Liffi menyeret sling bag -nya dengan lesu. Akhirnya hari yang penuh penderitaan ini berakhir, dia bisa segera pulang ke rumah dan memeluk guling, atau bergelung nyaman di dalam selimutnya.
"Liffi, tunggu!" suara Mr. Hans membuat tubuh ramping liffi tersentak.
"Ya, Mr. Hans?" Liffi tetap berusaha menunjukan wajah tenang padahal dia sangat lelah.
"Kau akan pulang?"
"Iya."
"Boleh aku minta tolong sekalian kau jalan?"
"Apa itu?" tanya Liffi heran, sikap bosnya terlihat lebih lembut dari biasanya. Bahkan dia menggunakan kata-kata sopan saat berbicara pada Liffi.
"Tolong kau antarkan amplop ini ke alamat ini, Liffi. Ini harapan terakhir kita untuk memenangkan tendernya." Mr. Hans memberikan sebuah amplop dan secarik kertas berisi sebuah alamat.
"WIN hotel, room 1201??" Liffi membacanya dalam hati.
"Maaf, Mr ... em ... bukankah tadi kita sudah ditolak?" Liffi melirihkan kata terakhir dalam kalimatnya.
"Me—mereka ingin meninjau ulang." Mr. Hans terlihat gugup. Amplop itu hanya akal-akalannya saja. Yang akan membuat tendernya disetujui adalah gadis polos yang berdiri di depannya saat ini.
"Baiklah, saya pulang dulu, Mr. Hans." Liffi menangguk tanda mengerti, padahal dia sama sekali tidak tahu kalau dirinyalah yang maju sebagai tumbal.
"Kau bawa uang ini, naik taxi saja. Wajahmu terlihat lesu, cuci muka dan pake sedikit make up!" Mr. Hans memberikan 100 Euro sebagai ongkos taxi.
"Ini terlalu banyak," tolak Liffi.
"Terima saja! Aku akan memberikanmu lebih banyak uang saat tendernya berhasil." Mr. Hans berlalu meninggalkan Liffi yang kebingungan.
Liffi tak ambil pusing, toh juga perusahaan tak membayarnya sesuai jam kerjanya. Anggap saja uang ini adalah tips untuknya karena lembur setiap hari.
"Ke mana, Miss?" tanya sopir taxi.
"WIN hotel, Pak." seulas senyum hangat terkembang di wajah Liffi.
Tak lama taxi sudah mendarat pada lobby hotel. Liffi berjalan menuju ke resepsionis, meminta resepsionis menelepon pemilik kamar 1201. Tak bisa langsung masuk begitu saja.
"Presdir bilang anda boleh langsung naik ke atas, Nona," ucap wanita itu sopan.
"Terima kasih." Liffi sedikit menganggukan badannya kikuk.
Liffi memeluk erat amplop coklat di tangannya, semua mata memandangnya. Outfit gadis ini tak sesuai dengan hotel berbintang lima. Liffi masuk ke dalam lift dan memencet angka 12. Setelah menghela napas beberapa kali, tubuhnya mulai tenang. Tak lagi bergetar dan merasa kikuk.
Pintunya besar sekali, hotel mewah memang berbeda. Liffi menelan ludahnya sebelum memencet bel pintu kamar.
Tak sampai semenit pintu terbuka, seorang wanita cantik mempersilahkan Liffi masuk.
"Masuklah, Tuan Sadewa sudah menunggumu." Emily menutup pintunya sesaat setelah Liffi masuk.
"Umm ... aku hanya ingin memberikan amplop ini saja. Bisakah aku menitipkannya padamu, Miss?" Liffi bertanya dengan sopan.
How cute, kasihan gadis kecil ini, apa betul tuan akan memangsanya malam ini? Emily berpikir dalam hatinya.
"Tuan Sadewa ingin berbicara beberapa hal denganmu. Tunggulah di ruang tamu!" Emily meninggalkan Liffi sendirian.
Presiden suit room, ada 3 kamar tidur, satu buah pantry, dinning table dan sebuah living room mewah. Liffi memandang sekitarnya, interior mewah bergaya romawi, dihiasi pilar-pilar dan kusen model iconik. Warna gold dan pile orange mendominasi ruangan ini, Liffi berdecak kagum, baru kali ini dia masuk ke dalam ruangan semewah ini.
Sadewa baru saja datang, masih hanya berbalutkan jubah mandi. Air masih membasahi rambutnya. Ia bersandar pada kusen pintu mengamati wajah Liffi dengan seksama. Gadis itu tampak terkesima, matanya yang bulat dan hitam terus berputar melihat interior kamar itu.
Liffi tersentak kaget saat pandangan mereka bertemu. Wajahnya merona merah dan itu membuat Sadewa sangat senang. Tubuh Sadewa bereaksi, ia kembali mencium aroma tubuh Liffi yang menggoda hasratnya.
Benarkah dia manusia? pikir Sadewa.
Sadewa berjalan mendekati Liffi, duduk pada sofa tunggal di depan gadis itu. Sadewa tak banyak berkata-kata, dia menyimpan tenaga untuk menahan perubahan wujudnya. Sadewa tak mau menakuti gadis itu diawal perjumpaan mereka dengan berubah menjadi seekor serigala.
Liffi menghindari tatapan pria tampan di hadapannya itu. Proporsi tubuh dan dadanya yang bidang menyembul di balik jubah mandinya. Aroma white musk yang sporty dan citrus yang menyegarkan membuat jantung Liffi berdetak lebih cepat. Liffi merasa kesal dengan dirinya yang terus ingin mencuri-curi pandang ke arah Sadewa. Kenapa manusia bisa punya tubuh dan wajah sesempurna itu?
"Aa—apa kabar, Tuan? Sa—saya dari Hans Kontruksi. I ... ini amplop titipan dari Mr Hans." Liffi terbata-bata. Tatapan pria itu membuat atmosfir di sekitarnya berat. Liffi merasa harus segera menyelesaikan hal ini dan pulang ke rumah.
Sadewa tak mengindahkan ucapan Liffi, dia masih terus memandang gadisnya itu. Hatinya dipenuhi tanda tanya.
"Er, Tuan filenya saya taruh di meja. Saya permisi dulu." Karena merasa tidak ada jawaban, Liffi bangkit dan bergegas meninggalkan amplop coklat itu di atas meja.
"Kata siapa kau boleh pergi?!" Akhirnya suara keluar dari bibir tipis Sadewa.
"Maaf, Tuan, saya hanya kurir." Liffi menahan tubuhnya agar tidak gemetaran.
Sadewa berjalan mendekati Liffi, dia mengendus tubuh Liffi. Mencoba memastikan aroma manis yang keluar dari balik lehernya. Aromanya sangat kuat, Sadewa sangat menikmatinya. Liffi mundur beberapa langkah menghindari perlakuan Sadewa yang aneh.
Liffi menggenggam erat tasnya, kalau misal Sadewa kembali mendekat dia akan memukul pria itu dengan tas ini. Toh tasnya sudah rusak, digunakan untuk memukul pun tidak ada ruginya.
"Kau dari pack mana?" Sadewa menarik tubuhnya dan bertanya pada Liffi.
Liffi mengangkat alisnya kaget. Dalam seminggu ada dua orang pria menanyakan hal yang sama. Apa lagi wajah mereka pun terlihat sama, yah, walaupun wajah Black terlihat lebih santai.
"Lucu sekali, pack itu untuk kelompok binatang! Aku manusia bukan binatang." Liffi bergumam lirih.
"Kau manusia?" Sadewa terperanjat dengan jawaban Liffi.
"Memangnya kau bukan?" Liffi menjawab dengan kesal, Black juga menanyakan hal yang sama.
Apa semua orang asing dianggap binatang di sini? Liffi sebal dan dengan segera dia melangkah menuju pintu keluar.
"Maaf saya harus pulang," pamit Liffi, dia meninggalkan kamar 1201 dengan dongkol.
Sadewa mematung, gadis itu manusia. Berarti bukan Mate-nya. Tapi tubuhnya tak berhenti berreaksi, ingin terus melihat dan mencium wangi gadis itu.
Bagaimana mungkin dia bukan mate-nya??
ooooOoooo
Hallo, Bellecious
Jangan lupa vote ya 💋💋
Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️
Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana