webnovel

MALAM RAMAH TAMAH

Putra berangkat lebih dulu dari Adit. Dia akan ke Griya Cadas sebelum ke kantor. Ingin memastikan kondisi Kinan, sekalian membawakan bubur ayam yang ia beli di gang depan komplek rumah.

Gadis itu harus banyak makan, supaya tidak mudah sakit.

Pak Dani yang masih berjaga pagi ini sampai menghela nafas dalam, melihat keseriusan Putra pada Kinan.

Berkali-kali Putra menghubungi, bahkan membunyikan pagar. Kinan tak juga terbangun. Hah, gadis ini. Tak cuma jalang, pemabuk, pemalas juga disabetnya.

Putra melihat jam dipergelangan tangan. Lewat pukul tujuh.

"Kinan…!"

Tak ada pilihan selain berteriak, jika tidak juga, ya manjat pagar.

Tapi, untunglah. Gadis yang masih bermuka bantal itu keluar. Ia mengenakan piyama kebesaran. Berkali-kali menguap sambil membuka gembok pagar.

"Pagi banget ke sini. Kok nggak bilang-bilang dulu."

Kinan mengucek mata.

Putra tak menjawab, ia malah asik tersenyum di dekat pagar. "Cantik banget."

Kinan tersentak. "Bangun tidur gini, cantik apanya?"

"Gue udah telat, nich tadi gue beliin sarapan. Jangan lupa makan. Loe nggak boleh sakit. Dah, gue ngantor dulu."

Kinan meraih kantong plastik berisi bubur ayam itu.

"Tra…" panggilnya saat Putra telah membalik badan.

"Ya."

Pemuda itu jadi berbalik lagi.

Kinan tersenyum, merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakkan. Lalu mendekat. Ia meraih tangan Putra dan menciumnya.

"Hati-hati ya kerjanya."

Putra terkejut bukan main. Apa ini?

"Loe ngapain barusan?"

Kinan mundur dan kembali berdiri di pagar. "Lepas suami berangkat kerja."

Mata Putra membulat.

"Apa…? su-suami?"

Kinan tersipu malu, "Belajarnya dari sekarang boleh kan?"

Putra mengangguk sambil menelan ludah, "Gue pergi ya, bye." Dan ia pun berubah jadi kaku dan kikuk. Tak biasa diperlakukan seperti itu. Jadi begini rasanya? Kalau ada yang menaruh hormat kepada kita.

Putra sudah biasa melihat, Maya sering mencium tangan Adit di waktu-waktu khusus, seperti melepas sebelum berangkat kerja. Dan belum apa-apa, Kinan juga melakukan hal yang sama padanya.

"Hati-hati sayang!"

Kinan melambai hingga Putra tak lagi tampak.

Sepanjang perjalanan, pemuda itu terus membayangkan bagaimana jika ia dan Kinan benar-benar menjadi sepasang suami istri. Wajahnya tiba-tiba memerah.

***

***

Pengumuman yang ditempel di papan informasi lobi kantor membuat kepala Putra pusing mendadak. Malam ramah tamah. Artinya, ia takkan bisa ke tempat Kinan. Acara itu biasanya akan berlangsung sampai jam sepuluh. Terlalu larut untuk ke sana.

"Yah, kenapa mendadak?"

Putra langsung menyongsong Adit dengan pertanyaan itu. Padahal ia baru saja masuk ke dalam ruangan sang Direktur Utama.

"Mendadak apa?" tanya Adit bingung.

"Itu acara nanti malam."

"Lho, semua karyawan kesenengan sama kabar itu. Kamu malah kalut Bang?"

Putra mengusap leher belakangnya. "Abang balik ke ruangan dulu, Yah."

Tindakannya membuat Adit bertambah bingung dengan sikap aneh anaknya itu. Tapi, mau bagaimana lagi. Pengumuman sudah tertempel sejak sore kemaren malah. Dan rasanya itu tidak terlalu mendadak menurut persepsi Adit.

Sesampainya di ruangan, Putra mengeluarkan ponsel dan menelpon Kinan. Ke nomor yang biasa. Ia sudah berpesan pada gadis itu, agar membeli ponsel baru jika tak ingin dibelikan, lalu menggunakan nomor yang biasa, yang pertama kali ia simpan.

"Hallo. Loe udah makan?"

{Udah, makasih ya. Buburnya enak.}

"Mulai sekarang, minum yang sehat-sehat aja ya!"

Kinan tersentak. Minum yang sehat-sehat?

"Gue udah buang isi wine di dapur loe."

Kinan menggigit bibir. Aduh! mampus.

{ Gue udah lama kok nggak minum.} ucapnya kemudian.

"Loe mau belajar sholatnya kapan?"

Lagi-lagi Kinan tersentak. Sholat? Apa dia pernah minta diajarkan. Ah, iya. padahal baru kemaren.

{Secepatnya. Loe ke sini kan?}

"Gue bawa loe ke guru ngaji. Hmm."

Putra sudah memutuskan, dan ia rasa ini jalan terbaik. Tak mungkin rasanya jika ia langsung yang membimbing. Takut terjadi hal-hal yang diinginkan, hmm maksudnya yang tidak diinginkan. Putra takut tak lagi mampu menahan diri. Kejadian tadi pagi menggugah imannya.

Memang hanya hal sepele saja, tetapi, dengan menyebut dirinya seorang suami, ada rasa tak biasa yang ia rasakan.

Lebih baik menghindar. Ia bukan tak menginginkan Kinan. Siapa yang tak inginkan gadis secantik itu. Hanya saja, Putra ingin mendapatkannya dengan cara yang halal.

{Lho kok guru ngaji sih? Gue mau loe yang ngajarin.}

"Nggak boleh Kinan."

{Kenapa?}

"Bahaya nanti."

{Kenapa?}

"Pokoknya loe bakal gue kenalin sama guru ngaji cewek."

Kinan tak lagi menjawab. Padahal ia ingin sekali Putra langsung yang menuntunnya. Tapi, pemuda itu menolak. Mudah saja berubah pikiran. Kemaren bilang iya, lalu sekarang mau carikan guru ngaji segala.

"Ya udah, gue mesti kerja dulu. Ntar kalau loe butuh apa-apa, jangan lupa kabari gue, ya."

Putra sedang mengingat-ingat sesuatu. Apa yang hendak ia sampaikan tadi?

{Oke." Jawab Kinan singkat.}

"Oh ya, ntar malam gue nggak bisa ke rumah loe. Soalnya, ada acara di kantor. Nggak pa pa ya. Jaga diri loe. Jaga kesehatan, kalau laper makan. Dan jangan mikir aneh-aneh."

Kinan tersenyum. {Iya suami.}

Jantung Putra kembali berdetak tak karuan. Ah! kenapa mesti panggil itu lagi.

Refleks ditutupnya telepon.

Tak lama, Kinan menghubungi balik.

{Kok dimatikan?}

"Tadi kepencet."

{Ya Udah, take care ya sayang. Semangat kerjanya.}

"Iya."

Putra masih gugup. Segera saja ia sudahi telepon itu. Ia tak bisa terlalu banyak bicara jadinya. Perasaan macam apa ini, dan berhentilah berdegup kencang.

Putra memukul-mukul dadanya hingga terbatuk-batuk.

Salah satu staf memergoki saat hendak melapor ke dalam ruangannya.

"Anda baik-baik saja, Pak."

Putra segera meraih air di meja, dan meminumnya. Kemudian mengangguk pada staf yang menanya.

"Laporan kunjungan lapangan kemaren, Pak. Untuk diteruskan ke Direktur."

Putra memaraf dan menanda tangani laporan itu.

Setelah urusan selesai, staf tadi keluar menuju ke ruangan Adit.

Putra menarik nafas dalam. Hah! Kinan, selalu bisa membuatnya tak berdaya.

***

***

Selepas Maghrib, acara makan malam pun dimulai. Semua karyawan hadir dengan keluarga masing-masing. Arsy pun datang membawa Aisyah dan Sekar. Pun Maya dengan Haz. Farah seperti biasa, tak pernah membawa serta keluarganya. Hanya dia saja yang beda.

Setelah acara makan, ada beberapa hiburan yang disediakan oleh Adit. Semacam permainan berhadiah. Khusus anak-anak. Juga orang dewasa.

Begini lah sang Direktur Malik Estate menghibur karyawannya. Ia sangat royal untuk itu. Baginya, karyawan adalah bagian terpenting dalam suksesnya Malik Estate. Tanpa mereka, Malik Estate takkan bisa bergerak hingga sebesar sekarang.

Maya sengaja menarik Putra untuk bergabung dengan Arsy, Aisyah dan Sekar. Haz tak ingin bergabung, ia lebih memilih sendiri saja, sambil bermain game.

"Sampai kapan cutinya, Ai?" tanya Maya basa basi pada Aisyah.

"Seminggu lagi Tante." Jawab Aisyah kalem. Dia melirik Putra yang tampak sedang gelisah. Berkali-kali mengusap tengkuk.

Aisyah juga paham maksud dari tujuan Maya bergabung. Dia lalu mendekati Putra dan mengajaknya mengobrol. Supaya Maya dan Arsy tak perlu susah payah mendekatkan.

Benar saja, Maya dan Arsy justru tampak senang sekali.

"Loe kenapa?"

Aisyah mencium bau-bau tak enak dari tingkah Putra.

Putra menggeleng, "Nggak ada." pemuda itu lalu mencari-cari sosok yang ingin sekali ia ketahui. Setelah melihatnya, ia pun menarik Aisyah ke tempat orang itu.

"Kemana, Tra?"

"Bantu gue ngorek info dari Tante Farah."

"Apa?"

Tak lagi terjawab, mereka sudah berada di hadapan Farah, yang terkejut dengan kedatangan Putra dan keponakannya Aisyah.

"Aisyah? kapan datang, Nak?"

Dengan ramah, Farah memeluk Aisyah.

"Udah seminggu Tante. Tante sendirian aja?"

Aisyah langsung memulai saja pengorekkan info, mengalir secara alami.

Farah tersenyum, "Seperti biasa, Ai. Mereka sibuk."

Putra mengamati tingkah pola Farah saat menjawab pertanyaan Aisyah.

"Kinan juga sibuk?"

Darah Farah berdesir, wajahnya sepersekian detik sempat pasi. Dan Putra sudah menangkapnya.

"Ah, Kinan. Dia di luar negri sekarang. Nyambung kuliah katanya."

Aisyah pun merasa janggal, ia sama sekali tak pernah berjumpa dengan sepupunya itu. Dari dulu selalu saja ada alasan yang dilontarkan Farah padanya.

"Wow, di mana Tan?"

"Korea. Iya, Korea."

Putra langsung mencebik. Ah, jelas sekali bohongnya.

Farah tampak sedikit gelapan menjawab. Mungkin terkejut tiba-tiba saja diberondong pertanyaan soal Kinan.

Tak lama Putra dapat telepon dari nomor Kinan. Kebetulan musik sedang terdengar begitu keras. Putra tak bisa mendengar jelas. Ia segera keluar ruangan.

***

***

Próximo capítulo