webnovel

Pramodawardhani 2

Ayahku memang gila. Serius, namun bisa bercanda berlebihan.

Hari siang terik. Pramodawardhani berada di gapura masuk sebuah candi Buddha. Belum dapat dikatakan candi sebenarnya, karena masih belum selesai. Ia melangkah masuk dan menatap tumpukan bebatuan yang secara rapi tersusun di depannya.

Ini bukan hanya bebatuan. Ini akan menjadi candi termegah dan terbesar di Pulau Jawa.

Pramoda melangkah memasuki kompleks candi. Sebuah candi dengan tinggi hampir empat puluh depa terpampang di depannya. Candi ini memiliki sembilan belas tingkatan yang melambangkan tiga dunia dalam ajaran Buddha: empat tingkat terbawah melambangkan dunia Kamadhatu, sembilan tingkat melambangkan Rupadhatu, dan enam tingkat teratas melambangkan Arupadhatu. Candi memiliki bentuk bujur sangkar berukuran 123 depa, setiap tingkat ukuran bujur sangkar tersebut mengecil, hingga membentuk lingkaran pada tingkatan Arupadhatu, dan pada puncak lingkaran akan terletak stupa utama yang dapat digunakan untuk melakukan sembahyang.

Pramoda menaiki tangga sisi selatan candi. Untuk sampai stupa utama merupakan perjuangan, Pramodawardhani. Namun Pramoda tahu bahwa ia tidak perlu terburu – buru untuk mencapai puncak. Pada tingkatan pertama ia menjumpai seorang pemahat yang sedang memahat dinding candi. Pramoda memerhatikan dari belakang. Gambar yang sedang dibuatnya adalah apa yang dijumpai Pramoda dalam kehidupan sehari – hari: seorang raja dan ratu serta prajurit – prajurit kerajaan berada di dalam sebuah ruangan istana. Tidak puas, Pramoda melangkahkan kaki mengelilingi tingkatan pertama. Stupa – stupa kecil menghiasi perjalanannya. Pada sisi utara ia kembali menjumpai seorang pemahat. Kali ini pemandangan memuaskan sang putri. Pemahat tersebut sedang membuat gambar mengenai seorang brahmana yang sedang berada dalam kondisi boddhisatva, atau dalam bahasa sehari – hari: pembebasan jiwa.

Pramoda kembali menapaki candi. Kali ini dari sisi utara. Pintu masuk setiap lantai ditandai oleh gapura yang dijaga oleh patung singa. Pada tingkat kesembilan, ia tidak lagi melihat relief, stupa, maupun patung singa menghiasi tembok dan dinding candi. Pembangunan candi ini memang belum selesai. Sesampainya pada tingkat kesepuluh, ia dapat melihat puncak candi dimana terdapat stupa utama, dan setiap tingkat tidak lagi memiliki jarak yang jauh sebagaimana pada tingkat Rupadhatu yaitu empat depa per tingkat. Pada tingkatan Arupadhatu, setiap tingkat hanya memiliki perbedaan kurang lebih satu depa, sehingga Pramoda sudah dapat melihat puncak walaupun berada pada tingkat sepuluh.

Pramodawardhani melangkahkan kaki menuju puncak candi. Pada tiap tingkatan ia melihat patung Buddha di dalam stupa yang mengelilingi tingkatan Arupadhatu. Pramoda dapat membedakan patung – patung tersebut berdasarkan isyarat badannya, sebuah kemampuan yang hanya dimiliki oleh pengikut ajaran Buddha terpelajar. Pada tingkat ini hanya terdapat patung Dharmachakramuda saja, pikir Pramodawardhani. Beberapa tingkat teratas belum memiliki stupa atau patung Buddha di dalam stupa tersebut. Sesampainya pada puncak utama Pramoda segera melakukan puja bakti dan namakara pada patung Buddha yang terletak di depannya. Ia meyakini bahwa kebaikan yang dilakukan oleh sang raja kepada rakyat Medang akan terbina di kemudian hari. Terutama dengan pemilihanku terhadap pasangan hidup, yaitu Rakai Pikatan. Semoga kebaikan terjadi untuk seluruh makhluk.

