webnovel

Pertikaian

"Kakak! Jaga ucapanmu!"

Sandra meledak dan membentak Diana tanpa ragu. Ia yang biasanya tidak pernah membalas perkataan kakaknya itu sudah tidak tahan lagi. Bagaimanapun juga, Diana telah memprovokasinya sejak mereka bertemu di luar. Sandra tidak peduli apabila dirinya dihina seperti apapun. Tapi ketika Diana menyebut Nico 'laki-laki tua', jelas ia tidak bisa menerima begitu saja.

Tua jelas bukan kata yang tepat untuk menggambarkan Nico. Meskipun mengaku telah berusia tiga puluh tahun, ia masih tampan, baik hati, kaya, dan lebih menarik daripada pria muda berusia awal dua puluhan sekalipun.

"Sandra, apa kamu tidak malu? Kamu kan masih pelajar, tapi sudah seenaknya sendiri merayu laki-laki tua dan memeras uangnya. Dasar wanita nakal!" Diana terus mengatakan hal yang menyakitkan. Namun Sandra tidak terpengaruh lagi.

"Coba kutukan lain," ujar Sandra setengah mengejek, berbalik dan berjalan ke arah pintu.

"Huh lihat, aku benar kan? Kamu bahkan pergi dan tidak bisa membalas perkataanku!"

Mulut Diana tak henti-hentinya mengeluarkan kalimat menyudutkan Sandra yang sudah berada di ambang pintu. Kata-kata kakak tirinya jelas telah masuk ke dalam hatinya.

Sandra gadis yang polos, baginya cinta adalah sesuatu hal yang murni. Sekarang, dia memiliki cinta dan sangat bahagia. Nico juga begitu baik dan sangat perhatian pada dirinya. Meskipun pikiran Sandra terkadang penuh dengan uang, tapi itu semua semata hanya karena ia begitu memikirkan keluarganya. Terlepas dari itu, rasa cinta Sandra kepada Nico adalah tulus. Bahkan jika Nico bukan seseorang yang kaya raya sekalipun, mereka pasti akan tetap jatuh cinta dengan cara yang sama seperti saat ini. Kata-kata Diana jelas menusuk Sandra jauh kedalam lubuk hatinya. Kakak tirinya yang tidak tahu diri itu jelas telah menghina cinta tulisnya kepada Nico.

Saat ini, mata Sandra tertuju pada vas bunga yang terletak di atas meja tepat di sebelah pintu. Tanpa pikir panjang, gadis itu mengangkat vas itu dan membantingnya ke arah Diana dengan keras. Untuk pertama kalinya, Sandra kehilangan kontrol emosi ketika menghadapi Diana.

Vas itu beterbangan melesat ke arah tubuh Diana, meski tidak mengenai kepalanya, beberapa serpihan mendarat di kaki dan tangannya. Kejadian yang tiba-tiba itu membuatnya ketakutan, lututnya lemas dan ia pun jatuh tersungkur di atas lantai.

"Tutup mulutmu yang bau itu," ujar Sandra dengan dingin. Perasaan lega langsung menghampirinya.

Semua orang di ruangan menjadi linglung. Begitu terkejut dengan tindakan Sandra. Gadis itu seperti kerasukan. Ia biasanya begitu diam dan tidak pernah mempedulikan apapun ucapan saudara tirinya yang bermulut tajam.

"Ayah, ibu, apa kalian akan diam saja membiarkan Sandra memperlakukanku seperti ini? Lihatlah kelakuannya yang menjadi semakin liar!" Diana berteriak sambil masih gemetaran terduduk di atas lantai.

Kalina segera berjalan ke arah putrinya dan membantunya berdiri. "Diana, kamu adalah seorang kakak. Bagaimana kamu bisa terus saja mengkritik adikmu seperti itu. Kejadian ini benar-benar salahmu yang sudah membuat Sandra tersinggung."

Sejujurnya, Kalina bimbang. Bukannya dia tidak ingin membantu putrinya, tapi dia benar-benar tidak berdaya. Sandra telah pulang kerumah dengan membawa uang yang bisa langsung membayar sepenuhnya hutang suaminya. Bagaimanapun Sandra memanglah penyelamat. Ia tidak bisa ikut memojokkan anaknya itu. Ia pasti akan dibenci oleh suaminya.

"Bu, apa kamu benar-benar ibu kandungku?" Diana merasa marah dan terkhianati. Dia membuang tangan ibunya, memandang semua orang dengan marah, seolah-olah seluruh dunia telah mengkhianatinya.

"Cukup sudah!"

Harris Hartono berteriak, dan ruangan yang tadinya bising menjadi sunyi dalam sekejap. Kepalanya sakit memikirkan keluarganya yang semakin hari semakin tidak harmonis. Terutama anak-anaknya. Ia merasa gagal sebagai ayah sekaligus kepala keluarga.

"Sandra, ikut denganku." Ayahnya membawa cek di tangannya, Sandra mengikuti dengan patuh di belakangnya. Di ruang makan hanya tersisa Diana dan Kalina.

