webnovel

Sebuah Perjanjian

"Pamanku hanya bicara saja. Apakah kamu benar-benar mengira dia akan mengambil keputusan langsung? Kami akan menyetujui kalau dia sudah ambil keputusan. Tapi kalau kamu terus berbicara omong kosong saja, aku mengerti bagaimana sikapmu soal hal ini!"

Dalam perjalanan kembali ke kampus universitas, Jessica terus berbicara sambil jalan di samping Alana.

Alana juga merasakan kebingungan yang lain.

Faktanya, menjauh dari Reynaldi adalah hal terbaik yang harus dilakukan berikutnya. Lagipula, Alana tidak dapat mengatur perusahaan mana yang akan dituju Reynaldi di masa depan, atau bagaimana dia akan berkembang di perusahaan itu.

"Tapi, waktu itu pamanmu sudah menyebutkan keuntungannya, dan aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Bukankah itu sangat memalukan …?" Gumam Alana.

"Oh, jika Reynaldi tidak setuju, menurutku kamu bahkan akan kehilangan posisimu!", ucap Jessica dengan wajah pucat.

Alana cemberut. Dia berjalan di jalanan kampus dengan kedua tangan berada di saku bajunya. Sesekali dia menendang kerikil di sepanjang jalan.

Terkadang dia juga tidak suka akan dirinya yang sangat temperamental.

"Alana! Apa yang kamu lakukan?"

Sebuah suara yang akrab datang dari belakang, Alana menoleh, dan tentu saja—

"Reynaldi!"

Pria itu baru saja keluar dari perpustakaan, berdiri tidak jauh dengan mereka. Sinar matahari seolah-olah terpancar dari balik tubuhnya. Alana tidak pernah mengira bahwa selama ini, dirinya sangat mempesona!

Alana bergegas menghampirinya.

Dihampiri Alana seperti itu, membuat perasaan Reynaldi menjadi tidak enak. Hingga Alana sudah berdiri di depannya dan menepuk dadanya dengan kedua tangan. "Aku menemukanmu, pria sibuk!"

"Kau mencariku?" Reynaldi mengangkat alisnya heran. Tingkah Alana entah membuatnya lebih baik.

"Em. Tentu!", ujar Alana dengan mengangguk penuh semangat. Dia meraih satu tangan Reynaldi dan menariknya pergi. "Ikut aku karena aku punya sesuatu untuk dibicarakan denganmu!"

Reynaldi berkedip kebingungan sambil melihat tangannya digenggam tangan Alana.

"Jessica! Duluan saja! Tunggu kabar baik dariku, ya!" Alana berteriak pada Jessica sambil mengedipkan satu matanya.

Jessica mengela nafas berat saat memandang kepergian keduanya.

Reynaldi ditarik Alana ke sebuah ruangan kosong di sebelah perpustakaan. Alana membersihkan debu yang menempel pada bangkunya dengan kedua tangan, kemudian meniupnya, dan meminta Reynaldi untuk duduk di sana.

Hawa ruangan yang dingin, membuat punggung Reynaldi ikut merasakan dingin.

"Ada perlu apa?"

"Hehe."

Alana memasang wajah berpikir sambil memegang dagunya dan bertanya, "Apakah kau sudah memikirkan perusahaan mana yang nanti akan kau masuki?"

"Belum. Kenapa kau tiba-tiba menanyakan ini padaku?"

"Aku mendengar dari dosen bahwa banyak perusahaan sudah menawarimu bekerja. Apakah kau sudah memikirkan perusahaan mana yang akan kau ambil?"

Reynaldi menyentil pelan dahi Alana dan berkata, "Ada apa tiba-tiba?"

Alana mengusap dahinya. Wajahnya masih berbinar. "Hanya hal kecil ... itu ... Rey. Eum, kau tahu?"

"Tahu apa?"

"Apa pendapatmu tentang tawaranku sebelumnya?"

Reynaldi mengangkat alisnya, mendekatkan wajahnya ke Alana, dan tiba-tiba berkata, "Kau sudah menerima bayarannya?"

"Apa! Tidak! Bagaimana aku bisa melakukan hal seperti itu padamu!"

Lihatlah! Alana merasa bersalah pada Reynaldi.

"Alana, jangan keras kepala begitu. Mengakulah ..."

"Baiklah. Aku menyerah!" Alana segera mengangkat kedua tangannya tanda menyerah, kemudian menceritakan dengan jujur tentang sponsor kepada Reynaldi.

"Ini bukan tentang mengumpulkan uang, kan?"

"... Bagaimana kau ta--"

"Alana, tanyakan kepada dirimu sendiri. Sudah berapa kali kau menawarkan ini padaku? Apakah kau mengambil keuntungan dariku lewat penawaran ini?"

Reynaldi mencubit pipi tembam gadis itu.

"Aw … Rey!", keluh Alana kesakitan.

Reynaldi menggelengkan kepala dengan marah. "Aku tidak menerima tawaranmu!"

"Apa?" ujar Alana tidak percaya.

"Hm? Mereka, Baskoro, keluarga yang sombong. Kau memintaku untuk menjilat mereka, begitu?"

"Mengapa kamu berkata seperti itu, keluarga Baskoro tidak seperti yang kau pikirkan ...", gumam Alana pelan. Walaupun dia tidak berharap lebih, saat Alana ditolak seperti ini oleh Reynaldi ... Ia merasa begitu malu.

"Oh. Apakah kau keberatan dengan itu, Alana?"

"Kita telah merasakan pahit manisnya hidup bersama-sama. Bukankah itu namanya sahabat sejati?" ujar Alana.

"Sahabat sejati, pantatmu!"

"Reynaldi! Kau—"

"Ya? Kenapa denganku? Hm?"

Reynaldi mengangkat kedua alisnya saat Alana berbicara dengan bahasa formal yang dibuat-buat, "Saudara Reynaldi, Senior Reynaldi, mengapa Anda tidak berkuliah selama sebulan ini? Ngomong-ngomong, di mana Anda bekerja? Apa? Menganggur? Oh! Sakit!"

Pipi tembam Alana lagi-lagi dicubitnya.

"Percuma sajalah! Kamu bodoh menolak tawaran emas ini! Jangan ada penyesalan nanti, ya!"

"Sungguh trik yang usang. Selama 19 tahun ini, aku selalu dibodohi olehmu. Tapi, apakah aku bisa mengandalkamu kali ini, Alana?"

"Reynaldi! Percuma aku berbicara denganmu! Huh!"

Alana bangkit bediri, tetap diam di tempat selama beberapa saat. Namun tidak ada tanda-tanda Reynaldi akan menahannya pergi. Akhirnya, dia berbalik dan berbicara dengan nada membujuk, "Kakak ..."

Reynaldi duduk sambil menyilangkan kedua tangannya dan tertawa karenanya.

Alana cemberut. "Bantu aku sekali inii saja ..."

"Ini bukan pertama kalinya kau seperti ini. Apakah perlu melakukan hal ini, Alana?"

"Kali ini berbeda!"

"Bagaimana orang itu bisa berbeda?"

"Eum ... pokoknya, kali ini berbeda! Paman itu ... berbeda!"

"Mengapa dia berbeda?", tanya Reynaldi dengan mata tajam menilisik.

"He, he ..."

Kenapa paman itu berbeda? Hm ... Alana memikirkan jawabannya. Dia memutar kedua bola matanya dan berkata, "Dia adalah Paman Jessica. Aku tidak bisa mempermalukan Jessica!"

"Heh … kalian ini! Memangnya kenapa kalau membuat malu Jessica? Sesekali tidak apa-apa. Toh, tidak membuatmu rugi."

"..."

Alana kembali duduk di kursinya, bersenandung dan bergumam tidak jelas. Reynaldi memandang ke samping hingga mengatakan sesuatu setelah diam untuk beberapa saat, "Bisa saja aku membantumu."

"Ah! Benarkah?!"

Reynaldi menghela nafas dan sedikit mengangkat dagunya. "Datanglah ke ruangan manajemen bisnis saat Malam Natal."

"Aku akan mengadakan kompetisi menyanyi dan menari pada Malam Natal!", ujar Alana bersemangat.

"Pestamu akan dimulai pukul sebelas malam di ruangan manajemen bisnis."

"Oh! Oke! Sebutkan saja apa maumu?"

Kedua tangan Reynaldi bersendekap di dadanya. "Jurusan Manajemen Bisnis akan mengadakan kompetensi dansa. Penari terbaik akan dihadiahi sebuah trofi. Aku menginginkan trofi itu."

"Ha? ... hanya untuk sebuah trofi? Reynaldi, kamu benar-benar ... trofi emas atau perak?"

"Keduanya! Berikan saja itu padaku!", jawab Reynaldi singkat.

"... Oh."

Alana mau tidak mau harus setuju, dan mulai memikirkan bagaimana caranya mendapatkan trofi emas dan perak itu untuk pria itu. Jika tidak, Reynaldi tidak akan menerima membantunya kali ini.

"Jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, aku pergi dulu." Reynaldi bangkit, mengambil dua langkah, lalu berbalik, "Oh, ya, itu tarian berpasangan."

"Apa?"

"Kubilang, tarian berpasangan! Itu artinya kita akan menang jika kita berdua menang."

"Reynaldi ...Kau tidak lupa jika kau tidak tahu langkah ritme menari, bukan?"

"Lupa." Reynaldi menjabat tangannya, lalu pergi.

Alana terpaku di tempat yang sama, dan setelah beberapa saat, dia gila memikirkan omongan pria itu barusan!

Reynaldi adalah pria berbakat dengan EQ dan IQ tinggi, ya semua orang setuju dengan itu. Tapi, ada satu hal yang Reynaldi buruk dalam melakukannya, yakni menari! Ya! Reynaldi sangat buruk dalam hal menari!

Próximo capítulo