Selesai melakukan puja bakti ia melangkah pelan menuju tangga untuk kembali ke dasar candi, menuju gapura masuk candi dimana Jayaputra ajudannya menunggu. Rakai Pikatan sedang mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan Balaputradewa esoknya, sehingga ia tidak bisa mengantar Pramodawardhani. Lagipula, siapa yang mau mengantar diriku untuk beribadah dengan jarak tempuh selama tiga perempat hari perjalanan jauhnya dari kotaraja?

Rasa penasaranlah yang mengundang Pramoda untuk melangkahkan diri pada candi yang bahkan belum memiliki nama ini. Ia bisa saja mengunjungi Plaosan, atau bahkan Mendut dan Pawon yang walaupun terletak berdekatan dengan candi ini, masih lebih dekat jaraknya jika diukur dari kotaraja. Pembangunan candi ini telah dimulai saat tahun kedua Samagrawira berada di Kerajaan Medang. Tiga puluh tahun belumlah cukup untuk membangun candi megah ini. Walaupun kemampuan Gunadharma sebagai ahli bangun telah diakui setelah ia sendiri yang merekayasa istana Kerajaan Medang, namun rancangan megah yang ia lakukan membuat berbagai pihak kelimpungan. Batu andesit sebagai bahan dasar candi hanya dapat ditemukan pada kaki gunung berapi. Gunung berapi terdekat dari wilayah candi merupakan Gunung Merapi dan Merbabu yang terletak di daerah timur Kerajaan Medang, satu hari perjalanan jauhnya.

Agama Buddha yang belum merakyat juga menjadi kendala. Hal ini tidak jarang mengakibatkan pemahat melakukan salah pahatan pada relief atau patung Buddha ciptaannya. Selain itu tingkatan yang tinggi menjadi masalah untuk melakukan pemindahan patung dan sebagainya. Bandingkan dengan Candi Prambanan yang walaupun lebih tinggi, namun pembangunan dan pemahatan dapat dilakukan di tempat, tidak perlu dibawa ke tempat tinggi.

Sebenarnya bukan Samagrawira yang berkontribusi besar bagi pembangunan candi ini. Ayahku yang memberikan lampu hijau, walaupun ia tahu kendala sangat besar. Dalam beberapa percakapan dengannya, ia yakin bahwa candi ini akan selesai dalam waktu sepuluh tahun ke depan. Benar, ayah, dan ini akan menjadi candi termegah di seluruh nusantara.

Dengan tidak sadar, Pramodawardhani sudah sampai pada dasar candi. Ia melanjutkan perjalanan menuju gapura, menemui Jayaputra, dan melangkahkan kaki memasuki kereta kuda istana. Tiga perempat hingga satu hari perjalanan lamanya, wajar jika tidak ada yang mau menenemaniku. Bahkan adikku sendiri.

Panasnya udara terik membuat Pramodawardhani tertidur dalam kereta kuda istana. Ketika ia membuka mata, matahari telah terbenam di ufuk barat. Ia melihat keluar jendela, tampak bahwa kereta kuda sedang melintasi sebuah pemukiman warga. Orang berjalan lalu lalang, ada yang berkumpul di pinggir jalan untuk melihat batu akik yang dijual dalam sebuah gelaran, ada yang berkumpul di kedai kopi untuk sekadar berbincang – bincang dan bercanda tawa, dan bocah – bocah berusia di bawah sepuluh tahun berlarian di samping jalan. Temaramnya lampu lentera menambah sisi kenyamanan dan kesejukan dalam mengarungi aktivitas malam. Seandainya Rakai Pikatan di sini.

Kereta kuda istana terus meluncur membelah hembusan angin malam. Pada jarah kurang lebih seratus depa, terlihat sebuah bangunan besar. Pendopo Kabupaten Mataram, tempat kita beristirahat malam ini. Pramodawardhani berharap sang pemimpin tertinggi berada di tempat, karena ia memiliki hubungan dekat dengannya pada masa kecilnya.

Kereta kuda istana dihentikan oleh prajurit pada saat akan memasuki halaman pendopo. Jayaputra memperlihatkan lambang kerajaan yang tersemat pada dadanya, dan kereta kuda kembali meluncur menuju halaman pendopo. Seorang prajurit pada pintu masuk membunyikan sangkakala, tanda anggota kerajaan memasuki lingkungan pendopo. Bahkan Pramoda sendiri masih terkaget – kaget dengan bunyi sangkakala tersebut.

