Kwak...! kwak...!
Dua burung camar terlihat terbang di atasnya.
Angin bertiup asin saat kapalnya berlabuh. Membopong koper coklatnya, Lily berjalan menuruni dek kapal.
Bajunya yang berumbai bergoyang tertiup angin sepoi-sepoi, dan tanganya segera menangkap topi hitam yang hendak terbang dari rambut lurusnya. Mengangkat dagu, bibir merahnya sedikit terbuka selagi menghirup udara baru di pelabuhan yang pertama kali ia singgahi itu.
"Dimana ini?"
Matanya mulai mengamati sekitarnya.
Sungguh sederhana, namun mengapa perdagangan disini begitu ramai? Lapak yang hanya di buka dengan kain, juga berbagai orang yang berkumpul di pelabuhan ini. Tiongkok, Inggris, Arab, India, Portugis, dan juga... pribumi dari daerah lain? Bagaimana bisa mereka semua berkumpul di tempat yang terkesan amat sederhana seperti ini?
Ini bukanlah dermaga tujuannya, namun malam akan segera tiba sehingga ia memutuskan untuk mencari penginapan.
Tempatnya ternyata tak terlalu jauh dari dermaga, lalu terdapat juga rumah makan yang lebih akrab di panggil warung oleh orang setempat di sekitar daerah itu. Warung yang tak terlalu bising oleh kesibukan dermaga meskipun memiliki lumayan banyak pengunjung, dan juga mereka menyediakan berbagai menu lokal dan menu dipengaruhi pedagang asing. Salah satunya teh yang sedang dinikmati Lily, sang pemilik warung mengatakan bahwa minuman berwarna merah yang terasa sedikit pahit namun menenangkan itu, diperkenalkan salah seorang pedagang Tiongkok.
Sungguh tempat yang menarik pikir Lily, meskipun tujuan sebenarnya bukanlah di sana. Namun, mungkin tak ada salahnya untuk tinggal beberapa hari lagi di sana untuk mengabadikannya dalam tulisan.
§
Sunda Kelapa, 1619 di penghujung April.
Sungguh ramai di bulan apapun juga, pelabuhan sederhana yang kebetulan berlokasi sangat strategis di belahan dunia ini, Lily mulai menggerakan jemari dengan sebuah pena khas yang ia bawa dari kampung halamannya.
Sudah sebulan lebih Lily mulai tinggal di sini, dan menuliskan keunikan tempat tersebut. Banyak hal yang berbeda dari Amsterdam, sungguh unik dan menarik untuk di tulis. Bahkan hingga hampir sebulan ini jemarinya tak bosan mengabadikan segala yang ia temui.
Budayanya, penduduknya, makanan dan minumannya, bahkan hingga para pendatang yang bertukar barang dagangan disini. Sungguh tak pernah Lily temukan di belahan dunia lain yang pernah ia kunjungi.
Lalu masa dimana kehidupan politik mulai dapat terlihat. Sungguh berbeda dari politik yang pernah ia baca dan temui, bahkan yunani kuno pun dimana polis dijalankan oleh seluruh masyarakatnya di Athena atau kota militer Sparta yang keputusannya tetap di musyawarahkan oleh warganya kaum Spartiate, meskipun dijalankan oleh satu komando dari sang raja Leonidas.
Pangeran Jaya Karta namanya, pemegang kekuasaan monarki yang mau turun langsung bahkan pada kasta paling bawah untuk menyelam dan benar-benar memahami permasalahan rakyatnya. Mungkinkah masih banyak pemimpin seperti ini? gusar Lily dalam benak.
Beberapa minggu pun berlalu, ia masih disana mengagumi dan mengabadikan kota pelabuhan kecil itu dalam tulisan tangannya. Sungguh menarik kota ini, bahkan keadilan dagang pun diberikan bagi pendatang dari negeri asing. Begitu juga dengan negerinya, meskipun awalnya ia dengar hanya selebar sepetak tanah di pinggir sungai Ciliwung.
Namun sekarang, pastilah Ibunya akan bahagia di sana karena banyaknya berbagai macam rempah yang dapat mereka kirim kesana. Mereka, yang kini mengatasnamakan sebagai Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC itu. Akhirnya dengan kebijaksanaan dan kecerdasan pemimpinnya Tn. Pieterzcoon yang terhormat, dapat memperoleh tanah yang lebih luas dan bisa mengangkut berbagai macam hal ke kampung halamannya.
Ia juga mendengar dari surat Ibunya kalau di sana, Tn. Pieter dianggap bak seorang pahlawan. Lily pun beberapa kali menemuinya dan begitu terpesona dengan kebijaksanaannya dan pandangannya kedepan. Sungguh orang yang luar biasa, setidaknya hingga penghujung bulan itu.
Lalu Lily mulai merasakan hal yang tak beres, ia yang sering berkeliling dan mengagumi kota itu mulai menyadarinya. Jumlah petugas keamanan VOC, tidakkah ini terlalu banyak? Bahkan mereka semua dipersenjatai lengkap dengan senjata api!
Apakah begitu berbahanya arus perdagangan akhir-akhir ini? berbagai pertanyaan silih berganti mengusik Lily. Namun yang dapat ia lakukan hanyalah menulis, dan ia percaya akan jurnalistik yang ia tekuni itu.
Hingga kemudian ia memutuskan untuk tetap menuliskannya tepat seperti apa yang ia rasa dan ia lihat. Dan tepat seperti yang ia duga, banyak yang meragukan tulisan tangannya itu. Membual kata mereka, bukan hanya dari kampung halamannya, bahkan kerabat dan kenalannya di negeri lain. Ia sendiri pun juga ingin meyakini kalau semua yang ia lihat hanyalah pikiran berlebihnya saja. Hingga malam itu tiba, malam di mana VOC bergerak.
30 Mei 1619, Jayakarta.
Teriakan terdengar di mana-mana, api menari menghangatkan malam. Lily yang keluar dari penginapannya melihat di kanan kiri letupan demi letupan terus menerus beriringan seperti paduan suara yang tak dipandu dirijennya.
Hatinya menangis, menangis amat keras. Namun apa yang ia bisa perbuat, ia hanya seorang jurnalis muda yang tanpa sengaja singgah di kota itu. Kulitnya pun sama seperti serdadu-serdadu yang menyanyikan lagu pembantaian itu. Bahkan dirinya pun seakan di selamatkan dan menjadi satu bagian dari mereka karena kebangsaannya.
Lily tertegun, tak seperti ini cara orang-orang kampung halamannya yang ia kenal itu pikirnya. Kenapa sampai jadi seperti ini? Benarkan ini kebijakan para petinggi di negrinya itu, ataukah ini hanya ulah segelintir orang yang mengatas namakan negerinya.
Namun tak sempat ia berpikir para pelindung wilayah setempat segera tiba. Lily berkaca-kaca melihatnya, meskipun ia berdiri di tempat yang berseberangan seakan di lindungi oleh para tentara VOC, namun setidaknya bila ia mati di sana tertebas pedang-pedang pelindung Jayakarta itu, kota pelabuhan yang selama ini ia kagumi itu masih dapat kembali pulih.
Pedih ia melihat, tentara yang berkulit dan bermata sama seperti dirinya tertebas satu-persatu. Namun tak apa, dengan begini senyum dan tawa itu akan kembali, suasana khas yang damai dan tentram itu akan tetap terjaga.
Lily menutup matanya selagi tertumpu di tanah dengan kaki yang terlipat. Namun ternyata para serdadu setempat hanya melewatinya, mereka berniat mendorong para serdadu VOC itu untuk mengusirnya pulang dengan kapal mereka tanpa menumpas habis mereka.
Tetapi semua itu tak bertahan lama, malam itu bulan memerah, dan menetes seperti darah kental di langit malam.
Berdengung, auman serigala merah memekanan telinganya. Lalu satu persatu kelelawar seukuran manusia memungut para tentara setempat itu untuk dicabik di udara.
Lily yang masih tertumpu di lipatan kakinya hanya bisa tertegun dan terbelalak. Hatinya menangis dan berteriak, namun tak ada yang dapat di lakukannya. Semua yang ia tuliskan, semua yang ia takutkan ternyata benar.
Dalam beku itu ia berbisik dalam hatinya, setidaknya seorang saja dengarlah, mengertilah, tangkaplah. Jangan biarkan semua itu berakhir seperti ini, jangan biarkan semua ini menjadi seperti ini. Nuraninya menjerit sakit.
Lalau saat itu, saat salah satu monster di langit malam itu hendak menukik untuk membungkamnya selamanya. Sosok gadis yang bercahaya lembut itu muncul.
Seakan membuat waktu benar-benar terhenti, sosok itu mengambang di udara selagi rambutnya bergelombang.
Lalu perjanjian pun ia tawarkan, suatu perjanjian yang akan memberikannya kekuatan untuk dapat mengambil tindakan. Suatu perjanjian yang dapat mewujudkan keinginannya untuk memulihkan tempat yang ia cintai. Suatu perjanjian yang akan memberikan suatu anugrah, dengan ganti.
Melayang sosok itu berbicara dengar lembut di depan Lily.
"Bagaimana, aku akan memberikan pada mu kekuatan untuk melawan. Kau dapat menyelamatkan mereka dengan tangan kurus mu itu, tetapi sebagai gantinya."
Sang sosok terhenti sejenak sambil mendekat dan mengambil tangan Lily dengan kedua tangannya.
"Maukah kau untuk berjuang?"
Sungguh bias bukan permintaan ini? demikan pikir Lily sejenak. Berjuang untuk apa? Agar apa? Dan untuk siapa? Lalu sosok itu melanjutkan kata-katanya.
"Maukah, kau berjuang untuk hati mu yang menjerit, untuk masa depan yang kau impikan, untuk sesuatu yang berharga bagi mu...."
Terhenti sejenak sebelum kemudian air mata hangat mulai menetes di pipi Lily. Mata yang tadi terbelalak itu sekarang telah berubah berkaca-kaca. Hawa dingin mencekam yang baru saja terus menerornya pun segera berganti dengan rasa hangat yang menenangkan.
Lalu Lily membulatkan tekadnya, ia tutup matanya untuk mengusap air mata itu, lalu di bukanya kembali untuk memandang sosok itu dan mengatakannya.
"Iya, aku mau"
Segera cahaya terang melingkupi dirinya, menyebar kesekelilingnya dan membentuk ratusan kupu-kupu api berterbangan mengitarinya.
§
Tiga bulan berlalu sejak kejadian itu.
Lily gagal menghentikannya, ia hanya mampu menyelamatkan dirinya saja tanpa bisa memperdulikan yang lain. Hal itu membuat Lily terpukul akan kelemahannya.
Setelah malam itu VOC memutuskan untuk membumi hanguskan kota lama, seluruh infrastrukturnya benar-benar diratakan dan diganti dengan berbagai bangunan baru ala eropa, dan namanya pun berubah menjadi Batavia.
Namun Lily masih terus menunggu selagi menyembunyikan identitasnya dan mengamati dari kejauhan. Berharap, hatinya terus berkata kalau semua ini belum berakhir, masih ada yang harus ia lakukan.
Lalu siang itu tiba, saat ia sadar kalau rakyat pribumi masih hidup. Tak semuanya dibumihanguskan. Di pinggiran kota Batavia ia mendengar dua orang tentara yang mabuk di salah satu bar. Mereka membicarakan soal seorang gadis yang bercahaya, gadis yang dapat menghapuskan kutukan perubahan wujud monster.
Terdiam Lily melihat suatu harapan, ia kemudian berpikir akan apa yang dapat ia lakukan. Haruskan ia segera menyelamatkannya sendirian, apa hal paling tepat yang dapat ia lakukan?
Lalu mengikuti kata hatinya, jemarinya kembali ia gerakan. Perlahan namun pasti, secara tersirat ia berteriak meminta pertolongan. Kemudian saat itulah ia bertemu para Pitung yang memiliki perasaan yang sama seperti dirinya. Rekan yang memahaminya, rekan yang mau berjuang bersamanya.
Seiring waktu ia pun terus berjuang bersama mereka. Suka duka mereka lewati bersama. Bertemu berbagai fakta baru selagi memahaminya dan menelusurinya lebih jauh. Melakukan berbagai upaya klandestin penyelamatan warga pribumi dan kaum tertindas. Menggagalkan berbagai upaya buruk VOC. Lalu, menemukan cinta.
Ia terus mekar dan berlari tanpa henti, dengan tulus bagaikan langit ungu di gelapnya malam.
Coba baca kembali prolog buku pertama ini, mungkin kalian akan menemukan suatu kejutan.
Dan jangan lupa cek kolom komentar...
Salam dari penulis. :)