webnovel

HURT

Nakula merintih dalam tidurnya, keringat dingin nampak bercucuran. Racun wolfsbane mulai menjalar masuk ke dalam pembuluh darahnya. Para tetuah telah memberikan penawar racun, kini tinggal menunggu respon dari tubuh Nakula.

Sadewa tampak cemas, ia harus bergegas menemukan Liffi agar Nakula bisa mendapatkan sedikit kekuatan. Walaupun masih enggan untuk mengakuinya tapi Sadewa tidak bisa membiarkan Nakula menderita juga. Nakula butuh Liffi, butuh mate juga.

"Bagaimana dengan, Liffi?" tanya Sadewa pada Emily.

"Menurut beta yang mengikuti Nona Liffi, saat ini Nona pulang ke rumah diantar oleh Grey," jawab Emily.

"Grey??" Sadewa tak mengenal siapa Grey.

"Drummer band Blink, grup milik Nakula." Emily menjelaskan.

"Kenapa bisa bersama dengannya?" Sadewa merasa ada yang tidak beres.

"Nona bertemu dengan Jane dan Grey di jalan dan ikut ke rumah mereka, Tuan. Selebihnya saya tidak tahu karena hanya itu laporannya." Emily sedikit menjawab rasa penasaran Sadewa.

"Baiklah, aku akan ke apartemen, Liffi." Sadewa bergegas pergi.

ooooOoooo

Liffi turun dari mobil Grey, ia berterima kasih karena telah mengantarkannya pulang. Selepas kepergian Grey, Liffi bergegas memasuki apartemennya dan menghubungi Nakula atau Sadewa.

"Liffi!!" Panggil seseorang.

"Sadewa, aku baru saja ingin menghubungimu." Liffi terkesiap dengan kehadiran Sadewa, ia tampak baik-baik saja, lalu apa Nakula yang sedang terluka?

"Kau tidak apa-apa? Wajahmu pucat sekali?" Sadewa tampak cemas. Penampilan Liffi tak jauh berbeda dari Nakula.

"Sadewa, dadaku sakit sekali. Sepertinya Nakula dalam masalah." Liffi menatap penuh kaca, Sadewa membuang muka. Hatinya berdenyut sakit saat mendengar Liffi mengkhawatirkan Nakula. Namun Sadewa juga tak punya pilihan lainnya, yang satu adik dan yang satu adalah mate.

"Nakula terkena racun, Liffi. Kami sudah memberinya penawar. Dia akan baik-baik saja, kau tenanglah!" Sadewa mengelus wajah Liffi, mata Liffi terlihat sembab seperti ingin menangis. Gadis itu menggigit bibirnya menahan gejolak emosi. Liffi sadar betul ia telah menyakiti hati Sadewa yang lembut. Tapi Liffi juga tak punya pilihan, hatinya sungguh tak bisa memilih.

"Tenangkan dirimu dulu, Liffi. Aku akan mengantarkanmu pada Nakula." Sadewa memeluk Liffi.

Liffi hanya bisa mengangguk, sedikit terisak dalam dekapan Sadewa. Sadewa juga memilih untuk menghela napasnya panjang agar hatinya pun ikut tenang.

ooooOoooo

Kamar milik Nakula masih tetap rapi seperti saat sebelum ia meninggalkan mansion itu hampir 10 tahun yang lalu. Nakula membuang semua kemewahan milik keluarga West. Keluar dari pack dan memilih untuk menjadi lonly wolf dan membentuk band.

Kamar itu di dominasi warna gelap, Nakula adalah pencinta warna hitam. Tiap furniturenya di desain dengan sudut tegas dan tepian yang rata. Mengesankan sifat kaku dari pemiliknya. Masih berjajar rapi buku-buku saat Nakula menjadi seorang mahasiswa. Walau nyatanya kuliahnya tak pernah lulus karena ia lebih fokus pada karirnya sebagai seorang pemain band.

Nakula melengguh pelan menahan rasa sakit, Liffi mengelus dengan lembut rambut Nakula, sesekali menyeka keringat dengan handuk hangat. Nakula merasa jauh lebih nyaman, matanya mulai terbuka perlahan-lahan. Liffi menggenggam erat tangan Nakula. Mencoba untuk menanyakan keadaannya.

"Naku, kau sudah sadar?" Liffi tersenyum senang, akhirnya Nakula sadar.

"Liffi?" Nakula terperangah, kenapa Liffi ada di depannya saat ini?

"Iya, ini aku, Naku. Apa kau baik-baik saja?!" Liffi terlihat khawatir.

"Aku tak apa-apa, Girl. Jangan khawatir." Nakula jauh lebih baik selepas menerima penawar racun. Pria itu mencoba untuk bangkit dari atas ranjang, Liffi membantunya.

"Bagaimana kau tahu aku di sini?" Nakula berhasil duduk.

"Sadewa yang memberitahuku kau terluka." Liffi mengelus punggung Nakula.

"Sadewa? Kalian saling mengenal?" Nakula terlihat bingung. Liffi terdiam, menimbang apakah ini saat yang tepat baginya untuk mengutarakan segala rahasia yang disimpannya.

"Aku mengontaknya lewat ponselmu, Naku. Aku mencari wanita yang sering kau hubungi." Sadewa tiba-tiba saja masuk, ia melemparkan ponsel milik Nakula. Dengan kebohongan lainnya Sadewa menyelamatkan Liffi dari pertanyaan Nakula.

"Oh, begitu." Nakula mengangguk.

"Sadewa," lirih Liffi, Sadewa tersenyum sumbang dan berpaling meninggalkan kamar Nakula.

Liffi menatap punggung kokoh Sadewa sampai menghilang dari pandangannya. Liffi benar-benar merasa bersalah kepada pria itu.

"Kau kenapa? Apa yang kau lamunkan?" Nakula melihat perubahan gelagat dan juga ekspresi wajah Liffi.

"Tidak, aku hanya takut saja." Liffi memainkan jemarinya, cara kuno untuk menyingkirkan kegundahan hati.

"Maaf, aku pasti membuatmu khawatir." Nakula mengelus wajah Liffi, mengangkat dagu gadis itu agar mau menatap wajahnya.

Nakula mengecup pelan bibir Liffi, mengecap madu manis yang melimpah. Liffi membalas kecupan Nakula, kecupan-kecupan ringan itu berubah menjadi lumatan yang kian mesra. Liffi menyadarai kekuatannya berpindah, mengalir pada Nakula. Berbagi jiwa, Nakula merasakan kekuatannya mulai kembali melimpah ruah.

Namun sesaat kemudian, Liffi ambruk dan terjatuh.

"LIFFI!!" Seru Nakula, dengan segera Nakula memboponh tubuh Liffi, menidurkannya ke atas ranjang.

"Maaf, Naku. Kepalaku pusing sekali. Maaf, sudah dua kali aku pingsan saat kita berbagi jiwa. Aku sungguh tak berguna bagimu." Liffi menyalahkan dirinya sendiri, kekuatannya tak cukup untuk mengobati Nakula. "Apa mungkin aku bukan matemu?"

"Tidak, Liffi. Jangan ucapkan itu, kau berharga bagiku." Nakula memeluk Liffi, membuat Liffi menangis. Air mata merembes turun dari bola matanya yang hitam.

"Maaf, aku yang seharusnya minta maaf." Nakula mengusap rambut Liffi.

"Hiks, Naku." Liffi menangis, wajahnya pucat.

"Beristirahatlah, Liffi. Aku akan menjagamu." Nakula menyelimutkan selimut pada tubuh gadis itu, ia menggenggam tangan Liffi, mengelus pelan rambutnya sampai Liffi tidur dalam pelukkannya.

Sadewa menilik dari cela pintu saat ia hendak mengantarkan obat pada Nakula dan makan malam untuk Liffi. Melihat keduanya saling mendekap membuat hati Sadewa hancur. Namun dengan lapang Sadewa mengalah, membiarkan Liffi tidur dalam dekapan kembarannya. Membiarkan hati Liffi tenang.

"Tuan Sadewa." Emily menatap iba pada atasannya itu. Emily tahu betapa Sadewa mencintai Liffi.

"Ssstt!" lirih Sadewa.

Sadewa memberikan nampan pada Emily dan bergegas meninggalkan pintu depan kamar Nakula. Berjalan kembali menuju ke basement, tempat Elroy terikat.

"Apa kabar serigala merah itu, Emily?" Sadewa menanyakan tentang beta yang ia utus untuk mengikuti Regal.

"Mereka belum memberi kabar, Tuan. Saya takut mereka gagal, ketiga serigala itu terlihat sangat kuat." Emily mengikuti langkah kaki Sadewa.

"Kau benar, sepertinya karena dunia ini terlalu damai kita jadi melemah, Emily." Sadewa menghentikan langkah kakinya di depan pintu basement.

"Kami menunggu perintah Anda, Tuan Sadewa." Emily menundukkan kepalanya.

"Kumpulkan semua warrior kita. Mereka harus berlatih bertarung 5x lebih giat dari biasanya. Juga hubungi seluruh pack di benua ini, Emily. Minta mereka bersiap mengirimkan warrior terbaiknya, karena perang besar akan segera terjadi." Sadewa membuka pintu baja besar, bunyi dencitan terdengar, pintu itu begitu berat.

"GRAAAWWLL!!!" jerit Elroy, ia mengoncangkan rantai baja berlapis silver yang mengikat tangan dan kakinya pada sebuah kursi besi. Beberapa orang warrior berjaga di sekeliling manusia serigala buatan itu. Membawa tongkat besi dengan aliran listrik.

"Sudah siap? Bisa kita mulai?" Sadewa menggulung lengan panjang kemejanya, menampilkan nadi pada otot-ototnya, begitu ketara karena kerja kerasnya selama ini.

oooooOooooo

Jangan lupa vote ya 💋💋

Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️

Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana

Próximo capítulo