Seseorang bertubuh gempal berusia setengah baya berlari keluar pintu masuk pendopo. Mukanya sumringah begitu melihat Pramoda berada di kursi belakang kereta kuda. Jayaputra menghentikan kuda tepat pada pintu masuk pendopo, dan Pramoda melangkah keluar kereta kuda serta memeluk pria bertubuh gempal tersebut.

"Putriku yang cantik, senang sekali melihatmu," seru si pria gempal membuka percakapan setelah berpelukan sekian lama.

Pramoda tersenyum, "Senang juga bertemu denganmu, paman. Perutmu bertambah sepuluh kerutan semenjak aku bertemu terakhir kali denganmu."

Pramoda memerhatikan orang di depannya dengan seksama. Rambutnya hitam dengan beberapa hiasan uban di kepalanya, berkumis tebal, bermuka ramah, berperut besar, dan bau jengkol. Untuk persona terakhir jika saja orang ini bukan bawaan sang kakek dari Kerajaan Sriwijaya dan bukan teman masa kecil Pramoda, maka ia akan menyuruh orang lain membenamkan orang ini di Kolam Taman Anyelir, sampai bau jengkolnya menghilang. Tapi ia tak pernah berubah. Bupati Mataram, Kartawiyana.

"Ayo masuk, tuan putri, mari beristirahat di gubukku tercinta ini. Kedatanganmu selalu mendadak. Aku tidak sempat menyiapkan segala sesuatu. Ayo, makan saja apa yang ada di sini. Mudah – mudah Hindun baru saja belanja dari pasar" sang bupati mempersilahkan Pramoda masuk pendopo.

Pendopo Mataram bukanlah bangunan besar. Jika diperkirakan, maka ruangan utama hanya sepertiga ruangan utama istana Medang. Hal yang selalu membuat Pramoda betah dan rindu untuk kembali ke tempat ini adalah suasananya. Memasuki pendopo, pelaku akan disuguhkan pemandangan indah dari halaman di seberang pintu masuk. Sisi utara ruangan utama sengaja tidak dibatasi oleh dinding atau pintu, agar pendatang dapat melihat keindahan air terjun kecil – kecilan hasil buatan sang bupati. Tinggi air terjun itu hampir tiga depa. Air terjun tersebut berakhir pada sebuah kolam besar dimana ikan – ikan hias hidup di dalamnya. Seperti Taman Anyelir, kolam ini pun memiliki jembatan yang membelah kolam tersebut sehingga pelaku dapat menikmati keindahan air terjun dan kolam dari tengah jembatan. Lampu taman menambah sisi romantisme keindahan taman tersebut di samping suara jangkrik dan kelap – kelip kunang – kunang.

Sisi barat ruangan utama terhubung dengan ruangan kerja sang bupati sementara sisi timur merupakan ruang keluarga. Kartawiyana segera mempersilahkan Pramoda untuk menuju ruang keluarga. Di ruang makan ia dapat melihat Bi Hindun sedang tergopoh – gopoh mempersiapkan makanan. Meja makan kini telah terisi penuh dengan makanan: sangu, ikan asin, bebek goreng, tahu tempe, telur, pisang, dan tumis kangkung. Tidak lupa lalapan jengkol dan cabe pedas kesukaan sang bupati.

"Selamat malam, bibi, senang bertemu denganmu," sapa Pramoda begitu tatapan mereka bertemu.

"Malam, Pramodawardhani. Masih ingat saja kau dengan bibimu ini" Hindun setengah bercanda menimpali Pramoda.

Tentu saja ingat. Di saat lelaki berengsek mendapatkan wanita cantik sepertimu di situlah kau tau bahwa Yang Maha Esa tidak adil. Pramoda mengambil posisi duduk di depan meja makan, yang diikuti sang paman di seberang meja makan. Sementara Hindun masih mengambil beberapa makanan dari gudang penyimpanan.

"Hindun, sudahlah. Sudah banyak makanan di atas meja ini, tidak perlu lagi engkau mengambil makanan. Lihatlah Pramoda ini, aku yakin ia membatasi makanan yang masuk ke perutnya. Perutnya kecil begitu, bahkan lele pun tidak bisa berenang di dalamnya." Kartawiyana mengakhiri kalimat itu dengan tawa culas yang disambut dengan lenguhan kedua wanita di ruangan itu.

