webnovel

CH 1 Part 4

Tak lama setelah peristiwa itu, Rojali menikahi perempuan yang telah dikawini sebelumnya. Ia adalah perempuan cantik, cerdas, sekaligus gila harta. "Apa Kau mau aku melahirkan tanpa suami lalu membuat ingar bingar bahwa Kau yang melakukannya, Mas? Lupa kalau ayahku punya kuasa?"

"Tenang, Wulan. Aku akan bertanggung jawab," jawab Rojali menghentikan ocehan perempuan itu.

Kemudian, menikahlah Rojali dengan perempuan tersebut. Tapi Wulan tidak menyangka jika akhirnya Ia akan dimadu dengan banyak wanita sekaligus.

"Kamu ngapain lagi, Mas? Nggak cukup aku buat kamu? Aku kurang apa lagi, Mas?" Suara Wulan melengking membuat telinga Rojali sedikit risih.

"Kamu tetap yang terbaik, Wulan," bisik Rojali.

Ia berusaha sebaik mungkin agar istrinya menerima segala keputusannya. Itulah salah satu alasan Rojali selalu membuatkan rumah yang terpisah untuk setiap istri barunya, karena Wulan tidak sudi melihat wanita lain selain dirinya. Tapi, apakah berarti Wulan mencintai Rojali? Tentu saja, buktinya kekesalannya pada Rojali hanya sebatas menggerutu saja. Ia tidak minta dicerai oleh Rojali ataupun meminta Rojali untuk menceraikan madunya.

Tujuh belas tahun sudah Rojali hidup kaya raya semenjak sejarah sertipikat tanah tak bertuan tersebut. Sekali lagi, tak ada yang tahu tentang rahasia besarnya. Tapi Ia tidak sadar bahwa ada anak lelaki yang tahu persis apa yang terjadi sebenarnya. Anak itu terlalu lemah untuk mengungkap sebuah kekejian.

"Aku akan berangkat arisan. Kau mau nitip apa, Mas?" Ujar Wulan di suatu siang.

"Titip biasa," jawab Rojali.

"Obat kuat lagi?" Semprot Wulan. "Kapan Kau akan tobat sih, Mas? Apa belum puas hidup setengah abad hanya untuk memuaskan nafsumu?" Wulan lanjut menggerutu.

Rojali hanya diam saja, tapi kemudian Ia bersuara. "Hidup hanya satu kali, mau apa lagi kalau tidak digunakan untuk berpuas-puas?"

"Ck. Wati sebentar lagi melahirkan, bulan ke sembilannya sudah habis," ketus Wulan.

"Kau bantu lah dia," jawab Rojali enteng.

"APA? MANA AKU SUDI, MAS?" Wulan naik pitam. Suaminya itu memang gila. Seharusnya Ia bersyukur karena Wulan tidak membunuh para madunya, tapi Rojali malah merogoh ampela setelah dikasih hati. Dengan ketus Ia menyambar tas selempang Shopie Paris-nya dan memasuki mobil kesayangannya.

Enam belas tahun lebih Wulan hidup dengan Rojali tetapi hatinya bukanlah untuk dia. Wulan menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah tak kalah mewah dengan rumahnya. Ia memencet bel di samping pintu masuk, tak lama kemudian sang tuan rumah membukakan pintu.

"Eh, Jeng Wulan. Akhirnya datang juga, mari masuk," Anik merangkul perempuan ber-lipstick tebal di depan pintu rumahnya.

"Ah, kangen. Kita kan cuma ketemu sebulan sekali, Jeng," tanggap Wulan.

Di dalam rumah Anik sudah ada ibu-ibu berpakaian glamour lainnya. Mereka menghentikan obrolannya sebentar dan heboh dengan kedatangan Wulan. Wulan memang nomor satu di antara yang lain, Ia selalu ingin tampak paling cantik dan modis segalanya.

"Saya tuh kemarin beli baju di Bandung, tapi sampai rumah nggak pas. Terlalu norak warnanya," ujar Shinta.

"Ih, udah dibilangin lebih enak jahit sendiri saja, bebas pilih bahan dan model," tanggap Anik.

"Coba aja dipadu sama warna lipstick yang beda, Jeng. Baju cocok atau enggaknya itu tergantung kita pede atau enggak pas pakai," timbrung Wulan.

"Eh, eh, kalian tahu?" Lia mengalihkan topik.

"Apa Jeng?" Tanggap yang lain hampir bersamaan.

"Kabarnya, si Kristin itu berhasil merebut hatinya Arman," Lia mencondongkan kepalanya kepada teman-temannya dan setengah berbisik.

"Hah?" Pekik perempuan-perempuan itu di depan Lia.

"Ih, apa-apaan. Harusnya dia milikku," Shinta tidak terima.

"Hadeh, punyamu kan udah banyak, Jeng Shinta," Wulan menyenggol Shinta dengan lengannya.

"Ck. Bahagia nggak harus dengan laki-laki, makan enak, plesir, belanja juga bikin bahagia," Anik memutar bola matanya malas.

"Iya. Betul itu," Wulan setuju. 

Tak semua di antara perempuan-perempuan itu adalah perempuan yang hidupnya bahagia sejahtera, termasuk Wulan. Memangnya apa yang Ia dapat dari Rojali? Rumah mewah? Mobil mewah? Uang berlimpah? Barang-barang bermerk? Semuanya Ia dapatkan. Tapi hatinya menyangkal bahwa Ia telah mendapatkan Rojali seutuhnya. Ia sama dengan gundik-gundik Rojali. Pemuas nafsu belaka!

Wulan tidak betah bergaul dengan orang-orang sekitar, karena mereka pasti mencibirnya dengan berbagai ucapan yang menyakitkan. Tidak dikata-katai saja Wulan sudah sakit hati, apalagi mendengar penegasan mereka.

"Bu Wulan itu kenapa mau ya, dimadu dengan banyak wanita. Padahal Ia cantik lho, pintar lagi. Kenapa nggak cerai terus cari suami lagi, ya?"

"Bu Wulan itu emang niatnya numpang hidup ke Rojali, mau di madu dengan puluhan atau ratusan perempuan pun, Ia tidak menolak."

"Kalau saya jadi Bu Wulan, saya sudah curi semua harta Rojali terus kabur saja. Buat apa hidup dengan laki-laki seperti itu."

"Kalau saya malah mau bunuh Rojali saja, biar dapat semua warisannya."

Ibu-ibu kompleks membicarakannya tanpa peduli apa yang sebenarnya terjadi, karena mereka bukan Wulan. Terkadang Wulan juga dicap sebagai warga yang sombong karena jarang keluar rumah dan bergaul dengan para tetangganya. Tapi, saat Wulan menanggapi ucapan mereka dan muncul di warung atau musholla malah dapat cibiran tidak jelas tentang kehidupan rumah tangganya.

Istri-istri Rojali tidak ada yang akrab satu sama lain, bukan hanya mereka saling cemburu atau tidak peduli. Tapi karena kehidupan mereka dibatasi oleh Rojali. Wati contohnya, Ia tidak boleh pergi dari sekitar rumah dan tidak boleh menerima tamu orang asing selain keluarganya.

Semua kebutuhan Wati sudah tersedia di rumah. Beli sayuran tinggal beli di penjual sayur keliling, barang-barang rumah tangga sudah dijatah dari sekretaris Rojali. Namun Ia sama sekali tidak boleh bepergian kecuali Rojali sendiri yang membawanya. Mirip barang simpanan jika dianalogikan.

"Tuhan, aku ingin anak-anakku kelak tak bernasib seperti diriku," lirih Wati di setiap doanya.

Wati berpikir, keputusan Ratih untuk bercerai dengan Rojali sangat benar. Kakaknya sekarang bebas meski nasibnya dulu tak sepilu dengan dirinya. Rumah kakaknya tak jauh dari rumah Ibu, tapi hal itu juga yang menyebabkan petaka atas dirinya.

***

Próximo capítulo