Lusa adalah hari ke tiga puluh lima pernikahan kita. Atau dalam kebudayaan Jawa disebut selapanan pernikahan. Maksud dan tujuan menyelenggarakan selapanan pengantin yaitu untuk pelepasan pengantin pindah rumah, karena ingin pisah dari orang tuanya. Namun demikian di jaman sekarang ini hanya sedikit saja yang melaksanakan nacara ini,hanya masyarakat golongan tertentu saja yang melakukan.
Di desaku tradisi ini masih berlangsung dengan apik dan benar. Namun untuk masalah pindah rumah itu sesuai kemampuan sang pengantinnya. Ada yang setahun baru pisah dengan orang tua, ada yang sebelum nikah menyiapkan rumah jadi setelah nikah langsung ditempati.
Seperti kami, karena tempat kerja mas Niko di Solo, jadi kita pindah sebelum selapanan. Bahkan sehari setelah pesta pernikahan diselenggarakan.
"Mas kita besok pulangnya?" Tanyaku. Dia sedang mondar-mandir sedari tadi. Entah apa yang ia cari. Pas aku tanya katanya biar dia sendiri.
"Apa?"
"Besok pulang ke desa?" Ulangku. Dia berhenti sejenak lalu menatapku.
"Besok? Kenapa pulang?" Loh dia malah tanya begini. Lupa apa ya.
"Kan besok selapanan mas." Jawabku ketus. Aku tidak menoleh kearahnya lagi. Lebih baik nonton aksi lucu bocah SMP yang sedang kasmaran ini.
"Loh kapan acaranya?" Kan dia tanya lagi.
"Lusa mas."
"Oh..."
Cuma oh doang? Bodo amat mas.
"Dek."
Aku hanya menggumam pelan. Salah sendiri tadi gak niat. Dia malah duduk di sampingku. Mengambil bantal yang aku pangku. Aku memang hanya memakai rok selutut sama kaos tiga perempat bagian lengannya.
"Apasih mas." Ketusku.
"Maaf, mas lupa." Ucapnya. Aku hanya menggumam.
Dia malah semakin usil. Meletakkan kepalanya di pahaku. Tidur menghadap ke perutku. Dia gak tau apa ya, tindakannya ini membuat aku jedug-jedug? Ini di dalam udah rusuh.
"Iya besok sore kita pulang. Tapi senyum dulu dong. Mana senyum manisnya?" Usil banget kan dia.
"Iya nih nih senyumnya nih. Maniskan." Aku melihat ke bawah sambil tersenyum lebar.
"Hilih ini mah terpaksa." Ucapnya. Dia malah menggelitik perutku. Kami tertawa dengan aku yang kegelian dan mas Niko yang gak mau berhenti.
Napas kami memburu karena capek tertawa. Dia mengusap keringat di dahiku dan merapikan rambutku.
"Adek gak pernah manjangin rambut ya?" Tanyanya. Matanya masih menyusuri rambut hitam gelapku.
"Suka pendek. Nyaman dan irit shampo." Jawabku. Dia terkekeh dan masih mengelus rambutku. Sesekali dia menyelinapkan rambutku ke belakang telinga, nanti di balikin lagi di belakangin lagi. Dasar.
"Pernah panjang gak?"
"Em? Kayaknya ndak deh mas. Soalnya kalo lewatin pundak pasti aku rewel pingin motong." Jawabku jujur. Memang rambutku paling mentok itu sebahu. Model boob gitu.
"Pusing kalau panjang?" Tanyanya.
"Gak tau. Rambut adek kan tebal mas, terus kalo lewatin pundak tu berat rasanya. Makanya dipotong biar ringan."
"Mas dulu tu sering liat adek kuncir setengah deh kalo olahraga." Ujarnya ragu sambil menerawang ke depan tapi tangannya pindah ke bahuku dan menarik kepalaku ke bahunya.
"Oh iya. Kan kalau di gerai gerah mas. Walau pendek tapi adek suka gak betah gerai rambut."
"Loh mas kok tau adek suka kuncir setengah kalo olahraga?" Selidikku. Seingatku itu aku lakuin kelas empat SD karena memang aku suka model gitu kalau olahraga.
"Dulu pernah liat." Jawabnya kalem.
"Adek kira mas lupa kalau kita pernah satu SD." Gumamku pelan.
"Ingat dong. Yang dulu kalau kasti pasti bolanya hanya lewatin tiang satu siapa coba?" Dia tersenyum jahil.
