Reva memang benar-benar marah padanya. Charlos sama sekali tidak bisa menghubunginya kemarin. Teleponnya tidak diangkat, pesannya tidak dibalas. Tidak masalah, pikir Charlos (kata-kata yang sering diucapkan Reva). Ia belum berani untuk langsung datang ke kamar hotelnya. Tapi hari ini dia akan menemuinya. Ia telah mengetahui hotel tempat tujuan Reva di Jakarta.
Pagi-pagi sekali Charlos sudah bersiap-siap. Ia berjanji pada Satria akan ke gereja bersama. Ia merasa tidak enak kalau harus membatalkannya. Charlos memilih untuk terlihat casual. Kemeja kotak-kotak dan jeans sudah cukup.
Ia melihat ponselnya, terdapat foto Reva yang sedang memaikan saxophone. Baiklah, pertama ke gereja, kedua langsung meluncur ke Jakarta. Supirnya sudah menunggu. Charlos segera berangkat ke gereja.
Satria sudah menunggunya dan mereka bersama-sama masuk ke dalam aula yang letaknya ada di lantai dua. Kebaktian belum dimulai. Para jemaat mulai memenuhi tempat duduk. Satria terlihat gelisah. Matanya terus menerus melihat ke sekitar.
"Hei Sat! Apa yang kamu lakukan?" tanya Charlos.
"Apa? Tidak. Aku hanya melihat-lihat saja." Satria tertawa garing. Matanya tidak benar-benar memperhatikan Charlos. Satria terus menerus mendecak kesal. Lalu iseng membuka Alkitab. Charlos tahu kalau Satria tidak sedang benar-benar membaca Alkitab.
"Sat! Mengakulah! Kamu sedang mencari siapa?" desak Charlos.
Satria terkejut. Ia tampak berpikir sejenak, lalu berkata, "Oke Charlos, kamu harus jaga rahasia ini ya. Aku sebenarnya sedang menunggu Carissa. Aku ingin tahu dia ke gereja apa tidak."
Untuk apa hal seperti itu dirahasiakan? Dasar memang Satria itu aneh. Charlos mencoba mengingat nama Carissa. "Maksud kamu penyanyi paduan suara yang kemarin itu?"
"Sssssttt!! Jangan kencang-kencang, Charlos! Aduh..."
Charlos kaget. Satria terlalu berlebihan. Suaranya yang membahana keras sekali sampai membuat kuping Charlos sakit.
"Memangnya kenapa?"
Satria mendengus perlahan kemudian menatap Charlos dengan sungguh-sungguh. "Charlos, aku... sepertinya... aku benar-benar menyukai Rissa. Dia itu sangat cantik dan menyenangkan. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya."
"Oh ya ampun. Aku pikir kenapa."
Mereka tidak lagi membahas tentang perassan Satria karena kebaktian sudah dimulai. Kemudian saat pertengahan khotbah, ponsel Charlos bergetar. Ada pesan masuk.
"Selesai kebaktian aku tunggu di parkiran."
Mata Charlos membelalak. Itu Reva. Bagaimana Reva bisa menemukannya di sini? Ternyata Reva belum berangkat ke Jakarta. Dan mereka akan bertemu lagi hari ini. Sungguh ajaib. Padahal sejak kemarin Reva sama sekali tidak menjawab telepon darinya. Ia sudah tidak bisa berkonsentrasi lagi dengan khotbahnya.
Untung saja mereka duduk tidak terlalu jauh dari pintu keluar. Selesai kebaktian Charlos tergesa-gesa keluar dari aula, turun tangga secepat kilat, tidak memperdulikan Satria yang memanggilnya.
Ketika Charlos sudah mencapai parkiran, ia bisa melihat Reva membuka jendela mobil sedan hitam. Reva memakai kacamata hitam, terlihat sangat kontras dengan kulit wajah yang putih.