Hindun berhenti mondar – mandir dan duduk di samping Kartawiyana. Senyumannya terlihat alami walaupun usianya sudah menyinggung dasa lima. Kerutan enggan muncul di wajahnya, bukti bahwa ia adalah tipe manusia yang menikmati kejadian – kejadian di hidupnya. Jika ada satu penyesalan, maka mungkin itu adalah anak tunggalnya, pikir Pramoda, mengira – ngira.

"Silakan dimakan makanannya, nak, semuanya merupakan hasil dapurku sendiri." Perkataan Hindun memecahkan lamunan Pramoda. Segera Pramoda menyantap makanan yang tersedia di depannya.

"Aku sangat senang kau datang ke tempat ini, Pramoda," Kartawiyana membuka percakapan, "Sudah lama aku tidak bertemu dengan anak – anak istana. Bagaimana si Rakai Pikatan itu? Kau tidak diapa – apakan, kan?" tanya Kartawiyana.

Pramoda sedikit tersedak mendengar pertanyaan Kartawiyana, namun ia berhasil menyembunyikan kekagetannya. "Tidak, hubungan kami sehat – sehat saja, paman. Tidak ada sesuatu yang buruk terjadi antara kami." tegas Pramoda.

"Baguslah. Sebenarnya aku yakin dengan instingku ini. Rakai Pikatan orang baik, pintar, dan bisa diandalkan. Tapi untuk memegang tampuk pimpinan Kerajaan Medang, menurutku belum. Ia masih harus belajar untuk tegas dan berani marah kepada bawahannya." jelas Kartawiyana. Pramoda mendengarkan dengan seksama, insting sang paman biasanya tepat dan sudah terbukti dengan posisinya sekarang.

Kartawiyana melanjutkan, "Aku mendengar berita. Lusa Balaputradewa akan berlabuh, bukankah begitu?" Pramoda mengangguk sementara mulutnya penuh dengan sangu dan bebek goreng. Hindun tertawa melihatnya. Apalah arti putri kerajaan, perutku ini menjerit dari tadi. "Aku tidak ingin membahas Balaputradewa, juga bercerita tentang orang itu. Hidupnya membosankan. Si Otak. Setiap hari kerjanya hanya membaca buku. Omongannya juga membosankan. Ia tidak tahu cara memikat hati wanita, atau bahkan memuji ibu kandungnya. Tukang pikir." Kalimat pertama yang dicetus justru terbalik dengan yang ia ucapkan.

Pramoda mengangguk – angguk tanda mengerti. Dari semua orang di Kerajaan Medang, orang inilah yang paling lama hidup dengan Sang Panah dan Sang Otak. Kartawiyana merupakan anak pungut Samagrawira setelah ia berkelana ke Teluk Kiluan. Legenda mengatakan ia tertarik dengan kemampuan renang seorang anak dimana, legenda lain mengatakan, ia mampu menaiki lumba – lumba dan berenang bersama. Terkesan dengan kemampuan sang anak, hal ini memancing kemarahan Dharanindra ketika Samagrawira membawa pulang anak tersebut. Namun Rakai Warak bersikeras ingin mengasuh anak itu, dan ia menitikberatkan kenyataan bahwa pernikahannya dengan Putri Harumshawani belum menghasilkan keturunannya. Ketika Samaratungga hadir ke lingkungan kerajaan lima tahun kemudian, Samagrawira memutuskan untuk tetap mempertahankan Kartawiyana. Bersama Balaputradewa, mereka menghabiskan masa kecil bersama, tumbuh dewasa, bahkan tetap bersama ketika perluasan kerajaan ke Pulau Jawa. Ketika Samagrawira dan Balaputradewa kembali ke tanah Sumatera setelah Dharanindra mangkat 30 tahun yang lalu, Kartawiyana tetap bersama Samaratungga di Kerajaan Medang.

Jika orang ini malas mengomentari kedatangan Balaputradewa, berarti kerajaan tidak dalam kondisi bahaya. Ia orang terlama bersama ayahku dan paman Balaputradewa. Jika kedatangan Balaputra mengancam, ia pasti akan memberitahu ayah.

