webnovel

Chad's lesson

-o0o-

Chad menghela nafasnya berulang kali. Ia benci situasi ini, dimana ia ditempatkan dalam satu ruangan bersama pria kumuh yang sudah mendidihkan darahnya sejak pertama batang hidung pria itu muncul. Menggertakan rahang pun sepertinya hanya akan membuat rahangnya patah tanpa menurunkan emosinya. Hingga rokok menjadi pelarian Chad yang sudah siap dengan pemantiknya.

Tapi sialnya, wajah David yang hanya diam dengan ekspresi takut-takut sembari memandang hembusan asap rokok itu pun juga memuakkan bagi Chad. Chad berdecak, menghampiri David yang kini menunduk begitu melihat Chad yang sudah 3 jengkal di hadapannya.

"Kau," Pria itu mencengkram kedua sisi wajah David dengan satu tangan. Saking kerasnya sampai-sampai David meringis. Ia ingin sekali meronta dan lepas dari tangan kuat itu. Namun apa daya, tubuhnya sudah di himpit oleh Chad di tembok. "Aku tak menerimamu disini."

Chad mengisap rokoknya dengan tangan yang lain, kemudian menghembuskannya tepat di wajah David. "Ah," Pria bertatto ukiran tulisan rait vertikal di lehernya itu tersenyum miring. "You're cooking blood on me," desisnya sembari mematikan bara rokoknya di dada David. Lalu dengan sekali jurus, kakinya sudah tergerak untuk menendang perut David dengan lututnya. Usainya, Chad menghempaskan tubuh lemah David ke lantai.

David terbatuk-batuk sambil memegangi perutnya. Pandangannya buram. Sepertinya Chad benar-benar membencinya. Hal itu terasa jelas ketika pria itu langsung menendang ulu hati David tanpa ampun. "M..maaf..," rintih David, masih dengan nafas tersengal dan batuk yang tak kunjung berhenti. "Maafkan aku.."

Chad hanya memandangi David dengan arogan. Ia tertawa singkat. "Sekarang, berdiri," perintahnya. Seolah tak punya nurani ketika melihat David mencoba berdiri dengan susah payah karena luka di kaki nya dan lebam di perutnya, Chad kembali memerintah dengan nada yang lebih tinggi. "Kubilang berdiri!"

Chad menyungging senyum miring ketika melihat David yang sudah berdiri tegak walau agak sempoyongan. "Bagus," timpal Chad. David memejamkan matanya begitu melihat Chad kembali mendekat. Dan benar saja, pria itu kembali melayangkan tinjuannya pada rahang David dengan keras. Kali ini, David berusaha agar tetap pada posisinya dengan menopang pada tembok di sebelahnya.

"Jangan memejamkan mata!"

BUGH!

"Dan jangan menopang!"

BUGH!!

"Uhuk... uhukk..." David mengatur nafasnya yang tak beraturan dan sebisa mungkin berdiri tegak tanpa menopang atau membungkukkan badannya untuk menahan rasa sakit yang menjalar. Tatapannya lurus pada Chad yang tersenyun puas dengan mata menyalang. 'Aku akan mati disini,' batin David. Ia menggeleng sejenak. 'Tidak, aku pasti mati.'

"Bagus, tetaplah dalam posisi itu," ujar Chad. Nada nya tegas dan tak ingin dibantah. Ia jalan mondar-mandir di hadapan David, membuat pria itu harus terus menjaga nafasnya meskipun bulu kuduknya sudah berdiri. "Dalam kondisi seperti tadi, jangan memejamkan mata. Tatap mata lawan dan manipulasi seolah-olah kau adalah ancaman yang berbahaya bagi mereka. Jangan membungkuk dan menopang. Kau tidak boleh terlihat memiliki celah. Apabila kau terpojok seperti pertama kali aku menghajarmu tadi, jangan takut untuk menggunakan tangan dan kakimu. Cari titik vital terdekat dan habisi lawan. Mengerti?"

Walau David tak menunjukkannya, sebenarnya saat ini ia cukup terkejut melihat fakta bahwa ia masih bisa bernafas dan malah mendapat ceramah singkat. Namun jika dipikir lagi, bagi seorang gangster yang berhasil lolos dari kejaran Osmers dan para polisi, tentu saja Chad bisa sangat profesional dalam membaca situasi dan membedakan mana pekerjaan mana perasaan pribadi. Apalagi mencampurkan keduanya tanpa membuat kesalahan.

Satu-satunya kesalahan adalah dirinya yang masih berharap agar bisa bertahan hidup di lingkungan gangster ini.

"Mengerti?!"

"Mengerti."

"Baiklah, sekarang aku akan mengajarimu beberapa gerakan. Ikuti arahanku dengan baik karena aku tidak akan segan-segan menonjokmu."

"Baik."

