webnovel

Ular Cahaya

Sementara itu terlihat dua sosok perempuan berjalan menembus dinginnya malam di sebuah kampung di pinggiran Sungai Bengawan Solo. Mereka berjalan tertatih-tatih menyusuri jalanan di sepanjang kebun kosong tepi sungai menuju ke suatu tempat. Sesekali mereka berhenti. Sedang mereka sudah menempuh separuh lebih perjalanannya. Terlihat seorang di antara mereka berjalan sambil memegangi perut besarnya.

"Ayo, Nduk, lebih cepat sedikit! Keburu suamimu pulang dan mencarimu." Rupanya malam itu Mbok Sum ingin melaksanakan niatnya untuk secepatnya mengorbankan Ratri pada baurekso Wewe Gombel.

"Pelan-pelan, Mbok. Aku capek dan perutku terasa berat sekali," kata Ratri dengan napas terengah-engah. Susah payah Ratri menempuh perjalanan itu. Dia merasakan perut besarnya semakin berat seolah tidak mau diajak untuk berjalan lagi.

Akhirnya mereka tiba di pintu pagar besi kebun kosong milik keluarga Ndoro Sastro. Tetapi setiap kali Ratri mencoba maju selangkah, bayi dalam perutnya selalu bergerak. Bayi itu seperti mendorong tubuh Ratri ke belakang untuk menahan langkah kaki Ratri agar tidak masuk ke dalam kebun kosong itu.

"Ayo, Nduk. Sudah hampir sampai. Pohon asem tua itu sudah kelihatan," kata Mbok Sum sambil memegang tangan Ratri mencoba untuk memapahnya. Tapi tubuh Ratri terasa begitu berat. Dan bayi dalam kandungan Ratri memberikan reaksi yang semakin kuat juga.

Ada apa, Nak. Kamu tidak mau ke sana? Tapi ini untuk keselamatanmu juga, kata Ratri dalam hati. Ratri masih mencoba memaksakan langkahnya untuk mendekati pintu pagar besi itu.

Tiba-tiba terdengar suara lirih menggema di rongga kepala Ratri. "Ibu ... Ibu jangan pergi ke sana!"

Anak kecil itu datang lagi. Lelembut itu mau menggangguku lagi. Aku harus segera melakukan ritual sesajen untuk baurekso, kata Ratri dalam hati.

Ratri melihat ke sekeliling mencari arah suara tersebut. Tetapi hanya kegelapan malam di antara pepohonan kebun kosong yang terlihat oleh Ratri.

Dia merasa ketakutan yang teramat sangat. Merinding dan keringat dingin keluar di sekujur tubuhnya.

Akhirnya dengan langkah berat dan dipapah oleh Mbok Sum, Ratri melanjutkan perjalanannya. Setapak demi setapak Ratri masuk melewati pintu pagar besi menuju pohon asem tua. Hingga matanya melihat sebuah cahaya api di depan sebuah pohon yang cukup besar. Itulah pohon asem tua keramat tempat bersemayamnya baurekso Wewe Gombel.

Mbok Sum segera berdiri di depan tempat sesajen. Dia menangkupkan kedua tangannya di atas kepala sambil merapalkan mantra-mantra. Malam itu, dengan disinari cahaya lilin di tempat sesajen, lelembut Wewe Gombel menampakkan dirinya dalam wujud sosok manusia tidak sempurna.

Sosok itu adalah Nenek Bongkok yang sudah sangat tua sekali dengan kulit wajah begitu berkeriput dan tubuh membungkuk. Mata bulat menonjol keluar berwarna merah. Rambut putih panjang tampak digelung ke atas. Beberapa pasang payudara memanjang menjulur keluar dari dada dan perut hingga hampir menyentuh tanah.

"Kemarilah Ratri, datang padaku. Datanglah padaku! Serahkan jiwa dan ragamu!" kata Nenek Bongkok itu sambil tertawa terkekeh-kekeh memperlihatkan sepasang taring kecilnya. Dia menjulurkan kedua tangannya ke depan. Bagaikan magnet kedua tangan Nenek Bongkok itu menarik tubuh Ratri.

"Ibu, bertahanlah. Jangan pergi ke sana!" Kembali suara anak kecil menggema di rongga kepala Ratri diikuti gerakan menegang di perutnya.

Siapa kamu sebenarnya? tanya Ratri dalam hati sambil memegang perutnya.

"Aku anakmu, Ibu! Nenek Bongkok itu ingin membunuh ibu dan Kak Ayu. Jangan pergi ke sana, Ibu!" Ratri merasakan bayi dalam perutnya mendorong-dorong tubuhnya ke belakang.

Anakku, Nenek Bongkok itu akan melindungi keselamatan ibu dan kamu, Nak!

Terjadi tarik menarik kekuatan antara Nenek Bongkok dengan anak dalam kandungan Ratri hingga tubuh Ratri bergoyang ke depan dan ke belakang.

"Tidak, Ibu! Nenek Bongkok berniat jahat, akan meminta jiwa dan ragamu! Dia akan meminta kematianmu, Ibu!"

Tidak, anakku! Itu tidak benar ...! Itu tidak benar ...! bantah Ratri dengan paniknya.

"Benar, Ibu! Aku tidak ingin Ibu dan Kakak juga celaka oleh Nenek Bongkok!"

Sesaat kemudian terlihat cahaya kuning keemasan berpendar di perut Ratri. Cahaya itu terlihat meliuk-liuk seperti ular yang menyelimuti perutnya.

Ular tunggon! Tidak! Ular itu pasti akan mencelakai kita, anakku!

"Tidak, Ibu! Dia akan membantu kita!"