"Kamu mau ikut aku atau tidak?" tanya Reva agak tegas.
Charlos hanya tersenyum, lalu ia segera masuk ke dalam mobil tanpa ragu-ragu.
"Aku pikir kamu tidak mau bertemu denganku lagi." Charlos terkagum-kagum memandang Reva, masih tidak percaya Reva bisa ada di sini.
"Hei! Aku pikir justru kamu yang tidak mau!" seru Reva.
Charlos menggelengkan kepalanya. "Kamu tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya..."
"Apa, Charl?" tanya Reva melembut.
"Kamu marah dan pergi begitu saja. Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi kamu, Rev," ungkap Charlos.
Jantung Charlos bergetar. Wajahnya tersenyum-senyum, ia merasa senang bukan main. Reva benar-benar nyata ada di hadapannya.
"Charl, apa kamu mau sarapan denganku?" tanya Reva.
Dengan senang hati Charlos menunjuk sebuah kedai kopi yang letaknya tidak jauh dari gereja. Reva memarkirkan mobil lalu mereka sama-sama masuk ke dalam kedai kopi. Reva memesan roti tanduk dan Cappuccino. Charlos memesan Americano.
"Apa kamu tidak sarapan di hotel tadi pagi?" tanya Charlos sambil memperhatikan Reva yang sedang menyeruput Cappuccino. Busa putih menempel di bibir atas Reva. Reva menjilatinya perlahan. Mendadak jantung Charlos berdetak kencang.
Reva tersenyum. "Charl, aku tidak mungkin turun untuk sarapan bersama tamu-tamu lainnya, bukan. Aku tidak akan membahayakan diri dengan muncul di tempat umum seperti itu. Aku juga tidak bisa menelepon customer service untuk memesan makanan. Nanti akan ada seseorang yang mengantarkan makanan itu ke kamarku dan mereka akan melihatku. Aku benar-benar tidak boleh terlihat sama sekali, Charl. Bukan begitu?"
Charlos terkejut mendengar ungkapan Reva. "Oh ya ampun. Seharusnya tadi pagi aku mengantarkanmu sarapan. Aku sama sekali tidak berpikir ke sana." Ia jelas-jelas pria yang kurang perhatian. Charlos berharap Reva tidak kecewa padanya.
"Tapi tenang saja, Charl. Aku sama sekali tidak terlihat. Aku harap di tempat ini cukup aman dari wartawan. Aku lupa membawa masker."
Charlos menghela napas. "Kamu tidak usah pakai masker. Aku pikir tidak masalah kalau ada orang yang melihat kita bersama di tempat ini."
"Kamu yakin?" Reva tersenyum menggoda.
"Entahlah, Rev. Kadang aku lelah harus bersikap seperti ini." Charlos mengaduk-aduk kopinya perlahan. "Soal yang kemarin... Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk tidak sopan. Aku akui kalau ini agak sulit bagiku. Aku tidak mengerti kalau kita akan sampai pada tahap seperti ini. Aku tidak mau banyak orang yang tahu tentang kita. Tapi di sisi lain, aku juga mau bebas melakukan apa saja yang aku mau. Hanya aku dan kamu, Rev."
"Charl, aku mohon kamu jangan bahas tentang ini lagi. Aku mau kita bersikap normal." Reva menatap Charlos serius.
Charlos bahkan tidak mengerti apa dimaksud dengan normal. Ia mulai berpikir kalau Reva hanya ingin sekedar berteman saja dengannya, tidak lebih dari itu.
"Aku ingin kita bersenang-senang, Charl, bukan untuk membahas hal seperti itu. Rasanya terlalu... berlebihan."
"Jadi kamu pikir aku berlebihan? Setelah apa yang sudah kita lalui bersama..." Charlos mengerutkan dahinya.
"Charl... Ayolah..." Reva menggenggam tangan Charlos lalu tersenyum. "Kita tidak punya banyak waktu untuk bertengkar. Apa kamu mau bersenang-senang denganku hari ini?"
