"Open the gate!"
Vander berteriak di depan sebuah gerbang bangunan lama yang merupakan pabrik sepatu yang tidak terpakai lagi. Di depannya terdapat simbol besar Alchemy yang melambangkan emas— lingkaran dengan titik hitam sebagai pusatnya disertai mahkotanya.
Bangunan itu sebenarnya merupakan properti milik keluarga Paul Turner yang merupakan pemimpin kelompoknya. Dan sekarang beralih fungsi menjadi markas besar kelompok mereka— The Midas.
The Midas yang artinya sendiri adalah The God of Golden touch— merupakan kelompok yang paling ditakuti di daratan detroit, Michigan. Karena pengaruhnya, tak ada satupun yang berani menentang mereka, bahkan mereka kebal akan hukum di sana.
Termasuk Vanderex Zeckar. Ia adalah salah satu anggota geng itu, dan merupakan yang termuda diantaranya.
Masing-masing mereka akan diberi tanda sebuah tato khusus di tubuh mereka, sebuah simbol yang sama seperti yang ada di gerbang— sebagai tanda mereka adalah bagian dari The Midas. Dan Vander mendapatkannya di tangannya.
Dengan tak sabar dirinya yang kehujanan lantas turun dari motor trail yang ia naiki. Ia menggeram di balik tudung jaket hitamnya yang sudah basah kuyup. Sepertinya mereka semua sedang berpesta-pora, sehingga tak ada yang bisa menjaga gerbang saat ini.
Untungnya ia tahu sandi untuk masuk kesana, hingga tak payah rasanya memasuki sarang penyamun itu. Karena dirinya sudah sangat terlambat. Dan salahkan hujan yang menghambatnya.
Setibanya ia masuk ke dalam gedung tempat biasa mereka berkumpul dan mengadakan pesta, bukannya alih-alih suara riuh tawa dan musik seperti biasa yang ia dengar, melainkan suatu hal yang mengerikan terjadi.
Tampak beberapa wanita berteriak histeris dan para pria yang lainnya saling berkelahi. Bahkan kalau tempat itu biasanya lebih berantakan, yang ini lebih daripada itu— sangat kacau.
Apa yang terjadi? pikirnya.
Vander terdiam seraya memindai retinanya mencoba memahami situasi dan kondisi. Namun tiba-tiba suara disekitarnya mendadak hilang. Hanya terlihat pergerakan orang-orang di depan matanya tampak aneh— seperti diperlambat hingga terkesan dramatis.
What the fudge?! Lagi-lagi ia bertanya dalam hati. Ia lalu memejamkan matanya dan berharap semuanya kembali normal. Dan benar saja, saat ia membuka mata semuanya kembali seperti sedia kala. Vander sungguh meragukan kewarasannya sekarang. Apa ia terlalu banyak menghisap 'barang haram' itu tadi?
Kakinya melangkah lebih maju untuk mencari tahu situasi aneh macam apa yang baru saja terjadi. Seperti ilusi. Semuanya tampak janggal dan aneh. Namun terasa sangat nyata.
Ia mencoba bertanya pada semua orang yang berada dalam jangkauannya, namun tak satupun yang menyahut. Semuanya sibuk meleraikan pertengkaran yang terjadi antara sesama anggota. Dan akhirnya ia pun ikut melerai tanpa tahu apa yang terjadi. Yang pasti ia tak mungkin hanya berdiam diri.
Saat mencoba menahan seorang pria bernama Louis, tiba-tiba dirinya ditarik paksa oleh seseorang dari belakang. Dan orang itu mencampakkannya hingga terjatuh menubruk meja kaca dekat sofa.
Vander meringis karena rasa sakit yang dideranya, bahkan telapak tangannya terluka karena serpihan kaca. Saat ia bangkit untuk berdiri, alangkah terkejutnya ia menemukan seorang pria dengan buih di mulutnya tergeletak di atas sofa dekatnya terjatuh tadi.
Paul Turner, sang alfa tampak menggenaskan dengan mata terbelalak dan busa di sekitar rahang bawahnya. Membuat Vander bergerak mundur— tak percaya bahwa orang yang sangat pro akannya itu telah tewas.
Damn it!
Matanya juga beralih pada sosok serba hitam di samping Turner yang terlihat sedang kejang-kejang. Beberapa orang diantaranya tampak panik, bahkan Vander mendengar ada seseorang yang memanggil polisi dengan ponselnya untuk ke markas segera.
What the fucking Hell?!
Itu sama saja dengan bunuh diri!
Namun keterkejutan itu belum berakhir, tiba-tiba saja terdengar suara tembakan dari luar. Membuat semua orang panik dan melarikan diri. Begitu juga Vander yang tak tahu apa-apa. Ia tampak kalang kabut dan segera ingin pergi.
Tetapi saat ia melangkahkan kakinya, sebelah yang lainnya tertahan. Ia melihat kaki kirinya sudah ada yang memegang. Tak lain tak bukan adalah sosok serba hitam yang di samping Paul tadi.
Pria bertudung hitam itu memang tak bersuara untuk meminta tolong, namun saat wajah itu menengadah ke atas... Vander dibuat mati berdiri.
Itu ... dirinya.
_______________
"NOO!!!"
Vander terbangun dari kursi yang ia tiduri dengan peluh membasahi seluruh tubuh. Napasnya terengah-engah seperti habis dikejar setan. Bahkan ia kini mati lemas karena mimpi buruk yang ia alami barusan.
Mimpi itu... sungguh menghantuinya selama beberapa tahun terakhir. Dirinya bahkan tak berani untuk terlelap hanya karena takut mengulang adegan yang sama.
Vander mengusap wajahnya dari peluh disekitar. Tetap berusaha tenang seperti hal yang sudah-sudah ia lakukan. Hanya perlu duduk, bernapas dengan teratur dan tetap berpikir positif— hal yang selalu ibunya katakan bila menemukannya dalam kondisi seperti tadi.
Setelah kembali tenang, Vander tersadar kalau dirinya bukanlah di kamar yang biasa ia tempati. Ruangan berukuran kecil dengan ranjang single di tengahnya bukanlah kamarnya. Bahkan ia merasa asing dengan perabot di sekitarnya.
Tapi, tunggu!
Ranjang?
Ia bangkit dari kursi yang ia tempati. Memandang heran pada ranjang yang harusnya diisi oleh seorang wanita muda yang ditolongnya tadi. Namun kemana wanita itu sekarang?
Vander mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Sangat sepi, hanya ada dirinya. Ia lalu berjalan ke arah kamar mandi yang pintunya terbuka. Di dalamnya juga tak ada orang. Namun penglihatannya menangkap hal ganjil pada cermin wastafel.
Ada tulisan berwarna merah yang bertuliskan:
Thank you for last night.
Sepertinya tulisan itu dibuat dengan coretan lipstik. Dasar wanita gila, pikir Vander. Sepertinya benturan di kepala setan cantik itu sangat keras. Sehingga ia dapat berhalusinasi yang tidak-tidak tentangnya. Apa yang dipikirkan wanita itu ketika terbangun? Bahkan menyentuhnya di ranjang pun Vander enggan. Ia lebih memilih kursi di seberang ranjang untuk ia tempati.
"Stupid girl!"
Lantas Vander tak ambil pusing. Baguslah kalau wanita itu sudah pergi. Ia lalu berbalik mengambil ranselnya kemudian pergi dari motel yang di sewanya.
Bila dipikir-pikir pertemuan pertama dengan wanita itu saja Vander sudah sial. Bahkan rugi banyak karena biaya taksi dan motel yang harus dikeluarkannya. Sedangkan wanita itu bukannya ganti rugi, ia dengan seenaknya kabur dan tak mengucapkan terima kasih dengan benar.
Ingatkan Vander untuk meminta ganti rugi bila ia menemukan wanita itu lagi. Enak saja hidup dengan sesukanya! Bahkan ia harus bekerja keras dan direpotkan dengan berbagai hal yang menurutnya sangat melelahkan.
Vander memilih menaiki bus kali ini untuk menuju ke tempat kerjanya. Bukan ke kampus lagi tujuannya, karena jam mata kuliah pertamanya tentu sudah habis. Dan selanjutnya tak ada jadwal lagi alias kosong. Lebih baik ia pergi ke tempatnya bekerja karena ada pekerjaan yang sudah menunggu.
***
Xonix Motorsport— adalah bengkel tuner yang terkenal karena spesial memodifikasi mobil-mobil klasik. Bahkan bisa mengerjakan semua jenis model apapun. Didirikan ayah Vander sejak dua puluh tahun yang lalu dan sangat terkenal di daratan Amerika, khususnya New York City.
Setibanya disana, Vander segera ke lantai atas untuk meletak ransel dan mengganti baju di kamar miliknya. Setelahnya ia berkumpul di bawah bersama para mekanik yang lain untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda kemarin.
"Hola, Beast. Mana kacamatamu?"
Sial. Vander melupakannya saat berganti baju tadi. Pantas ia merasa aneh. Seperti ada yang kurang. Namun ia malas untuk mengambilnya ke atas.
"Tidak pakai juga tak masalah," jawabnya sambil melepaskan Velg dari ban mobil yang ia pegang dengan mesin hidrolik pelepas ban.
Pria berjanggut yang menyapanya tadi mengangguk.
"Lagipula kau tak cocok memakai barang purba itu. Kau bukan Meganthropus!" Berdiri sambil memerhatikan Vander yang tekun.
Para pekerja yang merupakan mekanik lainnya terkekeh mendengar ejekan yang terlontar untuk Vander.
"Makhluk purba tak pakai kacamata. Tapi mereka memiliki banyak bulu. Kau!" balas Vander pada pria berjanggut tadi yang bernama Polo.
Sontak suasana tempat kerja menjadi riuh. Bahkan mereka saling bersorak sekarang.
"Beruntunglah kau anak pemilik tempat ini. Kalau tidak sudah kugantung kau dengan crane."
Vander yang mendengar lontaran Polo hanya terkekeh. Dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Sudah dua jam ia berkutat dengan sedan bongkok yang moncongnya khas menonjol panjang ke depan itu. Dan sebagai langkah menuju akhir, ia harus membalut body chevrolet Fleet Master dengan sentuhan warna agar kembali sangar dan gahar.