"Lebih baik pikir hal – hal positif saja tuan putri. Aku punya usul menarik. Kau sendiri melihat bagaimana suasana kabupaten ini bukan? Ketika Mpu Manuku naik menjadi raja, bagaimana kalau," Kartawiyana berhenti sebentar, dan melanjutkan, "kalau kau memindahkan kotaraja Medang ke kabupaten ini? Aku yakin ini akan meningkatkan kegiatan perekonomian di tempatku ini, hahaha." Kartawiyana mengakhiri kalimat dengan tawa culas.

Bukan usul yang buruk. Pramodawardhani membayangkan setiap hari akan melihat suasana kekeluargaan dan kebersamaan yang tinggi bersama penduduk sekitar. Bersama Rakai Pikatan ia bisa berjalan menyusuri jalan – jalan utama dan berinteraksi dengan warga sekitar. Gelar Sri Kahulunan menggelitiknya. Ia sangat ingin dicintai rakyat, dan ia sendiri memang mencintai rakyat. Berbeda dengan kondisi Prambanan dimana jarak antar rumah cukup jarang sehingga ia jarang bertemu dengan khalayak umum. Lampu temaram, sungguh romantis.

Lamunan Pramoda diterjemahkan oleh Hindun salah arti, "Sudah cukup kau nasehati anak ini. Kasihan ia, terlihat lelah setelah perjalanan jauh. Mari, nak, aku tunjukkan kamarmu, kau bisa beristirahat."

"Siapa yang menasehati, lihatlah, ia sedang berpikir" Kartawiyana membalas ucapan Hindun yang tidak ditanggapi oleh wanita itu.

Hindun kemudian menuntun Pramoda bangkit dari kursinya menuju kamar tamu yang sudah dipersiapkan untuknya. Sambil berjalan, ia bergumam pelan, "Orang seperti itu tidak usah ditanggapi serius. Omongnya blak – blakan, tapi hatinya baik," Hindun tersenyum dan berhenti seraya menatap Pramoda, "Kau ini sudah seperti anakku sendiri". Pada saat itu Pramoda melihat mata Hindun berkaca - kaca, namun ia segera berpaling dan meninggalkan Pramoda di kamar tamu. Pramoda segera merebahkan dirinya.

***

Pramodawardhani bangun dengan kesegaran yang baru esok harinya. Ayam berkokok menandakan bahwa hari masih gelap. Namun, sebagai putri kerajaan, ia terbiasa dengan kedisiplinan. Segera ia mengambil posisi duduk untuk bersemedi.

Jalan kebenaran menyertai kerajaan ini. Pemikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar. Kebaikan untuk seluruh makhluk di muka bumi. Semoga semua makhluk selalu berbahagia.

Selesai bersemedi, ia menuju ruang makan dimana Hindun telah menyiapkan makanan untuknya. Sop iga kesukaan Pramoda telah tersaji di atas meja makan. Dengan senyum manis Pramoda mengambil posisi duduk. Ia bisa melihat Hindun masih menyiapkan air kelapa untuk disajikan kepada Pramoda.

"Sungguh beruntung sekali lelaki yang telah memperistrimu, bibi," Pramoda memulai percakapan, senyumnya masih mengembang.

"Lelaki beruntung diciptakan Tuhan, lelaki tidak beruntung juga diciptakan Tuhan. Aku pun diciptakan Tuhan. Lalu apa yang harus disesali?" balas Hindun tersenyum membalas ucapan Pramoda. Kali ini ia membawa air kelapa yang telah selesai disiapkan, langsung dengan batoknya.

"Omong – omong, bi, dimana lelaki beruntung itu?" tanya Pramoda.

"Ia sudah pergi, katanya ada urusan di perbatasan Mataram dengan Kalasan. Entah apa yang ia maksud." jelas Hindun.

Pikiran Pramoda melayang. Ia jelas tidak ingin mengaitkan kepergian si pemalas dengan kedatangan Balaputradewa. Tapi, pergi sebelum ayam berkokok? Ia bahkan tidak mungkin bangkit dari tempat tidurnya sebelum matahari terbit.

"Sudah tidak usah dipikirkan. Mari nikmati sop iga buatan bibi. Pasti enak." lanjut Hindun ketika ia melihat Pramoda tercenung.

"Ah iya, Bi." Pramoda segera menyantap sop iga tersebut dan ia merasakan kenikmatan yang luar biasa.

"Lagipula kau masih harus melanjutkan perjalanan menuju kotaraja. Siapkan tenagamu. Hari ini mungkin akan menjadi hari yang panjang."

"Tenang saja, bi, jarak antara Mataram dengan Prambanan tidak begitu jauh, sebelum matahari memuncak aku pasti sudah sampai," jawab Pramoda memandang wajah Hindun. Ketika pandangan saling bertemu, ia mengerti bahwa bukan itu yang dimaksud Hindun. Pramoda segera mengerti dan mengangguk.

Matahari telah muncul di ufuk timur. Beberapa saat kemudian, Jayaputra memasuki ruangan makan dimana Pramoda dan Hindun berada. Ia memberitahukan bahwa kereta kuda siap untuk berangkat. Namun Pramoda belum benar – benar ingin berangkat. Ia masih betah dengan suasana Mataram. Ketenangan yang diberikan oleh orang – orang sekitar, sesuatu yang tidak ia dapatkan di lingkungan istana. Di sana kelas dan kasta masih merajalela. Atau mungkin aku takut kedatangan pamanku membawa kabar buruk.

Sebuah pandangan penuh pengertian dari Hindun menyadarkannya, "Pergi, sayang. Kerajaan ini membutuhkan kehadiranmu. Siapa tahu hari ini akan menjadi besar. Calon suamimu membutuhkan dukunganmu." jelas Hindun sambil memancarkan tatapan penuh kasih sayang.

Beberapa waktu kemudian Pramoda telah berada di dalam kereta kuda. Di dalam hatinya ia ingin sekali menghindari hari ini. Kerajaan Medang bisa berakhir hari ini. Aku ingin pergi sejauh mungkin. Ia ingin sekali menyangkal fakta bahwa ia ada sang pewaris tahta Kerajaan Medang.

Rakai Pikatan. Jika ada yang tidak ingin kulepas, ialah satu – satunya. Cinta harus bertahan, walau kerajaan hancur. Pramoda tenggelam di dalam pikiran – pikiran buruknya sementara kereta terus meluncur menuju kotaraja. Semoga aku masih sempat melihatmu sebelum berangkat. Sebab itu mungkin yang terakhir kali.

Sangkakala bertiup dengan kencang ketika kereta kuda Pramoda melintasi pintu gerbang kerajaan. Ramai – ramai di depan halaman mengindikasikan bahwa rombongan kerajaan yang akan bertemu dengan Balaputradewa belum berangkat. Di samping halaman kerajaan Pramoda dapat melihat sekitar seratus pasukan berkaki telah berbaris dalam banjar yang teratur. Ketika ia sampai di depan pintu istana, ia bisa melihat para petinggi kerajaan yang mengelilingi ayahnya merundingkan rencana. Dan Rakai Pikatan. Masih sempat.

Nampaknya kesibukan yang ditimbulkan akibat rencana penjemputan Balaputradewa tidak menyadarkan para anggota kerajaan bahwa Pramoda telah sampai pada pintu istana. Pramoda membuka pintu kereta, keluar, melangkah menuju Rakai Pikatan, menarik lengannya dari kerumunan yang sibuk membicarakan rencana, dan menciumnya dengan erat. Rakai Pikatan terlihat kaget, namun setelah beberapat saat ia mulai membalas ciuman Pramoda.

"Benar – benar romantis sekali, tuan putri." ucap Rakai Pikatan ketika Pramoda melepas ciumannya.

Pramoda hanya tersenyum. Kali ini sangkakala bertiup dengan sangat keras. Ciuman yang terlalu lama membuat ia tidak memperhatikan sekeliling. Hampir seluruh petinggi kerajaan telah meninggalkan teras istana. Sementara itu pasukan berkaki mulai bergerak menuju pintu gerbang kerajaan. Di saat itulah ia mengerti bahwa pasukan kerajaan akan segera pergi. Termasuk Rakai Pikatan.

"Sampai jumpa, tuan putri, semoga keberuntungan menyertaiku. Salam," ucapan terakhir Rakai Pikatan, yang tidak dibalas apapun oleh Pramodawardhani. Ia kehilangan kata – kata. Sementara itu Rakai Pikatan beringsut menuju kudanya. Ayo Pramoda, berikan semangat kepada calonmu itu, hatinya berteriak, namun tidak ada suara yang keluar.

Kata – kata terakhirnya berupa linangan air mata.

Próximo capítulo