webnovel

Malam Penuh Darah

Ruangan itu tetap sama, berbau keringat, terasa sumpek dan dihiasi noda darah. Devan memotong tubuh korban tanpa rasa kasihan terus-menerus meski napas tersengal, meski darah sudah menghiasi hampir seluruh tubuhnya. Pikirannya hanya terfokus pada nya, menghancurkannya.

Devan berhenti memotong saat sebuah tangan menghentikannya. Ia menatap Ardian dan berpikir, kenapa dia menghentikan ku yang sedang merasa jengkel, tapi apa boleh buat. Pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan Ardian kepada Devan.

Ardian menyerahkan HP miliknya dari saku celana. Di layarnya, ia mendapati ada satu pesan di sana.

Devan membaca pesan itu dengan raut wajah datarnya. Pesan yang sangat dibencinya. Berusaha untuk tidak meyakinkan pesan itu, tapi pesan itu sungguhan.

Rekan Ghibran, salah satu penghuni apartemen. –Dian

Ardian mengamati ekpresi Devan. Sungguh ia menyukai ekpresi yang kini dikeluarkan oleh Devan. Marah, kesal, dan hasrat ingin membunuh menjadi satu.

" Nah, bukankah kau tidak ingin ada yang mengganggu ketentraman apartemen ini? " Ardian menoleh ke arah salah satu bawahannya. " Bantu Devan mencari rekan polisi itu..."

Devan menggelengkan kepalanya gelisah karena tidak ingin dibantu. Ia buru-buru menutup pintu apartemen dan tak menghiraukan Ardian yang berteriak memanggil namanya.

" Tuan sengaja memanfaatkan kekesalan Devan, bukan?"

Ardian tersenyum. " Ya, setidaknya aku tidak perlu membuang tenaga ku untuk menghabisi para tikus pengganggu itu "

Terbahak. " Serius! Tuan memiliki pengikut yang begitu banyak dan Tuan lebih memilih Devan untuk menghabisi nyawa mereka?."

Ardian diam saja sedangkan bawahannya tertawa terbahak-bahak.

" Walaupun aku ketua organisasi, tapi apartemen ini miliknya. Aku tidak bisa seenaknya bukan untuk menghabisi mereka disini?. Coba kalau kita semua langsung nyerbu, sudah pasti pengikut Devan yang bersarang di apartemen ini tidak akan tinggal diam. "

Mereka seketika terdiam, mengangguk memahami perkataan Ardian. Mereka berpikir jika Ardian terpilih menjadi penerus Ardiaz bukan tanpa alasan.

***

Mata itu memperhatikan seseorang yang nampak mencurigakan melalui kamera yang terpasang di depan pintu apartemen nya. Sesekali dia mengernyit melihat pria itu tengah membuka pintu apartemen.

Tunggu! Mereka tahu nomor apartemennya?

Seketika ia panik, segera menuju kamar yang tak jauh dari posisi pintu masuk. Meraih yang tersimpan dilaci lemari pakaiannya. HP berdering berusaha menghubungi seseorang.

Dug!

Dug!

Dug!

Ah, suara benda tumpul yang sengaja dibenturkan ke dinding agar dia mengetahui posisi mereka saat ini. Tepat di depan kamar yang terkunci rapat.

Dor! Dor! Dor! Kekacauan menyelimuti apartemen goo. Semua penghuni terbangun dari tidur nyenyak nya. Desingan peluru begitu jelas terdengar, anak-anak mulai menangis saat melihat orang tua mereka tewas dihadapan mereka.

Dominasi antara desingan peluru, teriakkan kesakitan, dan suara tangisan, bukankah begitu sempurna?.

Pasukkan berbaju hitam keluar dari mobil yang terparkir diparkiran. Menyusup masuk memanfaatkan kekacauan yang ada di dalam. Merunduk agar tidak diketahui kehadiran mereka dan melepaskan peluru saat musuh melihat mereka.

Beberapa dari mereka menggunakan tali panjat khusus untuk masuk melalui jendela apartemen. Memecahkan jendela dan segera melumpuhkan penghuni kamar.

Helikopter berterbangan di atas dengan lampu yang menyorot kedalam apartemen goo.

" Mereka cepat sekali bertindak." kata Ardian saat melihat kekacauan tersebut dari kejauhan.

Duduk dikursi penumpang dengan nyamannya sambil menikmati secangkir kopi hangat. Mata yang terlindungi oleh kacamata hitam itu sekali lagi melirik kearah kaca spion mobil yang dikemudikan oleh bawahannya.

" Bagaimana dengan Dokter Devan? bukankah dia dokter berharga kita?."

Ardian menggelengkan kepalanya pelan, "Selagi ada dokter Rizki, aku tidak perlu merasa khawatir. Lagi pula, dia sudah tidak berguna lagi untuk ku."

Sirene polisi berbunyi nyaring memecahkan kesunyian malam. Mereka mengelilingi apartemen dengan berbagai senjata yang terarah kedepan, lebih tepatnya kearah jendela-jendela dan pintu apartemen goo.

Seakan seperti sebuah tradisi, para warga yang penasaran malah mengerumuni lokasi kejadian tanpa takut nyawa mereka menjadi taruhan. Beberapa polisi kewalahan untuk mengatur warga agar tidak melewati garis kepolisian.

Para pedagang entah dari mana datang untuk meramaikan acara tontonan gratisan tersebut. Paman pentol?, itu wajib ada dilokasi kejadian. Dimana pun ada keramaian, Paman pentol pasti selalu ada!.

Ghibran saat ini bersama dengan timnya mulai bersiap-siap memasuki area lantai 2. Anang mengintip, segera mendengus kesal melihat sekitar tiga puluh enam pria gempal tengah mehadang mereka dengan senjata AK-47, M16, M1 Garand. Oh, bagaimana bisa mereka memiliki senjata itu?.

" Bagaimana?."

" 36 musuh mehadang!."

" Lumpuhkan mereka! Tujuan utama kita menangkap Dokter Devan sebagai dalang teror mutilasi!."

" Siap! "

Musuh mengarahkan senjata ke arah regu Ghibran, begitu juga sebaliknya. Bersembunyi dibalik tembok, pintu, dan benda-benda apapun yang bisa dijadikan pelindung.

Ruang sempit, sangat mempersulit mereka untuk membidik peluru kearah musuh dengan tepat.

" Siapa pun yang bisa menjangkau mereka, segera lumpuhkan secepatnya!"

Perintah dari Ghibran didengar secara langsung oleh pasukkan yang berada di luar apartemen, dekat jendela yang tengah bergelantungan. Mereka membidik, melepaskan peluru kearah musuh. Regu Ghibran tak menyia-nyiakan kesempatan itu, segera membantu pasukkan lainnya untuk melumpuhkan musuh.

Maju ke depan seperti Bulldozer, tak ada yang bisa menghentikan mereka untuk sampai kepuncak bangunan apartemen.

" Lantai 3, aman!."

" Periksa seluruh kamar, jika ada musuh jangan ragu untuk melumpuhkan mereka!!" Mata Ghibran berkilat marah, "...Jangan beri kesempatan sekecil apapun kepada musuh!!" tambahnya lagi tegas.

" Kamar 143 ada pergerakkan! "

" Anak kecil !."

" Musnahkan! "

" Ghibran! kau gila? memusnahkan dia yang masih anak kecil?." tanya Anang. Menggenggam tangan Ghibran begitu kuat, seakan ingin menyalurkan emosinya. Mata memandang tajam kearah Ghibran, memperingati Ghibran untuk tidak membunuh anak tersebut.

Ghibran dengan mudahnya melepaskan cengkraman kuat dari Anang. Ia juga membalas tatapan tajam dari Anang. "...Jika tidak kita musnahkan, dia akan balas dendam kepada kita. Menjadi generasi selanjutnya dalam dunia kejahatan." kata Ghibran, suaranya begitu dingin. Aura yang begitu mengerikan membuat mereka tak berani untuk mengeluarkan satu kata pun.

" Ghib! " kecuali Anang yang begitu berani membantah Ghibran.

Ghibran seakan menulikan pendengaran nya, mengarahkan pistol tepat dikening anak itu yang tengah menangis kencang sambil memeluk jasad ayahnya. Ghibran mengenal jasad itu, buronan kepolisian yang memiliki banyak catatan kriminal.

" Ghibran!! "

Ah! Ghibran teringat akan tangisan Zea. Saat Zea kecil menangisi kepergiannya.

" Maaf! " Ghibran memejamkan kedua matanya, menepuk pelan kepala anak tersebut, seakan memberikan isyarat agar dia tidak menangis.

Anang dan yang lainnya bernapas lega. Mereka berpikir jika Ghibran adalah jelmaan Lucifer yang tak memiliki hati sama sekali. Syukurlah, dia menghentikan aksinya barusan.

Anak itu dibawa oleh salah satu anak buahnya untuk dibawa ketempat yang lebih aman.

Dua helikopter menembak jendela apartemen. Mereka segera merunduk saat tahu jika helikopter tersebut tengah menembaki musuh yang tengah bersembunyi.

Ghibran melirik keluar, melihat anak itu yang dibawa masuk kedalam mobil kepolisian. Ia juga melihat kerumunan warga yang mengabadikan momen tersebut menggunakan ponsel mereka masing-masing. Melihat itu, Ghibran berdecak kesal.

***

Jaka keluar dari apartemen saat tahu jika Devan sedang mengincar nyawanya. Menuruni tangga darurat dengan tergesa-gesa. Sesekali mereka adu jual tembakkan.

Tahan dia di lantai 4, kami segera menyusul–Ghibran.

Mendengar intruksi dari atasannya, segera ia bersembunyi dibalik tembok saat Devan melepaskan tembakkan peluru kearahnya.

Dor! tembakkan meleset. Namun menggores sisi wajah Jaka. Jaka berdecak kesal saat merasa perih di sisi wajahnya. Apalagi bau darah yang begitu menyengat.

" Gara-gara kalian..." Devan menggeram marah dalam kegelapan.

Jaka mengintip. Melihat Devan yang perlahan mulai mendekat.

"...Kesenangan ku menjadi terganggu!." kapak kini terarah dihadapannya. Jaka meneguh ludah bersusah payah, ini kah akhir hidupnya?.

Sekali ayunan, mungkin kepalanya akan terpisah dan bergelinding kepojok ruangan.

Próximo capítulo