•▪•

"Kulihat Chad dan David rukun di gym kita," celetuk Elvis dengan sedikit senyum meledek sembari melempar kartu 2 hati ke tumpukan kartu yang berada di antara ia dan Bianca.

"Ah, aku juga mendengar suara-suara bugh-bugh, padahal aku berharap suara bang-bang," kata Bianca seraya memperagakan bentuk pistol dengan tangan kanannya. Elvis memandangnya dengan alis terangkat sebelah. "Lebih baik kau membunuhnya dari awal daripada menjadikan dia samsak tinju mu dan Chad."

"Aku tau dia punya potensi," sergah Bianca dengan nada ringan.

"Setidaknya beri dia makan. Apa selain membunuh kalian juga suka menyiksa?" Tukas Arianne yang akhirnya melepaskan pandangannya dari buku bercover hijau lumut yang sedari tadi ia baca. Sayangnya, ia hanya mendapat tawa bengis dari kedua partnernya itu.

"Arianne memang pintar berkata pedas," timpal Elvis, ber-tos ria dengan Bianca.

"Tidak, tidak. Kau berlebihan, Arianne," kata Bianca dengan tawa ringan disusul oleh erangan dari Arianne.

"Berlebihan?" Arianne meletakkan bukunya di atas meja. "Kau tau David sudah tak makan berapa hari? Kita tak pernah memberinya makan, bahkan tempat tidur yang layak, tapi kalian terus-terusan menghajar dia tanpa ampun selama 6 hari ini! Apa kalian tau selama ini dia hanya minum air keran padahal setiap hari dia yang membersihkan tempat ini? Dia juga sering terlihat pucat karena baju nya yang seperti gembel dan tidak menutupi seluruh badannya karena ia sobek untuk menutupi luka di kakinya yang ada kemungkinan infeksi. Kalau mau menjadikannya partner, perlakukanlah dia dengan baik atau setidaknya jangan menyiksanya!" Ungkap Arianne diakhiri dengan nafasnya yang tersengal-sengal dan hanya mendapat tatapan sinis oleh Bianca.

"Wow, tadi itu kalimat terpanjangmu, Arianne. Teruslah bicara banyak, tapi lain kali bicaralah yang berguna," balas Elvis singkat seakan-akan ia tak serius mendengarkan ocehan Arianne. Bianca mengangguk. "Cewek sinting," ia memainkan mimik seolah ia merasa sedih. "Kalau kau sebegitu kasihannya, kau saja yang beri dia makan dan membagi ranjangmu dengannya. Kami tak pernah melarang. Walaupun bantal dan selimut ekstra yang kau berikan padanya waktu itu tak sengaja ku buang," lanjut Bianca.

Arianne terbelalak. Pantas saja ia tak melihat David menggunakan bantal maupun selimutnya. Dan lagi, makanan yang ia sisihkan untuk David selalu di ambil oleh ketiga manusia yang benar-benar tak bernurani itu.

Tapi ada yang asing dari dirinya. Melihat korban mati dan ditembak di hadapannya, ia tak gentar atau malah berlari.

Kini ia justru merasa kesal.

Arianne membalas tatapan sengit Bianca, kemudian melenggang pergi begitu saja tanpa memedulikan tawa remeh yang pecah setelah kepergiannya. Persetan, persetan. Jangan sampai batas sintingnya setingkat dengan mereka. Ia butuh udara segar.

Arianne menumpu kedua lengannya di pagar teras. Hari sudah malam tanpa ia sadari. Meski perasaannya sedang kacau, Arianne tak pernah menyentuh rokok atau pemantik seperti para partnernya. Satu-satunya yang paling waras baginya seumur ia bergabung dengan Alpha adalah rumah ini. Merupakan pilihan paling tepat mengingat pemandangan di luar sini mampu menentramkan hatinya dan memulihkan kembali pikirannya.

Dipikir-pikir, Arianne yang salah sudah berharap sedikit kemanusiaan dari ketiga partnernya padahal ia sudah bertahun-tahun mengenal mereka. Jika ingin melakukan sesuatu yang baik, makan lakukanlah sendiri. Karena Bianca, Chad beserta Elvis bukanlah orang yang bisa ia gerakkan semudah membalikan telapak tangan untuk hal seperti itu. Sebaliknya, jika ingin mencari partner untuk melakukan tindak kriminal, mereka berada dalam daftar teratas.

Pikiran Arianne mengawang-awang, mencoba mengingat kembali alasan utama ia bergabung dalam kelompok ini sebelum akhirnya ia di interupsi oleh langkah kaki yang terseok-seok.

"Ah, kau..." suaranya terdengar letih dan tak bertenaga.

Arianne menarik nafas dalam-dalam, mengumpulkan keberaniannya.

"Hey, mau pergi jalan-jalan denganku sebentar?"

Próximo capítulo