"Aku bener-bener pengen ketemu sama cowok yang namanya Bastian itu," kata Vero sambil menyuapkan salad buah ke mulutnya. Hari ini seperti biasa Vero mengajak Kirana, Mita dan Yudhistira makan siang bersama. Dan tempat makan mereka adalah kafetaria rumah sakit.
Vero sampai bosan setengah mati makan di kafetaria. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak punya pilihan tempat makan lain. Yudhistira, Mita dan Kirana selalu sibuk di rumah sakit. Jarang punya waktu ke mall ataupun kafe.
"Aku pengen banget ketemu sama cowok yang udah membelamu di depan si Jalang Miranda dan membantu ibu Leon itu," lanjut Vero.
"Sebaiknya enggak usah," cibir Kirana.
Vero menghela napas kesal. "Emang kenapa? Aku gak berencana merebut Bastian dari kamu kok. Lagian aku pengen ketemu sama orang baik yang selama ini udah nolong kamu eh malah kamu tolak cintanya."
Vero masih kesal dengan berita-berita yang ia baca di internet tempo hari.
"Aku setuju sama Vero, Kir," sahut Mita. "Aku juga pengen ketemu si Bastian itu. Tapi kalian berdua memang gak ada hubungan nih?"
Tempo hari Kirana belum menjawab dengan gamblang soal hubungan antara dirinya dengan Bastian. Mita masih penasaran soal itu.
"Enggak. Aku gak pacaran sama dia," jawab Kirana sambil mengaduk-aduk tehnya.
"Tapi dia bantuin kamu selama ini. Mulai dari ngaku sebagai pacarmu di depan Tante Liz dan Miranda. Mau-maunya nolong ibu Leon. Dan terakhir membalas ayah Leon yang udah mukul kamu. Aku rasa si Bastian itu benar-benar menyukaimu," Mita menganalisa.
"Aku setuju. Gak ada cowok yang mau bantuin cewek sebanyak dan sebesar itu kalau gak ada perasaan apa-apa," Vero menimpali.
Kalau boleh jujur, Kirana senang waktu Bastian mengaku sebagai pacarnya. Ia juga sangat terharu ketika Bastian menolong ibu Leon. Belum pernah terpikir di otaknya kalau Bastian juga memberi pelajaran pada ayah Leon yang telah memukulnya.
Tapi… Ia merasa tidak cukup pantas bersanding di sebelah pria itu. Bastian terlalu sempurna untuk menjadi pacar Kirana. Dia tampan, rendah hati dan pekerja keras.
Kedua, pacaran dengan pria kaya itu sungguh merepotkan. Kirana tidak terlalu menyukai hubungan dengan banyak lampu sorot dan harus masuk lingkungan pertemanan sosialita. Dia memimpikan hubungan sederhana.
"Ngawur kalian. Udah deh," Kirana frustasi.
"Aku harap kalian benar-benar akan menjadi pasangan suatu hari nanti," harap Mita. "Aku berharap ada orang yang akan ngelindungi kamu dari semua hal buruk termasuk dari ibu dan saudara tirimu itu."
"Bukannya aku merasa Kirana gak oke ya. Tapi Kirana dan Bastian itu dari dunia yang berbeda," kata Yudhistira tiba-tiba.
Vero berhenti makan. "Maksudmu?"
"Ya Kirana seorang dokter. Dia berjuang keras demi pasien-pasien. Sementara si Bastian itu cucu konglomerat. Orang kaya yang terbiasa hidup mewah dan di kelilingi wanita-wanita cantik," Yudhistira blak-blakan.
"Kamu tuh kenapa sih?!" Mita sewot mendengar ucapan Yudhistira. "Kok tiap bahas Kirana dan Bastian bawaannya pesimis gitu. Emang Kirana gak pantas apa? Kirana itu mahasiswa kedokteran terbaik, salah satu dokter yang pekerja keras di rumah sakit dan dia sudah hidup mandiri sejak kuliah. Apa masih gak pantas?"
Vero setuju dengan kata-kata Mita barusan. Menurutnya Kirana pantas sekali bersanding dengan Bastian. Toh sekalipun Kirana seorang dokter junior, ayah Kirana kan konglomerat juga. Hanya saja Kirana memilih untuk hidup mandiri sejak kuliah dan tidak berniat mengandalkan harta ayahnya.
"Bukan gitu maksudku, Mit," Yudhistira membela diri.
"Udah deh. Yudhis, kamu mending tutup mulut aja. Aku sama Mita ini udah dukung 100 persen kalo Kirana jadian sama Bastian," kata Vero galak. Ia ikutan kesal dengan Yudhistira.
"Iya nih. Kayak Yudhis suka pesimis. Kayak kamu gak rela kalo Bastian sama Kirana," lanjut Mita.
Mendengar perkataan itu, Vero dan Yudhistira terdiam. Ada sesuatu yang di ketahui Vero yang bahkan Mita dan Kirana tidak tahu. Vero tahu persis suatu rahasia yang mungkin saja merusak persahabatan mereka kelak. Karena itu dia memilih bungkam. Dia tidak ingin Kirana dan Mita tahu rahasia ini.
