BAB 13
Sydney China Town, 8 Januari 2019
Singa sudah menari sampai di tiang terakhir yang tertinggi. Musik pengiring berbunyi dengan keras di belakang Erick Vildy yang mengawasi jalannya pertunjukan dari bawah. Begitu Iwan Agustan mengangkat tubuh Subur Kapoor, keduanya langsung berputar dengan satu putaran penuh 360 derajat. Para penonton yang menonton pertunjukan tersebut berdecak kagum dan memberikan applause yang meriah.
Kembali Iwan Agustan menurunkan tubuh Subur Kapoor dan mereka berdua balik arah bergerak ke tiang-tiang yang ada di depan mereka. Kali ini Subur Kapoor tidak melihat ke bawah lagi. Pandangannya selalu ke depan dan ia tampak begitu percaya diri dengan pertunjukannya malam ini di sebuah restoran yang baru saja dibuka di Sydney China Town. Erick Vildy mangut-mangut petanda puas menyaksikan performa anak-anak didiknya malam ini.
Erick Vildy menghela napas panjang. Sayang, ia tidak bisa berada di Sydney lebih lama lagi dan sanggar ini harus diserahkannya kepada anak-anak didiknya. Nasib dan masa depan sanggar ini, semuanya itu tergantung pada anak-anak didiknya.
Singa mencapai tiang terpendek yang ada di depan. Sebentar lagi atraksi barongsai akan selesai. Begitu singa melompat turun dan mencapai tanah, para penonton berdecak kagum sekali lagi. Semuanya memberikan applause dan sambutan yang luar biasa. Banyak penonton yang memasukkan hong pao ke dalam kotak yang diletakkan Melisa Rayadi di dekat pintu masuk. Ada beberapa penonton yang minta berfoto-foto dengan barongsai. Ada yang langsung pergi begitu saja begitu selesai berfoto, dan ada yang memasukkan hong pao ke dalam mulut barongsai begitu selesai berfoto.
"Oke… Oke… Masuk ke dalam dan cicipi dulu masakan kami, Pak Erick Vildy," kata si bos restoran mempersilakan Erick Vildy dan anak-anak didiknya masuk ke dalam restoran.
Begitu selesai membereskan peralatan dan perlengkapan perang masing-masing, semuanya tampak sudah duduk di dalam restoran menikmati makanan dan minuman yang disajikan malam itu.
"Oh… Jadi pesta perpisahannya sudah sekaligus di tempat pertunjukan malam ini, Rick…?" tanya Melisa Rayadi dengan sedikit senyuman kecut.
"Ya karena kebetulan mereka ada pertunjukan di restoran ini malam ini, kupikir sekalian saja aku pesan dua meja. Mumpung di hari pertama buka seperti ini, dapat diskon 50%, yah lumayan…" kata Erick Vildy sedikit menyeringai.
"Cair berapa memangnya, Bang Erick Vildy?" tanya Sisca Jessica dengan matanya yang berbinar-binar.
"Belum kuhitung, tapi tadi aku sempat lirik-lirik isi di dalam hong pao yang diberikan bos restoran ini ke aku sih… Sekitaran ada 500 sampai 600 dollar begitu. Belum ditambah dengan yang ada di dalam kotak yang diletakkan Kak Melisa di dekat pintu masuk sih. Nanti sepulangnya ke sanggar, kalian hitung dan bagi rata sendiri saja ya…" kata Erick Vildy meneguk minumannya dari atas meja.
Anggota-anggotanya yang lain bersorak dengan riang gembira.
"Yakin Abang Erick Vildy tidak mau dapat bagian juga?" tanya Paul Johnson sedikit mengerutkan dahinya.
"Tidak usah… Toh sebentar lagi aku sudah mau balik ke Medan kok. Kalian bagi rata sendiri saja. Tapi, hanya untuk anggota-anggota yang tampil dan bantu-bantu malam ini ya. Bagi anggota yang absen, yah anggap saja rezeki mereka belum sampai."
Kembali anggota-anggota Erick Vildy bersorak. Sejurus kemudian, mereka mengangkat gelas-gelas mereka dan bersulang.