"Hanya karena Sandra mendapatkan pacar yang kaya semua jadi memihaknya! Aku juga bisa mendapatkan pria yang lebih kaya!". Diana merengek sambil membersihkan serpihan vas bunga yang menempel di kulitnya, meninggalkan goresan yang tidak terlalu dalam.

"Anakku, apa kamu serius akan melakukan itu? Ibu pikir itu ide yang tidak buruk. Lihat saja adikmu itu, sejak berpacaran dengan pria kaya itu, dia benar-benar menjadi berani dan menjadi sombong." Kalina menatap putrinya dengan sungguh-sungguh.

Sebenarnya, Kalina sudah beberapa kali berusaha menjodohkan putri kandungnya itu. Ia banyak mengenalkan anak-anak pengusaha kaya kepada Diana. Tapi gadis itu tidak pernah tertarik. Dia terlalu sombong dan merasa tidak puas jika tidak mendapatkan pria terbaik. Selain itu, meskipun memiliki perangai buruk, Diana memiliki harapan tinggi dalam urusan hubungan percintaan. Ia ingin mendapatkan lelaki yang tepat dan menikah sekali seumur hidup. Sayangnya hampir semua pria dari kalangan konglomerat memiliki karakter playboy dan suka mempermainkan wanita. Diana tidak mau diperlakukan seperti wanita yang mudah didapatkan hanya dengan uang. Ia ingin dicintai dengan tulus. Keinginan sederhana tapi cukup sulit untuk tercapai, terutama di kalangan konglomerat yang segalanya harus diukur dengan uang, bahkan cinta sekalipun.

"Bukan urusan ibu."

Diana melepaskan tangan ibunya. Masih sakit hati karena tidak membelanya ketika dipermalukan oleh Sandra. Ia lalu bangkit dan berjalan tertatih-tatih.

"Diana, mau kemana kamu?" Kalina setengah berteriak, frustasi dengan perilaku anaknya yang seenaknya.

Di ruang kerja, sebuah cek tergeletak di atas meja. Harris Hartono duduk di kursi dengan tangan terlipat di atas meja. Sementara Sandra berdiri di depan ayahnya dengan patuh. Menunggu ayahnya untuk memulai pembicaraan.

Setelah berpikir sejenak, Harris Hartono mengangkat kepalanya dan menatap langsung ke anak perempuannya.

"Sandra, meskipun kata-kata Diana sangat tidak menyenangkan, tapi itu semua cukup masuk akal. Ayah ingin tahu apa yang terjadi denganmu dan pria bernama Nico itu? Berkatalah dengan jujur, apa kamu menjalin hubungan serius dengannya?"

Sebagai seorang ayah, agak canggung memang menanyakan kehidupan pribadi putrinya yang telah dewasa. Tapi kali ini, dirinya tidak punya pilihan lain. Putri kandungnya sedang tinggal bersama dengan pria yang tidak dikenalnya. Ayah manapun pasti merasa khawatir.

"Ayah, jangan dengarkan apa kata Diana. Hubunganku dan Nico cukup serius. Dia sangat baik dan peduli padaku. Dia mengatakan bahwa cepat atau lambat dia akan menikahiku. Karena itulah dia mau memberiku uang dalam jumlah yang tak sedikit untuk membuktikan keseriusannya"

"Benarkah itu?"

Mendengar kata 'menikah' disebutkan, ayahnya menjadi khawatir. Putrinya masih sangat muda. Agak terlalu cepat untuk membahas masalah pernikahan.

"Tentu saja, aku pun berniat menikah dengannya. Aku suka padanya ayah," ujar Sandra sedikit malu-malu tapi tetap mencoba terlihat serius.

"Baiklah! Karena kalian benar-benar mencintai satu sama lain. Kapan kamu akan mengajaknya kemari dan mengenalkannya pada ayah"

Sandra terkejut, "Ayah, apa ini tidak terlalu terburu-buru?"

Kenapa tiba-tiba ayahnya begitu bersemangat untuk bertemu dengan Nico. Bukannya awalnya ayahnya itu sangat menentang?

"Tidak terburu-buru. Tidak ada salahnya untuk sekedar berkenalan. Khususnya kita juga harus mengetahui latar belakang keluarganya agar ayah bisa yakin untuk mempercayakan dirimu padanya," kata ayahnya memberikan alasan yang sangat masuk akal.

"Oh, oke, aku akan kembali untuk berdiskusi dengannya tentang hal ini. Ayah, jika tidak ada yang lain, aku akan kembali dulu ya"

"Oh ya. Sandra, ada hal lain yang ingin kuketahui. Apa tidak apa-apa?"

Harris Hartono tiba-tiba memikirkan hal yang sangat penting, tetapi sulit untuk mengatakannya.Terutama kata-kata ini akan sulit diucapkan oleh seorang ayah pada putrinya yang sudah dewasa.

"Ayah, katakan saja... Kita ini keluarga. Tidak perlu ada rasa sungkan apalagi kepadaku"

Sandra tidak terlalu banyak berpikir. Tetapi dia memperhatikan wajah malu ayahnya yang membuatnya bertanya-tanya. Apa yang ingin dibicarakan ayahnya?

Próximo capítulo