Kepala gue terasa berat sekarang, gue mencoba membuka mata gue, gue mengerjap-ngerjap mata gue mencoba menyeimbangkan jumlah cahaya yang masuk.
"Gue ada di mana, apa gue ada di UKS?" tanya gue pelan, saat kembali teringat bahwa tempat gue sebelumnya adalah di tengah lapang bukan di UKS.
"Ya," jawab Reynard saat sedang berada di ambang pintu UKS.
"Ngapain lo bawa gue ke UKS?" tanya gue lagi.
"Ngapain lo pingsan?" tanya dia datar. Kok gue kesel ya sama dia, kenapa dia tanya ngapain gue pingsan? Ya mana gue tahulah, emang gue minta sama Tuhan buat gue pingsan apa? Kan enggak.
"Gue pingsan?" tanya gue memastikan. Dia tak menjawab, dia hanya mengangguk.
"Ah, ini semua gara-gara lo!" ucap gue ketus. Dia mengangkat satu alisnya.
"Kenapa gue?" tanya dia dingin.
"Iyalah lo ngapain bilang ke OSIS kalau gue mau kabur?" tanya gue ketus. Ini semua memang salahnya, coba kalau dia gak kasih tahu sama OSIS kalau gue mau kabur, pasti gue gak bakalan dihukum.
"Biar lo gak kabur," jawab dia santai.
"Dan akhirnya gue pingsan," gerutu gue datar.
"Baru 40 menit udah pingsan, dasar lemah..." ucap dia dengan datar dan nada yang meremehkan gue.
"Gue gak lemah! Gue hanya belum makan apa pun dari tadi pagi makanya gue lemes!" ceplos gue yang tanpa sadar kalau gue sudah memberitahu orang lain akan kondisi gue yang belum mengonsumsi apa pun dari awal gue bangun. Untungnya gue gak keceplosan kalau gue belum makan dari kemarin sore.
"Ikut gue!" ucap dia sambil menarik lengan gue yang mengharuskan gue turun dari ranjang.
Nih orang gak ada hati atau bagaimana? Orang baru bangun pingsan langsung dipaksa jalan. Gerutu gue sambil berjalan mengikuti ke mana kaki dia melangkah.
"Mau bawa gue ke mana lo?" tanya gue sinis. Dia tak menjawab, dia hanya berbalik dan menatap gue sebentar yang kemudian kembali menatap ke depan.
"Jan cepet-cepet jalannya cape gue," ucap gue saat merasa lelah, karena harus menyeimbangkan langkah kaki gue dan langkah kakinya yang panjang.
"Dasar pendek," ucap dia sambil tersenyum tipis di ujung kalimatnya.
"Enak aja lo ngatain gue pendek!" ketus gue.
"Lontong sayur gak usah pedas satu, sama air putih bening gak usah dingin," ucapnya memesan makanan, saat gue sama dia sudah berada di kantin.
Gue membelalakkan mata gue saat gue mendengar pesanannya barusan. "Kenapa gak pedas?" tanya gue ketus, karena gue gak suka kalau makan makanan yang gak pedas.
"Lo belum makan, gue kasihan kalau cacing lo nantinya kepedasan," ucapnya datar. Gila yang dipikirkan hanya cacingnya lah orangnya kagak, ah sebel gue!
"Terus kenapa airnya gak dingin?" tanya gue lagi saat air putih dan lontong yang ia pesan datang.
"Gak."
"Tapi gue pengen makan makanan yang pedas!" ucap gue lagi.
"Gak bagus buat kesehatan," jawabnya santai.
"Kalau gitu lo terus ngomong biar lontongnya berasa pedas" Sambung gue, dia hanya mengernyit bingung.
"Karena omongan lo jauh lebih pedas dari pada cabai!"
"Lo pengen minuman yang dingin?"
"Iya ya plisss."
"Kalau gitu gue celupin tangan gue biar dingin?" tanyanya disertai dengan senyuman tipis di ujung kalimatnya.
"Padalah tadi pesennya air panas aja?"
"Buat?"
"Buat gue pake nyiram muka lo biar gak dingin terus!"
"Gue rasa lo gak perlu nyiram gue pake air panas."
"Kenapa?" tanya gue bingung.
"Karena lo bisa merubah sifat dingin gue."
"Buktinya apaan, bahkan sampai sekarang lo masih dingin, bahkan beku?"
"Gak usah banyak tanya! Makan," ucapnya yang langsung menyuapi gue lontong tersebut. Jujur gue kage banget, apalagi tatapan gue dengan tatapan matanya bertemu sekarang.
Gue sekarang sedang duduk santai di dalam kelas sambil mendengarkan musik dibalik earphone yang gue pasang.
"Vitta cowok lo tuh," ucap entah siapa namanya, gue gak kenal yang sudah mengganggu kesantaian gue.
"Gue gak punya cowok," jawab gue datar, gue terus memperhatikan layar ponsel gue.
"Terus Rey siapa lo?" tanya orang itu dengan nada yang masih ngos-ngosan.
"Bukan siapa-siapa," jawab gue singkat tanpa mau menatap orang itu..
"Ah gue gak peduli yang jelas cowok lo jadi berantem sama Adika," ucap orang itu yang langsung membuat gue panik seketika.
"Di mana?" Entah kenapa gue bisa bersikap seperti itu barusan.
"Di ruang kelas 10 IPA 4," jawabnya.
Gue langsung beranjak dari tempat gue dan langsung berjalan, bahkan setengah berlari untuk menuju ke tempat yang dia maksud tadi. Sebelum sampai di depan kelas 10 IPA 4, sudah terlihat banyak siswa dan siswi yang menutupi jalan.
Setelah gue berada di depan kelas tersebut, ternyata Reynard sudah tak ada di sana. Gue melihat punggung Reynard yang tengah berjalan dan diikuti oleh 2 guru BK.
*****
"Ss ah..." desis Reynard saat gue memegang sudut bibirnya yang kini sudah mulai membiru.
"Sakit?" Tanya gue
"Ngapain lo di sini?" tanya Reynard heran, karena gue sekarang tengah berdiri di depan ruang BK. Dia seolah mengabaikan pertanyaan gue barusan.
"Nunggu lo," jawab gue singkat. Dia hanya membulatkan mulutnya, tanpa menjawab apa pun. Gue sedari tadi memang menunggu dia keluar dari ruangan BK.
"Ikut gue!" ucap gue yang langsung menarik tangannya. Dia berjalan mengikuti gue. Gue membawa dia ke UKS.
Gue membersihkan luka dia dan kemudian mengompres lukanya itu. Gue gak sadar kalau ternyata gue tengah memedulikan seseorang sekarang.
"Ah," ringis dia saat gue sengaja menekan lukanya. Gue sengaja menekan lukanya, karena dia menatap gue dengan tatapan yang begitu lekat dan seolah akrab, gue benci akan situasi seperti ini.
"Pelan-pelan bisakan?" tanya dia datar.
"Gak usah natap gue!" seru gue sambil menatap dia dengan tatapan yang lumayan tajam.
"Gak natap cuman liat."
"Gak usah liat!" ketus gue lagi. Kenapa gue bawaannya emosi ya kalau ngomong sama dia? Ya Tuhan kenapa Engkau menciptakan makhluk seperti dia?
"Trus?" tanya dia santai. Wajahnya tetap datar seperti tembok.
"Tutup mata lo!" seru gue ketus, tapi dia masih membuka matanya.
"Tutup atau gue guyur pake alkohol?!" ancam gue sambil memegang botol alkohol dan akhirnya dia langsung menutup matanya.
Gue masih membersihkan lukanya dan tanpa sadar gue merasa tertarik untuk memandang wajahnya. Lekukan yang ada di wajahnya terlihat sangat menarik.
"Jangan lama-lama liatinnya," ucap dia yang langsung membuyarkan tatapan gue. Padahal gue baru menatapnya beberapa detik saja.
"Sssh ah," ringis dia lagi saat gue kembali menekan lukanya dengan sengaja, karena gue jengkel sama dia. Kenapa dia bisa tahu kalau gue lagi liatin dia?
"Ngapain lo belain gue?" tanya gue sambil membereskan semua peralatan dan memasukkan semuanya kembali ke kotak P3K itu.
"Siapa yang belain lo?" tanya dia datar.
Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!
Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!
penasaran gak? apa alasan Reynard berantem sama tuh cowok? bagaimana kelanjutan kisah Peyvitta ke depannya? penasaran? tunggu aja kelanjutnnya.
maaf baru up sekarang, kemarin ada problm
see u di next chapter!
bbye