Tiba-tiba cahaya kuning keemasan itu melesat keluar dari perut Ratri. Dalam perjalanannya cahaya itu terbelah menjadi dua bagian. Satu meluncur cepat ke arah Nenek Bongkok dan satunya meluncur ke rumah Ratri.

***

Sementara itu malam semakin tinggi. Jam tangan Wibi menunjuk pukul sembilan ketika dia sampai di halaman rumahnya. Tiba-tiba terdengar teriakan Bi Warsi memanggil-manggil nama Ratri dan Ayu. Wibi bergegas masuk rumah dan menuju kamarnya.

Kosong ...! Dia tidak mendapati Ratri di sana. Segera Wibi berlari menuju kamar Ayu. Dilihatnya Bi Warsi duduk bersimpuh di lantai dekat tempat tidur Ayu. Dia menangis sambil terus memanggil nama Ayu. Pandangan matanya ke atas memperhatikan sesosok tubuh yang terbaring tetapi melayang di atas tempat tidur.

"Ayu ...! Bi Warsi ...! Apa yang telah terjadi pada Ayu?" Wibi segera meloncat ke tempat tidur Ayu.

"Ndoro Sum ... Ndoro Sum akan mengorbankan Den Ratri dan Ndoro Ayu!" jawab Bi Warsi.

Sementara tubuh Ayu perlahan naik semakin tinggi. Wibi meraih kaki Ayu untuk ditariknya turun kembali. Tetapi tidak bisa! Tubuh Ayu seperti tertambat pada tali di langit-langit kamarnya.

"Ayu ...! Ayu ...! Bangun Ayu! Sadarlah! Ini ayah ...!" teriak Wibi panik karena tubuh Ayu tidak bisa ditarik ke bawah kembali. Sepertinya tubuh Ayu akan di tarik menuju pohon asem tua setelah Ratri dapat dijadikan tumbal di sana.

Tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba seberkas cahaya kuning keemasan datang menembus langit-langit kamar meluncur cepat menuju tubuh Ayu. Cahaya itu menyelimuti tubuh Ayu dan perlahan mendorongnya kembali ke bawah. Ayu kembali terbaring di tempat tidurnya. Matanya masih terpejam. Sementara cahaya itu masih terlihat menyelimuti tubuh Ayu.

"Apa yang sebenarnya telah terjadi?" tanya Wibi pada Bi Warsi, "Ratri ...! Ratri ke mana, Bi Warsi?"

"Den Ratri tadi pergi bersama Ndoro Sum. Cepat, Den Wibi! Selamatkan Den Ratri. Biar Bi Warsi yang jaga Den Ayu di sini," jawab Bi Warsi disela-sela tangisannya.

"Baik, Bi! Aku tahu ke mana Ratri dan Simbok pergi." Wibi segera meninggalkan rumah. Dia berlari menembus gelapnya malam menuju kebun kosong di tepi Sungai Bengawan Solo.

***

Sementara itu di kebun kosong tepi Sungai Bengawan Solo, satu bagian lain dari cahaya kuning keemasan ular cahaya itu meluncur cepat meliuk-liuk menerjang tubuh Nenek Bongkok. Cahaya itu kemudian mematuk-matuk dan melilit tubuhnya. Baurekso Wewe Gombel dalam wujud setengah manusia bungkuk itu hanya bisa bergerak lamban sehingga tidak bisa mengimbangi gerakan ular cahaya itu.

Lilitan itu semakin kuat hingga Nenek Bongkok pun kewalahan. Kedua tangannya berusaha meraih tubuh ular cahaya yang melilit tubuhnya. Tetapi tidak berhasil. Nenek Bongkok benar-benar terdesak. Secepat kilat ular cahaya itu mematuk lagi dan menancapkan taringnya. Taring itu menancap kuat di bahu Nenek Bongkok dan mengeluarkan bisa racun berwarna keemasan. Perlahan-lahan bisa racun itu masuk ke dalam tubuh Nenek Bongkok, menjalar menuju kedua tangan dan tubuh Nenek Bongkok bagian bawah.

Tubuh Nenek Bongkok yang semula berwarna coklat kotor itu perlahan-lahan berubah menjadi kekuning-kuningan kecuali kepalanya. Nenek Bongkok meronta sekuat tenaga. Tapi ular cahaya itu semakin menguatkan lilitannya.

Terlihat kepala Nenek Bongkok mendongak ke atas dan mengeluarkan suara lengkingan yang menyayat hati. Perlahan-lahan kepala itu berpendar dan mengeluarkan cahaya putih keperakan. Rambut yang semula tergelung ke atas perlahan terurai dan tergerai memanjang berkibar ditiup angin. Dan secara tiba-tiba rambut itu bergerak turun menutupi dan menyelimuti tubuh Nenek Bongkok. Kini tubuh Nenek Bongkok tertutup helaian rambut putih keperakan.

Sebagian helaian rambut itu kemudian menyerang dan menusuk-menusuk tubuh ular cahaya. Ular itu menggeliat dan melepaskan gigitannya. Lilitan ular cahaya perlahan mengendur dan terlihat berkas-berkas cahaya memancar dari tubuh ular yang berlubang terkena tusukan rambut itu. Semakin lama semakin banyak berkas cahaya yang terpancar dari tubuh ular itu. Akhirnya tubuh ular cahaya pecah berkeping-keping.

Sedangkan tubuh Nenek Bongkok berubah menjadi bentuk aslinya. Yaitu Wewe Gombel berwarna putih keperakan, berwujud sesosok perempuan muda dan cantik. Matanya bulat besar. Sepasang payudara yang juga besar menggantung hingga perutnya. Rambut putihnya terurai memanjang di bagian depan tubuhnya dan hanya bisa menutupi sebagian dari payudara besarnya.

*****

Próximo capítulo