webnovel

Melarikan diri & Mulai Terungkap

Hafi melirik kearah ke enam polisi dihadapannya. Ia merasa tak tega meninggalkan mereka begitu saja di saat mereka mulai kelelahan. Namun, ia harus bisa melarikan diri. Hanya itu satu-satunya jalan agar ke enam polisi tersebut bisa selamat jika ia tepat waktu meminta bala bantuan.

" Tangkap mereka yang tidak menyerang kita dan Lumpuhkan mereka yang telah menyerang kita! " Kata Ardi.

" Baik! " Jawaban tegas dikeluarkan oleh Dyson, Resga, Sim, Fadhli, dan Rendy.

Elina menunjukkan jari tengahnya tepat dihadapan mereka sambil menjulurkan lidahnya, " Bodoh! kau pikir mereka tidak akan menyerang kalian? ".

Mereka tidak membuang-buang waktu. Gerakannya cepat, tangan yang bergerak mengacungkan senjata langsung dikategorikan sebagai musuh mereka. Begitu tenangnya, mereka yang masih memiliki persediaan peluru menembaki para musuh. Dor! Tentu saja musuh tidak tinggal diam, mereka balas menyerang dengan tembakkan.

Fadhli yang memang sudah kehabisan peluru membantu rekan-rekannya dengan cara menebas musuh dengan lincahnya, kaki dan tangan menjadi target keganasan Fadhli.

Satu peluru meluncur dengan mulusnya mengenai bahu Hafi. Hafi terduduk sambil mempertahankan tubuh gadis yang ada dalam gendongan nya. Gadis itu khawatir dengan keadaan Hafi, apalagi mereka tengah fokus jual beli tembakkan disana.

" Khe... Kita tidak punya banyak waktu, sekarang kita harus pergi dari sini! " Telat yang kuat dari Hafi membuat gadis itu tersenyum tulus.

Tangan pucat gadis itu menutupi luka Hafi, berharap jika darah tidak mengalir begitu banyak. " Aku akan memegang luka mu " Kata Gadis itu.

Hafi menganggukan kepalanya, ia lalu berdiri sambil mempererat gendongannya. Setiap pergerakkan Hafi dapat merasakan darah yang mengalir keluar. Pandangannya mulai buram, tapi ia berusaha untuk tetap sadar.

Ardi merasa jika sebuah peluru diarahkan kepadanya , namun Ardi hanya tersenyum dan menggeserkan tubuhnya ke samping. Gerakan itu membuat ia tidak terkena oleh peluru musuh. Ardi berputar ke kanan dan ke kiri sehingga semua peluru itu terlontar dengan sia-sia. Hanya merusak beberapa dinding dan juga kaca mansion.

Melihat betapa marahnya mereka saat peluru yang mereka arahkan tidak mengenai Ardi membuat Fadhli menyerangnya dengan cepat. Kembali menebas tangan musuh hingga musuh berteriak kesakitan.

Elina berdecak tak suka melihat anak buahnya begitu mudah dikalahkan oleh para polisi tersebut. Pistol ia arahkan ke mereka, menembak mereka tanpa ada rasa bersalah hingga menyisakan dirunya dan keenam polisi tersebut. Hafi? dia membiarkannya melarikan diri.

" Dia melukai rekannya sendiri " Gumam Resgan.

Elina menatap kearah Resgan, " Rekan? Mereka? aku tidak membutuhkan rekan " Kata Elina.

Elina membuang pistolnya, memberi isyarat kepada mereka berenam untuk maju menyerang. Mereka memasang kuda-kuda bertarung, Elina lebih dulu menyerang dengan tendangannya, tapi Ardi berhasil menangkisnya dengan tangan kosong. Pukulan melayang kearah Rendy begitu cepat namun Rendy juga berhasil menangkis dengan tangan kosong.

" Lumayan ~ " Kata Elina.

Fadhli dan Sim menyerang Elina secara bersamaan, Elina bertahan, Fadhli menyerang, Elina bertahan, Sim menyerang, Elina bertahan, terus seperti itu hingga Ardi melayangkan tendangan kearah Elina. Elina berhasil menghindari serangan Ardi.

Elina mengabaikan suara rintihan dan lolongan anak buahnya yang terbaring di atas tanah. Seakan menutupi indra pendengaran nya dan hanya memfokuskan indra penglihatan nya saat ini. Elina menatap mereka satu per satu, seolah ingin menghafal wajah musuhnya.

Saat itu, suara tepuk tangan terdengar oleh mereka. Mereka reflek menoleh kesamping dan menemukan seorang anak kecil yang tengah tersenyum kearah mereka. Senyuman penuh misteri.

" Ka Elina, kita harus pergi loh~ " Suara anak kecil itu pun benar-benar menakutkan jika didengar dengan baik.

Elina tersenyum meremehkan kearah anak tersebut, melempar sebuah remote kearahnya dan dengan mudahnya ditangkap oleh anak tersebut.

"Jadi,aku nih yang meledakkannya? " Tanya anak tersebut.

" Meledakan apa? " Heran Rendy saat mendengar perkataan anak tersebut.

Anak itu kembali tersenyum, senyuman penuh misteri. " Sebentar lagi kakak-kakak tampan akan tahu ko " Jawab Anak itu lalu mengarahkan remote di hadapan mereka.

Ardi menyadari perkataan anak tersebut, "Menjauh dari sini! " teriakkan Ardi membuat mereka melangkah menjauh dari mansion. Benar saja, setelah mereka bergerak menjauh dari mansion sebuah ledakkan besar terjadi. Menghabiskan mansion serta orang-orang yang ada disana.

" Kita harus memanggil polisi hutan dan pemadam kebakaran! " Kata Sim yang kini berlari keluar hutan menuju mobil patroli.

Mereka juga berlari keluar hutan mengikuti Sim. Di sana masih ada dua mobil patroli milik mereka, " Dimana Hafi? kenapa masih ada mobil kita disini? " Tanya Rendy kepada rekan-rekan nya.

" Ada darah! " Teriak Resga sambil menunjuk salah satu pintu mobil.

Segera mereka membuka pintu mobil dan menemukan Hafi dengan luka tembak dan gadis yang ada dalam dekapan Hafi pingsan. Mereka bergegas menyelamatkan dua gadis tersebut, " Dyson, kau bawa mereka kerumah sakit terdekat—" kata Ardi, "—Fadhli, kau sudah menelpon Polisi Hutan dan Pemadam Kebakaran kan? ".

" Sudah! ".

" Baiklah, kalau begitu aku akan mengantar mereka kerumah sakit terdekat. Sisanya kuserahkan pada kalian " Kata Dyson lalu masuk kedalam mobil patroli untuk mengantar dua gadis yang tengah terluka kerumah sakit terdekat.

***

Menyusuri jalan yang dipenuhi oleh serpihan kaca, kayu yang hangus terbakar dan abu sisa-sisa pembakaran. Salah satu pria petugas pemadam kebakaran mengambil sebuah serpihan aneh, tulisan OON masih dapat dibaca, tapi tulisan lainnya sulit untuk dibaca.

" Ada apa Arga? " Tanya Dirga, salah satu polisi kehutanan yang menyelidiki kasus kebakaran barusan.

Arga menyerahkan serpihan tersebut kepada Dirga agar Dirga dapat mengamati serpihan tersebut, " bukankah ini maksudnya MOON? Perusahaan Moon yang bergerak dibidang persenjataan? menurutku sih wajar jika ditemukan barang berhubungan dengan perusahan tersebut, soalnya hutan ini milik Perusahaan Moon " Kara Dirga.

" Perlukah kami menyelidiki perusahaan tersebut? " Kata Ardi yang sedari tadi mendengarkan percakapan Arga dan Dirga.

Dirga menyerahkan serpihan tersebut kepada Ardi, "Tentu, kalian harus menyelidikinya. Soalnya serpihan ini seperti sebuah senjata " Kata Dirga.

" Bom? " Gumam Arga.

" Itu mustahil, setahu ku perusahaan moon tidak memproduksi bom. Hanya perusahan Zee yang memproduksi bom " Kata Dirga.

" Siapa pemilik perusahaan Moon? " Tanya Ardi.

" Kalau tidak salah namanya Ardiaz, tapi aku lupa nama kepanjangannya " Kata Dirga.

Ardi menepuk bahu Dirga, " Terima kasih, tim kami akan menyelidiki kasus ini " kata Ardi.

" Jika kau membutuhkan bantuan, telpon saja aku. " Kata Dirga.

***

Dewa berdiri saat Rama dan Maulidin keluar dari ruang kerja, ia menghampiri mereka berdua untuk mengetahui lebih banyak informasi yang mereka dapatkan.

Maulidin menggelengkan kepalanya, " Mereka tidak mau membongkar rahasia mereka " Kata Maulidin, mengambil beberapa tisu dan membersihkan wajahnya dari noda darah.

" Boss, senjata yang mereka pakai untuk menyerang anda menggunakan senjata buatan perusahaan Moon. Apa mungkin ini perbuatan mereka? " Kata Rama.

" Perusahaan kalian tidak akur? " Kata Dewa kepada Maulidin.

Maulidin tersenyum, " Begitulah, pemimpin perusahaan Moon pernah menawarkan kerja sama pembuatan senjata. Aku lupa nama proyeknya, tapi dia ingin membuat sebuah kendaraan yang bisa digunakan dalam medan tempur " Kata Maulidin menjelaskan.

" Bukankah itu akan menguntungkan? " Kata Dewa.

Maulidin menggelengkan kepalanya, " Kendaraan itu akan mereka jual secara masal, coba kau bayangkan jika orang penjahat menggunakannya. apa yang akan terjadi? Pemimpin perusahaan Moon itu licik, sebab itulah aku tidak mau termakan oleh kata-kata nya. " Kata Maulidin menjelaskan alasannya kepada Dewa.

Kring! (Suara ponsel berbunyi)

Dewa segara menerima panggilan tersebut dan mendekatkan ponselnya ketelinga, "Halo?"

" Selamat malam, apa benar ini dengan Dewa eka Prayoga? "

" Iya, saya sendiri "

" Maaf mengganggu waktunya, Saya dari pihak kepolisian ingin memberitahukan kepada anda jika adik anda bernama Hafi Prayoga kini berada di Rumah Sakit Ratu Zel. Dia mendapatkan luka tembak dan harus dioperasi malam ini juga untuk mengeluarkan peluru yang bersarang "

" Terima kasih, saya akan segera kesana "

" Baik, pak Dewa "

Panggilan diakhiri. " Aku harus pergi, adik ku terluka dan kini harus dioperasi malam ini juga " Kata Dewa yang wajahnya sudah pucat mendapatkan kabar tidak menyenangkan tersebut.

Maulidin mengambil kunci mobil milik Dewa, "Bahaya jika kau pergi sendirian. Aku dan Rama akan ikut " Kata Maulidin sambil menyerahkan kunci mobil kepada Rama.

Mereka berlari menuju tempat parkir perusahaan menuju rumah sakit yang akan dituju.

***

Abbiyya mematikan TV, menaruh remote di atas meja dihadapannya dengan raut wajah sedih. Mendengar berita kebakaran hutan tersebut entah mengapa membuatnya merasa sedih, apalagi diberita tersebut banyak korban yang berjatuhan.

Kirana menggenggam tangan Abbiyya, berusaha tersenyum agar Abbiyya tidak sedih lagi.

" Kita akan keluar dari sini, papa. Kirana yakin " Kata Kirana.

Abbiyya menganggukan kepalanya, membawa Kirana dalam pelukannya. " Papa bersyukur memiliki mu, Kirana " Bisik Abbiyya.

***

Hafi terbangun setelah menjalankan Operasi kemarin, menyesuaikan penglihatan nya yang masih buram. Pertama yang ia lihat adalah wajah Dewa yang menangis dihadapan nya.

" Ka Dewa " gumam Hafi.

Dewa langsung memeluk Hafi dengan tangisan yang begitu keras, " Dasar adik bodoh! jangan tinggalkan kakak mu ini sendirian. Kakak tidak tahu keberadaan Ka Satria saat ini, apakah dia masih hidup atau tidak. Jadi, jangan tinggalkan Kakak! " Teriak Dewa dalam tangisannya.

Maulidin mengelus bahu Dewa, berusaha menenangkan temannya tersebut yang masih menangis sambil memeluk Hafi. Hafi merasa bersalah mendengar tangisan Dewa serta perkataannya. Benar kata Dewa, jika ia pergi siapa yang akan menemaninya? Ka Satria bahkan belum ada kabar sama sekali.

Kedua tangannya yang lemah memeluk tubuh Dewa, " Aku tidak akan meninggalkan ka Dewa." Kata Hafi.

" Iya, jangan tinggalkan kakak " Kata Dewa.

Pintu ruang inap terbuka, " Permisi " Seorang gadis mengenakan kursi roda masuk. Dia gadis yang diselamatkan oleh Hafi. Gadis itu tidak sendirian, dia ditemani oleh Ardi, Fadhli, Resga, Rendy, Sim dan Dyson.

" Syukurlah " Kata Dyson lalu ikut memeluk Hafi, " Dasar gadis nakal, kenapa tidak memberitahu kami jika kau terkena tembakkan? " Tanya Rendy sambil mengusap airmatanya yang keluar.

" Syukurlah kau sudah sadar, Hafi " Kata Ardi sambil menepuk bahu Hafi pelan.

" Hafi, ada yang ingin dikatakan oleh gadis ini kepada mu " Kata Sim lalu mendorong kursi roda yang diduduki oleh gadis tersebut.

Gadis itu menggenggam tangan Hafi, Dewa melepaskan pelukkannya dan berdiri disamping Maulidin. " Perkenalkan namaku Hanna. Terimakasih sudah menyelamatkan ku, Hafi " Kata Hanna dengan senyuman tulusnya.

Hafi membalas senyuman Hanna, " Syukurlah aku mengikuti mu. Aku tidak menyesal mengikuti mu walaupun aku mendapat luka yang cukup parah " Kata Hafi.

" Dasar adik nakal " Kata Dewa, Maulidin merangkul bahu Dewa untuk menenangkan emosi Dewa saat ini yang tidak dapat dikendalikan.

" Terima kasih sudah menyelamatkan adik teman saya " Kata Maulidin dengan sopan nya.

Ardi menganggukan kepalanya, " Itu sudah tugas kami " Kata Ardi membalas perkataan Maulidin.

" Permisi " Perawat masuk kedalam dengan sebuah kotak terbungkus dengan rapi, " paket untuk Hafi Prayoga " katanya lalu menyerahkannya kepada Hafi.

Hafi menerima paket tersebut, membuka kotak tersebut dengan hati-hati. Sebuah Album foto bersampul merah muda yang didapatkan oleh Hafi. Membuka album tersebut yang ternyata berisikan foto kebersamaan Elina dan juga Ayu. Foto dengan tulisan yang begitu rapi, ungkapan hati mereka saat menjalankan setiap momen kebersamaan.

" Aku jadi merindukan ka Ayu " Kata Hafi.

" Sudah lama ya... " Kata Dewa, " Setelah kau sudah dinyatakan sembuh, ayo kita berkunjung ke makam nya " kata Dewa.

Hafi menganggukan kepalanya penuh antusias, namun raut wajahnya berubah menjadi sendu saat mengingat Satria. " Andai saja Ka Satria juga ada, pasti ka Ayu akan senang " Kata Hafi.

" Kita doa'kan saja keselamatan Ka Satria "

***

" Kapten, di depan terdapat kapal musuh " Kata Intan yang kini mengawasi pergerakkan kapal yang tak jauh dari tempat persembunyian mereka.

Herman duduk sambil bersandar dipohon, menutupi area pinggang nya yang terkena luka goresan akibat terkena pecahan kaca saat menyelam ke laut untuk menyelamatkan diri. Satria dan Intan yang bertanggung jawab merawat luka Herman atas perintah Nathan.

Aryan dan Alvar mengisi peluru senjata mereka masing-masing, mereka akan bersiap-siap untuk menangkap kapten kapal tersebut.

" Dengarkan baik-baik, tujuan kita menangkap kapten mereka. Lumpuhkan orang-orang yang berpihak pada musuh! dan jangan mati! " Kata Nathan dengan nada tegasnya. Memasang Kacamata hitam serta maskernya, " Intan, kau akam tetap disini memberikan informasi kepada kami serta lindungi Herman yang terluka. Kita tidak bisa pulang karena musuh tengah mencari kita. Satu-satunya jalan adalah melawan mereka! ".

" Baik, Kapten!! "

Mereka mulai masuk secara diam-diam menuju kapal musuh, Intan masih bersembunyi sambil mengawasi situasi saat ini. Drone mini ia lepaskan untuk mengawasi pergerakkan rekan-rekan nya di dalam kapal.

" Intan, maaf merepotkan mu " Kata Herman.

Intan tersenyum, " Aku tidak keberatan jika tugas ku melindungi sahabat terbaik ku " Kata Intan.

Herman menganggukan kepalanya, dia bersyukur satu regu dengan Intan. " Ha~ semoga ini berakhir dengan cepat " Bisik Herman lirih.

***

Nathan, Aryan, Alvar dan Satria bersembunyi dibalik pintu ruangan. Mengawasi pergerakkan musuh yang nampaknya tidak menyadari kehadiran mereka. " Apa kita langsung menyerang mereka? " Kata Satria.

Nathan menganggukan kepalanya, " Dua orang sebagai umpan, dan Dua orangnya lagi menangkap kapten kapal ini " Kata Nathan.

" Kalau begitu, Aku dan Alvar yang akan menjadi umpannya " Kata Satria.

" Baiklah, Aryan kita akan menangkap kapten kapal ini. Apa kau sudah siap? " Tanya Nathan.

Aryan menganggukan kepalanya, " Saya siap " Jawab Aryan dengan nada tegasnya.

Nathan membuka pintu ruangan tersebut.

Memberi serangan kejutan kepada para musuh. Kini Satria dan Alvar harus menghadapi beberapa anggota King Cobra. Mereka tak menghabiskan waktu lagi, segera menyergap Satria dan Alvar dengan keahlian mereka masing-masing.

Mereka melayangkan pukulan kearah Alvar dan Satria, tapi mereka berdua mengelak dan menendang sebagai serangan balik. Rasa panik muncul saat beberapa anggota membawa pistol. Alvar mengarahkan pistol dan terjadi adu jual beli tembakkan. Satria berlari, membanting beberapa meja sebagai pelindung nya.

Mereka mulai terdesak, apalagi musuh semakin banyak berdatangan. Satria menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.

Balok kayu ia raih dan menggunakannya untuk menyerang musuh, memukul mereka tanpa merasa kasihan. Korban mulai berjatuhan, merintih kesakitan diatas lantai.

Satria terduduk kehabisan tenaga, membuang kayu digenggam nya dan menggantikan nya dengan pistol. Dor! tembakkan Satria tepat sasaran, melumpuhkan pergerakkan musuh dengan cepat.

Alvar mengehela napas. Akhirnya mereka berhasil melumpuhkan musuh. " Kerja bagus Alvar " Kata Satria sambil menepuk bahu Alvar.

Alvar membalas tepukkan Satria, " Kerja bagus, Satria " Kata Alvar.

***

" Sepertinya mereka sudah kau kalahkan " Kata Baron, Kapten kapal. " Hahahahaha! " Dia tertawa, " Kalian mengharapkan apa dari ku? " Tanya Baron dengan nada meremehkannya.

Nathan menyipit. " Informasi organisasi kelompok kalian "

Baron membuka laci dan melemparkan beberapa dokumen kearah Nathan dan juga Aryan. Aryan mengambil dokumen tersebut lalu menyerahkan nya kepada Nathan.

" Aku sudah tua dan aku tidak ingin berlama-lama melayani tuan Ardiaz. Aku menunggu kedatangan kalian, berharap jika kalian mengakhiri semua ini—" Kata Baron, dia terbatuk-batuk membuat Aryan khawatir. Apalagi melihat darah yang keluar dari mulut Baron, " —Waktuku tidak lama lagi, tolong akhiri semua ini " .

Bruak!

Baron tersungkur.

Aryan segera menghampirinya. " Dia sudah tidak bernyawa lagi, kapten " Lapor Aryan.

Nathan menghela napas lelah, ia berjalan menuju meja yang terdapat sebuah cangkir bekas pakai. " Dia meminum racun " Kata Nathan lalu menaruh kembali cangkir itu.

" Baiklah, sekarang kita pergi dari sini!! "

Próximo capítulo