webnovel

Malam Pertama

Aku sedang berkeliling Eropa bersama Sean O'pry, model Amerika itu. Tahu kan? Yang ganteng dan cool-nya maksimal. Bertolak dari Austria, kami langsung menuju Itali. Dia menuntunku saat menaiki gondola di Venesia. Betapa romantisnya dengan diiringi musik biola kami berkeliling di perairan kota Kanal yang terkenal ini. Aku mengumbar senyum bahagia. Kami saling bertatapan penuh cinta. Rasanya hidupku sempurna berada di sisinya.

Sesuatu menggoyang-goyangkan kakiku. Astaga! Sean terlampau genit, masa kakiku digoyang-goyang begitu?

"What's happen, Sean?" tanyaku bingung.

"Apa kamu nggak risih tidur dengan make up tebal begitu?"

Eh?

Aneh? Kenapa Sean berkata begitu?

"Rea! Bangun, mandi sana."

Ambyar! Mataku terbuka dan yang aku lihat di hadapanku bukan Sean O'pry melainkan dugong tampan bermata besar. Mimpiku lenyap nggak bersisa.

Mataku mengerjap dan bergerak ke kiri kanan.

"Apa ini udah pagi?"

"Sekarang sudah jam dua belas malam. Lihat dirimu. Memangnya nggak risih tidur dengan pakean dan make up tebal seperti itu?"

Aku masih mengenakan gaun pengantin lengkap dengan aksesorisnya. Belum lagi make up tebal yang membuat wajahku terasa kaku.

"Gimana ini?" tanyaku bingung.

"Apanya yang gimana? Ya kamu bangun, sana mandi."

"Masa jam dua belas malam mandi."

"Kamu bisa mandi air hangat, badanmu akan segar."

Aku bangkit dari tidur. Melihat Satria sudah mengenakan pakaian santai dan sepertinya sudah bersiap untuk tidur.

"Tolong, bantu gue melepas hiasan rambut ini."

Satria berdecak, tapi kemudian dia beranjak menolongku. Banyak sekali jepitan lidi yang terpasang di rambutku.

"Pelan-pelan. Kepala gue sakit nih."

Akhirnya segara printilan di rambutku berhasil dilepas. Tinggal gaun yang menempel di tubuhku. Bagaimana aku melepasnya? Di mulai dari mana?

"Mau minta bantuan melepasnya juga?" tanya Satria dengan mata melotot.

"Yee, nggak lah. Sono, lo keluar dulu. Gue mau ganti baju."

"Kenapa aku harus keluar?"

"Ya karena gue mau copot nih baju."

"Tinggal lepas aja, apa susahnya?"

"Ya masa gue lepas baju di depan lo sih?"

"Kan kita sekarang suami-istri. Jadi, nggak masalah dong."

"Nggak, nggak, gue belum siap jadi istri lo!"

"Maksud kamu?"

"Mending lo keluar dulu." Aku menarik lengannya kuat-kuat meskipun itu percuma karena si dugong ini masih berdiri kokoh seperti patung Sudirman.

"Berhenti berlo-gue denganku. Kamu itu masih bocah, tapi nggak sopan sama orang yang lebih tua."

"Umur gue udah 21 tahun."

"Umurku 27 tahun."

Aku menganga. Baru juga dua puluh tujuh.

"Lo pedofil! nikahin gue. Ups maksudku, kamu pedofil, nikahin aku. Duh, nggak enak banget sih aku-kamu. Aku kan baru dua puluh satu tahun."

"Pedofil dari Hongkong! 27 itu masih muda. Terserah kamulah, aku nggak peduli. Aku beri kamu waktu sepuluh menit untuk melepas pakaianmu."

Satria menggeleng lantas keluar dari kamar. Aku berkutat pada gaun yang melekat di tubuhku. Aku merasa gaun ini terlalu sempit untukku. Kak Reni memiliki tubuh yang kecil, sedang aku? Sebenarnya tubuhku tidak beda jauh dari Kak Reni. Hanya saja, bagian dadaku agak lebih -aku nggak suka menyebutnya- besar. Sebagian wanita akan pede-pede saja memiliki dada yang besar seperti ini. Tapi jujur, aku nggak. Makanya aku lebih sukan mengenakan kaos yang kebesaran untuk menutupi itu.

Akhirnya dengan susah payah, aku bisa melepas gaun itu. Aku mengambil baju ganti dan segera, masuk ke kamar mandi. Sesuai instruksi Satria, aku mandi air hangat. Dan ucapannya ternyata benar, mandi air hangat itu menyegarkan.

Saat aku keluar dari kamar mandi, kulihat Satria sudah merebahkan diri di atas kasur. Tunggu dulu! Jadi, aku harus satu tempat tidur dengannya? Kalau aku diperkosa gimana? Astaga, apa yang aku pikirkan?