"Tentu saja." Bagaimanapun juga Charlos membalas senyuman Reva.
Setiap sentuhan Reva membuat Charlos semakin jatuh cinta. Terlepas dari segala kenyataan gila yang sudah terlanjur dia hadapi. Ia akan membuat Reva membuka pikiran, tapi ia tidak tahu bagaimana cara meyakinkan Reva.
Setelah selesai sarapan, mereka masuk ke dalam mobil.
"Aku pikir seharusnya hari ini kamu ke Jakarta."
"Ya memang," Reva mengangguk.
"Apa sekarang kita langsung ke Jakarta?"
"Yup! Dan hari ini aku yang jadi supir pribadi kamu."
"Dan aku yang jadi penjaga pribadi kamu. Hei! Apa kamu membawanya juga?"
"Tenang saja, Charl. Hari ini hanya aku dan kamu."
Charlos tersenyum sambil mengenakan sabuk pengaman. Dalam hatinya ia senang sekali bisa hanya berduaan saja dengan Reva.
"Bagaimana kemarin?" tanya Reva. "Jadi latihannya? Kamu benar-benar main drama? Oh yang benar saja!" Reva terkekeh.
"Tentu saja! Aku ini sangat berbakat. Kamu harus melihatku nanti kalau aku pentas. Oke?" kata Charlos dengan bangga.
"Kita lihat saja nanti. Kalau saja aku masih di Indonesia."
Charlos terdiam. Dia kembali tersadar kalau Reva ke sini hanya untuk sementara saja. Ia akan sangat merindukan Reva...
"Hei! Kamu kenapa jadi sedih begitu? Kamu juga kan tidak bisa datang saat aku Festival Jazz nanti. Kita impas," kata Reva, tangannya memegang setir mobil, fokus ke jalanan.
"Kamu lupa ya. Aku kan sudah bilang kalau aku akan datang. Jarak Singapura ke Jakarta itu hanya dua jam saja. Aku pasti bisa datang tepat waktu. Lihat saja nanti. Pulang Singapura langsung Festival Jazz. Setuju?"
Reva tertawa, "Oke, tidak masalah."
Charlos tersenyum sambil terus memandangi Reva lekat-lekat.
"Charl..." Reva meliriknya sebentar karena kemudian matanya kembali melihat ke jalan. "Kenapa kamu melihatku terus?"
"Benarkah?" Charlos mendadak gugup. Tangannya meraba-raba player yang menempel di dashboar. Jarinya berhasil menekan tombol play. Terdengar suara gitar dipetik dengan tempo yang cepat. Suara penyanyi wanita sangat merdu. Charlos menangkap beberapa kata yang dinyanyikan dengan cukup cepat itu.
Take me as I am. If not now then when...
"Charl, kamu suka lagu ini tidak? Aku sangat kagum pada Basia. Aku sudah mengkoleksi albumnya sejak tahun sembilan puluhan. Beberapa tahun yang lalu dia juga pernah tampil di Indonesia. Oh Charl, sayang sekali aku tidak sempat menontonnya," Reva menghela napas. Matanya kembali melirik Charlos. "Charl?"
Ada sebuah getaran dalam hatinya yang merasa seolah dituntut oleh kata-kata itu. Kalau tidak sekarang kapan lagi? Sekarang atau tidak selamanya. Charlos merasa dia benar-benar kekurangan waktu. Lidahnya terasa gatal ingin mengucapkan kata-kata yang sederhana itu.
Aku cinta padamu.
Charlos menepuk dahinya. Ia menarik napas dalam-dalam.
"Kamu kenapa, Charl? Kamu baik-baik saja kan? Oh please jangan membuatku takut." Reva memandangnya dengan raut wajah serius bercampur khawatir.
