webnovel

Bab 9

Hampir lima menit Nadine masih memandangi orang itu. Ia tidak menyangka jika mereka akan dipertemukan kembali. Setelah beberapa tahun berpisah dan tidak saling menghubungi. Perlahan Nadine bangkit, orang itu hendak membantunya, tetapi Nadine menolak, ia harus tahu diri jika dirinya telah bersuami.

"Kamu Nadine kan?" tanya orang itu.

Nadine menganggukkan kepalanya. "Iya, apa kamu Rama."

Iya, orang itu adalah Rama, pria yang pernah menaruh rasa pada Nadine. Dan mungkin sekarang rasa itu masih ada, atau telah sirna, hanya Rama yang tahu. Mereka dulu kuliah di universitas yang sama, tetapi keduanya harus berpisah saat Rama memutuskan untuk melanjutkan studinya di Arab. Sehari sebelum Rama pergi, ia sempat mengungkapkan isi hatinya.

Namun, jawaban yang Rama nantikan, tidak kunjung ia dapatkan, sampai akhirnya Rama pergi meninggalkan Indonesia. Dan sekarang ia pulang, berharap bisa mendengar jawaban dari Nadine, dan alasan kenapa wanita berjilbab itu tidak memberinya jawaban, saat Rama membutuhkannya.

"Iya, aku Rama. Pria yang telah bertahun-tahun menunggu jawaban atas pertanyaan yang pernah dilontarkannya," ucap Rama. Hal itu membuat Nadine merasa sedikit terganggu.

"Maaf, apa kamu masih mengingatnya." Nadine menundukkan kepalanya. Jujur, ia malu saat tahu jika pria di hadapannya itu masih ingat dengan masa lalu mereka.

"Kamu tidak bersalah, Nadine. Mungkin aku yang terlalu bodoh, sehingga .... "

"Cukup, tolong jangan diteruskan lagi. Ini salahku." Nadine memotong ucapan Rama.

Seketika suasana menjadi hening, Nadine diam begitu juga dengan Rama. Nadine akui, jika saja dulu ia memberikan jawaban atas pertanyaan yang Rama lontarkan. Mungkin keadaannya tidak akan seperti sekarang. Dan sekarang semuanya sudah terlambat, yang ada saat ini hanyalah rasa penyesalan. Nadine menyeka air matanya, dan kembali menatap wajah Rama.

"Rama, aku minta maaf. Maafku ini memang tidak ada gunanya lagi, tapi hanya itu yang mampu aku katakan," ungkap Nadine, dengan mata yang berkaca-kaca.

"Aku sudah memaafkanmu, tapi aku ingin tahu. Apa alasan kamu menikah tanpa memberitahuku, apa kamu .... "

"Maaf, bukannya aku tidak ingin memberitahu pernikahanku ini. Tapi sejak kamu pergi, komunikasi kita putus kan," potong Nadine dengan cepat.

Rama tersenyum hambar. "Iya, kamu memang benar. Bagaimana kabarmu, lalu apa yang kamu lakukan di sini."

Nadine gelagapan sendiri saat mendengar pertanyaan yang Rama lontarkan. "A-aku, itu ... aku cuma, ini aku habis cek kesehatan aja."

Rama mengernyitkan keningnya. "Cek kesehatan? Apa kamu sakit."

Hening, Nadine tidak menjawab pertanyaan yang Rama lontarkan, justru wanita berjilbab itu menundukkan kepalanya sembari memeganginya. Nadine merasa begitu sangat lemas, bahkan ia juga merasa jika hidungnya kembali mengeluarkan cairan. Nadine mencoba mendongak, tetapi pandangan matanya mulai kabur.

"Nadine, kamu baik-baik saja kan?" tanya Rama dengan raut wajah yang khawatir.

"Rama, aku .... " ucapan Nadine terputus lantaran, tubuhnya lebih dahulu ambruk ke lantai.

"Astaghfirullah, Nadine." Rama menangkap tubuh Nadine yang tiba-tiba ambruk.

"Nadine, kamu kenapa." Rama menepuk-nepuk pipi Nadine dengan perasaan yang panik. Namun sama sekali tidak ada reaksi.

Rama semakin panik saat melihat jika hidung Nadine mengeluarkan darah. Tanpa menunggu lama pria berkemeja kotak-kotak itu mengangkat tubuh Nadine dan membawanya masuk ke dalam. Rama berkemeja kotak-kotak itu membaringkan tubuh Nadine di atas brangkar dan bergegas mendorongnya menuju ruang IGD, bersama dengan beberapa perawat.

