"Apakah aku terlihat seperti pembohong?"
Nico mengerutkan dahinya, menyadari bahwa Sandra masih menaruh curiga padanya.
Sandra menggelengkan kepalanya. Jujur saja, pria itu memang tidak terlihat seperti pembohong. Tetapi penjahat mana yang akan mengaku bahwa dirinya adalah orang jahat?
Lagipula, membawa pulang orang asing di malam selarut ini? Sandra hanyalah gadis yang masih sangat muda, akan berbahaya jika ia hanya sendirian bersama dengan orang yang baru ditemuinya pertama kali.
Tetapi kesepakatan yang diberikan oleh Nico ini memang sangat bagus, Sandra sangat membutuhkan uang saat ini. Setelah beberapa pertimbangan, dia memutuskan untuk menaikkan harga.
"Boleh jika ingin menginap dirumahku, asalkan...", Sandra menggosokkan ibu jari dan telunjuknya berulang kali, berharap Nico memahami isyaratnya.
"Oke, tentukan harga!", Nico menanggapinya dengan senang hati. Sejak awal, dia telah menyadari bahwa isi kepala Sandra hanyalah dipenuhi dengan uang.
"Baik, bos!", sahut Sandra. "Baiklah, tambahkan satu juta lagi per jam, bagaimana? Kalau bos setuju, kita pergi ke rumahku sekarang"
Tak mau membuang waktu lagi, Nico langsung menyetujuinya. Sandra hampir tidak percaya. Ia merasa bahwa Nico berjanji terlalu banyak. Ia hanya berharap pria ini benar-benar bukan seorang penipu.
"Oke, kita jalan ke arah jalanan komplek universitas pak", Sandra memandang supir taxi itu dengan suara manis karena telah membuatnya cukup lama menunggu. Tapi sang supir tidak menanggapi senyum Sandra. Arah jalan yang dituju kedua penumpangnya ini berlawanan dengan arah mobil melaju saat ini. Membuatnya harus memutar balik.
Setengah jam kemudian...
Sandra mengambil kunci dan membuka kamar apartemennya. Dia adalah seorang pelajar dan menyewa sebuah kamar apartemen kecil di dekat sekolah untuk kenyamanan pergi ke sekolah. Kamar itu kecil, cukup untuk ditinggali dirinya seorang diri. Segala sesuatu di ruangan itu berwarna pink, lengkap dengan sofa yang dipenuhi boneka Hello Kitty, karakter favorit Sandra.
Masih berdiri di depan pintu, Nico tidak berani mendekat. Ia memperhatikan semua sudut di ruangan yang penuh dengan nuansa pink itu. Nico merasa bahwa tempat ini benar-benar tidak sesuai dengan auranya yang mendominasi. Tempat ini terkesan terlalu feminin dan manis.
Sandra sedang mengganti sepatu di dekat lemari sepatu. Ia baru saja menegakkan pinggang ketika dia melihat Nico berjalan dengan angkuhnya ke ruang tamu dengan masih mengenakan sepatu kulitnya.
"Hei, kamu belum mengganti sepatumu!", Sandra mengejarnya sambil membawa sepasang sandal merah muda.
Nico melirik sandal itu. Uh, dia benar-benar tidak tahan dengan semua warna pink ini.
"Apa aku harus memakainya?", Nico menggelengkan kepalanya.
Lalu ia kembali melihat ke segala arah di dalam ruangan. Matanya mengarah pada satu sofa berukuran minimalis di ruang tamu. Bagaimana bisa pria setinggi 1,9 meter itu bisa muat tidur diatasnya?
"Tampaknya sandal ini memang kekecilan untukmu. Baiklah, besok belilah sandal untuk dipakai dalam ruangan", ujar Sandra mengembalikan sandal pink ke tempat asalnya.
