Liffi berbaring dengan gundah, ia berbalik miring ke kanan dan ke kiri, tapi tetap saja matanya tak bisa terpejam. Liffi menghela napas dan termenung sendirian di dalam kamarnya, pernyataan cinta dari Sadewa membuatnya linglung. Liffi masih merasa hal itu tidak nyata. Bagaimana seorang pria sempurna seperti Sadewa bisa menyukainya?
Liffi sebal, ia menendang selimutnya dan bangkit berdiri. Duduk di kursi belajarnya, memandang keluar jendela. Bulannya berbentuk sabit, dan tampak sangat indah. Liffi membuat kotakan kecil dengan kedua jari telunjuk dan jempolnya, membidik ke arah bulan.
"Ah, cantiknya, kalau bulan purnama pasti lebih cantik." Liffi membidik gambaran bulan dengan jarinya.
Liffi naik ke atas meja dan membuka jendela kamar, berusaha mengusir kejengahan dengan menghirup udara malam yang dingin.
"Liffi?"
"Black?" Liffi memekik tak percaya melihat sosok Black dari jendela kamarnya di lantai 3.
Padahal Liffi hanya ingin mencari angin, tapi malah melihat Black di bawah. Membuatnya keheranan kenapa Black ada di sana di malam selarut ini?
"Eehhmm ... sedang apa kamu di sini, Black?" tanya Liffi penasaran.
"Aku ingin bertemu denganmu!" teriak Black.
"Jangan bercanda." Wajah Liffi merona.
"Aku tidak bercanda," jawab Black.
"Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?"
"Bisa kau turun? Tidak nyaman berbicara seperti ini." Black membenamkan tangannya pada saku celana.
"Oh, baiklah." Liffi menyahut syalnya dan turun ke bawah.
"Hello, Girl." Black tersenyum saat Liffi datang. Melihat wajah gadis ini berseri senang membuatnya bahagia. Beginikah rasanya mencintai? Black menyukai rasa yang muncul di dalam hatinya saat ini.
"Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini, Black?" Liffi mengulang pertanyaan yang sama.
"Beberapa hari lalu aku sedang berjalan pulang dan melihatmu memasuki apartemen ini." Black berbohong. Dari awal dia selalu menguntiti Liffi saat ada kesempatan.
"Ow, kau tinggal di dekat sini?"
"Iya." Black berbohong lagi, rumahnya jauh di utara kota.
"Kau mau masuk, Black? Aku akan membuatkan teh untukmu. Di luar sangat dingin." Liffi menawarkan secangkir teh pada Black.
Black tampak ragu, ruangan yang sempit membuat aroma tubuh Liffi semakin tercium. Bagaimana kalau Black tak bisa menahannya? Bagaiamana kalau Black menyerang Liffi? Atau bahkan berubah?
"Apa kau yakin Liffi? Kau tak menyesal mengundangku?"
"Kenapa menyesal? Ini hanya secangkir teh." Liffi tersenyum, wajahnya sangat manis. Black merasa Jane itu cantik, tapi saat melihat Liffi, walaupun tak secantik Jane tapi wajah Liffi tak pernah terlihat membosankan di matanya.
"Masuklah, Black!" Liffi segera menuju pantry untuk menyeduh teh.
Black mengamati tempat Liffi tinggal. Ia melihat betapa sempitnya ruangan itu, ukurannya sama dengan kamar mandi di penthousenya. Black bingung harus duduk di mana, tidak ada sofa. Hanya kasur dan kursi di depan meja belajar.
"Maaf sempit, ya?" Liffi kembali dengan dua gelas teh hangat.
"Terima kasih." Black menerima teh dari tangan Liffi dan meminumnya.
"Sebentar." Liffi mengeluarkan meja kecil di bawah ranjang dan juga bantal lantai. Black tersenyum melihat Liffi, lalu beranjak membantunya.
"Kita duduk bawah, ya, Black. Budaya Indonesia." Liffi duduk, Black menyusul lalu bersila di depannya.
"Iya, aku jadi merindukan Indonesia."
"Kapan kau terakhir pulang ke Indonesia, Black?" tanya Liffi penasaran.
