"Sandra ada apa denganmu?!"
Rasa panik seketika menghampiri Leo yang paling tidak bisa melihat Sandra kesakitan.
"Perut, perutku sakit." Sandra menundukkan kepalanya sambil terus merintih kesakitan.
"Serius? Mau aku antar ke rumah sakit?", Leo semakin panik, matanya terus tertuju pada Sandra, namun ia masih tidak tahu harus berbuat apa.
"Tidak perlu. Aku hanya ingin pulang untuk tidur, sepertinya aku tidak bisa ikut kelas selanjutnya ..."
"Baiklah, aku akan memberitahu guru kalau kau sakit. Sekarang biar aku mengantarmu pulang." Leo membantu Sandra berdiri dan menopangnya berjalan dengan hati-hati. Kedua sahabat itu pun meninggalkan sekolah dengan sepeda milik Leo.
Awalnya, Leo bersikeras untuk mengantar Sandra ke dalam rumah, memastikan gadis itu sampai ke tempat tidur dengan aman. Tetapi Sandra terus menolak dengan alasan ia malu jika Leo melihat kamarnya yang begitu berantakan. Dengan terpaksa Leo hanya bisa melihat Sandra masuk ke dalam gedung apartemennya.
Setelah pintu lift tertutup dan sosok Sandra tidak lagi terlihat, Leo menaiki sepedanya, namun ia tidak menuju ke arah sekolah. Ia pergi pergi ke apotek dan membeli obat sakit perut.
Sandra berdiri di depan pintu rumah, mencubit lengannya beberapa kali, kemudian dengan paksa mengeluarkan dua air mata dari sudut matanya, membuka pintu, dan masuk.
Di ruang tamu, bos sedang duduk di meja makan sambil sarapan, tetapi wajahnya sedikit terlihat kesal, apakah dia masih marah?
Sandra sudah menyiapkan keberaniannya. Bahkan ketika masih di dalam lift, ia terus berlatih mengucapkan kalimat permintaan maaf untuk bosnya. Begitu pintu terbuka, Sandra tidak langsung melepaskan sepatunya seperti biasa. Gadis itu malah berlari secepat kilat, kemudian berdiri di depan bosnya dengan patuh dan mengakui kesalahannya.
"Tolong maafkan aku. Aku akan segera memasak untukmu. Tolong jangan potong gajiku", dia membungkuk sembilan puluh derajat dengan sepenuh hati.
Garpu di tangan Nico menusuk telur mata sapi di atas piring, satu terlihat hangus terbakar sementara sisi sisi lainnya tidak matang sempurna.
Punggung Sandra terasa sakit karena berusaha mempertahankan posisinya yang masih membungkuk. Ia tidak berani mengangkat kepalanya sebelum bosnya mengatakan sesuatu. Tetapi pria itu tetap tidak berkata sepatah kata pun dan terus mengunyah telur aneh buatannya. Apa pria ini sedang menghukumnya?
Sandra sedikit mendongakkan kepalanya untuk melirik wajah bosnya yang tidak menunjukkan ekspresi apapun. Merasa diabaikan, Sandra mengambil inisiatif untuk meluruskan pinggangnya dan berencana mengeluarkan jurus andalannya. Ia berusaha mengumpulkan air mata di sudut matanya agar mengalir membasahi pipinya.
"Pagi ini aku bangun kesiangan dan terlambat ke sekolah sehingga melupakanmu. Aku berjanji, tidak akan mengulanginya lagi. Aku berani bersumpah..."
Sandra kembali menunjukkan kemampuan sandiwaranya yang menakjubkan. Ia memperhatikan reaksi pria di hadapannya sambil terus meningkatkan kemampuan aktingnya. Namun raut wajah Nico tetap tidak berubah sedikitpun. Tampaknya andra harus mencoba lebih keras. Ia pun kembali berlutut dengan mengubah suaranya menjadi lebih memelas. "Aku berjanji. Mulai sekarang, aku akan memasak sarapan untukmu setiap pagi sebelum berangkat, dan pulang sekolah aku akan kembali untuk membuatkanmu makan siang. Begitu juga di malam harinya. Jangan khawatir, tiga kali makan sehari semua akan kusediakan untukmu, oke?"
Mendengar janji itu, Nico akhirnya menunjukkan senyum penuh kemenangan "Ingat apa yang baru saja kamu katakan." Ia meletakkan garpu di piring yang masih menyisakan sedikit telur setengah gosong dan setengah matang itu.
Mungkinkah... Sandra telah masuk ke dalam perangkap?! Ia merasa seperti ditipu dalam sekejap. Pria ini bukankah dia sudah dewasa? Seharusnya dia mampu melakukan rutinitasnya sendiri!
"Oke, tapi aku hanya melakukannya jika kamu juga menepati janjimu! Jika kamu memberikan gaji sesuai kesepakatan, maka aku akan memasak dengan senang hati", Sandra mencoba tersenyum menatap bosnya dengan tatapan bersungguh-sungguh.
Dengan sekali melambaikan tangan, Nico menyuruh Sandra untuk bangkit. Gadis itu mundur dengan patuh mundur, tidak berani membuat masalah. Ia hendak berbalik menuju dapur. Tetapi tiba-tiba terdengar ponselnya berdering dengan kencang.
Berdiri di depan gedung apartemen tempat Sandra tinggal, Leo menunggu gadis itu mengangkat teleponnya. Tangannya menggenggam erat sebuah kantong plastik berisi obat sakit perut.
"Halo, San. Bagaimana keadaanmu? Aku baru saja kembali dari apotek. Sebentar lagi aku akan menaiki lift dan mengantar obat ke kamarmu"
Apa? Sekarang?! Leo akan datang kemari?!
Tubuh Sandra seakan sehabis tersambar petir ketika mengetahui bahwa Leo sudah berada di gedung apartemennya. Jika Leo masuk kemari dan melihat bosnya, bagaimana cara Sandra menjelaskannya!
"Tidak, aku masih tidak enak badan. Tidak usah repot-repot. Jangan datang. Aku hanya ingin tidur. Kembali ke sekolah!, kalimat itu keluar dari mulut Sandra dengan kecepatan tinggi. Saat ini ia begitu panik, jangan sampai Leo benar-benar menginjakkan kakinya kemari.
"Hah? Apa katamu? Kau berbicara terlalu cepat. Sudahlah, pokoknya aku masih akan menemuimu, kalau tidak aku akan terus khawatir.", Leo tidak menghentikan langkah kakinya sama sekali.
"Kubilang aku tidur, kenapa kau keras kepala sekali? Pokoknya, aku tidak akan membukakan pintu untukmu, pergilah!.", Sandra mulai putus asa. Ia yang selama ini selalu mengontrol nada bicaranya etika berbicara dengan sahabat baiknya itu, kini terdengar lebih agresif.
Suara serak Sandra dari ponsel yang terdengar setengah berteriak, membuat Leo menghentikan langkahnya. "Baiklah jika itu maumu", ujarnya menyerah. Tentu saja, ia masih merasa bingung dengan sikap aneh Sandra. Ia ingin tahu apa yang menyebabkan gadis itu merintih kesakitan, ingin menemaninya membolos, dan merawatnya dengan baik. Tetapi entah kenapa Sandra sama sekali tidak memberikannya kesempatan. Apa boleh buat, lebih baik ia pergi daripada membuat Sandra merasa terganggu dan tidak nyaman.
Sandra membuang nafas dengan lega. Diletakkannya ponsel yang saat ini basah karena keringat dari tangan Sandra. Belum pernah ia merasa gugup seperti itu. Merahasiakan sesuatu dari sahabat dekatnya memang sesuatu yang sangat sulit. Sandra berusaha menyingkirkan rasa gugupnya dan kembali berjalan menuju dapur.
"Sakit?", tanya Nico yang entah sejak kapan berdiri tepat di belakang Sandra, membuat gadis itu berbalik dengan terkejut. Ia kemudian menggelengkan kepalanya dan berniat menceritakan yang sebenarnya. Bahwa ia hanya bersandiwara untuk mencari alasan agar bisa pulang. Tapi, setelah berpikir lagi, Sandra mengurungkan niatnya untuk berkata jujur.
Sandra yang sebenarnya baik-baik saja, tiba-tiba memegangi perutnya dengan satu tangan. Sementara tangannya yang lain memegang dahinya.
��Ah, bukan penyakit serius kok. Aku hanya sakit perut, kepalaku juga sedikit sakit, dan badan ini entah kenapa terasa dingin, tapi tidak masalah, aku masih kuat memasak untukmu." Sandra bergerak sempoyongan ke arah dapur, tubuhnya seperti bisa roboh kapan saja.
Nico melangkah maju menahan lengan Sandra. Ia kemudian meletakkan telapak tangannya ke dahi gadis itu dan menahannya beberapa detik. Sorot matanya yang biasanya dingin berubah menjadi teduh, menatap lurus ke arah gadis mungil di hadapannya.
Pada saat ini, Sandra merasa seperti benar-benar sakit. Keringat dingin mengalir dari keningnya. Entah karena ia takut sandiwaranya terbongkar atau karena gugup menatap wajah mempesona bosnya dari jarak yang begitu dekat.
"Kamu tidak demam, apakah kau memiliki gejala lain?, tanya Nico memecah keheningan.
Sandra tersadar untuk beberapa saat. Rasa bersalah tiba-tiba datang menghampirinya. Kalau bosnya itu adalah seorang dokter, apakah dia sandiwaranya akan terbongkar? Akankah dia menyadari bahwa Sandra telah berbohong padanya?
"Em, perut sakit, badan kelelahan. Selain itu masih baik-baik saja". Sandra menjawab dengan hati-hati. Ia tidak boleh sampai salah bicara. Bosnya sepertinya bukan orang yang bodoh dan mudah tertipu.
Nico terdiam cukup lama, terlihat sedang memikirkan sesuatu. Ekspresinya ketika sedang serius sangat menakutkan. Jantung Sandra berdebar-debar. Dia hanya bisa berbaring diam di sofa tanpa berani bergerak. Kenapa bosnya diam saja? Apa dia menyadari sesuatu?
"Mungkin hanya kelelahan," ujar Nico sembari berbalik dan berjalan pergi.
Sandra yang entah sejak kapan menahan nafasnya karena gugup kini mulai bisa bernafas lega. Untungnya, bosnya yang jeli itu tidak menyadari kebohongannya. Ia pun bersantai di sofa sambil memeluk boneka kesayangannya dan akan beristirahat.
Mungkin Nico benar. Sandra memang kelelahan. Ia pulang dengan terburu-buru dari sekolah, berlari memasuki gedung tempat tinggalnya untuk menghampiri bosnya itu. Kakinya bahkan terasa masih gemetar hingga kini.
Ketika Sandra hendak memejamkan matanya, dia melihat sesosok bayangan berjalan ke arahnya. Ia langsung mengusap kedua matanya dan bangkit dari tidurnya.
"Kenapa kaget begitu?", Nico tertawa kecil melihat reaksi konyol Sandra. "Minumlah secangkir minuman hangat ini, lalu kembali tidur".
Sandra meraih secangkir teh hangat dari tangan Nico. Pria itu memperlihatkan raut wajah yang berbeda dengan akhir-akhir ini. Masih teringat jelas ekspresi dingin dan sorot mata penuh dendam yang terpancar dari bosnya setiap kali dirinya membuat masalah. Tapi kali ini, Sandra begitu tersanjung dengan wajah Nico yang terlihat begitu lembut dan penuh kasih.
Tunggu dulu. Bukankah yang berperan sebagai pelayan harusnya adalah Sandra? Kenapa sekarang malah terbalik? Sandra merasa harga dirinya sebagai pelayan paling mahal sedunia tercoreng. Betapa malunya ia membiarkan bosnya melayaninya yang sedang berpura-pura sakit!