Happy Reading
Martin menyuruh para pelayan untuk keluar dari ruangan itu. Dia sengaja menyisakan beberapa bodyguard untuk tinggal. Suasana ruangan menjadi begitu mencekam, hanya hawa dingin dan aura ketegangan yang begitu terasa di antar mereka. "Apa kalian sama sekali tidak menemukan kecurigaan pada wanita mata-mata itu sebelumnya?" Sebuah pertanyaan yang terdengar cukup tegas membuat para bodyguard itu hanya mampu menundukkan kepalanya. Martin menatap mereka satu per satu, dia berusaha mencari sebuah petunjuk yang mungkin saja berarti. "Siapa yang berjaga malam di tiga hari belakangan ini?" tanya pria dengan tubuh yang cukup atletis dan wajah yang tampan.
"Kami semua bergantian jaga malam selama tiga hari belakangan ini," jawab salah seorang dari mereka.
"Apakah kalian merasa ada yang aneh atau tak biasa dalam tiga hari itu?" Martin kembali melemparkan sebuah pertanyaan pada pria-pria yang berbadan tinggi besar itu.
Seorang bodyguard melangkah maju mendekati Martin. Dia menatap pria itu dengan wajah yang terlihat takut dan juga gelisah. "Bos!" Pria itu langsung berlutut dalam rasa ketakutan yang menguasai dirinya. "Sebenarnya saat aku berjaga malam itu ... wanita yang baru saja tewas memberikan kami kopi. Kami tak sadar apa yang terjadi selanjutnya. Kami terbangun hari sudah hampir pagi. Ini semua kesalahanku, Bos. Aku yang sudah menerima kopi itu dan membagikan pada semua orang," sesalnya dengan wajah ketakutan yang tak mungkin bisa ditutupinya.
Martin akhirnya mendapatkan titik terang atas semuanya. Semua kejadian menjadi lebih jelas. Dia yakin jika musuh Adi Prayoga telah memasang bom di malam saat wanita mata-mata itu memberikan kopi. "Berdirilah! Aku akan memberitahukan semua ini pada Bos Adi. Dia yang akan memutuskan, hukuman apa yang paling pantas kalian terima karena kecerobohan yang cukup fatal," terang Martin sebelum berjalan menuju pintu untuk keluar dari ruangan itu. Namun tiba-tiba saja Martin menghentikan langkahnya dan membalikkan badan. "Kalian harus berhati-hati mulai sekarang. Bisa saja di antara kalian ada seorang mata-mata." Sebuah perkataan dari pria itu membuat mereka semua saling menatap satu sama lain.
Sepeninggal Martin, para pria di ruangan itu menjadi sangat ribut. "Siapa yang menjadi mata-mata di sini? Brengsek! Apa kalian semua ingin mati?" kesal salah seorang dari mereka.
"Yang jelas itu bukan aku. Seluruh hidupku sudah ku abdikan untuk Bos Adi Prayoga," sahut seorang lainnya.
"Jika aku sampai mengetahui kalian berkhianat, aku akan membunuh kalian dengan tanganku sendiri," ancam seorang bodyguard yang sudah cukup lama bekerja dengan Adi Prayoga. Pria itu sudah menyerahkan hidupnya untuk sang bos mafia. Dia merasa memiliki utang budi pada bos-nya itu.
Di luar ruangan, Martin dan beberapa anak buahnya mulai memeriksa seluruh CCTV di rumah itu. Dia ingin memastikan jika semua tidak mengalami kerusakan dan berfungsi dengan baik. "Apa ada kerusakan?" tanyanya pada seorang anak buah yang membangunnya.
"Semua masih berfungsi sebagaimana mestinya, Bos. Kita harus memperketat pengawasan dan pengamanan di rumah ini," sahut pria yang masih bertengger di sebuah tangga untuk memeriksa CCTV.
Setelah memastikan semuanya, pria yang menjadi tangan kanan Adi Prayoga itu langsung menemui bos-nya di ruang kerja. Beberapa kali mengetuk pintu, Martin tak mendengar respon apapun dari dalam ruangan itu. Dia pun memberanikan diri memutar handle pintu lalu mendorongnya hingga terbuka. Dengan langkah kaki yang cepat, dan juga memandangi sekitar ruangan itu untuk mencari Adi Prayoga. "Bos!" panggilnya pada pria yang terlihat sedang duduk di sebuah kursi. Dari pandangannya, Martin melihat Adi Prayoga sedang duduk sambil memejamkan matanya. Beberapa kali memanggil tak mendapatkan respon, dia pun menyentuh pundak Adi Prayoga dengan wajah panik dan juga takut. "Bos!" panggilnya dengan suara lirih.
"Martin! Kamu mengejutkan aku saja," sahut Adi yang baru saja membuka matanya. "Aku bisa ketiduran saat menunggumu," lanjutnya lagi sambil mengumpulkan nyawanya.
Martin terlihat sangat lega bos-nya baik-baik saja. "Aku sempat berpikir yang tidak-tidak pada Anda, Bos. Ku pikir Bos .... " Pria itu tak sanggup melanjutkan ucapannya sendiri. Dia merasa lega melihat Adi Prayoga masih hidup dan juga baik-baik saja.
Adi Prayoga justru terkekeh geli melihat wajah pucat Martin. "Apa kamu pikir aku sudah mati?" Pria itu kembali tertawa sambil memandangi orang kepercayaannya itu. "Aku tak akan mati sebelum memastikan kebahagiaan Imelda dan juga Brian," lanjutnya lagi.
Pria itu melemparkan tatapan penuh arti pada bos-nya. Sebenarnya ada sesuatu hal yang membuat Martin penasaran pada pria yang sudah beberapa tahun menjadi bos-nya itu. "Bos. Kenapa Anda tak berusaha untuk membawa Nyonya kembali ke rumah ini?" Setengah mati Martin mengumpulkan keberaniannya untuk menanyakan sebuah pertanyaan yang sudah sejak lama tersimpan di dalam hati. Dia sangat penasaran dengan istri dari Adi Prayoga yang seolah telah ditelan bumi beberapa tahun silam.
Adi Prayoga mendadak terdiam. Senyuman yang tadinya terlukis jelas di wajahnya juga telah sirna. Pria itu terlihat menghela nafasnya beberapa kali lalu mengusap rambutnya sendiri. "Mengapa kamu menanyakan hal itu, di saat kamu sendiri belum menemukan seseorang wanita yang bisa menjadi istrimu?" sahutnya dengan wajah dingin diiringi senyuman sinis di bibirnya. Adi Prayoga juga tak mengerti dengan Martin yang sama sekali tak tertarik dengan sebuah pernikahan. Pria itu hanya menjalin hubungan dengan beberapa wanita tanpa ikatan apapun. Seolah Martin benar-benar tak ingin memiliki keluarga sendiri.
"Kalau aku memang tak berminat untuk menikah. Lain halnya dengan Anda, Bos. Anda memiliki seorang anak dan juga istri namun aku tak pernah mengerti dengan hubungan Bos dan istri. Kalian berdua sama-sama tak memiliki pasangan namun tak pernah ingin hidup bersama lagi. Apa yang sebenarnya terjadi dengan kematian dari istri Davin Mahendra? Aku dapat mengingat dengan jelas, Nyonya pergi setelah kematian Dokter Irene Mahendra." Akhirnya Martin berusaha mengungkapkan rasa penasaran di dalam hatinya. Dalam hati, dia cukup takut menanyakan hal itu pada bos-nya. Namun dia memilih untuk bertanya tentang kejadian itu.
Pria itu langsung bangkit dari tempat duduknya lalu menatap tajam Martin yang sedang melihat ke arahnya. "Aku tak ingin membahas tentang masalah itu. Akan lebih baik jika kamu tak memiliki ingatan apapun tentang kejadian itu." Adi Prayoga langsung meninggalkan Martin begitu saja. Dia tak ingin membuka luka lama yang sudah terkubur bersama kebenciannya kepada Davin Mahendra. Sebuah kebenaran yang telah menghancurkan persahabatan dua keluarga. Rasanya Adi Prayoga tak ingin membuka luka lamanya itu.
"Apa yang sebenarnya terjadi di balik kematian Irene Mahendra?" gumam Martin sambil memandangi pria yang baru saja meninggalkan dirinya seorang diri. "Haruskah aku menggali semua untuk memuaskan rasa penasaranku?" Pria itu kembali bertanya pada dirinya sendiri.