Rencananya ia akan mewarnai mobil klasik tahun 1948 itu dengan cokelat matte. Namun persediaan warna dasar yang ia ingin pakai habis. Mengharuskannya keluar untuk mencari ke toko karena stok di bengkel akan tiba esok hari. Menurutnya itu sangat lama dan membuang-buang waktu untuk menunggu.
Akhirnya Vander keluar untuk mencari ke toko cat khusus mobil. Cukup jauh karena itu ia harus menggunakan kendaraan. Ya, akhirnya Vander dapat mengendari kendaraan beroda empat itu.
Sayangnya benda itu hanya sebagai transportasi yang disediakan ayahnya untuk para pekerja disana selama jam kerja. Bukan untuk dirinya yang notabene-nya adalah anaknya.
Padahal ayahnya sangat kaya untuk sekedar membelikan satu mobil baru saja. Namun, ayahnya tak mengizinkan untuk itu karena kesepakatan yang mereka lakukan. Ia dapat menerima hal tersebut. Walaupun kadang agak kerepotan dengan stasiun, metro, bus dan juga taksi. Membuatnya diam-diam mengeluh di belakang.
Berbicara soal taksi, Vander seketika teringat soal wanita yang ditemuinya tadi pagi. Kalau bukan karena kebaikan hatinya yang sedikit itu, mungkin nasib buruk akan menimpa si eksotis kini.
Untungnya ia membawa wanita itu ke sebuah motel yang letaknya di pinggir jalan, sehingga ia tidak susah-susah mengangkatnya. Melemparkannya ke ranjang. Dan berakhir ia yang juga ikut terlelap akibat kelelahan juga rasa kantuk yang dideranya karena belum tertidur sedari kemarin.
Vander merasa bodoh karena niatnya yang ingin mencampakkan wanita itu ke motel menjadi ia yang dicampakkan sendirian. Belum lagi pesan absurd yang wanita itu tulis di cermin. Seolah membuatnya benar telah melakukan hal yang 'iya-iya' dengan wanita itu, padahal dirinya yang sebenarnya adalah korban. Uangnya habis untuk membiayai wanita itu semua.
Tolong ingatkan Vander lagi bila bertemu segera menagih bill pada wanita itu. Karena itu adalah rasa ucapan terima kasih yang sesungguhnya!
"Oh, come on."
Vander menggerutu dalam mobilnya yang terjebak macet lalu lintas. Manhattan di sore hari memang tampak begitu. Semua jalan tampak penuh dan ia harus bersabar menunggu untuk semuanya.
Dari kemudinya bisa ia lihat orang-orang juga tampak protes dari dalam mobilnya. Bahkan ada yang mengeluarkan setengah tubuhnya dari kaca untuk berteriak ke depan, dan yang lainnya juga menekan klakson mobil dengan tak sabar.
Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kemacetan tak bergerak sedikitpun? Apa ada terjadi kecelakaan di depan? Atau ada proses syuting di jalalan Manhattan? Entahlah, terkadang para artis-artis itu sangat menyusahkan di jam-jam ramai seperti ini.
Vander menghela nafasnya kasar. "Seharusnya aku tidak keluar lagi kalau tahu ini hari sialku," gumamnya sambil menjedut-jedutkan kepalanya di sandaran jok. Wajahnya tampak nelangsa dengan kepala yang ia senderkan ke kaca.
Mencoba menutup mata dan istirahat sejenak.
Belum semenit Vander menutup mata, tiba-tiba mobilnya tersentak kuat dari belakang. Mengakibatkan badannya terayun ke depan dan kepalanya terantuk ke kemudi karena ketidak siapannya.
"F*ck!" Vander mengelus keningnya yang terbentur kuat. "Kesialan macam apa lagi ini?" geramnya lalu keluar dengan amarah yang menyelimutinya. Bahkan pintu truk Chevrolet Apache yang dibawanya dibanting kuat olehnya.
"You!" tunjuk Vander pada pengemudi supercar di depannya. "Out!"
Vander memang tak dapat melihat siapa pengemudi brengsek yang menabraknya dari belakang dalam keadaan macet seperti ini. Mungkin seseorang yang baru mendapatkan sim— seorang amatir.
Saat Vander memerhatikan bagian belakang truknya yang ditabrak tadi, sudah berdiri seseorang yang baru saja keluar dari dalam supercar berwarna merah metalik itu.
"I-i-i'm so sorry...," cicit suara dari belakang pungung Vander. "Aku tak sengaja sungguh," sambung suara itu lagi yang rasanya tidak asing di telinga Vander.
Dan saat dirinya berbalik, alangkah terkejutnya Vander. Wanita yang meninggalkannya tadi kini ada di hadapannya kembali.
"K-kau?"
Wanita di depannya tak kalah terkejut. Namun bukannya takut, ia berubah kegirangan lalu melompat memeluk Vander bersemangat.
"I see you again. Aku mencarimu seharian ini."
To Be Continued
🌸🌸🌸🌸🌸