"Dan, hong pao yang dimasukkan langsung ke dalam mulut barongsai selama pertunjukan tadi sudah dianggap sebagai rezeki Subur dan Iwan ya. Oke ya…?" sambung Erick Vildy lagi mulai melahap beberapa potongan daging dan sayur yang disodorkan Melisa ke mulutnya.
Semua anggotanya mengangguk mantap.
"Tinggal tiga hari lagi di sini, Bang Erick Vildy… Bang Erick yakin mau kembali ke kampung halaman? Bukankah…? Bukankah…?" tanya Subur Kapoor tidak sanggup meneruskan pertanyaannya.
Melisa Rayadi memandang Erick Vildy dengan seribu satu arti khusus.
"Justru itulah, Bur… Ada sesuatu yang sudah terpendam selama lima tahun. Tidak mungkin tidak kuhadapi dan tidak kuselesaikan. Kali ini pulang ke Medan untuk menyelesaikan perkara lima tahun lalu sekaligus untuk meresmikan hubunganku dengan Kak Melisa di depan orang tua kami."
Seluruh anggota kembali bersorak dan bertepuk tangan. Tampak raut wajah Erick Vildy dan Melisa Rayadi yang tersipu-sipu malu.
"Selamat ya, Kak Mel," kata beberapa anggota kepada Melisa Rayadi.
"Selamat ya, Bang Erick Vildy… Akhirnya Bang Erick Vildy sudah sold out. Bakalan banyak gadis, baik di sini maupun di Medan sana, yang patah hati nih…" kata beberapa anggota kepada Erick Vildy sembari sedikit bergurau.
Kembali Erick Vildy dan Melisa Rayadi tersipu-sipu malu.
"Jadi, Bang Erick… Bagaimana dengan… dengan… dua saudara Abang yang lain tuh? Apakah mereka juga akan kembali ke Medan?" tanya Ana Simanjuntak dengan pandangan serius kali ini.
"Tidak tahu aku, Ana… Aku tidak ada kabar mereka sama sekali…" kata Erick Vildy mengangkat bahunya dengan pandangan santai. "Sepulangnya aku ke Medan, aku baru bisa tahu apakah mereka juga kembali atau tidak."
Diam-diam, Melisa Rayadi menahan senyumannya, tentu saja tanpa sepengetahuan Erick Vildy dan anggota-anggota yang lain.
"Tidak bicara mereka satu sama lain selama lima tahun, Ana…" Melisa Rayadi langsung memberondong tanpa ampun.
"Karena… Karena… Karena apa sih, Bang Erick Vildy?" tanya Iwan Agustan memberanikan diri kali ini. Ia tampak sangat menikmati hidangan di restoran itu malam itu.
"Dulu sewaktu aku di Medan… Aku dan kedua saudaraku ternyata pernah menjalin suatu hubungan dengan satu gadis yang sama. Tapi, hubungan itu hanya berlangsung satu tahun. Kami akhirnya tahu kami ini telah dikelabui," kata Erick Vildy dengan pandangan menerawangnya.
"Hanya karena itu, Bang Erick Vildy?" celetuk Siska Jessica dengan makanan yang masih memenuhi setengah mulutnya.
"Satu hari setelah kami tahu tentang penipuannya, gadis itu ditemukan oleh Kak Melisa meninggal di dalam bangunan sanggar kami yang di Medan sana," kata Erick Vildy menunggu dulu reaksi dari seluruh anggotanya.
Semua anggota duduk dengan tegang dan diam di tempat masing-masing.
Erick Vildy melanjutkan lagi, "Pada dadanya ditemukan suatu bekas luka – suatu bekas luka yang hanya bisa diciptakan oleh kekuatan misteriusku dan kedua saudaraku," kata Erick Vildy melahap lagi beberapa potong sayur dan daging yang disodorkan Melisa ke mulutnya.
"Jadi yang dicurigai sebagai pembunuhnya adalah…" Paul Johnson tidak kuasa meneruskan kalimatnya. Ia meneguk minumannya.
"Betul sekali, Paul…" sahut Erick Vildy, "salah satu di antara kami bertiga."
Semua anggota hening untuk beberapa saat.
"Apakah… Apakah Bang Erick Vildy mencurigai salah satu di antara kedua saudara Abang yang telah membunuh gadis itu?" tanya Ana Simanjuntak dengan makanan yang masih menempel pada sela-sela giginya.
"Setelah kupikir-pikir sekarang, entah kenapa rasanya aku bodoh sekali bisa mencurigai mereka waktu itu, Ana. Yah, mungkin waktu itu masih muda, dan masalah demi masalah yang datang bertubi-tubi, sehingga kami sama sekali tidak bisa berpikir jernih waktu itu. Aku curiga pada mereka dan mereka curiga padaku. Yah, kami akhirnya bertengkar dan memutuskan untuk bersolo karier di jalan penghidupan kami masing-masing," kata Erick Vildy meneguk minumannya kali ini.
"Sayang sekali ya…" ujar Ana Simanjuntak lagi masih dengan mulutnya yang mengunyah-ngunyah makanannya.
"Dengar itu?" tampak mulut Melisa Rayadi yang juga masih mengunyah-ngunyah makanannya. Erick Vildy hanya tersenyum kecut memandangi sang pujaan hati.
"Ya… Pulang dan selesaikan saja, Bang Erick Vildy," kata Subur Kapoor dengan ayam goreng yang masih lengket di sela-sela giginya. "Tidak mungkin Abang bertiga yang telah membunuh gadis itu, aku percaya itu."
"Iya… Hanya saja, tetap diperlukan bukti-bukti yang kuat baru polisi bisa percaya bukan?" celetuk Paul Johnson, "Semoga bisa segera terjernihkan masalah ini, Bang Erick Vildy…"
"Ya… Thanks banget, Teman-teman… Thanks banget. Sepulangku ke Medan, aku harap kalian tetap bisa menjalankan dan mengembangkan sanggar ini, Teman-teman. Jangan langsung bubar barisan jalan ya… Oke…? Jika semuanya sudah selesai, mungkin aku bisa kembali ke Sydney lagi dan saat itu aku sudah ingin mendaftarkan sanggar kita ke kejuaraan nasional. Bisa ya…?" Erick Vildy memberikan sebuah semangat kepada anak-anak didiknya.
"Bisa…" jawab semua anggota serempak.
Semuanya mengangkat gelas masing-masing dan bersulang lagi. Malam itu dihabiskan sampai dengan jam sepuluh.
***
Singapura, 12 Januari 2019
Tampak kesibukan bandara yang seakan-akan tidak pernah tidur. Pesawat dari Tokyo yang ditumpangi oleh Erwie Vincent dan Julia Dewi Sofia Luvin baru saja mendarat.
Julia Dewi Sofia Luvin menggoyang-goyangkan kepalanya sejenak. Terbang lama sekali di udara, dia merasa lehernya pegal sekali. Tampak Julia Dewi dan Erwie Vincent yang antri di gerbang imigrasi untuk mencap paspor mereka. Setelah lewat gerbang imigrasi, mereka mengambil koper mereka dan melewatkan koper mereka ke dalam mesin scanner. Setelah selesai semuanya, langsung Julia Dewi mencari sebuah tempat duduk untuk merilekskan otot-ototnya yang tegang. Tampak pula ia menguap lebar-lebar selama beberapa kali. Erwie Vincent tampak memberikannya beberapa pijitan dari belakang.
"Biasa tidak pernah naik pesawat sejauh ini, Jul?" tampak senyuman santai Erwie Vincent.
"Pernah ke Singapura sini sih… Tapi, itu ketika aku berumur lima belas tahun – sudah lama sekali tuh… Aduh…! Tukar pesawat sana sini… Antri sana sini dan cap paspor sana sini… Sepertinya aku sudah tidak ada bedanya dengan para pramugara-pramugari itu deh, Wie…" kata Julia Dewi kembali menguap selama beberapa kali.
"Ke depannya kita akan sering bolak-balik Medan dan Los Angeles. Jadi, lambat laun kau akan segera terbiasa," kata Erwie Vincent masih dengan senyuman santainya.
Pas sekali di belakang Erwie Vincent, muncullah sosok Erdie Vio dan Sabrina Marcelina. Pas sekali Erwie Vincent dan Erdie Vio berdiri saling membelakangi, sehingga keduanya tidak bertemu pandang.
Erdie Vio menguap beberapa kali juga, "Baru jam sepuluh, sementara penerbangan kita ke Medan jam dua siang nanti. Entah kenapa aku harus ke bandara sepagi ini."
"Kan sudah janji mau menemaniku makan masakan Thailand yang ada di lantai dua bandara ini…" tukas Sabrina Marcelina sedikit menyeringai.
"Beda rasanya yang dijual di bandara sini dengan yang dijual di plaza luar sana?" ujar Erdie Vio sedikit bersungut-sungut.
"Tentu beda dong, Die… Yang rasanya di sini lebih kena dan lebih pas dengan masakan Thailand yang asli. Aku setiap kali terbang ke atau dari Singapura, pasti makan di tempat makan yang ada di lantai dua bandara ini," kata Sabrina Marcelina mencari-cari seribu satu alasan.
"Ya sudah… Mendadak aku sakit perut nih… Kau kejar-kejar aku terus tadi, sehingga saking buru-burunya, aku jadi tidak sempat buang air besar pagi ini. Aku mau ke WC dulu. Kau tunggu aku di ruang tunggu dulu saja deh, Rin…" kata Erdie Vio.
Sabrina Marcelina mengangguk cepat. Erdie Vio berlalu ke WC. Sabrina Marcelina mencari sederetan kursi untuk menunggu sang pujaan hati selesai dari WC. Dia mendorong kopernya sendiri dan koper sang pangeran pujaan ke deretan kursi yang lagi-lagi juga berada di belakang punggung Erwie Vincent.
"Sudah lapar belum?" tanya Erwie Vincent kepada Julia Dewi. "Kau terakhir kali makan kan kira-kira sepuluh jam yang lalu. Mau kubelikan makanan?"
Mendengar suara itu, kontan perhatian Sabrina Marcelina tertuju pada Erwie Vincent yang di hadapannya, yang kebetulan sedang berdiri membelakanginya. Astaganaga, Buddha…! Suara ini… Suara ini… Bukankah suara ini adalah suara Erwie Vincent? Dari belakang, sosok pria ini mirip sekali dengan Erdie. Tapi, tadi jelas-jelas Erdie pergi ke WC. Dan gadis itu jelas-jelas bukan Melisa. Jadi, pria ini tidak mungkin adalah Erick Vildy. Jadi, sudah jelas ia adalah Erwie Vincent bukan? Oh, Buddha… Ternyata Erwie Vincent juga sudah memiliki seorang tambatan hati di luar sana… Sungguh jodoh… Sungguh jodoh…
Kali ini tampak Erwie Vincent berputar dan berdiri di hadapan Julia Dewi. Kontan Sabrina Marcelina meninggikan posisi tas tangannya. Ia tidak ingin Erwie Vincent menyadari keberadaannya di tempat itu secepat itu.
"Boleh deh, Wie…" terdengar suara Julia Dewi. Kali ini, Sabrina Marcelina yakin itu memang adalah Erwie Vincent.
"Mau makan apa?" tanya Erwie Vincent santai.
"Mie pansit saja deh," tukas Julia Dewi.
"Oke deh… Tunggu di sini sebentar. Kubelikan mie pansit yang super enak di Singapura ini untukmu," kata Erwie Vincent sedikit menyeringai.
Sepeninggal Erwie Vincent, Julia Dewi mulai menyibukkan dirinya dengan telepon genggamnya sendiri. Mendadak ada yang menepuk ringan bahunya dari belakang. Serta-merta Julia Dewi berpaling dan mendapati sesosok gadis yang kira-kira sebaya dengan dirinya. Ia tersenyum lembut dan sedikit mengerutkan dahinya.
"Bisa bahasa Indonesia?" tanya Sabrina Marcelina dulu dalam bahasa Inggris. Ia sangsi gadis ini adalah orang Indonesia karena tadi ia mendengar Erwie Vincent berbahasa Inggris dengannya.
"Tidak begitu lancar… Pasalnya aku datang dari Amerika," ujar Julia Dewi masih dengan senyuman kelembutannya.
Oh… Jadi selama lima tahun belakangan ini Erwie Vincent ini menghilang ke Amerika…
"Oke deh…" sambung Sabrina Marcelina lagi dalam bahasa Inggris yang cukup fasih. "Perkenalkan… Aku Sabrina… Sabrina Marcelina Tiogana, dari Medan, Indonesia."