Nico menghela nafas lega sambil melepas sepatu kulitnya. Matanya menemukan letak kamar yang di dalamnya terdapat sebuah kasur tidur kecil yang terlihat nyaman. Ia pun berbaring di tempat tidur itu. Dalam posisi terlentang, kaki Nico menggantung di sisi tempat tidur. Jelas bahwa tempat tidur Sandra terlalu kecil dan sempit untuknya.
Melihat pemandangan ini, darah Sandra seakan mendidih dan siap meledak di tempat. Ia bergegas masuk ke dalam kamar dan menarik lengan Nico agar menyingkir dari tempat tidurnya.
"Ini kasurku!", Sandra tidak akan pernah membiarkan pria asing berbaring di tempat tidurnya, tidak pernah.
"Coba saja bangunkan aku jika bisa", ejek Nico sambil tetap mempertahankan posisi tidurnya.
Dengan sekuat tenaga Sandra menggapai tangan pria itu dan berusaha menarik tubuhnya.
Sial, seberapa berat orang ini? Bahkan dengan tenaga penuh pun ia tidak bisa menariknya? Sandra kelelahan dan berkeringat. Ia pun melepaskan tangannya.
"Hei, bangun, ayo bicara." Sandra memiringkan kepalanya dan memukul pinggul pria itu.
Nico yang mengantuk mencoba kembali membuka matanya, untuk pertama kalinya dia dipukul oleh seorang gadis. Gadis kecil, kamu berhasil menarik perhatian tuanmu. Setelah semua rasa kantuknya hilang, dia hanya duduk dan mencoba bersikap baik kepada sang pemilik rumah.
"Wahai Bosku yang menyusahkan, ini tempat tidurku, rumahku! Aku dengan senang hati menerimamu. Kamu sekarang seharusnya berterima kasih, bukannya seenaknya menempati tempat tidurku. Itu tidak pantas!", ujar Sandra dengan nada menyindir.
"Hm tapi aku kan tamu yang membayar.", jawab Nico dengan tenangnya.
Jawaban itu cukup untuk membuat Sandra terbungkam. Oke, benar juga, dia memberinya uang dalam jumlah besar. Tunggu, itu masih salah! Bahkan jika ia memberi uang sekalipun, seorang pria asing tidak bisa tidur di tempat tidurnya seenaknya.
"Se-seingatku, ketika kita di dalam mobil, aku hanya mengatakan untuk mengizinkan kamu tinggal di rumahku. Aku tidak pernah mengizinkanmu untuk tidur di tempat tidurku juga? Iya kan?", balas Sandra terus mencoba membantah.
"Hey, kamu kan seorang siswi sekolah keperawatan. Kalau kamu lulus nanti, kamu akan menjadi perawat. Bukankah petugas kesehatan harus memprioritaskan pasiennya yang terluka? Jadi seperti ini kamu memperlakukan pasien?"
"...", Sandra terdiam.
"Aku ini pasien yang sedang terluka, jadi harus tidur di tempat tidur yang nyaman. Jadi biarkan aku tidur disini, oke?", ujar Nico sambil menunjukkan perban di tangannya dan kembali membuat dirinya merasa nyaman di tempat tidur.
Dalam benak Sandra, Nico yang awalnya tidak banyak bicara, kini tiba-tiba berubah menjadi pria tua cerewet yang begitu menjengkelkan. Tapi apa yang keluar dari mulut pria ini selalu terdengar masuk akal.
"Huh, oke bos.. cukup masuk akal. Selamat malam.", Sandra menurunkan nada bicaranya dan bergerak mundur.
Baru sebentar saja, ia sudah memainkan perannya sebagai bos dengan sangat total. Meskipun sedikit kesal, Sandra berusaha keras untuk menenangkan dirinya. Ia selangkah demi selangkah keluar dari pintu kamar.
Ketika Sandra berbalik dan keluar menggerutu, Nico bangun dari posisi tidurnya dan menyangga kepalanya dengan satu tangan. Ia tertawa penuh kemenangan.
"Oh iya, aku terbiasa makan bubur ayam buatan rumahan untuk sarapan. Aku tidak bisa makan sembarangan", ujarnya kepada Sandra yang kemudian langsung menghentikan langkahnya.
Tinju Sandra kembali menegang. Orang ini, dia benar-benar mulai menunjukkan sikap aslinya!
"Siap bos!", Sandra menjawab dengan mencoba tersenyum.
"Tutup pintunya.", Nico yang sedang berbaring di tempat tidur mencoba terdengar selemah mungkin. Seperti seorang pasien yang benar-benar sekarat. Sandra sangat risih dibuatnya, sehingga dia meraih gagang pintu dan membanting pintunya dengan cukup keras.
Sarapan bubur buatan sendiri?! Memangnya ia terlihat seperti gadis yang bisa memasak? Meskipun dia sangat kesal, tapi apa boleh buat. Ia juga telah sepakat untuk menjadi pelayan dari bos manja itu untuk beberapa waktu ke depan. Sandra masih menggerutu sambil meraih ponselnya untuk mencari resep memasak bubur.
.............
Di kamar tidur...
Senyuman di wajah Nico menghilang untuk beberapa saat. Ia pun meraih ponsel dan mencoba menghubungi sekretaris pribadinya.
"Tuan Muda, anda dimana? Saya telah mengerahkan puluhan orang mencari anda ke seluruh kota! Tapi kami masih belum menemukan anda. Apakah anda baik-baik saja?" Di ujung lain telepon itu terdengar suara cemas Pak Bram.
"Aku baik-baik saja, bagaimana keadaan perusahaan sekarang?"
Mendengar suara bosnya terdengar baik-baik saja, Pak Bram menghela nafas lega. Nico terdengar sangat tenang. Dalam benak Pak Bram, bahkan jika langit runtuh sekalipun, bosnya yang tergolong masih muda itu mungkin masih bisa menanganinya dengan santai. Seolah-olah semuanya berada di bawah kendalinya.
"Belum ada yang tahu bahwa anda mengalami kecelakaan, tapi... Jika anda tidak kembali, saya khawatir berita itu akan segera menyebar"
Nico mengerti apa yang dimaksud asistennya. "Dengar, kau harus melakukan apa yang ku katakan ...", ujarnya mengeluarkan perintah.
Setelah mendengarkan perkataan Nico, raut wajah Pak Bram berubah seketika.
"Er, apa maksudmu ...", jawab Pak Bram penuh keraguan.
"Intinya aku tidak akan menampakkan diri kepada semua orang di perusahaan untuk sementara waktu. Pada rapat pimpinan selanjutnya, perhatikan gerak-gerik semua orang dan coba cari tahu siapa yang mungkin terlibat dalam percobaan pembunuhan ini."
Nico ingin tahu berapa banyak orang yang akan menunjukkan taringnya untuk mengincar posisi sebagai presiden eksekutif East Group selama ia menyembunyikan diri.
"Tapi Tuan, jika seseorang bertanya tentang keberadaanmu, apa yang harus aku katakan…", Pak Bram terdiam sejenak mencoba berpikir, "Saya tidak bisa mengatakan bahwa Tuan Muda hilang begitu saja. Begitu kabar ini keluar, saya khawatir seluruh anggota grup akan..."
"Semua kuserahkan padamu."
Nico tidak membiarkan Pak Bram menyelesaikan kalimatnya dan langsung menutup telepon. Dia tahu bahwa orang kepercayaannya itu cukup cerdas untuk bisa mengatasi permasalahan apapun. Ia pun membuang ponselnya dan kembali berbaring dengan nyaman di tempat tidur Sandra. Nico menutupi tubuhnya dengan selimut milik gadis itu. Bahkan udara dalam kamar ini penuh dengan aroma seorang gadis. Tanpa sadar, dirinya menjadi lebih tenang dan merasa nyaman. Entah kenapa untuk pertama kalinya dalam tiga puluh tahun, ia menunjukkan sisi lemahnya kepada seorang gadis. Nico tidak bisa berhenti memikirkan sosok Sandra. Apakah gadis itu sudah tertidur?
................