Rasanya kata-kata itu sudah sering Reva ucapkan di webcam. Reva pun sering kali menunjukkan ketulusannya setiap kali Charlos sedang bersedih. Tapi entah mengapa saat ini kata-kata itu membuat jantungnya semakin berdetak kencang.
"Rev..." Charlos hanya mampu menatap lurus ke jalan.
"Iya Charl..." jawab Reva lembut.
"Menurutmu, aku aneh atau tidak?" tanya Charlos, nadanya serius.
"Sejak awal kamu memang orang yang aneh."
Kata-kata itu begitu melukai hati Charlos. Kali ini Charlos bersungguh-sungguh tidak akan pernah mengungkapkan perasaan yang sebenarnya pada Reva. Dia memang orang yang aneh. Mungkin hanya dirinya sendiri yang menganggap bahwa cinta ini adalah benar. Bagaimana bisa ia membuat Reva membuka pikiran?
Charlos cemberut. Dia melipat tangannya. Reva tertawa renyah. "Kamu kan sudah pernah mengalami masa-masa sulit. Jangan lupa aku juga pernah mengalami masa sulit seperti kamu. Kita telah melewati itu semua bersama. Jadi aku akan menganggap kamu aneh kalau kamu masih suka bermuram durja."
"Aku tidak bermuram durja!" seru Charlos.
"Iya! Baru saja kamu bermuram durja. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu. Sebaiknya kamu jangan bersikap seperti itu lagi. Kita kan sudah bertemu. Seharusnya kamu senang bertemu denganku."
"Tentu saja aku senang sekali bertemu denganmu, Rev."
Reva benar, pikir Charlos. Dia masih belum bisa mengendalikan dirinya sendiri. Tapi sebenarnya bukan karena masalah masa lalunya yang membuatnya bermuram durja. Ini tentang perasaannya saat ini. Perasaan cinta yang mungkin tidak seharusnya ia rasakan.
"Apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" tuduh Reva melirik Charlos, masih mendapati ekspresi sedih dari wajahnya.
"Apa? Tidak." Charlos mengubah posisi duduknya. Dia memang tidak pandai berbohong. Tiba-tiba ia sibuk menekan-nekan lagi tombol player. MP3 berganti jadi radio. Charlos memaju-mundurkan frekuensinya. Suaranya terlampau berisik.
"Kenapa lagunya diganti?" Reva menekan tombol MP3. Charlos mengubahnya lagi menjadi radio. "Charl!"
Charlos tertawa. "Kamu menyetir saja. Aku mau mendengarkan radio."
Reva kembali menekan tombol MP3 dan Charlos mengubahnya lagi jadi radio. Mereka terus saja menekan-nekan tombol player. Akhirnya Reva tertawa juga.
Laju mobil melambat. Mereka mulai mengantri untuk menuju pintu keluar tol. Kemudian mobil sepenuhnya berhenti.
Charlos meremas tangan Reva saat ia hendak menekan lagi tombol playernya. Charlos mematikan player itu dengan tangan kirinya. Mereka saling berpandangan. Suasana mendadak hening. Charlos bisa merasakan detak jantung di lehernya.
Terdengar suara klakson yang begitu nyaring dari mobil di belakang mereka. Charlos serentak melepaskan tangannya. Reva melirik ke spion di atasnya, dia tersenyum. Lalu Reva menginjak pedal gas. Reva membayar tagihan di pintu tol. Kemudian mereka memasuki kawasan Jakarta. Mereka tidak banyak bicara sesudahnya.
Reva dapat mengandalkan GPS di mobilnya. Segera saja mereka tiba di kawasan Kemayoran, melewati Jakarta International Expo. Reva menunjuk, "Nah di sana nanti aku akan tampil. Semeru Garuda Indonesia Hall. Aku akan tampil tanggal delapan, jam setengah sebelas malam. Jangan sampai lupa ya."
"Setengah sebelas malam kan. Siap!" Charlos menaruh tangannya di kening tanda hormat. Reva tertawa lagi.
Akhirnya mereka tiba di Hotel Borobudur. Penjaga pribadinya membuka pintu mobil untuk mereka. Reva turun terlebih dahulu dan berjalan mendahului Charlos. Seorang satpam masuk ke dalam mobil lalu memarkirkannya di tempat parkir VIP.
Pemilik hotel Borobudur adalah teman baiknya. Jangan sampai Charlos bertemu dengannya. Ia akan kesulitan menjelaskan tentang kedekatannya dengan Reva.
"Bos, semuanya sudah siap. Silahkan ke lantai lima. Mr.Jack sudah menunggu," kata sang penjaga.
Reva mengangguk. Mereka berjalan, diikuti sang penjaga dan temannya satu lagi.
Charlos berbisik, "Hei! Kamu bilang kita hanya berdua. Itu ada penjaga kamu." Jarinya menunjuk sang penjaga tapi matanya tidak berani menatap langsung.
"Bukannya dari tadi kita memang berdua di mobil," jawab Reva sambil terus berjalan.
Charlos menghela napas. Dengan kesal ia berjalan sambil melirik ke arah penjaga pribadi Reva. Sesungguhnya Charlos tidak tahu apa yang akan Reva lakukan saat bertemu dengan Jack nanti. Mereka terus berjalan menuju lift dan tiba di lantai lima.
Di sana Mr.Jack sudah menanti. Ada fotografer yang mengambil beberapa foto Reva. Sang penjaga sibuk menutupi Charlos dan Reva. Charlos juga menutup wajahnya rapat-rapat dengan tangannya. Dengan segera Charlos menyelinap dan masuk lagi ke dalam lift, kabur meninggalkan Reva.
Ia mendekati satpam : "Mana kunci mobilnya?" Satpam itu menatapnya heran.
"Tapi..."
Charlos menarik kunci mobil Reva dari tangan satpam itu, lalu melesat pergi.
"Pak! Pak!" seru satpam itu. Charlos mengabaikannya.
Dia tidak tahu harus ke mana. Saat ini dia benar-benar malu dan menyesal. Kenapa Reva tidak bilang kalau di sana akan ada wartawan. Dia tidak mau kalau sampai fotonya masuk ke internet. Jangan sampai semua orang tahu ia membuat skandal dengan Reva.
Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Bandung. Menghindar memang bukan solusi, tapi dia benar-benar tidak boleh terlihat dengan Reva. Kalau sampai media tahu atau CN Group tahu... Habislah sudah proyeknya kali ini.
Sekarang ia tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadap Reva. Kali ini Reva pasti kecewa sekali. Apa mungkin ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Reva? Kebetulan dia sedang menculik mobilnya. Mau tidak mau pasti mereka akan bertemu lagi.
Dia melirik ponselnya, menatap foto Reva, berharap Reva akan menghubunginya. Tapi tidak ada. Charlos memukul setir dengan tangannya, kesal. Dia terlalu pengecut untuk menelepon duluan.
Tapi kemudian ia mengetik pesan : "Maafkan aku, Rev. Sampai bertemu nanti." Charlos menunggu beberapa saat, tidak ada jawaban.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Dalam waktu dua jam Charlos sudah tiba di Bandung kembali. Mengantri di pintu tol. Perutnya lapar sekali.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Tanpa melihatnya lagi, Charlos langsung mengangkat telepon.
"Rev?"
"Charlos? Ini aku, Satria." Charlos menghela napas.
"Kamu ada di mana? Kenapa kamu langsung menghilang tadi waktu di gereja?"
"Aku sedang di jalan. Bagaimana kalau kita bertemu? Aku lapar!"
"Oke! Cafe Pasta ya seperti biasa."
"Aku berangkat sekarang. Bye!" Charlos menutup teleponnya.
Setengah jam kemudian mereka bertemu di sebuah cafe di daerah Progo. Charlos tiba lebih dahulu. Dia langsung memesan Fettucini Carbonara kesukaannya. Tidak berapa lama Satria datang, duduk di sebelahnya, menyambar Lemon Squash milik Charlos dan meminumnya banyak-banyak.
"Parah parah parah! Ini benar-benar parah!" seru Satria.
Mulut Charlos penuh dengan pasta, ia memandang heran ke Satria.
"Tadi aku ke rumah Carissa. Aku bawakan dia nasi goreng, tapi dia tidak mau makan. Adiknya yang malah menghabiskan nasi gorengnya. Lalu waktu aku ke sana, aku lihat dia hanya memakai baju yang tipis dan celana yang pendek sekali. Aduh! Dia itu... hot... seksi..." Satria menepuk-nepuk kepalanya.
"Mmm... Lalu?"
"Lalu dia... marah. Oh tidak!" Satria menutup wajahnya dengan tangannya. Charlos diam saja tidak mempedulikannya, sibuk menyantap pasta.
"Eh ngomong-ngomong kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Kamu habis dari mana saja? Tiba-tiba menghilang."
Charlos selesai makan, menenggak Lemon Squash yang tinggal setengah gelas.
"Aku habis dari Jakarta."
"Apa aku tidak salah dengar? Untuk apa kamu ke sana?"
"Ingat tidak ceritaku tentang seseorang yang... yang namanya Reva?" kata Charlos hati-hati. Dia mengelap bibirnya dengan tissue.
"Pemain saxophone itu kan. Iya aku ingat. Kamu masih panggil Reva? Dasar konyol. Kamu sudah tidak berhubungan lagi dengan Reva kan?"
"Kemarin Jumat Reva datang ke sini."
Satria kagetnya bukan main, mulutnya terbuka dan matanya melotot. "Terus sekarang Reva di mana? Oh oh di Jakarta yah. Kamu habis bertemu dengan Reva kan? Tapi kenapa kamu sudah kembali lagi?"
Charlos terdiam, menunduk sambil memegang kepalanya. "Tiba-tiba ada wartawan." Satria membelalak. "Tenang tenang. Aku yakin seratus persen kalau aku tidak kefoto. Aku langsung kabur, Sat! Gila!" Charlos mengepal tangannya dan memukulkannya ke meja. "Nyaris saja aku ketahuan media."
"Charlos, kamu tidak benar-benar menyukai Reva kan? Itu agak..." Satria berpikir keras untuk menemukan kata-kata yang tepat. "mengerikan... Maafkan aku Charlos, tapi sebaiknya kamu jangan terlalu dekat dengan Reva," kata Satria, wajahnya serius.
"Seandainya aku bisa... Ini tidak mungkin, Sat. Ini adalah pertemuan pertama kami. Tapi belum apa-apa aku sudah membuat kekacauan. Kamu lihat mobil sedan yang di depan? Itu bukan mobilku, tapi mobil Reva. Aku harus mengembalikan mobil itu. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku harus bilang apa?" Charlos memutar-mutar es batu dengan sedotan.
Satria menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya itu sih urusan gampang. Yang penting kamu harus tahu satu hal kalau bersama dengan Reva itu bukan hal yang baik. Aku tidak akan pernah setuju. Maaf Charlos. Kamu harus pikirkan sekali lagi."
Charlos memandang Satria, sahabatnya. Satria benar. Tidak akan ada di dunia ini yang setuju dengan hubungannya. Mungkin Charlos harus berpikir untuk melupakan Reva.
Dan itu tidak akan pernah terjadi. Perasaannya pada Reva semakin menjadi-jadi. Ia akan melawan semua hal yang menghalanginya untuk mencintai Reva. Bahkan sekalipun Reva hanya menyayanginya sebagai teman.
Reva ingin agar Charlos bersikap normal. Sekali lagi perkataan itu membuat Charlos berpikir. Dia memang bukan pria yang normal. Dia itu aneh.