webnovel

Kamar Ini Milikmu Sekarang

"Bagaimana, Alexa? Jumlah yang kau terima bahkan lebih kecil dari pelacur pada umumnya. Kau masih mau bekerja di sini atau kukembalikan pada Mrs. Ruth dan hidup di jalan?" Dan menaikkan tarifnya sebagai pelacur, kemudian hidup mewah karena menjadi simpanan. Itu bukan jalan hidup yang buruk, bila yang kau cari adalah harta.

Skylar tahu apa yang akan dipilih perempuan itu. Penilaiannya tidak akan salah.

Terbukti dengan Alexa yang buru-buru menjawab dengan wajah panik. "Tidak—jangan! Saya … saya tidak ingin kembali ke sana. Seribu pounds sudah lebih dari cukup."

Tentu saja lebih dari cukup. Seumur hidupnya, uang terbanyak yang alexa dapat hanyalah 200 pounds. Jika dibandingkan dengan seribu pounds, dia bisa membeli apapun yang dia inginkan. Apalagi dengan tambahan fasilitas lain, seperti tinggal di hotel mewah dan dapat makanan gratis setiap harinya, seribu pounds adalah jumlah yang sangat banyak. Tak ada yang perlu dikeluhkan dari itu semua.

Senyum tipis muncul di wajah Skylar. Dia sudah menduganya. Dia tahu kalau gadis itu amat enggan bekerja di tempat pelacuran. Makanya, mendengar jawaban itu saja sudah membuatnya puas. Skylar lantas meremas bungkus makanan yang sudah dihabiskannya, kemudian berdiri dari kursi.

"Habiskan makananmu, setelah itu kutunjukkan kamarmu."

Alexa yang sama sekali belum menyentuh makanannya, kembali menunduk dan membalas lirih, "Boleh saya habiskan di kamar saja?"

"Lakukan sesukamu." Sebuah dengusan pun terdengar setelahnya. Tanpa menunggu lagi, Skylar membuang bungkus makanan dan mengembalikan obat di atas meja kembali ke tempatnya, baru mengambil tas di atas kursi dan mulai berjalan menuju tangga di depan lift.

"Sophie, kemari."

Pemuda itu berjalan keluar dari ruang makan, mematikan lampunya, sembari membawa barang milik gadis itu di tangannya. Lampu koridor menyala otomatis ketika dia berjalan melewatinya, diikuti oleh anjingnya yang melangkah tanpa suara. Dia memastikan gadis itu mengikutinya dan tidak tertinggal, selagi memberikan penjelasan mengenai denah kamar yang tergolong amat besar itu. Dia tidak butuh diganggu pagi-pagi hanya karena gadis itu tidak tahu apa-apa soal rumahnya dan justru berbalik mengacau alih-alih melakukan tugasnya.

"Tempat tadi, ruang makan, dan seperti kau bisa lihat, dapur ada di sebelahnya. Masuk dapur melalui pintu ini, kau tahu itu. Di sebelah dapur, pintu ini—" Pemuda itu berjalan sembari menunjukkan pintu menuju ke dapur, kemudian berpindah menunjuk ke pintu yang terletak di sebelah pintu dapur, "—ini adalah ruang laundry. Cuci baju, gunakan mesin cuci di sini. Keringkan dengan pengering di sebelahnya, sabun cuci ada di rak di atasnya. Ada lemari kecil di situ dan kau akan menemukan penyedot debu, tumpukan lap, dan segala alat bersih-bersih."

Pemuda itu terus melanjutkan perjalanannya sembari memberikan penjelasan, semacam tour guide memberikan pengertian pada turis yang sedang mengelilingi Buckingham Palace. "Lift, kau tahu. Kita masuk dari sana. Lift itu hanya akan membawamu ke lobi, lantai ini, dan dua lantai di atas. Kau bisa turun ke bawah, tapi tanpa kartu akses kemari, kau tidak akan bisa naik. Gunakan tangga bila ingin ke atas. Jelas?"

Setelah koridor sempit, mereka sampai di ruang kosong yang hanya berisikan tangga besar melingkar yang akan membawanya ke lantai di atas. Skylar menunjuk ke arah area tak jauh dari lift, di mana terdapat pintu ganda yang tertutup rapat di sana. "Pintu masuk. Makan siang akan diantarkan jam setengah satu dan makan malam pukul tujuh. Pelayan akan membawakan makanan lewat sana, buka saja pintunya bila ada yang membunyikan bel pada jam-jam itu.

"Di tempat itu ruang keluarga. Tidak banyak apa-apa di sana, hanya akses menuju balkon, sofa, dan pianoku, itu saja. Jangan lupa menutup tirai jendela di malam hari. Oh, dan rak buku, kau boleh meminjam dan membaca buku-buku yang ada di sana bila mau, Alexa." Skylar mengacu pada ruangan besar yang terlihat gelap sembari berjalan menuju ke arah tangga. "Teknisnya, kau bebas melakukan apapun setelah selesai dengan pekerjaan harianmu."

Tungkainya mengayun menaiki tangga menuju ke atas. Lampu di sepanjang koridor menyala otomatis ketika dia sampai di lantai dua. Pemuda itu bisa melihat ruang keluarganya yang gelap dari tempatnya berdiri sekarang, namun diabaikannya dan dia terus berjalan. Di ujung terdapat lift, di kiri lift terdapat pintu ganda, dan sisi kanan terdapat sebuah pintu. Tempat yang akan menjadi kamar gadis itu, namun dilewatinya terlebih dahulu.