***

Di rumah, Devian terus mondar-mandir di ruang tamu sembari terus memegangi ponselnya. Pria berkemeja biru itu terus menelpon nomor Nadine, tetapi tak ada jawaban sama sekali. Kesal, itu yang Devian rasakan, seharusnya saat ia sampai di rumah istrinya sudah tiba terlebih dahulu. Namun, ternyata tidak, sudah hampir satu jam Devian tiba di rumah, Nadine sama sekali tidak terlihat.

"Kamu di mana sih." Devian kembali menelpon nomor istrinya.

"Ah, sial," umpatnya. Devian melihat jam yang melingkar di tangannya, waktu sudah menunjukan pukul lima sore.

"Aku bisa ketinggalan pesawat. Lebih baik aku pergi sekarang." Devian memakai jasnya dan beranjak keluar dari rumahnya.

Dengan di antar oleh supir di rumahnya, Devian segera berangkat ke bandara. Di dalam mobil, pria berjas itu kembali mencoba menghubungi nomor istrinya. Dan lagi-lagi tidak ada jawaban, hampir saja Devian melempar ponselnya, saking merasa kesal. Ia tidak menyangka jika istrinya bisa setega itu.

"Nadine, lihat saja kalau aku pulang nanti." Devian meremas ponsel dengan geram.

"Mang , lebih cepat lagi jalannya," titah Devian pada mang Nurdin.

"Bak, Tuan," ucap mang Nurdin.

Devian menyenderkan kepalanya dan menghembuskan napasnya. Pria beralis tebal itu memejamkan matanya sejenak. Benaknya kembali berkelana memikirkan sang istri. Apa yang Nadine perbuat membuat rasa benci Devian semakin tinggi. Namun rasa penasaran semakin berputar-putar, ia ingin tahu apa alasan Nadine tidak pulang.

Devian kembali menggeser layar ponselnya dan mencari nomor istrinya. Ia akan mencoba untuk menelpon Nadine. Devian berharap sang istri mau mengangkat telepon darinya. Satu kali, dua kali, dan ketiga kalinya sambungan diterima. Ada rasa senang saat Devian tahu jika istrinya menerima panggilan darinya.

[ Assalamualaikum, Nadine kamu ada di mana? Apa kamu lupa kalau sore ini aku pergi ke Jepang. Dan apa kamu lupa kalau aku menyuruhmu untuk pulang lebih dulu ]

[ Maaf, ini siapa ya ]

Deg, jantung Devian terasa berhenti berdetak. Ia menelpon istrinya tetapi kenapa seorang pria yang mengangkatnya. Curiga, itu yang Devian rasakan saat ini, apa mungkin jika Nadine ... dada Devian terasa bergemuruh menahan bara api yang tiba-tiba membakar. Pria beralis tebal itu menghembuskan napasnya, dan mencoba untuk berpikir positif.

[ Ini siapa?! Di mana istriku ]

[ Kamu siapa? Nadine sedang istirahat. Dia tidak bisa diganggu ]

Darah Devian mengalir semakin deras, ia mengepalkan tangan kirinya. Tanpa menjawab lagi Devian mematikan sambungan teleponnya. Ia tidak menyangka jika Nadine sudah berani bermain api di belakangnya. Mendengar suara pria yang mengangkat telepon darinya, membuat Devian berpikiran jika sang istri telah berkhianat.

***

Hampir dua jam Nadine tidak sadarkan diri, dan selama itu juga Rama setia menunggunya. Pria berhidung mancung itu duduk di sebelah brangkar di mana Nadine terbaring. Beberapa peralatan medis menempel di tangan dan tubuhnya. Rama tidak menyangka jika wanita yang sangat ia cintai bisa menyimpan rahasia sebesar itu. Bisa-bisanya Nadine menyembunyikan penyakitnya dari orang lain.

"Kamu memang wanita hebat, Nadine. Kamu wanita yang tangguh, andai saja .... " Rama menggantung ucapannya, ia menarik napasnya dan menghembusnya.

Perlahan jemari Nadine bergerak, Rama yang melihatnya tersenyum. Ingin sekali ia menggenggam jemari mungil Nadine, tetapi ia sadar jika wanita di hadapannya itu telah bersuami. Rama hanya bisa berharap semoga Nadine bisa menemukan kebahagiaannya bersama dengan pria yang telah menghalalkannya. Ia bahagia jika melihat Nadine bahagia.