"Kebetulan sekali. Jam dua nanti aku dan kekasihku mau terbang ke Medan. Namaku Julia… Julia Dewi Sofia Luvin," kata Julia Dewi juga memperkenalkan dirinya. "Apakah… Apakah… Apakah sebelumnya kita saling mengenal?"
"Tidak… Tapi, aku kenal dengan kekasihmu itu. Dia berasal dari Medan bukan? Sama dengan kekasihku kalau begitu," tukas Sabrina Marcelina.
Julia Dewi mengerutkan dahinya lebih dalam lagi. Dia tidak mengerti. Sabrina Marcelina tahu Erwie Vincent bisa kembali dari membeli makanan sewaktu-waktu. Dia tidak ingin Erwie Vincent melihatnya secepat ini. Dia langsung mengeluarkan telepon genggamnya dan menunjukkan foto Erdie Vio kepada Julia Dewi. Mata Julia Dewi sedikit membesar tatkala ia menyadari adanya kemiripan antara Erdie Vio dan Erwie Vincent.
"Hah? Erwie… Erwie…" Julia Dewi mulai bingung dan ia tak sanggup meneruskan kalimatnya.
"Bukan… Jelas-jelas kau bersama dengan Erwie lima tahun belakangan ini bukan? Laki-laki ini bukan Erwie. Dia kekasihku… Namanya adalah Erdie… Erdie Vio Makmur…" kata Sabrina Marcelina sengaja memelankan kalimat-kalimatnya sehingga Julia Dewi bisa mencernanya dengan baik.
Sebelum Julia Dewi pulih dari kekagetannya, Sabrina Marcelina meneruskan lagi,
"Dan kebetulan sekali hari ini kalian juga mau kembali ke Medan. Tapi sebelumnya aku ingin meminta bantuanmu. Bisa kan…?"
Sementara itu, Melisa Rayadi dan Erick Vildy baru saja keluar dari pesawat dan kini mereka tengah mengantri di gerbang imigrasi.
"Banyak juga orang-orang yang datang dari Sydney seperti kita, Mel," kata Erick Vildy menghela napas panjang. Dia paling tidak tahan harus menunggu dalam antrian panjang.
"Bersabarlah… Meski negara kecil, bisa dibilang Singapura adalah kota dengan biaya termahal di Asia, jadi banyak orang yang berdatangan itu sama sekali tidaklah mengherankan," bisik Melisa Rayadi.
Erick Vildy hanya merapatkan bibirnya. Dia kembali menghadap ke depan. Melisa Rayadi merasakan telepon genggamnya bergetar. Ternyata Sabrina Marcelina mengirim pesan Line kepadanya. Jadi, meski Erick Vildy tidak tahu Erdie Vio ada di mana selama lima tahun belakangan ini, Melisa Rayadi tahu tentang hal itu karena selama ini ia diam-diam masih ada contact dengan Sabrina Marcelina, begitu pula sebaliknya dengan Sabrina Marcelina. Hanya saja, mereka berdua sudah berjanji untuk tidak menceritakan hal ini pada kekasih mereka dulu sebelum mereka berhasil mempertemukan dan mempersatukan kembali 3E.
"Mel… Tahu nggak aku ketemu dengan siapa di ruang tunggu barusan?" tanya Sabrina Marcelina.
"Siapa? Ayo cepat bilang. Jangan buat aku penasaran dong," balas Melisa Rayadi.
"Erwie Vincent dan kekasihnya yang dari Amerika," ketik Sabrina Marcelina.
"Wow… Jadi selama ini Erwie Vincent menghilang ke Amerika dan sekarang sudah punya pacar juga?" ketik Melisa Rayadi.
"Iya… Jadi bagaimana dengan rencana kita sebelumnya untuk mempersatukan kembali 3E, Mel…? Jangan bilang tidak jadi ya, Mel…" ketik Sabrina Marcelina lagi.
"Jelas harus kita eksekusi dong, Rin…" balas Melisa Rayadi lagi. "Masa sudah susah payah mengatur ini itu, menyamakan jam dan tanggal penerbangan, kita harus batalkan. Yang benar saja… Apalagi kebetulan sekali sekarang si saudara tengah juga muncul di Singapura ini dan di bandara ini. Jodoh ini sungguh tidak boleh kita sia-siakan, Rin…"
Sabrina Marcelina membalas, "Oke… Jadi langkah selanjutnya adalah kau harus cari cara untuk bawa Erick ke ruang tunggu yang pas ada di depan gerbang cap paspor itu, Mel. Dengan seribu satu alasan kau harus tinggalkan Erick seorang diri di sana. Setelah itu, jumpai aku di kamar mandi cewek yang pas ada di samping ruang tunggu itu, Mel. Dari kamar mandi cewek ini, kita bisa menyaksikan adegan-adegan selanjutnya dengan bebas. Oke kan…?"
"Oke… Oke… Rencana akan segera dieksekusi…" balas Melisa Rayadi seraya tersenyum-senyum sendiri.
Akhirnya tiba giliran Melisa Rayadi dan Erick Vildy untuk mencap paspor mereka. Setelah dari gerbang imigrasi, langsung keduanya bergerak ke bagian bagasi. Setelah mengambil bagasi mereka, barulah Melisa Rayadi melancarkan aksinya.
"Aduh… Aduh… Aduh, Rick…" pekik Melisa Rayadi lembut.
"Ada apa?" Erick Vildy terlihat kebingungan.
"Perutku mules sekali. Aku sepertinya mau ke WC dulu, Rick. Tadi di pesawat sepertinya aku tidak sempat ke belakang," kata Melisa Rayadi sembari memegangi perutnya.
"Oh… Oke deh…" kata Erick Vildy mengangguk polos.
"Tunggu aku di sini ya…" kata Melisa Rayadi mendorong kopernya ke ruang tunggu yang diindikasikan oleh Sabrina Marcelina tadi. Secara tidak langsung, ia telah mengarahkan Erick Vildy ke ruang tunggu yang dimaksud.
Sejurus kemudian, ia sudah masuk ke dalam kamar mandi perempuan dan menjumpai Sabrina Marcelina dan Julia Dewi di sana.
"Perkenalkan, Mel… Ini kekasih Erwie Vincent dari Amerika. Namanya Julia Dewi Sofia Luvin," kata Sabrina Marcelina memperkenalkan.
Julia Dewi mengulurkan tangannya, "Senang bertemu denganmu…"
"Senang bertemu denganmu… Aku Melisa… Melisa Rayadi… Jadi selama ini Erwie Vincent ada di Amerika, Jul?" tanya Melisa Rayadi dalam bahasa Inggris yang cukup fasih.
"Iya… Itu adalah kekasihmu, Mel?" tunjuk Julia Dewi ke Erick Vildy.
"Iya… Dia adalah saudara yang tertua. Namanya Erick… Erick Vildy Makmur…" kata Melisa sedikit tersipu malu.
Julia Dewi mangut-mangut. Dari belakang, Erick Vildy terlihat sama persis dengan Erwie Vincent dan Erdie Vio. Detik-detik berikutnya, mereka sudah menanti-nantikan kira-kira apa yang bakalan terjadi dengan pertemuan 3E pagi ini.
Erick Vildy menyibukkan dirinya dengan telepon genggamnya. Dia mengecek segala informasi dan pesan yang masuk ke Line atau WA- nya. Sementara itu, Erdie Vio sudah selesai dari kamar mandi. Ketiga kekasih mereka cepat-cepat bersembunyi ke dalam kamar mandi perempuan karena tidak ingin Erdie Vio melihat mereka. Sementara itu lagi, tampak dari pintu masuk, Erwie Vincent sudah datang menenteng sebungkus mie pansit.
Tiga wanita yang sedang bersembunyi di kamar mandi mulai tegang menyaksikan pertemuan yang sudah di ambang pintu.
Erick Vildy bersandar pada sebuah tiang besar yang pas ada di sampingnya. Dia menghadap ke jendela bandara dan ke lapangan udara. Tampak ia masih sibuk dengan telepon genggamnya.
Erwie Vincent tidak menemukan Julia Dewi di sana. Hanya tampak koper mereka di ruang tunggu. Ke mana Julia? Tidak biasanya ia seceroboh itu meninggalkan barang-barang di sembarang tempat. Erwie Vincent mulai mengeluarkan telepon genggamnya dan mengirim pesan Line kepada sang pujaan hati. Sambil menekan-nekan telepon genggamnya, pas kebetulan sekali ia juga bersandar pada tiang yang sama.