Pemuda itu membelok ke kiri dan memasuki ruangan yang dibatasi oleh pintu ganda. Dinyalakannya lampu ruangan tersebut, menampilkan ruang keluarga dengan ukuran yang lebih kecil daripada ruangan di bawah. Pemuda itu berjalan, melewati meja makan berukuran lebih kecil dengan empat kursi, tangga menuju ke lantai tiga, juga sofa empuk dan televisi yang terpasang di dinding. Di bawahnya terdapat rak kaca dengan macam-macam gaming console miliknya dan beberapa kaset.

"Game milikku." Singkat, sekadar mengingatkan pada gadis itu untuk tidak sembarangan menyentuhnya. Skylar kemudian menunjuk ke ruangan dengan pintu kaca. "Ruangan kecil itu milik Sophie, kau bisa menemukan makanan anjing di rak. Biarkan saja pintunya terbuka."

Skylar kemudian membuka pintu ganda dan memasuki ruangan lain. Lampunya dinyalakan, hanya untuk menemukan meja di sudut dan rak buku, serta dua pintu lain. "Ini kamarku. Di sini ruang kerja milikku, meski jarang kupakai. Aku lebih sering berada di lantai tiga. Di balik pintu ganda itu, ada kamar tidurku, rapikan setiap hari. Dan pintu yang satunya adalah ruangan berisi pakaianku. Kau bebas masuk kemari, tapi ketuk pintu sebelum masuk ke ruang tidurku."

Dibukanya pintu menuju kamar tidurnya yang gelap, memasukinya dan menyalakan lampu. Anjingnya mengikuti dengan riang, menyalak pelan beberapa kali. Sophie kemudian melangkah meninggalkannya dan langsung melompat ke kasur, duduk melingkar pada tempatnya yang biasa. Sementara sang pemuda berbalik dan menatap Alexa.

"Ada pertanyaan sebelum kutunjukkan kamarmu?"

Alexa yang melihat sekitar dengan pandangan takjub, buru-buru menggeleng. "Tidak ada," balasnya lirih. Dia masih merasa kagum dengan ruangan sebesar ini. Jika ruangan hotel ini disewakan pada tamu, kira-kira berapa tarifnya satu malam?

Setelah memastikan bahwa gadis itu tidak mempunyai pertanyaan lebih lanjut terhadap apa-apa saja yang baru dia jelaskan, Skylar kemudian meninggalkan anjingnya yang duduk melingkar di kasurnya dan keluar dari kamar. Dia menanti pelayan barunya untuk mengikuti, kemudian menutup pintu kamarnya dan kembali menyusuri ruangan yang baru dia lewati beberapa saat lalu.

Dia berjalan tanpa bicara, melangkah menyeberangi ruangan tempat di mana dia biasa bermain game dan menonton televisi. Kakinya terus melangkah melewati tangga menuju ke lantai tiga dan meja makan dengan empat kursi, membuka kembali pintu ganda menuju ke dekat lift. Langkahnya berhenti di depan pintu tunggal dekat lift yang menghubungkan kamarnya dengan lobi, kemudian membuka pintu tersebut dan masuk ke dalam sebuah ruangan yang gelap.

Pemuda itu menyalakan lampu yang langsung menerangi ruangan yang dimasukinya. Dia menemukan dirinya sedang berdiri di sebuah kamar lain yang berukuran lebih kecil daripada kamarnya. Jauh lebih kecil dan terlihat sedikit sempit. Dengan dua kasur berukuran double bed yang rapi seakan nyaris tak pernah disentuh, sebuah televisi yang tertempel di dinding dan rak kecil di bawahnya, sebuah lemari berukuran cukup besar, juga lampu pada tiap sisi tempat tidur. Didorongnya pula pintu di dekat lemari yang menampakkan kamar mandi berukuran kecil.

Pemuda itu berjalan mendekati sisi ruangan yang terdapat jendela besar. Dibukanya tirai jendela yang tadinya tertutup rapat, menampilkan pemandangan City of London dan lampu-lampu yang menyala sepanjang malam.

Distrik bisnis di mana hotelnya berada tidaklah terlalu ramai seperti pusat kota pada tengah malam seperti sekarang, namun tetap saja indah, kata sebagian orang yang dia tahu berani membayar mahal untuk tinggal di tempat dia berdiri sekarang. Meski diakuinya, dia sendiri terlalu bosan melihat pemandangan yang sama setiap hari hingga lebih sering bersikap tak acuh dan menutup jendela kamarnya. Pemandangan itu adalah pemandangan tidak istimewa bagi sang pemuda.

"Mulai sekarang tempat ini adalah kamarmu," katanya singkat, kemudian meletakkan tas milik sang gadis di lantai berkarpet dan memandang pelayannya lekat-lekat. "Kau bebas menggunakannya asal tidak merusak apapun di sini. Kamar mandimu, kau sudah lihat. Tempat tidur, lemari, rak, televisi, terserah mau kau pakai seperti apa. Kamar ini milikmu sekarang."

Próximo capítulo