, Dewa Perak, Dewi Ruby…" kata Erick Vildy mulai meneteskan air matanya.

Erwie Vincent dan Erdie Vio menyeka ekor mata si saudara sulung.

"Jangan menangis, Rick. Kami akan kembali… Simpan air mata itu untuk saat-saat pertemuan dan kemenangan kita nanti. Kami akan kembali, Rick…" kata Erwie Vincent terus menggenggam tangan si saudara sulung.

Sinar kekuatan pada tubuh 3E mulai berpendar ke mana-mana. Tiga sinar dengan tiga warna mulai bersatu dan menyebar ke dua arah begitu Dewi Ruby mengangkat sepasang tangannya ke udara. Tubuh Erwie Vincent dan Erdie Vio masih terus bersinar sementara sinar pada tubuh Erick Vildy mulai meredup perlahan-lahan. Dua sinar yang menyebar ke dua arah tadi mulai membentuk lingkaran dan akhirnya terbukalah dua lorong waktu di dua titik yang berbeda.

"Kami pasti akan kembali, Rick. Bagi kami, hanya kau satu-satunya saudara kami. Kami pasti akan kembali… Tunggu kami, Rick…" kata Erdie Vio mulai tidak bisa membendung air matanya. Sekujur tubuhnya makin lama makin habis ditelan oleh seberkas cahaya hijau.

"Bagi kami kau adalah saudara yang tidak tergantikan. Kami akan kembali, Rick. Tunggu kami, Rick…" kata Erwie Vincent juga tidak bisa membendung air matanya lagi. Tubuhnya juga makin lama makin habis ditelan oleh seberkas cahaya kuning.

"Aku akan selalu menunggu kalian, Wie, Die. Aku akan menunggu kalian. Kembalilah secepatnya… Juga bagiku, kalian adalah dua saudara yang tidak tergantikan dengan apa pun di dunia ini. Aku akan selalu menunggu kalian, Wie, Die," teriak Erick Vildy juga tak kuasa membendung air matanya lagi.

Akhirnya tangan Erick Vildy terlepas dari genggaman tangan kedua saudaranya.

"Kita berjanji satu sama lain, Die. Apa pun yang terjadi di masa lalu, kita tetap harus menguatkan hati kita untuk kembali dan sama-sama bergabung lagi dengan Rick. Kau setuju?" tanya Erwie Vincent lagi ketika hanya tersisa kepalanya yang belum tertelan oleh cahaya kuning.

"Iya, Wie… Aku berjanji… Aku tetap akan kembali. Apa pun yang kutemui ataupun kulihat di masa lalu, takkan ada yang bisa menggantikan persaudaraan kita selama ini. Kau juga berpikir hal yang sama kan, Wie?" ujar Erdie Vio ketika juga hanya tersisa kepalanya yang belum tertelan cahaya hijau.

Erwie Vincent dan Erdie Vio sama-sama tertelan ke dalam warna sinar masing-masing. Sinar kuning dan sinar hijau tersedot masuk ke dalam lorong waktu masing-masing. Tinggallah Erick Vildy di zamannya dengan air matanya yang kini sudah menganak sungai.

"Aku yakin kalian pasti akan kembali. Masih ada Julia Dewi dan Sabrina juga yang menunggu kalian di sini. Kembalilah secepatnya, Wie, Die… Aku akan selalu menunggu kalian di sini…" kata Erick Vildy seolah-olah sedang bersenandika dengan dirinya sendiri.

Dewa Perak dan Dewi Ruby berdiri di belakang Erick Vildy. Keduanya saling berpandangan sesaat dengan sorot mata iba.

Próximo capítulo