webnovel

Rakai Pikatan 5

Sungguh. Mereka tidak seperti musuh. Mereka seperti saudara setanah air.

Rakai Pikatan tidak mengerti mengapa ia secara pribadi mendapat tugas dari raja untuk mengawal kembali Balaputradewa dan Udayaditya menuju tanah Sumatera seorang diri. Ia merasa bahwa Joko Wangkir atau Mpu Panca lebih layak untuk mengawal calon musuh mereka tersebut. Atau bahkan kerahkan saja selusin pasukan. Atau selaksa bila perlu. Mereka ini orang – orang berbahaya. Namun pengalaman perjalanan bersama kedua orang ini mengubah pandangannya.

Rakai Pikatan memerhatikan air jernih beriak dari mata air yang berasal dari kaki Gunung Merbabu. Matanya mengikuti aliran air terjun yang terpampang dengan jelas di depannya. Orang – orang aneh ini lagi – lagi membuatku kebingungan. Balaputradewa membuat permintaan untuk tidak melewati jalur ketika mereka datang dahulu. Alih – alih menyusuri tepi Sungai Progo, mereka bergerak tepat tegak lurus arah matahari terbit, yaitu menuju utara. Keluar dari istana Prambanan, menuju utara. Jalur ini menyulitkan karena mereka akan melewati jalur Gunung Merapi dan Merbabu.

Rakai Pikatan menoleh ke kirinya. Tepat di depan bilik sebuah saung pedesaan, Udayaditya sedang bersender pada dinding bambu. Ia setengah tertidur dan terlihat menikmati hawa sejuk yang berasal dari air terjun dan cakrawala yang sedang teduh – teduhnya. Mungkin ia kelelahan setelah berjalan setengah hari lamanya, mengingat mereka keluar dari istana Prambanan pagi tadi. Sedangkan pamannya tidak terlihat. Rakai Pikatan menebak bahwa ia sedang berada di dalam bilik dan bersemedi.

Laki – laki yang menarik, mereka ini. Rakai Pikatan mendapat kesan bahwa mereka sendiri tidak ingin benar – benar menyatakan perang. Hal ini terlihat ketika mereka hendak bergerak keluar dari gerbang kerajaan, Udayaditya memohon ijin untuk melangkah menuju Taman Anyelir. Pemandangan berikutnya mengejutkan dan membuat hati tergelitik, karena ia kembali dengan sebuah botol kaca berisikan air. Ia mengakui bahwa air itu berasal dari kolam yang bersumber dari kaki Gunung Slamet.

Rakai Pikatan menilai Balaputradewa hanyalah seorang paruh baya biasa. Kelebihannya adalah ia bersifat tenang dan tidak mudah terpancing. Sejauh ini Rakai Pikatan belum melihat kelebihan lainnya. Mungkin karena ia berada di negeri seberang sehingga tidak mampu menunjukkan kemahirannya. Oiya, satu lagi, ia sangat amat sopan.

Orang yang terakhir berada di pemikiran Rakai Pikatan melangkah keluar bilik. Mengenakan sari kuning dan alas kaki bertali, ia melangkah menuju Rakai Pikatan.

"Kau sudah cukup beristirahat? Adalah baiknya kita meneruskan perjalanan ini. Namun tidak usah dipaksakan. Kita memiliki banyak waktu. Jika kau ada keperluan jangan sungkan – sungkan untuk mengatakan."

"Tidak, paman, aku baik – baik saja. Baik, ayo kita teruskan perjalanan ini."

Sebuah dengus yang panjang memotong kalimat tersebut. "Tunggulah sebentar lagi kawan, paman, dewa cakrawala sedang baik – baiknya pada waktu ini."

Udayaditya kembali memejamkan matanya setengah terlelap. Balaputra memandang Rakai Pikatan, mengangkat bahunya, kemudian duduk tidak jauh dari Rakai Pikatan untuk menikmati air terjun.

Tuhan, salah apakah aku ini. Mereka ini adalah orang – orang penting yang akan menyerang kerajaanku. Namun mereka tidak ada bedanya seperti keluarga sendiri. Tidak ada!

Hanya satu kalimat yang meluncur dari mulut Balaputradewa ketika ia bersama Rakai Pikatan duduk di tepi saung di samping Sungai Merbabu, "Benar – benar air terjun yang indah." Selebihnya keheningan mewarnai percakapan kedua calon pemimpin kerajaan yang berbeda tersebut. Tentu saja hal itu bermakna konotasi karena derasnya air terjun menghasilkan kebisingan.

Tepat ketika matahari mulai menyerong di cakrawala, mereka bertiga memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Rakai Pikatan menyadari bahwa ia bisa saja mengorek informasi mengenai Kerajaan Sriwijaya. Atau lebih baik lagi, mempersuasi mereka untuk tidak menyerang Kerajaan Medang. Atau lebih buruk, membunuh mereka sekarang juga. Rakai Pikatan sendiri tercekat ketika pemikiran itu muncul dalam dirinya.

Jika aku membunuh mereka sekarang juga, aku akan menyelamatkan satu kerajaan. Aku akan menyelamatkan ratusan ribu orang. Aku akan menyelamatkan raja. Aku akan menyelamatkan Pramoda.

Rakai Pikatan menyimpan pikiran itu jauh di lubuk hatinya ketika sebuah ucapan dari Udayaditya membuyarkan lamunannya. "Kau lihat kijang yang melintas di depan pepohonan itu tadi? Lihatlah baik – baik."

Ia mengeluarkan anak panah dari kantongnya yang berada di punggung dan menariknya pada busur panah, lalu melepaskan busur panah tersebut menuju sasaran. Anak panah tersebut melesat melewati pepohonan dan semak belukar, hanya untuk menancap pada sebuah pohon beringin. Udayaditya tidak mendapatkan buruannya. Kata "sial" dapat terdengar dengan jelas di telinga Rakai Pikatan sebagai akibat dari kegagalan tersebut.

Balaputradewa hanya tersenyum tipis. Rakai Pikatan yang berkuda tepat disampingnya berusaha memancing, "Paman, aku yakin jika yang ia bidik adalah seorang prajurit Kerajaan Medang, panah itu tidak akan meleset."

Balaputra sedikit tercekat, diikuti dengan sebuah delikan tajam terhadap Rakai Pikatan, "Sayangnya itu hanyalah sebuah rusa kecil, bukan seorang prajurit." Sebuah senyum mengakhiri kalimat tersebut dan Rakai Pikatan hanya bisa tersenyum simpul.

Sulit sekali memancing orang dengan pemikiran tajam ini. Aku masih dapat beradu pendapat dengan keponakannya, tapi orang ini tidak dapat digoyahkan sedikitpun. Rakai Pikatan menaruh hormat kepada sang calon putra mahkota.

Gelap menyambut dengan cepat dan mereka memutuskan untuk mencari penginapan begitu menemui sebuah pedesaan. Keinginan mereka terkabul karena tidak lama mereka menjumpai sebuah pedesaan ketika keluar melewati hutan. Segera mereka melepas lelah dan beristirahat pada sebuah penginapan.

***

Malam hari adalah waktu yang paling disukai oleh Rakai Pikatan. Tenang, angin semilir berhembus, percakapan disertai senda tawa terdengar di sekitar, serta tidak ada bahaya dan ancaman mendekat. Malam ini ia menemukan suasana yang sesuai dengan harapannya. Rakai Pikatan sedang berada di alun – alun desa kecil tidak jauh di sebelah utara kaki Gunung Merbabu. Rakyat berkumpul: orang tua, pemuda – pemudi, dan anak – anak, masing – masing disibukkan oleh kegiatannya. Sebagian besar bercakap satu dengan lain, sebagian kecil berolahraga dan membeli jajanan yang berada di sekitar lapangan. Rakai Pikatan berjalan mengelilingi lapangan, berharap seandainya ada sesuatu yang menarik hatinya.

Sebuah suara nyaring memanggilnya. Rakai Pikatan tercekat. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang pemuda sepantaran dengannya sedang duduk menyantap daging bundar berkuah di dalam sebuah mangkok. Udayaditya. Rakai Pikatan mendekat.

Senyum Udayaditya menyambutnya, "Selamat malam, kawan. Nampaknya kau sedang menikmati suasana di desa ini."

Rakai Pikatan membalas pendek, "Aku hanya mencari udara segar, kawan."

Melihat Rakai Pikatan berada dalam keadaan canggung, Udayaditya mempersilakan lawan bicaranya tersebut untuk duduk di sampingnya. "Adakah sesuatu yang salah, Rakai Pikatan? Sesuatu yang mengganjal?"

Rakai Pikatan ingin sekali berbohong, namun sifat aslinya mencegahnya untuk mengucapkan kata – kata palsu.

"Maafkan aku jika aku berkata seperti ini, Udayaditya, namun adalah ihwalnya jika aku kebingungan. Jelas – jelas raja di depan mataku sendiri menyatakan bahwa kalian berdua adalah musuh. Jelas – jelas kita dalam keadaan perang. Namun apa yang kalian perbuat terhadapku menyatakan sebaliknya. Pamanmu itu sangat sopan sekali, tidak mungkin aku membencinya. Aku menghargai kesopanan dan aku menghargai ramah – tamah. Tidak mungkin aku menganggap kalian berdua adalah musuh."

Mendengar perkataan panjang lebar Rakai Pikatan, Udayaditya tersenyum tipis. Sebuah bola melaju kencang menuju arah mangkok Udayaditya, menyebabkan mangkoknya terbalik dan kuah membasahi kain bajunya. Udayaditya berteriak dan setengah mengumpat, namun ketika ia melihat seorang anak kecil berusia sekitar sepuluh tahun memungut bola dengan muka bersalah, amarahnya mereda.

"Jangan diulangi lagi, nak. Bermainlah di tengah lapang, jangan di pinggir sini." jelas Udayaditya. Anak kecil tersebut mengangguk dan kembali bermain bersama teman – temannya menuju tengah lapang.

Ia ini orang baik. Pamannya juga. Tidak mungkin aku menganggap mereka musuh. Tidak mungkin. Rakai Pikatan mengeluh.

Sebuah suara lain menyapa Rakai Pikatan dan Udayaditya yang sedang membersihkan bajunya, membuat keduanya sedikit tersentak. Sumber suara tersebut adalah seorang bertubuh kecil dan gemuk, memakai baju dari kain katun, dan memakai alas kaki bertali.

"Selamat malam, para pemuda, apakah kalian menikmati suasana malam ini?"

Rakai Pikatan dan Udayaditya berpandangan satu sama lain. Gelengan dari kepala mereka menandakan mereka masing – masing tidak mengenal orang ini.

"Ah, maaf, hamba belum memperkenalkan diri. Hamba adalah Kartawiyana, bupati dari Kabupaten Mataram."

Kartawiyana. Ah! Pramoda sering menceritakan padaku seorang paman bertubuh gemuk jika ia sedang dalam perjalanan menuju candi baru itu. Jadi orang ini adalah Kartawiyana.

Senyum simpul menghiasi bibirnya ketika akan berkata – kata, "Mata orang biasa tidak akan mengenali siapa kalian. Namun mataku yang sempurna ini akan mengetahui bahwa kalian adalah orang – orang penting." Akhir kalimat tersebut diikuti sebuah tawa basa – basi.

Udayaditya berujar, "Paman, apakah engkau tahu siapa diriku? Jika kau tahu, maka kau tidak akan senang. Aku mohon diri dulu, paman."

Sebuah isyarat tangan dari Kartawiyana membuat Udayaditya tidak jadi beranjak pergi. "Tenang, pemuda, aku tahu dengan jelas siapa engkau, dan pemuda ini," tangannya menunjuk Rakai Pikatan, "Aku tidak akan mengganggu kalian. Aku memiliki keperluanku sendiri. Aku hanya kebetulan bertemu kalian. Jika kalian ingin melanjutkan kegiatan, silakan."

Kali ini Kartawiyana menghadap Rakai Pikatan, "Jadi kau inilah calon putra mahkota," mukanya terlihat sumringah, "Pramoda tidak salah pilih. Nampaknya engkau adalah pemuda yang baik." Kartawiyana tersenyum bangga.

Rakai Pikatan pun tersenyum bangga. Ingin sekali ia bertanya apakah Kartawiyana mengetahui perkembangan terakhir mengenai situasi Kerajaan Medang dan Sriwijaya. Namun Kartawiyana segera memotong, seakan mengetahui apa yang ia akan tanyakan.

"Kalian semua disini adalah keluarga bagiku. Aku mengenal Rakai Warak, Rakai Garung, dan Balaputradewa dengan baik. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Kau sendiri, adalah Rakai berikutnya. Semoga Kerajaan Medang ini bertahan sampai kau naik menjadi raja."

Amin.

"Aku tidak akan berlama – lama menahan kalian. Aku memohon diri. Udayaditya, sampaikan salamku untuk Rakai Warak dan Balaputradewa. Aku yakin mereka pun bertambah gemuk, tidak hanya aku saja. Sebut saja nama Kartawiyana, mereka pasti mengerti. Hahaha"

Kalimat itu diikuti tawa basa – basi seperti sebelumnya, hanya kali ini Kartawiyana menepuk pundak Rakai Pikatan dan Udayaditya sebelum melangkah menuju kerumunan rakyat. Rakai Pikatan tidak kembali duduk di sebelah Udayaditya yang kembali memesan mangkok daging bundar. Ia tersenyum tipis, pertemuan singkatnya dengan Kartawiyana membuat hatinya sedikit tenang. Ia memohon diri pada Udayaditya dan berjalan kembali menuju penginapan.

***

Matahari baru saja akan bersinar ketika Rakai Pikatan, Balaputradewa, dan Udayaditya melangkah meninggalkan penginapan. Mereka berjalan menuju arah utara, tepat seperti suruhan Balaputradewa. Kali ini perjalanan membosankan menyambut mereka. Arah utara desa yang ditinggalkan oleh Rakai Pikatan dan kompatriotnya merupakan kawasan hutan tropis dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Kadang – kadang sebuah aliran sungai memotong perjalanan sehingga mereka harus berbasah – basah untuk menyebranginya. Kadang – kadang gerombolan kera seperti tertawa terkekeh melihat Rakai Pikatan yang kebingungan menemukan jalan keluar. Hingga pada siang hari akhirnya mereka berhasil keluar dari kawasan hutan.

Aroma laut yang tercium menandakan bahwa mereka telah dekat dengan Laut Jawa. Ini mengingatkan Rakai Pikatan pada situasi terdahulu ketika mereka menjemput Balaputra dan Udayaditya di Pantai Kalingga. Perbedaannya adalah kini Rakai Pikatan tidak berhadapan dengan dataran rendah. Di depannya tersaji pemandangan tebing pantai dengan deburan ombak ganas di bawahnya.

Balaputradewa tersenyum. Ia menginstruksikan Rakai Pikatan dan Udayaditya untuk beristirahat. Udayaditya segera berjalan menuju sebuah pohon kelapa dan berbaring di bawahnya, sedangkan Rakai Pikatan duduk di atas rerumputan. Balaputradewa sendiri berjalan menuju sebuah warung yang berada tidak jauh dari tempatnya. Ketika ia bergabung dengan Rakai Pikatan tangannya menggenggam beberapa ubi bakar. "Makanlah, sebelum kita melanjutkan perjalanan."

Lanjut? Ke mana? Kau tidak bermaksud untuk dijemput di sini, paman?

"Paman, ke mana kita akan melanjutkan perjalanan? Kau tidak bermaksud untuk dijemput disini?

Balaputradewa tersenyum simpul. "Tentu saja tidak, calon putra mahkota. Disini ombaknya deras dan tidak mungkin kita dapat menaiki kapal."

Muka Rakai Pikatan memerah. Lalu untuk apa...

"Kita akan menuju ke arah barat. Ke arah Pantai Kalingga. Di sanalah kami akan dijemput. Perjalanan akan memakan waktu lama, lebih baik kita beristirahat dan bersantap siang dulu."

Apa? Kita menuju Pantai Kalingga? Lalu mengapa tidak sedari awal? Mengapa menuju ke utara?

Semua pertanyaan tersebut mendesak Rakai Pikatan untuk bertanya kepada Balaputradewa, "Paman, maafkan jika hamba lancang, mengapa kita harus menuju ke utara dulu, mengapa kita tidak langsung menuju ke arah Pantai Kalingga dari istana Prambanan?"

"Nanti kau akan tahu." jawab Balaputradewa.

Sebuah jawaban singkat meluncur dari mulut Balaputradewa. Rakai Pikatan pun terpaksa melanjutkan menu makan siangnya dengan berbagai pertanyaan di kepalanya. Balaputra kemudian membangunkan Udayaditya dan memberinya ubi bakar untuk disantap.

Rakai Pikatan sudah siap pada kudanya ketika Balaputra mendekat dan berbicara dengan pelan, "Perhatikan titik ini baik – baik. Jangan lupakan tempat ini. Kita sekarang akan menuju Pantai Kalingga. Akan lebih baik jika kau bisa memperkirakan jarak dari titik ini menuju tempat kami akan dijemput nanti."

Rakai Pikatan bergidik pelan dan terpaksa mengangguk mendengar permintaan Balaputra. Kebingungan untuk menghitung, ia memutuskan untuk mengingat tempat itu. Namun ia masih belum paham dengan alasan Balaputradewa memintanya untuk mengingat tempat tersebut.

Apa maksudnya pamanku itu? Mengapa ia menyuruhku untuk menghitung?

Ketiga kompatriot itu berjalan normal menuju arah barat. Laut biru serta terbing terjal menghiasi perjalanan Rakai Pikatan di sebelah kanan sedangkan hutan lebat tersaji di sebelah kiri. Panas terik matahari perlahan berubah menjadi panas yang menghangatkan. Matahari pelan – pelan mulai turun mendekati permukaan laut. Dataran tinggi pun perlahan berubah menjadi dataran rendah. Pelan – pelan namun pasti, mereka memasuki kawasan Pantai Kalingga. Rakai Pikatan dapat melihat istana Kalingga dari kejauhan, sebuah bangunan menyerupai kubah disertai dengan empat menara di tiap sudutnya.

Tepat di samping dermaga, Rakai Pikatan, Udayaditya, dan Balaputradewa menambatkan tali kuda masing – masing. Balaputradewa menaiki dermaga, sementara Udayaditya dan Rakai Pikatan menyusulnya. Sebuah pertanyaan terbersit pada benak Rakai Pikatan, ia tidak melihat satu pun kapal yang akan menjemput mereka. Tepat ketika Rakai Pikatan akan menaiki tangga dermaga, Balaputradewa mengucapkan sesuatu yang tidak akan dilupakan oleh Rakai Pikatan seumur hidupnya.

"Rakai Pikatan. Perhatikan dimana aku berdiri."

Rakai Pikatan tercekat.

"Aku bukanlah orang jahat. Aku juga bukanlah orang baik. Aku tidak bisa menilai diriku sendiri. Aku mohon maaf jika kau salah menilaiku."

Rakai Pikatan terperangah. Ia tidak mengerti maksud pamannya itu. Sementara Udayaditya berada di samping dermaga, memperhatikan Rakai Pikatan dan pamannya.

"Sriwijaya tidak bermaksud buruk. Kami hanya ingin membagikan kesejahteraan. Namun kadang – kadang ada orang yang tidak ingin berada di bawah kekuasaan orang lain. Aku paham hal itu."

"Aku menyesali perbuatan kakakku. Rakyat akan jadi korban. Kami tidak dapat berbuat apa – apa. Semoga Buddha menyertai masing – masing jiwa dan roh setiap insan yang akan terlibat perselisihan."

Rakai Pikatan semakin bingung mencerna perkataan Balaputradewa.

"Rakai Pikatan. Walaupun baru berdiri, Kerajaan Medang adalah sebuah kerajaan kuat. Butuh tenaga besar untuk meluluhlantakkan negeri ini. Oleh karena itu, dari tempatku berdiri ini hingga titik tadi, untuk setiap lima depa, akan diisi oleh satu kapal perang ketika kami kembali melangkah ke tanah Jawa. Kalian dapat mengharapkan sebuah pertarungan besar."

Hati Rakai Pikatan mencelos mendengar perkataan Balaputradewa. Tanpa sadar ia menarik belati dari sarung di kakinya dan melesat menuju tempat Balaputradewa. Dari pendengarannya ia mengetahui bahwa ada yang mengejarnya dari belakang. Tepat ketika belati di tangannya akan menghujam kepala Balaputra, Udayaditya berhasil menyergap Rakai Pikatan. Rakai Pikatan masih memberontak dan melawan sebelum sebuah bogem kuat mendarat di pipinya.

Sebuah bayangan besar muncul di kejauhan. Kurang lebih seratus hitungan bayangan besar tersebut menjelma menjadi tiga buah kapal besar penuh dengan awak kapal di dalamnya. Beberapa awak kapal memakai pakaian kulit dengan saduran berwarna kuning di pinggir - pinggirnya. Beberapa memakai pakaian besi untuk berperang. Tepat pada anjungan kapal tersebut sebuah bendera bergambarkan mahkota kuning berkibar. Sebuah tulisan dalam bahasa Melayu berada di bawah mahkota tersebut. Rakai Pikatan setengah tersadar melihat dari sudut matanya.

Itu jelas. Sriwijaya.

"Selamat tinggal, calon putra mahkota. Kami mohon diri. Terima kasih atas keramahtamahan yang kami terima. Semoga pada pertemuan berikutnya kalian bernasib baik. Dharma Sang Buddha menyertaimu." Balaputradewa menutup khotbahnya.

Perlahan kapal – kapal tersebut kembali menjelmamenjadi sebuah bayangan besar sebelum akhirnya hilang di kejauhan, meninggalkansang calon putra mahkota yang tertelungkup pada dermaga Kalingga.

Próximo capítulo