Asem banget ya mas Niko ini. Iya, aku tu gak suka olahraga jadi kalau lari gak bisa cepat. Mukul bola kasti pun hanya sebatas tiang pertama. Malah sering tuh aku kena bola jadi permainan kelompokku mati.
Tapi aku gak tau kenapa mas Niko tau. Apa dia liat pas kelasku kebagian jam olahraga ya? Secara kita beda hari jam olahraganya.
"Mas ngintip? Kan mas sedang pelajaran saat itu." Tanyaku lagi.
"Mas kan duduk di bangku depan jadi liat." Oh.... Aku hanya mengangguk mengiyakan.
"Dulu adek gak pernah nyapa mas ya, walau adek nyapa teman mas." Heh? Masa? Ah iya deng.
"Lha kan kita gak deket mas. Mas ujuk-ujuk adek nyapa mas. SKSD itu namanya." Kilahku. Walau aku mengetahui namanya, tapi aku gak kenal secara resmi dengan dia. Aku tau karena mas Niko berteman dengan kakel yang dari kelas satu dekat denganku.
"Apa itu SKSD?" Tanyanya. Hahaha rupanya dia sedikit kudet permisah.
"Sok Kenal Sok Dekat." Aku tertawa setelah menjawabnya. Wajahnya ituloh kok ya polos banget seakan selama ini dia gak pernah denger kata itu.
"Oh.... Ya tapi kan, seenggaknya adek senyum gituloh. Sama Dino dan Rendi aja adek ramah bahkan mas ingat adek kayak manja banget ke mereka." Ucapnya dengan nada ketus. Loh dia ini cemburu ceritanya atau gimana?
"Kan adek kenal awal masuk SD mas, apalagi adek di Madin satu kelas sama mereka, adek pun duduknya samping mereka." Jawabku jujur.
Memang iya, aku dulu deket banget sama kakelku yang berteman dengan mas Niko. Udah aku anggap kakak soalnya.
"Tapi kan mas mereka gak pernah adek peluk gini." Aku memeluk mas Niko dari samping dan menenggelamkan wajahku di dadanya. Aromanya menenangkan. Padahal aku berani jamin dia tidak memakai parfum saat ini. Tapi wangi tubuhnya sudah familiar di hidungku selama tinggal bersama.
Mas Niko membalas pelukanku. Bahkan dia sesekali mengecup puncak kepalaku.
"Kalau adek berani peluk mereka gini, mas akan hukum adek." Ancamnya. Tapi aku tau itu hanya candaan.
"Mau meluk gimana coba? Wong kita aja pisah setelah lulus SD. Eh gak deng aku masih satu sekolah dengan Dino di Mts." Ucapku.
"Ah iya. Makin lengket dong ya." Hahaha dia ngucapin itu ketus banget pemirsa.
"Iya. Bahkan ni ya mas, pas mau pendaftaran masuk Mts adek kan di tanya sama gurunya namamu siapa? Pas adek jawab eh gurunya bilang gini "loh kamu pacarnya Dino itu ya?" Adek melongo dong mas, segitu tenarnya nama adek. Bahkan sebelum adek masuk situ."
Mas Niko mendengus keras dan mencium puncak kepalaku bertubi-tubi.
"Nih nih mas hukum. Rasain ya ." Dia menggelitik perutku dengan posisi aku masih di pelukannya. Mas Niko bener-bener gak ngasih ampun malah semangat banget gelitikin.
Kita banyak tertawa malam ini. Rasanya gak ada tembok di antara kita. Gak ada beban dipundak kita. Ringan. Lepas.
Aku masih menetralkan nafasku. Ketika sudah lebih tenang aku mendongak dan aku terkejut mas Niko ternyata menatapku dalam.
Dalam banget, sampai aku merasa aku tenggelam di dalamnya. Aku hanyut dalam muaranya. Senyum di bibirnya tersungging indah dan aku hanya memejamkan mata menikmati rasa yang luar biasa yang mendebarkan ini.
Hari ini aku percaya dengan kata cinta ada karena terbiasa, seperti aku yang merasa sudah menjatuhkan hatiku padanya. Walau masih ada sedikit keraguan, tapi itu semua seakan sirna saat kami saling menatap sambil menetralkan nafas kami.
Pelukan hangatnya semakin memperjelas perasaanku padanya.
Mas, aku sudah menjatuhkan hatiku padamu.