"Nadine, kamu sudah sadar." Rama tersenyum saat melihat kelopak mata Nadine terbuka.

Nadine mengerjapkan matanya, mencoba menyesuaikan penglihatannya. Wanita berjilbab itu menoleh ke samping kanan dan kiri. Ruangan bercat putih, dan bau obat-obatan. Nadine memejamkan matanya, ia melihat seorang pria yang tengah duduk di sebelah brangkar di mana ia berbaring. Namun tiba-tiba, ia teringat akan sang suami.

"Aku ada di mana?" tanya Nadine dengan suara lemah.

"Kamu ada di RS, kamu baru sadar dari pingsan," jawab Rama.

Nadine terdiam sejenak. "Pingsan? Astaghfirullah, mas Devian."

Nadine bangkit dan melepas selang oksigen yang menempel di hidungnya. Bahkan ia hendak melepas selang infus yang menempel di tangannya. Namun dengan cepat Rama mencegahnya, ia tidak tahu kenapa tiba-tiba Nadine seperti itu. Sementara Nadine terus berusaha untuk turun dari atas brangkar, ia sadar jika dirinya sudah bersalah karena telah lalai akan tugasnya.

"Nadine kamu mau kemana? Dokter menyuruhmu untuk beristirahat." Rama memegang tangan Nadine yang hendak mencabut infus di tangan kirinya.

"Lepaskan aku, aku harus pulang sekarang. Mas Dev pasti sudah menungguku," ucap Nadine. Ia terus berusaha untuk bisa lepas dan bisa turun.

"Kamu tenang dulu, Nadine. Kondisimu masih lemah, sebaiknya kamu istirahat. Jika suamimu perduli dengan kamu. Pasti dia akan mencarimu." Rama terus berusaha untuk menenangkan Nadine.

Peduli, seorang Devian tidak akan pernah peduli kepada orang yang telah berbuat salah. Nadine harus lebih bersabar jika nanti suaminya memarahi bahkan akan lebih membencinya. Perlahan Nadine melemahkan pergerakannya, wanita berjilbab itu menatap wajah Rama dengan air mata yang sudah membasahi kedua pipinya.

"Tinggalkan aku sendiri," pintanya. Ia berharap semoga Rama mau mengerti.

"Tapi .... "

"Aku mohon tinggalkan aku sendiri," potong Nadine dengan cepat.

Rama menghembuskan napasnya. "Baiklah, aku keluar. Kalau kamu perlu sesuatu, kamu bisa .... "

"Aku mohon, keluar." Lagi-lagi Nadine memotong ucapan Rama, dan kali ini suara Nadine sedikit meninggi.

"Baik, aku keluar." Rama pasrah, ia pun memilih untuk keluar dari ruang rawat Nadine.

Nadine merebahkan tubuhnya secara perlahan, wanita berjilbab itu memiringkan tubuhnya menghadap ke tembok. Rama menoleh ke dalam, terlihat jika bahu Nadine berguncang. Itu tandanya Nadine tengah menangis, Rama hanya bisa menghembuskan napasnya. Setelah itu ia memilih untuk menutup pintu ruang rawat tersebut dan beranjak menuju kursi tunggu.

***

Selama dua hari Nadine dirawat di RS, tetapi selama itu tidak ada yang tahu kecuali Rama. Awalnya Nadine menolak, karena menurutnya apa yang Rama lakukan itu terlalu berlebihan. Namun pria berhidung mancung itu terus memaksa. Dan selama ini Nadine sama sekali tidak mendengar kabar tentang suaminya. Devian pun sama sekali tidak memberi kabar pada sang istri.

Berkali-kali Nadine mencoba untuk menghubungi nomor suaminya, tetapi tidak pernah ada jawaban. Nadine hanya bisa berdo'a agar suaminya selalu dalam lindungan-Nya. Dan hari ini sudah genap seminggu Devian berada di luar negeri. Jujur, Nadine merasa khawatir karena sudah seminggu lamanya tidak lagi berkomunikasi dengan sang suami.

Sore ini cuaca terlihat tidak bersahabat, awan hitam sudah menggulung. Saat ini Nadine tengah berdiri di balkon kamarnya, mata teduhnya memandangi langit yang sudah menghitam. Alam telah mewakili rasa sedih, seperti yang tengah Nadine rasakan saat ini. Rasa tak sanggup lagi untuk bertahan, tetapi Nadine yakin, jika dibalik kesedihan pasti ada kebahagiaan.

"Mas sedang apa sekarang. Apa, mas sudah lupa dengan .... " ucapan Nadine terhenti saat mendengar bi Mirna memanggilnya.

"Ada apa, Bi?" tanya Nadine, wanita berjilbab merah muda itu membalikkan tubuhnya dan berjalan menghampiri asisten rumah tangganya.

"Di bawah ada tuan besar, Nyonya," jawab bi Mirna.

Nadine terdiam sejenak. "Ya sudah, sebentar lagi aku turun."

"Baik, Nyonya. Permisi," ujar bi Mirna seraya membungkukkan badannya. Setelah itu bi Mirna bergegas keluar dari kamar majikannya itu.

Setelah itu Nadine bergegas keluar dari kamarnya, wanita berjilbab itu berjalan menuruni anak tangga. Setibanya di bawah terlihat jika ayah mertuanya tengah duduk di sofa ruang tengah. Nadine menghembuskan napasnya, setelah itu ia berjalan menghampiri sang mertua. Gunawan tersenyum saat melihat Nadine tengah berjalan menghampiri dirinya.

"Assalamualaikum, Pa." Nadine membungkukkan badannya dan mencium punggung tangan mertuanya itu.

"Wa'alaikumsalam, Nak. Maaf kalau kedatangan papa mengganggumu," ucap Gunawan.

"Tidak kok, Pa." Nadine tersenyum. Setelah itu ia menjatuhkan bobotnya di sofa.

Selang beberapa menit, bi Mirna datang dengan membawa dua cangkir teh manis. Bi Mirna meletakkan minuman tersebut di atas meja, setelahnya ia beranjak pergi ke dapur kembali. Sementara Nadine dan Gunawan tengah berbincang, tak lupa Gunawan menanyakan bagaimana rumah tangga mereka. Pria paruh baya itu takut jika putranya berbuat yang tidak-tidak kepada Nadine.

"Alhamdulillah, hubungan kami baik kok, Pa. Mas Devian tidak pernah macam-macam, dan dia sangat perhatian," alibinya,  meski tidak sesuai dengan fakta. Namun, tidak mungkin Nadine mengatakan yang sesungguhnya.

"Syukurlah kalau begitu, semoga hubungan kalian selalu baik ya," ungkap Gunawan.

"Amin. Terima, Pa atas do'anya." Nadine tersenyum dan mengamini apa yang sudah ayah mertuanya katakan itu.

"Oya, nanti kalau Devian sudah pulang. Tolong bilang sama dia, untuk datang ke rumah, papa. Ada hal penting yang ingin, papa sampaikan," ungkap Gunawan.

"Baik, Pa. Nanti akan aku sampaikan," ucap Nadine dengan tersenyum.

"Ya sudah, kalau begitu papa pulang sekarang ya. Takut keburu hujan," pamitnya, pada menantunya itu.

"Iya, Pa. Hati-hati di jalan." Nadine kembali mencium punggung tangan ayah mertuanya itu.

"Iya." Gunawan bangkit dan diikuti oleh Nadine.

Nadine mengantar Gunawan sampai ke teras rumah, perlahan mobil yang Gunawan naiki berjalan meninggalkan halaman rumah putranya itu. Setelah mobil  hilang dari pandangan matanya, Nadine memutuskan untuk masuk ke dalam. Setibanya di dalam, wanita berjilbab itu memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Nadine berjalan menaiki anak tangga untuk menuju ke kamar.

Setibanya di kamar, Nadine berniat untuk mandi. Namun tiba-tiba ponselnya berdering, dengan cepat Nadine mengambil benda pipih itu. Berharap jika suaminya yang telah mengirim pesan. Dengan cepat Nadine membuka pesan itu, seketika matanya terbelalak saat melihat beberapa foto yang terkirim ke ponselnya. Bahkan mata Nadine berkaca-kaca melihat foto tersebut.

Tubuh Nadine merosot ke lantai setelah melihat foto tersebut. Dadanya terasa sesak, bulir bening pun meronta keluar membasahi kedua pipi mulus Nadine. Sesaat dunia terasa berhenti berputar, rasa sakit yang kini ia rasakan tak sebanding dengan penyakitnya. Nadine memejamkan matanya sejenak, berharap jika itu hanya mimpi. Namun semua itu adalah nyata, kenyataan yang tidak bisa dipungkiri lagi.

Próximo capítulo