"5 tahun yang lalu, saat tour BLINK keliling dunia." Black menyeruput lagi teh panas di depannya.
"Kenapa BLINK bubar?"
"Kami punya ego kami masing-masing." Black tak bisa mengakui kalau semua teman-temannya adalah werewolf yang keras kepala. Mereka selalu bertengkar dan bertarung, baik saat maupun sebelum latihan. Managernya frustasi dan akhirnya mereka memilih untuk bubar.
Kenapa wajah Black sangat mirip dengan tuan Sadewa? Pikir Liffi, ia mengamati setiap inci wajah Black. Liffi penasaran namun tak berani bertanya.
"Kenapa melihatku seperti itu?" Black menyentuh dahi Liffi dengan telunjuk tangannya.
"A ... apa kau lapar, Black? Aku punya indo**e." Liffi mencari-cari alasan karena malu ketahuan membandingkan wajah tampan Black dan Sadewa.
"Benarkah? Oh, aku merindukan rasanya." Black membalas dengan senyumannya, giginya yang rapi dihiasi dengan taring yang sedikit panjang membuatnya terlihat sangat tampan dan manis, sekaligus sedikit buas.
"Tunggu sebentar." Liffi beranjak dan memasak mi instan khas Indonesia itu.
"Oke."
.
.
.
"Kenyang." Liffi terlihat puas setelah memakan semangkuk mi goreng.
"Memang ini yang terbaik," ucap Black di selingi dengan tawa ringan.
"Ind**ie seleraku, hahaha." Liffi tertawa.
"Benar, rasanya sangat enak. Hahaha ...." Black ikut tertawa.
"Hihihi ... tak kusangka aku bisa makan ind**ie dengan seorang artis." Liffi terkikih, dan tersenyum, memamerkan deretan giginya yang rapi.
"Iya, aku juga tak menyangka bisa bertemu denganmu, Liffi." Black memandang wajah cantik Liffi dengan sorot mata yang berbinar. Sorot matanya terlihat begitu menginginkan Liffi.
"Eee ... hahaha ...." Liffi sedikit canggung melihat tatapan Black padanya.
Black merangkak mendekati Liffi, Liffi langsung merona saat melihat wajah tampan Black di depannya dan terus mendekat.
"A—ada apa, Black?" Liffi sekarang merasa sangat canggung.
"Ada kotoran di rambutmu." Black mengambil kotoran di rambut Liffi.
Pandangan mereka bertemu, Liffi menahan napasnya karena tegang. Black kembali mencium aroma bunga Fresia yang manis. Ia benar-benar menginginkan Liffi, Black ingin mencium bibir ranum itu dan bercinta dengan pemiliknya. Black semakin mendekatkan wajahnya, ia hendak mencium Liffi. Liffi memejamkan matanya dan bangkit berdiri.
"Ah, aku harus ke kamar kecil." Liffi bangkit dan masuk ke dalam kamar mandi.
Black terdiam, jantungnya masih berdetak dengan cepat. Rasanya sangat aneh. Adrenalin yang terpicu karena feromon membuat jantungnya tak bisa melambat. Kekuatannya bertambah, kuku tajam mulai keluar dari jari jemarinya.
Sesaat Black merasa hatinya sangat sakit. Beginikah rasanya mengalami penolakan?
Black menundukkan kepalanya sebal, kelihatanya dia bertindak terlalu cepat. Tapi mau bagaimana lagi, instingnya tak bisa berbohong.
"Aku hampir berubah, aku harus pergi dari sini." Black bangkit dan pergi dari apartemen Liffi.
"Black??" Black sudah menghilang saat Liffi keluar perlahan dari kamar mandi.
Apa dia sudah pulang? Yang tadi itu sangat berbahaya, wajah tampannya hampir membuatku goyah. pikir Liffi dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Entah apa yang sudah terjadi pada Liffi hari ini, sepertinya Dewi Fortuna begitu menyertai Liffi. Bahkan ada 2 orang pria luar biasa yang mendekatinya. Dan wajah mereka pun sama.
ooooOoooo
Hallo, Bellecious
Jangan lupa vote ya 💋💋
Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️
Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana