Sadewa jatuh beberapa kali saat berjalan. Sudah setengah jam mereka berjalan perlahan, masuk ke dalam hutan. Tak ada tempat yang bisa Sadewa tuju selain wilayah kekuasaannya.
Liffi membantu Sadewa bangkit dan memapahnya untuk kembali berjalan. Mereka sampai ke sebuah rumah. Sadewa sembuh perlahan-lahan dari segala lukanya. Tapi luka di bagian perutnya masih terlihat parah. Sinar bulan pun mulai terlihat menyilaukan, menyinari jalan setapak menuju rumah itu.
"Kenapa bisa ada rumah mewah di tengah hutan?" Liffi heran.
"Aku yang membangunnya. Ini rumah pribadiku," jawab Sadewa.
"Ah, iya, aku lupa kau sangat kaya. Memang orang kaya bisa melakukan apapun." decak Liffi kagum.
Rumah itu terlihat sangat hangat dengan cahaya kuning yang berasal dari temeram lampu taman. Dindingnya terbuat dari bulatan-bulatan batang kayu dengan aksen kaca pada ruas-ruas jendela. Cahaya remang bulan masuk melalui jendela-jendela besar. Rumah modern dengan kesan rustic dan cozy menyambut mereka.
"Masuklah, Liffi."
Liffi kembali membantu Sadewa menapaki anak tangga sampai akhirnya mendarat pada sofa empuk. Sofa mewah berwarna beige dengan lapisan bulu rusa. Sadewa merebahkan dirinya, menikmati cahaya bulan yang masuk mulai menyembuhkan luka-lukanya.
"Minumlah!!" Liffi memberikan segelas air pada Sadewa, dengan cepat Sadewa melibas isinya sampai habis.
"Apa kau punya baju kering Sadewa? Kita berdua tampak sangat mengenaskan." senyum Liffi manis. Mereka berdua memang terlihat kacau, basah dan penuh dengan darah. Sadewa malah telah kehilangan pakaiannya dan hanya bertelanjang dada.
"Ambilan di dalam kamarku, Liffi." Sadewa menunjuk ruangan di ujung koridor. Liffi mengangguk sebelum beranjak pergi.
"Wah... hebat." Liffi melihat dengan kagum seluruh isi kamar Sadewa.
Ranjang empuk super besar, didukung dengan interiornya yang berkesan minimalis tapi mewah. Belum lagi closet pakaiannya yang seluas lebih dari 4x kamar apartemen Liffi. Setelan jas, baju, kemeja, dan dasi berjajar rapi. Arloji-arloji mahal serta sepatu pun punya wadahnya sendiri-sendiri.
"Berhenti terkesima, Liffi!!" Liffi menepuk pipinya pelan. Ia mengambil sebuah kemeja lengan panjang dan bergegas mandi.
Liffi kembali dengan sebaskom penuh air hangat, ia menyeka semua bagian tubuh Sadewa yang terluka, membersihkannya. Sadewa masih menggigil dan berkeringat dingin. Walaupun semua lukanya telah menutup tapi luka dalamnya belum sembuh. Beberapa organnya bengkak terhantam dan tulangnya remuk.
"Kenapa kau menangis?" Sadewa yang menyadari air mata mengalir dari pelupuk mata Liffi pun bertanya.
"Aku sedih melihatmu terluka." Liffi terisak pelan.
"Aku bisa menahannya." Sadewa menyatukan dahi mereka.
"Kau terluka karena aku, seandainya aku tak mengganggu, kau malah menanggung semua serangan yang ditunjukkan bagik. Aku hanya jadi beban untukmu bukan ...?" Liffi menangis, tangannya meremas lengan Sadewa.
"Stt ... stt ... No, melindungimu adalah naluriku." Sadewa menghapus air mata Liffi, memeluk gadis itu.
"Bagaimana ini? Bulannya baru terbuka setengah. Bagaimana caranya agar kau kembali pulih??" Liffi melirik ke arah bulan, lingkaran bulat itu masih berwarna hitam separuhnya.
Sadewa hanya diam.
"Apa yang bisa aku lakukan untukmu, Sadewa?" Lanjut Liffi, wajahnya diliputi kecemasan.
Sadewa mengelus wajah cantik Liffi, mengamatinya dalam diam. Wajah itu terlalu menarik, sangat menarik perhatinnya. Membuat Sadewa benar-benar menginginkannya saat ini.
"Apakah kau mau melakukannya denganku, Liffi?" tanya Sadewa, semburat merah memenuhi tulang pipinya.
"Melakukan apa? Kalau itu bisa menyembuhkanmu aku pasti akan melakukannya?" Liffi menjadi sedikit tenang dan mulai tersenyum.
"Aku tidak tahu apakah ini akan berhasil. Yang pasti aku sangat menginginkannya saat ini."
Tanpa menunggu jawaban Liffi, Sadewa mengulum bibir Liffi, menciumnya dengan lekat dan dalam. Alunannya terasa sangat menyegarkan tubuh dan jiwanya. Membuat Sadewa ingin merasakan lebih dan lebih lagi.
"Ayo kita ke kamar." Sadewa menggendong tubuh mungil Liffi masuk ke dalam kamarnya.
Liffi menggeliat saat Sadewa mulai meraba setiap lekuk tubuh dan permukaan kulitnya. Bara nafsu dan deruan panas tercipta seirama saat mereka saling beradu cumbu. Desahan napas Liffi terasa bagaikan heroin yang membangkitkan syaraf-syaraf kebahagian di otak Sadewa.
Bau bunga hibicus tercium tajam, semakin tajam saat Liffi menangisi perasaannya bahagia. Ikatan batin Sadewa dan Liffi terbentuk jauh sebelum mereka mengetahuinya. Karena bagi werewolf mate adalah takdir mereka, bahkan terikat jauh sebelum mereka saling mengenal.
"Tatap mataku, Liffi." Sadewa mengangkat dagu Liffi, warna birunya terlihat begitu dalam.
Warna matanya sungguh membuatku lupa diri. Liffi masih terus tenggelam dalam pesona Sadewa, memandang bola matanya yang seindah manik-manik, warna biru laut yang dalam.
"Kau sangat cantik, Liffi," puji Sadewa, ia mencium pergelangan tangan Liffi, wangi bunga hibicus. Wangi yang sungguh memanjakan indra penciumannya. Sadewa ingin menyesapnya perlahan, menghabiskan setiap jengkal tubuh Liffi yang mengeluarkan feromon manis itu.
"Sadewa ...." Panggil Liffi lirih, suaranya bergetar menikmati cumbuan Sadewa, ciumannya naik sedikit demi sedikit dari pergelangan tangan ke arah leher.
Sadewa mengecup dalam leher Liffi, membuat Liffi harus mengerang pelan. Tubuhnya menegang karena lehernya yang sensitif menerima rangsangan dari bibir basah Sadewa. Liffi menggeliat pelan, tangannya menahan dada bidang Sadewa. Suhu tubuh mereka terus meningkat seiring dengan terpenuhinya hasrat keduanya.
"Argh," lengguh Liffi.
"Bolehkah?" Sadewa meminta ijin pada Liffi sebelum melepaskan nafsu birahinya dalam tubuh gadis itu. Liffi mengangguk sebagai jawaban, wajahnya merona sangat merah.
Peluh menetes perlahan.
Cakaran Liffi membekas merah pada punggung Sadewa, namun perlahan menghilang.
Liffi terus meremass sprei, menahan hentakan keras dari tubuh kekar Sadewa.
Rasa sakit dan perih menghujam jauh ke dalam tubuhnya. Namun Liffi tetap menikmatinya.
"Aku mencintaimu, Liffi." Bisikan panas yang penuh gairan memanjakan indra pendengaran Liffi.
Bercak darah menodai sprei, Liffi tak peduli. Malam ini terlalu indah untuk di sesali.
Cahaya bulan mulai masuk melalui celah-celah jendela kamar. Menyinari persatuan antara Sadewa dan Liffi. Merasakan keindahan yang terbentuk oleh keduanya. Jiwa mereka bersatu, menghasilkan kekuatan yang tak pernah bisa dibayangkan oleh Sadewa.
.
.
.
.
Liffi terbangun, ia meraba-raba kasur di sampingnya mencari keberadaan Sadewa. Kosong, Sadewa tak di sana. Liffi mengucek matanya perlahan, mencoba beradaptasi dalam gelapnya malam. Sumber penerangan hanya berasal dari sinar bulan yang masuk melalui jendela.
Liffi tersenyum, wajahnya berseri bahagia begitu menemukan sosok Sadewa. Dengan perlahan Liffi bangkit, mengambil selimut untuk menutupi tubuh indahnya. Ia berjalan mendekati Sadewa.
Sadewa menatap Liffi dengan mata birunya. Lalu kembali menatap ke arah bulan. Liffi berdiri di sampingnya dan tersenyum. Tangannya mengelus lembut bulu-bulu Sadewa yang berwarna seputih salju. Sadewa mengeluskan kepalanya pada kepala Liffi. Liffi menikmatinya, white musk yang sangat menggoda.
Liffi memandang bulan dari arah jendela dan duduk di samping Sadewa. Merebahkan kepalanya pada punggung Serigala putih itu. Menikmati indahnya bulan purnama yang terlihat bulat sempurna.
"Kau berhasil, Sadewa."
Sadewa kini telah menemukan wujud sejatinya. Serigala putih, seputih salju pertama dimusin dingin.
oooooOooooo
Hallo, Bellecious
Jangan lupa vote ya 💋💋
Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️
Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana