webnovel

Jiwa Besar

Ketika Dewi berjalan keluar, dua orang lelaki yang semula di toko juga mengikuti.

"Tolong tunggu sebentar, apakah kalian kesini benar-benar ingin menjual ginseng?".

Bagus dengan penuh semangat memanggil mereka, "Paman, apakah kamu mau membeli ginseng?". Mona bertanya. Meskipun tidak banyak orang jahat di masa ini, orang-orang lugu seperti keluarga Restu harus tetap dijaga, terutama jika mereka baru saja datang dari pedesaan. Semua harus melihat kondisi, tidak boleh mengambil tindakan terburu-buru di kota.

Ketika Mona menanyakan hal ini, kedua bersaudara itu bersemangat dan menyeret mereka ke tempat sepi. Lalu mereka berkata, "Anak-anak, Bik Tatik sudah menunggu ada orang yang menjual ginseng kuno cukup lama. Selama ginsengmu itu cukup tua, kita bisa menegosiasikan harganya. . "

Dewi memandang dengan hati-hati, matanya sangat lurus, tapi tidak seperti orang jahat, "Bik Tatik apakah Anda benar-benar menginginkan ginseng? Saya punya satu, saya tidak tahu apakah benar ginseng seperti ini yang kau cari."

Bagus dan Bik Tatik buru-buru menarik Dewi ke tempat mereka, tempat sepi yang digunakan mengobrol dengan Mona. Bik Tatik sedikit menyesal dan berkata, "Gus, tidak apa-apa jika kita tidak mendapatkan ginseng yang lama aku inginkan. Kita tidak bisa membeli ginseng di jalanan seperti ini. Ini termasuk ilegal, kita bisa ditangkap. "

Dewi bisa memahami penjelasan nenek tua itu. Sekarang perdagangan bebas tidak diizinkan. Jika ada yang melanggar bisa saja tertangkap.

Eka membuka bingkisan yang berisi ginseng di tangannya, dan dua bersaudara itu mulai bersemangat ketika melihat apa yang dipegang oleh anak-anak. Dengan ginseng itu, penyakit Riski bisa segera sembuh.

Kedua orang yang bersemangat itu tidak lupa bahwa ginseng ini belum menjadi milik mereka. Bik Tatik yang sempat terkejut mencoba mengangkat matanya yang berkaca-kaca dan menatap Dewi.

"Nak, berapa harga yang kalian inginkan untuk ginseng itu?"

Dewi dna yang lain tak tahu harga gingseng ini, tetapi Mona tidak ingin tertipu. Ia mengangkat kepalanya dan bertanya pada Bagus, "Paman, menurutmu berapa harga ginseng kita? Mari kita lihat dulu apakah penawaranmu cocok."

Zhang Lan dan yang lainnya tahu bahwa Bagus bisa memprediksi harga ini dengan benar. Tapi, mereka tetap menatap dan mengamati.

Bagus mengukur ginseng sebelum memberikan tafsiran harga, "Nak, aku tidak akan berbohong padamu. Ginseng tahun ini dijual ke pasar dengan harga lebih dari 3 juta. Menurutmu apakah harga itu cocok? Kami akan membayar 4 juta,ditambah dengan 20 karung beras. Apakah harga itu sudah pantas? ".

Dalam ingatan Mona, jika ginseng tua semacam ini ada di zaman modern, diperkirakan setidaknya bisa terjual hingga ratusan juta, tetapi di tahun 1970-an ginseng ini tentu tidak bisa semahal itu. Apalagi keluarga mereka membutuhkan uang, jadi tidak usah membuat penawaran tinggi. "

Melihat Dewi masih sedikit ragu, kakak-beradik tersebut buru-buru berkata, "Jika harganya tidak sesuai, kita masih bisa membicarakannya."

Tetapi yang mengejutkan mereka, jawaban Dewi sangat mengejutkan, "Bibi, menurut saya uang harga itu sudah tidak terlalu murah. Saya rasa Bibi membelinya terlalu mahal. Bibi masih memiliki cucu yang sakit. Jadi, Bibi tidak bisa menghabiskan semua uang Bibi untuk ginseng ini."

Kebaikan Dewi sangat menggerakkan hati kedua lelaki tua itu, tetapi mereka sadar tidak bisa menerima kebaikan Dewi begitu saja "Nak, tahun depan harga ginseng akan jauh lebih mahal. Keluarga kami memang tidak memiliki banyak uang. Kami sangat berterima kasih. Mari ikut kami mengambil uang di rumah. Jangan takut, kami bukan orang jahat".

Bik Tatik takut jika Dewi dan anak-anaknya tidak percaya dengan dirinya. Jadi, ia menjelaskan begitu banyak hal dengan cepat. Tapi Dewi tidak memiliki pikiran buruk. Ia hanya memikirkan dirinya hanya bisa menumpang dua jadwal bus jika ingin kembali ke desa.

Bik Tatik paham pikiran Dewi. Dewi hanya khawatir tidak mendapat bus untuk pulang jika terlalu malam. "Nak, rumah kami ada di dekat halte bus. Kalian tidak akan melewatkan bus. Kami berjanji kalian tidak akan terlambat."

Dewi membawa anak-anak dan Bik Tatik naik bus lagi ke tempat yang ditunjukkan Bik Tatik. Tempat itu memang sangat dekat dengan halte.

Bik Tatik membawa semua orang ke sebuah bangunan kecil berlantai dua bergaya Soviet, "Nah, Eka, ini rumah kami. Ayo kita semua masuk."

Semua orang mengikuti Bik Tatik masuk ke dalam rumah. Mona memperhatikan sekeliling. Bangunan itu memang nampak bisa di luar, tetapi desain interiornya sangat unik, menunjukkan selera pemiliknya. Saat mereka memasuki ruangan, beberapa orang sedang berkumpul di ruang tamu. Sementara Bik Tatik langsung menuju kamarnya untuk mengambil uang.

Ketika Bik Tatik turun, semua orang sudah dipersilahkan duduk dengan sangat sopan. Dalam hatinya, dia memiliki kesan yang baik tentang keluarga di depannya. Orang-orang yang memahami sopan santun dan etika. Tidak seperti kerabat di keluarganya, mereka mulai memperhatikan keluarga itu dengan seksama sambil mengagumi.

Ketika Bik Tatik menyerahkan uang dan beberapa kantung beras, Dewi hanya menerima 3 juta dan 10 kantung kecil beras. Dewi merasa tidak berhak menerima lebihan uang dari keluarga Bik Tatik. Ada anggota keluarganya yang sedang sakit dan butuh banyak biaya, rasanya tak etis jika ia menerima lebih, seolah mengambil kesempatan dalam kesempitan.

"Bibi, saya tidak bisa menerima lebihan uang dan beras. Keluarga kalian sedang kesulitan, jadi simpanlah sianya untu biaya pengobatan."

Mona juga setuju dengan pendekatan Dewi. Kita tidak dapat mengabaikan segalanya demi uang. Meskipun keluarga mereka kekurangan uang, ada orang sakit di keluarga ini yang butuh banyak uang. Meskipun kehidupan keluarga berkecukupan dan mereka punya uang sekarang. Sulit menabung uang sebanyak itu, bukan?

Dia meraih tangan wanita tua itu, mengangkat wajah kecilnya dan berkata, "Nenek, kamu dapat menerimanya. Kami tidak dapat membantu banyak. Hanya ini, terimalah."

Dengan mata merah, wanita tua itu dengan gemetar mendapatkan sisa uang dan beras dari Dewi. Hari ini dia bertemu dengan seorang bangsawan dan mengirim ginseng ke keluarganya pada waktu yang tepat untuk menyelamatkan cucunya. Mereka tidak terlihat seperti Orang kaya, tetapi mereka tidak mau menerima uang tambahan.

"Nak, bibi terima kasih. Bibi akan menerima uang dan beras ini lagi. Jika kamu datang ke kota lagi mampirlah kesini."

Wanita tua itu melihat ke jam di atas meja. "Bus akan berangkat jam 4:30 sore. Masih ada waktu. Mengapa kalian tidak duduk di sini sebentar, dan mengobrol bersama yang lain? Kita bisa bertemu dengan kalian hari ini adalah bagian takdir. Dengan ginseng yang kalian bawa, nasib cucuku terselamatkan. "

Mereka mengobrol sebentar di rumah wanita tua itu. Cucunya menderita penyakit langka. Setelah menemui banyak dokter, dia tidak kunjung sembuh. Tidak ada obat yang bisa menyembuhkannya. Dibutuhkan ramuan ginseng yang berusia lebih dari 50 tahun untuk membuat obat khusus agar cucu Bik Tatik sembuh. Keluarga ini mencari ginseng dan rela menghabiskan semua tabungan yang telah mereka kumpulkan selama bertahun-tahun, berharap dapat membelinya. Mereka rela melakukan apapun demi menyelamatkan nyawa Riski.

Dewi merasa tidak enak hati ketika mendengar bahwa anak itu sakit. "Bibi, jika keluargaku tidak butuh uang untuk membangun rumah, aku seharusnya bisa memberikanmu ginseng secara cuma-cuma."

Dewi juga secara singkat berbicara tentang situasi di keluarganya kepada wanita tua itu, dan bahkan wanita tua itu merasa tersentuh dengan masalah pelik yang dialami keluarga Dewi. Anak-anak meminum segelas air dan melihat jam, waktunya sudah hampir tiba. Eka mengingatkan ibunya, "Bu, bus akan segera lewat, kita harus segera berangkat."

Wanita tua masih enggan berpisah, tapi tetap mengantar mereka ke halte. Tak lupa ia kemudian berpesan untuk datang dan bermain lagi lain kali.

Dewi dengan hati-hati mengumpulkan uang di pelukannya dan bergegas ke halte bersama anak-anak. Mereka menunggu beberapa saat sebelum bus yang akan mereka tumpangi datang.

Próximo capítulo