"Ka-kamu tidur di sini juga?" tanyaku ragu. Satria mengangkat lengan yang menutupi matanya.

"Menurutmu aku tidur di mana lagi?"

"Lalu aku tidur di mana?"

Satria tampak menghela napas. "Apa tempat tidur sebesar ini nggak muat buat nampung dua orang?"

"Bukan itu maksudku. Aku--"

Satria bangkit dan menyipitkan matanya.

"Kamu jangan mikir aneh-aneh ya. Status kita memang suami istri, tapi aku nggak akan menyentuh kamu. Aku juga tahu kamu menikah itu karena terpaksa. Dan dari awal aku juga tidak punya pilihan menolaknya. Kenapa kamu nggak kabur saja seperti Reni?" Satria membuang muka. "Ini pernikahan konyol. Bahkan Kakek tidak memberitahuku kalau pengantin wanitanya diganti."

"Kalau dari pihakmu nggak memaksakan kehendak, pernikahan ini juga nggak akan terjadi. Kak Reni kabur dan kalian memaksaku untuk menggantikannya."

"Lalu kenapa kamu mau?"

"Karena aku nggak punya pilihan untuk menolak, sama seperti kamu. Aku nggak mungkin ngebiarin papa sama papa terpuruk. Aku seperti tergadai di sarang rentenir. Untungnya apa coba memaksa menikah seperti ini? Bahkan kamu sendiri nggak menginginkannya."

"Aku hanya ingin menyelamatkan harta almarhum kedua orang tuaku agar tidak jatuh ke tangan orang yang salah."

"Oh jadi kamu setuju menikah hanya karena harta?"

"Tentu saja. Kamu pikir aku mau menikah karena apa? Menjatuhkan diri pada satu wanita seumur hidup. Aku nggak mungkin setolol itu. Apa lagi saat aku tahu ternyata itu kamu. Astaga! Kesialanku rasanya bertambah dua kali lipat."

"Lo jangan sembarangan ya!"

Aku berlo-gue kembali karena kesal mendengar omelannya.

"Kamu nggak akan rugi menikah denganku. 25 persen saham wijaya grup akan jadi milik kamu. Kamu kaya mendadak."

"Aku nggak peduli. Buat apa semua itu kalau aku harus mengorbankan diri kayak gini? Aku masih ingin kuliah bersenang-senang sama teman-teman."

"Tentu saja kamu masih bisa melakukan itu. Tapi mungkin kamu akan pindah kuliah di Jakarta. Aku juga nggak akan mengekang kamu untuk melakukan suatu hal yang kamu sukai."

"Termasuk pacaran?"

"Terserah, asal nggak ketahuan sama kakek."

Wajahku lantas berkerut dan berjalan mendekati Satria. Aku duduk bersila menghadapnya.

"Kamu kenapa?" tanya Satria memandangku aneh.

"Aku minta maaf soal kejadian di Jogja waktu itu. Aku tahu kamu waktu itu marah besar, tapi aku harap kamu bisa lupain itu. Apa kita bisa berteman?"

Entah inisiatif dari mana aku bisa mengajukan hal itu. Yang jelas, aku harus bisa berteman dulu dengan Satria maka semuanya akan berjalan seperti yang aku ingin. Bagaimanapun juga Satria adalah orang yang akan sering berinteraksi denganku.

"Aku nggak mau, kita nggak berteman. Kita suami-istri. Berteman sama kamu pasti merepotkan."

Menyebalkan, sepertinya dia tahu isi kepalaku. "Kalau gitu jadikan aku adikmu saja, mulai sekarang aku panggil kamu Abang."

Aku memasang muka memohon.

"Nggak!" Satria kembali merebahkan tubuhnya dan menarik selimut.

"Bang, ayolah... Setuju yaa yaaa..." Aku merengek menarik selimutnya.

"Rea! Aku ngantuk, capek. Sana kamu tidur juga."

"Setuju dulu, Bang."

"Nggak! Kamu istriku, bagaimana bisa istri berubah jadi adik. Dasar aneh."

Kami saling tarik selimut. Satria ternyata orang yang keras kepala juga.

"Bang..."

"Jangan panggil aku Bang!"

"Terus apa? Mas?"

"Nggak!"

"Mas suamiku...."

Aku malah menggodanya. Sumpah, itu menjijikan.

"Rea biarkan aku tidur!"

"Ya udah, aku panggil abang saja. Bang Sat!"

Saat itu juga Satria menarik selimutnya hingga aku ikut tertarik ke arahnya dan jatuh terjerembab menindih tubuhnya.

Próximo capítulo