Suasana langit yang redup menemani acara pemakaman yang dihadiri oleh cukup banyak orang. Namun, sebagian besar yang menghadiri pemakaman itu adalah pihak kepolisian yang bersenjata. Mereka melindungi pemakaman itu agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Orang yang baru saja selesai dimakamkan itu adalah seorang pembunuh berantai yang tewas akibat tembakan peringatan yang diberikan oleh kepolisian. Saat penangkapannya, pelaku berusaha berlari dan menghindari penangkapan, jelas polisi punya wewenang untuk menembak pelaku di tempat.
Sebagian kecil yang datang dalam pemakaman itu adalah istri dan anak perempuan pelaku yang sangat bersedih karena baru mengetahui sosok yang menjadi kepala keluarga itu hanyalah seorang pembunuh berdarah dingin. Tak sanggup melihat kepergian ayahnya, gadis itu pun berlari meninggalkan ibunya.
“Rachel!”
Ketika ibunya ingin mengejar, seorang detektif yang ikut menghadiri pemakaman itu mencegahnya. Mengisyaratkan padanya bahwa biarkan saja, karena pamakaman sudah ditutup untuk umum sementara, sehingga anaknya tidak mungkin pergi kemana-mana.
Rachel terus berlari dan berlari dengan air matanya yang terus membasahi pipinya. Di tangannya, sebuah boneka beruang pemberian ayahnya terus digenggam erat olehnya. Sampai di sebuah pohon, dia menghentikan langkahnya dan duduk mendekapkan kakinya dengan kepalanya yang tertunduk.
“Ada apa gadis kecil?”
Rachel yang tengah menangis, tersadar oleh seseorang yang menanyakan kondisinya dan sedang memegang kepalanya dengan lembut. Dia pun mengangkat kepalanya, melihat siapa yang telah menegurnya itu.
Seorang laki-laki muda yang menggunakan jaket hoodie dan celana hitam duduk bersimpuh di hadapan Rachel. Sebuah sekop yang biasa digunakan untuk menggali kuburan pun ada digenggaman laki-laki itu. Setelah Rachel menatapnya, laki-laki itu pun duduk bersila dan meletakkan sekop yang ada di tangannya di sebelahnya.
“Siapa yang telah meninggalkanmu?”
Rachel menghapus air mata yang membasahi pipi dan kelopak matanya dengan tangan, kemudian menatap laki-laki itu kembali.
“Ayahku.”
Laki-laki itu tersenyum dan sedikit tertawa mendengarkan jawaban Rachel. Hal itu pun membuat Rachel bingung sekaligus kesal bercampur sedih karena ayahnya ditertawakan oleh seseorang yang tak dikenalnya. Laki-laki itu menghentikan tawanya, lalu mengambil sekopnya kembali dan memegangnya dengan kedua tangan. Kemudian, memangku sekop yang dipegangnya di atas kedua pahanya.
“Itu bukan ayahmu, Rachel. Kau salah orang.”
Mendengarkan jawaban laki-laki itu, untuk pertama kali dalam hidupnya adrenalin Rachel tersentak. Dia pun berdiri, menggenggam kuat boneka beruangnya dan menatap laki-laki itu dengan tajam.
“Tadi kau menertawakan ayahku, sekarang kau mengatakan hal semacam itu. Ayahku itu orang yang baik, tidak mungkin dia melakukan apa yang dikatakan oleh para detektif yang sok tahu itu!”
Laki-laki itu menurunkan kupluk jaketnya, sehingga Rachel bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia sama sekali tidak menunjukkan ekspresi marah, justru dia tersenyum dan bahkan mengelus lembut kepala Rachel.
“Ayahmu sudah mati sejak lama. Yang dimakamkan itu adalah seorang psikopat yang hanya gemar memuaskan nafsu membunuhnya. Ayahmu lah yang memberikan boneka beruang itu, bukan psikopat yang ada di dalam makam itu. Kalau kau percaya ayahmu adalah orang yang baik, maka jangan percaya kalau psikopat itu adalah ayahmu. Sudut pandang orang berbeda-beda, Rachel. Jangan samakan sudut pandangmu dengan orang lain hanya karena mereka mengatakan sudut pandang mereka. Jika bukan dirimu yang mempercayai keyakinan dalam hatimu, lalu siapa lagi?”
Mendengar jawaban laki-laki itu, tangisan Rachel pun pecah. Tanpa dia sadari, dia pun memeluk erat laki-laki yang tidak dikenalnya itu dan menangis dalam dekapannya. Laki-laki itu juga berusaha menenangkan Rachel dengan mengelus kepalanya dengan lembut dan memeluknya dengan erat. Rachel pun melepaskan pelukannya, begitu juga dengan laki-laki itu. Rachel mengusap lagi kedua mata dan juga wajahnya yang dibasahi oleh air mata. Dia pun menatap laki-laki itu dengan tersenyum.
“Terima kasih, Kakak. Siapa namamu?”
“Ronald, panggil aku Ron.”
Keduanya pun saling bertatapan dan juga saling melontarkan senyuman mereka satu sama lain.
“Rachel! Rachel!”
Ibu Rachel ditemani beberapa polisi mendatangi Rachel setelah melihatnya dari kejauhan. Membuat Rachel langsung berlari menghampiri ibunya. Keduanya pun langsung berpelukan dengan erat.
“Rachel … aku kira kau pergi ke mana. Syukurlah kau tidak apa-apa.”
“Aku tidak apa-apa, Ibu. Kakak itu lah yang menemaniku.”
Rachel menunjuk ke arah di mana Ron berdiri, namun Ron sudah tidak ada di sana.
“Lho … tadi ada Kak Ron di sana, ke mana perginya dia?”
Ibunya beserta beberapa polisi yang ada di sekitarnya merasa heran dengan penjelasan yang diberikan oleh Rachel.
“Tidak mungkin ada orang lain selain kita di pemakaman ini, karena pemakaman sedang ditutup untuk umum.”
“Tapi, aku bertemu dengan Kak Ron di sana. Aku tidak bohong.”
“Rachel … jangan membuat pak polisi bingung. Lebih baik sekarang kita pulang, ibu akan membuatkan sup kesukaanmu.”
“Baik, Ibu.”
Rachel beserta ibunya dan juga para polisi, pergi dari tempat itu menuju ke pintu keluar makam. Dalam gandengan ibunya, Rachel masih tidak percaya kalau Ron tidak ada di sana. Seketika itu juga, dia teringat perkataan Ron yang menyuruhnya untuk percaya pada dirinya sendiri.
Rachel pun tersenyum dan langsung menoleh ke belakang karena yakin Ron berada di sana. Benar saja, Ron sedang berdiri di bawah pohon tempat keduanya saling bertemu. Rachel melambaikan tangannya yang sedang memegang boneka beruang sambil tetap tersenyum menoleh ke arah Ron berdiri. Lambaian tangannya pun dibalas oleh Ron yang juga ikut melambaikan tangannya dengan tersenyum.
Rachel menatap kembali ke depan, merasa senang kalau Kak Ron yang ditemuinya benar-benar ada, bukanlah bualan. Demi memastikan hal itu, Rachel menoleh ke belakang lagi, tapi kali ini, Ron tidak berada di sana.