Kilatan lampu blitz tidak pernah berhenti begitu Istvan melangkah dengan gerakan yang anggun di atas panggung, ia melenggang lenggok dengan mata yang tertuju lurus ke depan, rambut pirang yang indah berayun seiring dengan langkah kakinya.
Dia adalah model kecil, kesempatannya untuk tampil tidak banyak, hanya ketika ia mengenakan gaun yang dirancang oleh Luna, mata semua orang seakan tertuju padanya.
Istvan berhenti di ujung panggung, tidak menampilkan senyuman sedikit pun dan berpose, membiarkan juru kamera mengambil gambarnya dan beberapa orang di belakangnya menilai.
Istvan tidak tahu hasilnya, tapi melihat pengalamannya yang mengenakan gaun Luna di acara tahunan yang mendapat respon bagus membuat ia merasa lebih percaya diri.
Istvan kemudian berbalik, berjalan kembali ke belakang panggung.
"Kau luar biasa!" seru Luna sembari mengulurkan tangannya ke arah Rachel.
Wanita bermata biru itu tersipu, menyambut uluran tangan Luna. Hari ini Luna sengaja datang untuk membantu Istvan dengan gaun-gaunnya.
Sebagai seorang perancang yang namanya baru saja dikenal sebagian orang, Luna perlu menunjukkan dirinya untuk mendukung Istvan, sialnya hari ini Aodan sangat bertingkah dan tidak mau berubah, alhasil Luna membawa seekor kadal hitam di dalam tasnya.
"Terima kasih," sahut Istvan dengan senyum tipis, ia melepas sepatunya dan buru-buru ke ruang ganti.
Jennie sudah menunggunya sembari menyiapkan minuman dingin.
"Kau harus mengenakan dua gaun lagi, ayo minum dulu."
Istvan melihat gaun yang telah disiapkan oleh Luna, ia mengangguk dan membiarkan mereka membantunya mengenakan gaun yang baru.
Semua orang sangat sibuk, tidak ada yang memperhatikan tas besar Luna yang terletak di sudut ruangan, sebuah kepala hitam menjulur keluar dan melihat ke sekitar dengan penasaran.
Sang kadal hitam melihat Luna yang sibuk membantu Istvan, ia menatap wanita bermata biru itu dengan seksama.
Kadal hitam itu merayap keluar dari tas tanpa diketahui oleh Luna, jatuh ke atas lantai dan bergerak dengan cepat ke bawah meja.
Suasana di sini sangat sesak, penuh dengan napas manusia. Aodan tidak suka ini.
Istvan di sisi lain memutar tubuhnya, keningnya berkerut ketika melihat ada ekor yang bergerak-gerak dari bawah meja.
"Apa ruang ini tidak dibersihkan?"
"Tentu saja dibersihkan, jangan bicara yang tidak-tidak." Jennie menggelengkan kepalanya dan mengambil sepatu yang sudah disiapkan.
"Tapi kenapa ada ular di sini?"
Luna langsung mengikuti arah pandang Jennie menuju ke bawah, ia tersentak kaget dan buru-buru berjongkok.
"Ah, itu ular!" teriak Jennie kaget, ia melompat naik ke atas kursi. "Istvan, panggil petugas keamanan segera! Bagaimana bias ada ular di sini, seseorang harus bertanggung jawab!"
"Tidak, jangan panggil petugas keamanan!" Luna mengulurkan tangannya dan menarik si kadal hitam dengan cepat.
Jennie memekik heboh, Istvan menjauh mundur karena benar-benar mengira itu adalah ular betulan.
"Tenanglah, ini peliharaanku."
Luna tersenyum tipis, ia mengangkat seekor kadal berwarna hitam yang menggeliat ingin lepas. "Dia sakit dan sangat suka kabur, jadi aku harus membawanya ke sini, aku jamin dia tidak akan berani menggigit."
"Kau yakin?" tanya Jennie dengan tidak percaya, melihat kadal hitam yang ukurannya hampir sepergelangan tangan Luna itu membuatnya ngeri, terutama ketika mata emas itu melotot ke arahnya.
"Aku jamin. Kalau kadal ini menggigit, aku akan melemparnya keluar segera."
Luna melirik Aodan yang mendesis, ingin sekali bebas dari cengkeraman tangan Luna.
Istvan melirik jendela yang sedikit terbuka, jarak jendela ke bawah sana cukup jauh mengingat sekarang mereka berada di lantai sebelas.
"Oke, oke …."
Jennie akhirnya sedikit tenang, ia kemudian membawa Istvan untuk segera naik ke atas panggung. Luna masih menggenggam kadal hitam di tangannya dengan gemas.
"Bukannya aku sudah bilang jangan keluar dari tas? Kau hampir membuat semua orang ketakutan! Dan juga … kenapa kau tidak berubah? Marah lagi?"
Aodan mendesis, ekornya mengibas menampar tangan Luna, kadal itu sepertinya kembali lagi dalam mode merajuk tanpa Luna tahu alasannya apa.
Luna tidak ambil pusing, tidak lama kemudian Istvan datang lagi untuk berganti, mata birunya melihat kadal hitam yang membelakanginya.
"Peliharaanmu sangat jinak."
"Yah, abaikan saja dia."
Luna bergerak memakaikan gaun ke tubuh Istvan, model itu langsung keluar menuju panggung.
Aodan masih tidak berbicara, ia memejamkan matanya seolah sedang tidur. Luna memilih untuk merapikan barang bawaannya dan segera pulang sebelum merajuknya Aodan menjadi lebih buruk.
"Luna!"Jennie tiba-tiba saja masuk dengan mata yang berbinar. "Ada wartawan yang ingin wawancara denganmu, ini kesempatan yang bagus untuk mengenalkan karya-karyamu!"
"Benarkah?" Tanya Luna dengan tidak percaya.
"Ya, ayo ikuti aku!"
Mata Luna menjadi berbinar-binar, ia merapikan rambutnya dan bergegas mengikuti Jennie, meninggalkan seekor kadal hitam yang tergeletak di atas meja.
Aodan mencibir dalam hati, Luna bahkan ingat membawa tasnya pergi, tapi tidak ingat dengan dirinya, sepertinya kemarin Luna tidak benar-benar tulus meminta maaf padanya.
Kadal hitam itu dengan marah memukul ekornya ke atas meja, merasa menyesal mengikuti Luna ke tempat ini, seharusnya ia tetap diam di rumah dan menakut-nakuti Bibi Hannah saja.
Suasana ruang ganti milik Istvan menjadi sunyi, hanya suara hiruk pikuk diluar yang samar terdengar disertai alunan musik, Aodan tidak berminat menyusul Luna, ia lebih memilih menunggu di sini.
Ekor si kadal hitam itu mulai mengendur, terkulai di atas meja. Matanya yang berwarna keemasan mulai meredup.
KLEK!
Suara pintu terbuka terdengar, Aodan terlalu malas untuk melihat siapa yang datang.
"Luna?" tanya Istvan dengan bingung saat menemukan Luna benar-benar tidak ada di ruangannya, kemudian ia menghela napas dan mengganti pakaiannya dengan tenang.
Aodan tidak bergerak, tapi telinganya masih mendengar bagaimana satu persatu pakaian yang melekat dari tubuh sang model jatuh ke atas lantai.
TUK … TUK … TUK ….
Ketukan sepatu dengan langkah yang teratur mendekat, suhu ruangan perlahan-lahan menjadi turun dan jendela yang tadinya terbuka sedikit menutup dengan gerakan yang amat pelan.
Aodan masih tidak bergerak, tapi jelas ia merasakan keanehan yang terjadi di sekitarnya.
Aroma parfum yang lembut menguar di udara dan entah kenapa terasa sangat familiar, sebuah tangan menapak ke atas meja dan rambut yang panjang perlahan-lahan jatuh ke atas tubuh si kadal hitam.
"Ternyata itu kau, Aodan."
Sontak sepasang mata emas langsung terbuka dan mendongakkan kepalanya ke atas, Aodan langsung dihadapkan dengan sepasang mata biru yang berkilat seperti batu saphire yang ada di lautan terdalam di dunia ini.
Istvan menjatuhkan tangannya ke atas ekor Aodan, menekannya dengan kuat. Raut wajahnya tidak memiliki ekspresi yang berarti, seolah ia telah melihat sesuatu yang amat biasa.
Mungkin juga Istvan terlihat sedikit bosan dan muak.
"Kenapa kau belum mati?"