webnovel

5. Detektif

Aku duduk di kamar huni bersama dua orang tahanan yang pagi tadi sudah mengganggu waktuku sarapan. Itu adalah sel yang berada di gerbong Selatan rutan, artinya aku sudah benar-benar dipindahkan ke sini.

Aku tidak tahu, apa yang membuat petugas memutuskan hal tersebut, satu yang pasti aku bersyukur dengan keputusanku menyembunyikan buku dan alat tulis di balik baju tahanan bernomor 986 ini, sehingga benda itu tidak tertinggal di kamar huni sebelumnya. Dan tentunya, jika petugas benar-benar lupa akan kamar huniku di blok ujung—sebelah ruang tidur Herman, adalah pertanda baik bagiku, karena dalam 3 hari ke belakang, aku sudah membuat temboknya remuk. Jadi, aku tidak perlu menanggung hukuman apa pun, dan mereka pasti bakal mengira kalau dindingnya hancur karena memang sudah tua atau semacamnya.

Mestinya, aku menanyakan alasan petugas memindahkanku ke ruang ini bersama mereka berdua, tapi sebelum itu, aku membahas kejadian pagi tadi, perkelahian di tempat makan. "Apa yang terjadi?"

"Petugas nganggep mereka berantem," kata Noer.

"Kayak biasa," tambah pria tua.

"Hmmm...." gumamku. "aku tidak terlibat?"

"Sama sekali tidak." geleng pria tua. "Bahkan napi lain tutup mulut tanpa minta bayaran,"

Aku menghembus napas lega. "Syukurlah, aku tidak bakal dikecap tahanan bermasalah untuk kejadian itu. Tapi, aku tetap harus waspada kalau-kalau bertemu Herman dan kedua anak buahnya, lagi." ujar batinku.

"Jadi?" tanyaku akhirnya. "Ada rolling?"

"Ha ha ha, tidak, tidak." jawab pria tua.

"Napi lain ga ada yang mau satu tempat dengan kita." sambung tahanan baru.

Aku mendengus. "Apa ini memberikan dampak yang lebih buruk untukku?" Otakku berpikir.

"Aku tidak menyalahkanmu Bung, bahkan aku tidak menyesalinya." ucap pria tua beberapa saat kemudian. "Aku justru bersyukur bisa satu tempat dengan pria murah hati dan kuat seperti Bung ini."

"Tentu saja!" Noer berseru. "Mungkin kau bisa jadi penjaga untuk kami, ha ha ha...."

Aku menanggapinya dengan tatapan tajam.

Tampak tahanan baru itu mengangkat kedua tangan, isyarat menyerah. "Mana berani aku melawanmu?"

"Bung harus penuhi permintaan egois kami. Aku yakin tahanan sembilan-lapan-nam lebih dari sekadar rumor yang beredar." kata pria tua selanjutnya. "Kami perlu penjagaan Bung untuk bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup."

Aku kembali membaringkan diri ke atas ranjang rata dengan berbantal kedua tangan.

"Kami bakal bayar dengan informasi apa pun yang kami tau, yang kau butuh, apa pun. Semuanya!" tawar Noer. "Dan.... tidak ada kebohongan!"

"Hanya orang bodoh yang bakal percaya omonganmu." Sebenarnya aku ingin berkata demikian, tapi kutahan. Aku tidak mau beradu argumen dengan mereka. Biarlah mereka melakukan apa yang mereka berdua mau, dan aku melakukan apa yang menjadi keputusanku. Itu adalah kebebasan, dan tepat. Bagiku.

"Bung.... masih ragu dengan kami?" tanya pria tua.

Aku memberi isyarat tidak dengan mengangkat tangan, lalu menghadap tembok, memunggungi mereka.

"Begini saja...." ucap pria tua. "kuberitahu rahasia kami. Bagaimana bocah baru?"

Kudengar dia mendengus sebelum menjawab: "Ya, kurasa kalau dia ... tidak masalah. Aku percaya orang ini bukan berandalan seperti mereka."

Aku merasa tersanjung mendengar kalimat yang keluar dari mulutnya itu. Dan aku sangat yakin sekarang, kalau Noer bukan pria yang tidak berpengalaman seperti pandangan awalku kepadanya. Jelas saja, nadanya berubah, tidak seperti sebelumnya. Jadi, siapa sebenarnya dia?

"Sebelum lanjut ke pembahasan yang rumit, aku mesti mengenalkan diri," ucap pria tua. "Kusnadi Singodimedjo, terserah Bung mau memanggilku apa. Aku juga sudah terbiasa dengan julukan ini itu. Seperti pria tua, misalnya. Terserah! Dan aku tidak masalah."

Aku diam, tidak menanggapi. Masih menatap ke arah tembok beton.

"Aku, Pramudya Wihardja Kusuma." kata tahanan baru. "Maaf, karena awal kita bertemu aku malah membohongimu,"

Aku sudah menduga. Memang, di tempat ini aku tidak bisa percaya pada siapa pun. Kalau pun benar nama aslinya itu, aku tidak peduli, bagiku dia tetap tahanan baru yang sok akrab kepadaku. Dan aku menyayangkan tindakannya pagi tadi, karena sudah membuatku marah pada pertemuan pertama.

"Aku punya alasan!" tambahnya. "Aku hanya mencoba berteman denganmu. Kau tau.... itu adalah salah satu nama dari seorang wanita yang kabarnya menghilang tanpa jejak."

Aku tercekat mendengar kalimatnya. Segera aku duduk dan melempar pandang ke arah tahanan baru.

"Matamu masih saja mengerikan," tutur tahanan baru. "aku tau, kau tidak terima karena aku sudah menggunakan nama tunanganmu itu."

Dengan gerakan yang singkat, aku menjegal kerah baju tahanan baru. "Apa maumu?!" Aku menggeram.

"Dia sudah cerita kepadaku, Pram sengaja ke sini buat ketemu Bung, tahanan sembilan-lapan-nam." saut pria tua santai, seakan sudah terbiasa dengan kekerasan di depan matanya.

"Pram?" Aku bertanya sendiri. Merasa tidak asing dengan nama itu.

"Kau sama sekali tidak mengingatku?" tanya tahanan baru.

"Aku masih ingat, kau orang baru yang merusak waktu sarapanku." tanggapku.

"Heh! Kau pikir aku tidak tidak tau? Pagimu selalu penuh  dengan masalah!" Dia berseru. "Bukan cuma aku, sebagian besar napi di sini selalu merusak pagimu, bukan?"

Jawabannya menjadi tanda untukku kalau dia sudah mendengar gosip yang beredar tentangku. Dan mungkin saja pria tua itu yang memberitahukan kepadanya.

"Apa otakmu sudah menumpul, Detektif?"

"Detektif?" Aku mengulang pertanyaan tahanan baru dalam otak. Rasanya sudah lama sekali aku tidak mendengar sebutan itu, dan agaknya aku mulai mengenali pria di depanku. Kupandang ke arah wajah di hadapanku, terpampang fisik dari keturunan Indonesia-Jepang. Mungkinkah dia.... "Jaja?"

Pria itu mengangguk sembari berkata: "Akhirnya kita bertemu lagi, Sensei."

🚶🚶🚶

Empat belas tahun lalu, sewaktu aku kelas 3 SD, Bapak mengajakku berkunjung ke pondok pesantrennya dulu yang ada di Kediri, Jawa Timur. Kami tinggal tidak lama, hanya beberapa hari, tak lebih dari seminggu.

Awal di sana, aku hanya terus mengikuti kegiatan Bapakku. Berkeliling, menyapa ustadz dan para santri, lalu menemui Abah Kyai Ahmad Idris Marzuqi selaku pengasuh ponpes Lirboyo. Dulu, aku tidak begitu paham dengan tujuan Bapak mengajakku ke sana, tapi jujur aku sangat nyaman tinggal di tempat itu terlebih banyak bocah lanang seumuranku, jauh berbeda dengan Banyumas. Perbadingan putra dan putri adalah 1 : 4. Kalau sesuai hukum Islam, setiap pria bakal punya 4 istri, dan ga bakalan ada yang protes.

Aku berteman dengan cukup banyak orang, dan tidak paham betul siapa saja nama mereka, karena aku berpindah tempat main setiap hari, dan selalu bertemu dengan orang-orang baru. Terlebih sudah kukatakan sebelumnya dalam novel The Missing Lovers, ingatanku lemah. Jadi, tidak salah kalau aku melupakan mereka.

Tapi ada satu hal yang menjadi perhatianku sekarang. Bocah blasteran, keturunan Indonesia-Jepang. Jaja panggilannya, dan tidak kuingat siapa nama lengkapnya. Dia lima tahun lebih tua dariku. Dua kali mengajak aku main petak umpet dan selalu menjejeriku sewaktu ngaji malam tiba.

"Nah, Sensei.... apa kau bakal tinggal lebih lama?" tanyanya sambil makan jagung bakar. Mengacuhkan penjelasan dari Abah Kyai.

Memang, bagi bocah seumuran kami sulit mendengarkan penjelasan yang ribet. Mungkin kalau empat mata, kami bakal lebih memerhatikan. Tapi, aku tidak menjamin. Namanya juga bocah, ya lebih suka bermain. Jadi, kalau kegemaran kalian juga bermain—tidak serius, kalian tidak ada bedanya dengan kami—bocah seumuran anak SD/MI.

Aku menggeleng.

"Jadi, kau benar mau pergi Sensei?"

Aku mengiyakan dengan isyarat.

"Kapan Sensei pergi?"

Aku mengangkat bahu.

"Kalau gitu, Sensei mau main lagi sama aku?"

Aku ngangguk. Telingaku lebih ingin mendengar pengajian daripada ajakan bermainnya. Bukan maksudku aku tidak suka dengan obrolan itu, tapi dia bisa melakukannya besok setelah dia pulang sekolah dan tidak mengganggu ngajiku malam ini. Kan, sudah ada pembagian waktunya.

"Nah Sensei...."

Aku mendengus, merasa sebal dengan perlakuannya. Tapi kalau aku tidak menanggapi, bisa saja dia justru bertingkah lebih menyebalkan daripada sebelumnya. Jadi, akhirnya aku nanya juga. "Sensei itu apa?"

Mendadak dia ketawa membuat orang-orang di sekitar kami melotot lalu berseru: "Ssttt! Jangan berisik!"

Bocah itu terbahak sambil garuk-garuk kepala. Melanjutkan makan jagung dan berkata: "Sensei itu artinya Guru,"

"Oh." Anggukku.

"Sensei ga nanya itu dari bahasa apa?"

Aku menggeleng.

"Emang Sensei tau?"

Aku mengiyakan dengan isyarat.

"Coba, dari bahasa apa?"

"Jepang, kan?"

"Loh, kok, Sensei bisa tau? Dari mana? Padahal yang lain juga ga ada yang tau, koh." Dia bertanya dengan nada terkejut.

"Katamu kau keturunan Indo-Jepang, jadi ada kemungkinan kamu bisa dua bahasa itu. Nah aku anggep aja kamu ngomongnya campur bahasa Indonesia sama bahasa Jepang. Tapi, aku baru tau artinya tadi. Makasih," ujarku menjelaskan.

"Kau benar-benar hebat, Sensei! " tegasnya.

"Berhenti manggil aku Guru!" pintaku.

"He he he, emang ga mau jadi Sensei? "

Aku menggeleng.

"Kenapa?" tanyanya.

"Aku mau jadi Detektif." jawabku.

"Detektif?" Dia nanya mencoba memastikan pendengarannya.

"Hmmm...." Anggukku. "Detektif itu bisa tau semuanya, mecahin teka-teki, dan bantu polisi nangkep penjahat."

"Oooh.... pantesan aja Sensei bisa nemuin harta karun itu. Ternyata Sensei Detektif."

Yang dimaksudkan bocah di sebelahku soal harta karun adalah sebuah buku usang yang disembunyikan salah seorang Ustadz dengan maksud memberikan permainan bajak laut kepada kami dua hari lalu. Dia memberikan peta dengan gambar yang hampir mirip dengan peta harta karun ala bajak laut. Setiap tempat, kami diminta mecahin teka-teki dan kalau ada pertanyaan kami perlu menjawab. Nah, pertanyaan-pertanyaan itu seputar agama yang kami pelajari di diniyah, tempat ngaji. Tapi tak jarang juga ada pertanyaan-pertanyaan jebakan yang tidak kuingat. Maaf.

"He," Aku ketawa. "Pas gede nanti, aku bakalan lebih hebat!"

"Ha ha ha," Dia ikutan ketawa. "ngomong-ngomong Sensei Detektif umurnya berapa sekarang?" Dia nanya.

"Delapan tahun," Aku jawab.

"Hah?! Mustahil!" Aku yakin itu tanda kalau dia tidak percaya. "Jangan bohong Sensei!"

"Aku serius," jawabku. "kalo kamu?"

"Aku.... tiga belas tahun." jawabnya gugup entah kenapa.

"Oh. Eh, siapa namamu, ya?"

Dia mendengus kesal. "Jaja. Diinget-inget, dong!"

Aku ngangguk. Dalam hati berkata: "Namanya mirip cara bocah banci ketawa, 'jajajaja....'"

Próximo capítulo