Erdie Vio keluar dari kamar mandi. Ia juga celingak-celinguk ke sana ke sini karena tidak menemukan di mana Sabrina Marcelina yang katanya mau makan masakan Thailand. Diri sendiri entah menghilang ke mana. Katanya mau makan masakan Thailand di lantai dua bandara ini. Ada-ada saja… Entah keluyuran sampai ke mana nih… Tanpa disadari, Erdie Vio juga bersandar pada tiang yang sama.
Tiga wanita di pintu kamar mandi tampak saling bertukar pandang sejenak. Benar-benar sudah merupakan suatu jodoh bagi 3E untuk bertemu kembali hari ini – bertemu kembali setelah berpisah selama lima tahun lamanya.
Erdie Vio mengeluarkan telepon genggamnya dari dalam saku celananya. Akan tetapi, karena tidak hati-hati menggenggamnya, telepon itu meluncur keluar dari tangannya dan jatuh ke lantai. Dua orang yang ada di sisi lain tiang tersebut mendengar ada sesuatu yang jatuh. Ternyata sebuah telepon genggam. Keduanya ingin membantu mengambilkan. Erdie Vio juga ingin mengambil telepon genggamnya. Tiga tangan turun pada saat yang bersamaan dan akhirnya sinar mata 3E bertemu satu sama lain di saat yang bersamaan.
"Hah…?" Erdie Vio terhenyak kaget. "Kalian… Kalian…"
Tampak mata Erwie Vincent juga membesar, "Apa… Apa… Apa yang sedang kalian lakukan di Singapura ini?"
Erick Vildy saking kagetnya langsung terduduk di lantai, "Justru aku yang mau bertanya… Apa yang sedang kalian lakukan di sini?"
Detik demi detik berlalu. Tiga E saling berpandangan dengan mata yang membelalak lebar, masih menyimpan sejuta tanda tanya, kebingungan, dan keterkejutan.
Tiga wanita yang sedang memperhatikan dari kamar mandi, menanti-nantikan detik demi detik dengan penuh ketegangan.
Lagi-lagi Erwie Vincent yang mencairkan suasana kaku tersebut. Dia mengulurkan tangan pada kedua saudaranya sambil tersenyum santai. Perlahan-lahan, tangan Erdie Vio dan Erick Vildy naik juga dan menyambut uluran tangan si saudara tengah. Tiga E berdiri dan kini menghadap ke jendela dengan kaku dan tidak tahu apa yang harus dikatakan.
"Aku…" tampak ketiganya mengucapkan kata itu berbarengan. Ketiganya kini meledak dalam tawa dalam saat yang bersamaan.
"Oke… Biarkan Wie Wie yang mulai dulu, Die…" kata Erick Vildy kepada adik keduanya.
Erdie Vio mengangguk penuh antusiasme sekarang, "Iya… Di antara kita bertiga, biasanya kau yang mencairkan suasana duluan, Wie."
Erwie Vincent tersenyum santai. Dia memandangi kedua saudaranya untuk sesaat dan mulai membuka mulutnya, "Aku… Aku… Aku selama ini menetap di Los Angeles. Aku bekerja di sebuah hotel sebagai resepsionis. Karena Papa juga memiliki sebuah apartemen di sana, aku menetap di apartemen itu saja. Aku tidak menyewa apartemen lain lagi."
"Aku mengajar di sebuah sekolah swasta di Sydney," kata Erick Vildy dengan sebersit senyuman kecutnya. "Sama, Wie… Aku juga tinggal di apartemen Papa di Sydney sana."
"Bagaimana denganmu, Die…?" tanya Erwie Vincent ke adiknya.
"Wah… Wah… Wah…" kata Erdie Vio penuh semangat dan keceriaan sekarang. "Kalian berdua lari ke tempat yang sangat jauh, Rick, Wie. Aku tidak begitu jauh kok… Aku hanya menetap di Singapura sini. Aku memilih untuk terjun ke dunia hiburan saja. Sama… Aku juga menetap di apartemen Papa yang ada di Singapura sini, jadi aku tidak perlu menyewa apartemen baru lagi."
Tiga E tampak meringis terhadap satu sama lain.
"Kebetulan sekali ya kita bertiga berencana pulang ke Medan hari ini, dengan jam penerbangan dan pesawat yang sama pula," Erick Vildy menepuk jidatnya. "Sudah kuduga… Pasti Melisa sudah merencanakan sesuatu di balik semua ini."
Saudara tengah dan saudara bungsu mengerutkan dahi mereka mendengar kata-kata si saudara sulung. Erick Vildy mengangkat tangannya dan langsung memperjelas semuanya,
"Ya… Ya… Aku ngaku… Aku sudah jadian dengan Melisa… Melisa Rayadi – yang dari sanggar Solidaritas Abadi dulu," kata Erick Vildy sedikit tersipu-sipu malu.
Erdie Vio bersorak riang dan Erwie Vincent meledak dalam tawanya yang renyah.
"Akhirnya sold out juga kau, Rick," kata Erdie Vio. "Nah, kalau yang ini mungkin sudah jodoh kita, Rick, Wie… Aku juga… Aku juga sudah jadian dengan Sabrina… Sabrina Marcelina yang dari sanggar Solidaritas Abadi kita dulu…"
"Nah… Kau juga sudah sold out. Jodoh kita berarti…" kata Erick Vildy menunjuk ke adik keduanya. "Jadi bagaimana dengan cinta saudara tengah kita ini, Die?"
Si saudara sulung dan saudara bungsu mengerling-ngerlingkan mata mereka ke saudara tengah. Erwie Vincent hanya tersenyum santai.
"Sudah… Sudah sold out juga... Dia gadis campuran antara Amerika dan Singapura. Sangat cantik, menawan, anggun, dan bijaksana. Namanya Julia… Julia Dewi Sofia Luvin. Akan kukenalkan dia pada kalian nanti…"
"Yosss…!" teriak Erick Vildy nan penuh semangat. Dia tampak meremas lembut bahu adik keduanya dengan penuh semangat.
Erdie Vio juga bersorak kegirangan dan tampak meremas bahu abang keduanya dengan penuh antusiasme dan semangat, "Nah, sudah kubilang apa… Sold out sudah ketiga-tiganya. Jodoh kita datang pada saat yang sama."
Erwie Vincent hanya tersenyum santai, "Tidak kusangka Melisa dan Sabrina bisa ikut dengan pangeran pujaan mereka ke negeri-negeri pelarian. Kini mereka sudah berhasil dalam memperjuangkan cinta dan kebahagiaan mereka."
Erick Vildy tampak tersenyum lebar, "Tidak tahu kenapa mendadak aku bisa jadian dengan Melisa. Tapi yang jelas, cinta itu sama sekali tidak membutuhkan alasan kan, Wie, Die…?"
Saudara tengah dan saudara bungsu mengangguk mantap.
"Tapi aku rasa pertemuan kita di sini adalah jodoh kita belaka," tukas Erwie Vincent.
"Aku justru dari tadi curiga bisa jadi Sabrina dan Melisa yang merencanakan semuanya ini, Wie," ujar Erdie Vio.
"Iya… Bisa jadi selama ini mereka masih saling contact dan mereka menyamakan semua jadwal penerbangan dan pesawat kita. Tiketku sih diurus oleh Melisa semuanya. Bagaimana denganmu, Die?" tanya Erick Vildy sedikit mendengus.
"Sama, Rick…" kata Erdie Vio sedikit meringis. "Sibuk aku dengan segala macam jadwal dan acara, jadi Sabrina yang mengurus tiketku."
"Ya mereka bisa jadi menyamakan jam penerbangan dan pesawat kalian, tapi tidak dengan jadwal penerbangan dan pesawat yang akan kutumpangi. Julia kan tidak kenal dengan Melisa dan Sabrina," kata Erwie Vincent sembari tersenyum santai.
"Iya… Benar juga…" kata Erick Vildy mangut-mangut.
"Bisa jadi sudah jodoh kita untuk bertemu kembali, Rick, Wie…" tukas Erdie Vio dengan sejuta makna terpendam dalam kalimatnya yang satu ini.
Ketiganya tampak duduk di ruang tunggu. Percakapan-percakapan selanjutnya adalah seputar kehidupan mereka di tiga negara yang berbeda selama lima tahun belakangan ini.