"Udah deh, temen-temen. Jangan berantem mulu," Kirana berusaha melerai ketiga sahabatnya.
Dalam hatinya Kirana setuju dengan Yudhistira. Ia merasa tidak layak untuk bersama Bastian. Kirana merasa dirinya pasti tidak masuk kualifikasi kekasih idaman Bastian. Baginya wanita yang pantas dengan Bastian adalah wanita cantik dan dari keluarga yang kaya. Sedangnya dirinya hanyalah seorang dokter yang masih berjuang membiayai kuliah adiknya, Keenan dan tidak memiliki wajah cantik bak artis.
….
20.00
Kirana baru selesai menangani pasien di UGD, badannya pegal-pegal karena jumlah pasien membeludak hari ini. Yang diinginkan Kirana hanya satu. Pulang lalu beristirahat tanpa memikirkan pekerjaan lagi.
"Kirana," panggil sebuah suara dari belakang.
Kirana menoleh. Yudhistira sedang berlari kecil ke arahnya. "Kenapa, Yudhis?"
"Kamu mau pulang?" tanya Yudhistira sambil tersenyum.
Kirana mengangguk. "Iya. Aku capek banget abis merawat banyak pasien."
"Mau aku antar?" tanya Yudhistira lagi.
Buru-buru Kirana menggeleng. "Gak usah. Aku bisa pulang sendiri kok."
"Yakin? Aku bisa antar kamu. Pulang malam-malam bahaya…"
"Yakin kok, Yudhis. Lagian kamu kan juga ada jaga malam hari ini. Gausah repot-repot. Nanti aku bisa pesan Grab," Kirana berusaha meyakinkan sahabatnya.
"Aku pulang duluan ya. See you," Kirana menepuk bahu Yudhitira.
Kirana meninggalkan Yudhistira yang khawatir di belakangnya. Ia tahu Yudhistira selalu khawatir akan keselamatannya. Apalagi Kirana harus pulang malam tiap harinya karena tuntutan pekerjaan. Tapi Kirana tidak enak kalau harus merepotkan Yudhistira. Yudhistira sudah cukup banyak membantu Kirana selama ini.
Sudah lebih dari setengah jam Kirana berdiri di perempatan dekat rumah sakit. Gelap. Ia sedang menunggu mobil Grab yang dipesannya. Mata Kirana dari tadi menatap layar ponselnya dengan cemas.
Si pengemudi Grab sedang terjebak macet. Kirana paling kesal kalau sudah terjebak di keadaan seperti ini. Jakarta memang tidak kenal waktu. Sebuah kota yang tidak pernah mati. Selalu macet setiap waktu.
Tiba-tiba sebuah sosok hitam mendekat ke arahnya. Refleks Kirana mundur selangkah. Ia melihat seorang pria semakin mendekat ke arahnya.
"Halo, Kirana," sapa pria itu.
Kirana menyipitkan mata.
Sosok pria itu semakin lama semakin jelas. Kini Kirana dapat melihat siapa sosok itu. Pria berbaju hitam, berambut panjang di kuncir ke belakang dan memiliki banyak tindik di kedua telinganya sedang berdiri di bawah sorot lampu jalan yang terang.
"Victor?"
"Kamu belum pulang?" senyum pria itu mengembang memperlihatkan gigi-gigi putihnya.
Kirana merasakan firasat yang tidak enak. Victor biasanya akan tersenyum ataupun menggoda dirinya. Tapi kali ini tidak. Victor berdiri serius dan menatap dingin ke arahnya.
"Kamu baik-baik aja?" Kirana mulai khawatir.
Victor tersenyum dan berjalan semakin dekat.
Dari jarak satu meter Kirana bisa mencium bau alkohol yang sangat menyengat. Pria ini sedang mabuk.
"Aku selalu baik-baik aja. Mau aku antar pulang?" tanya Victor dengan matanya yang tajam.
"Enggak usah, Vic."
"Kamu sepertinya suka banget menolak kalau mau diantar pulang ya? Tadi menolak dokter pria di rumah sakit, sekarang menolakku," kata Victor dengan tawa kecil. "Tapi kalau yang nganter pulang Bastian pasti langsung di terima."
"Apa maksudmu?" Kirana bingung.
Kirana benar-benar takut. Ia tidak menyangka Victor mengikutinya dari tadi. Mengawasinya sejak Yudhistira menawari untuk mengantarnya pulang.
"Kamu sebaiknya pulang, Vic. Kamu terlihat kacau. Kamu lagi mabuk. Besok kalau kamu gak mabuk kita bicara lagi," Kirana berjalan mundur hendak menjauhi Victor.
Tapi lengannya di tarik sampai Kirana berdiri menghadap Victor yang tinggi menjulang di depannya.
Victor memegang pipinya. "Kenapa buru-buru pergi, Kirana?"
"Apa yang mau kamu lakukan?" Kirana mulai panik.
Victor hanya menyunggingkan sebuah senyum gelapnya.
Sedetik kemudian yang Kirana ingat, ada beberapa pria yang muncul di belakangnya. Membekap mulutnya dengan sebuah sapu tangan. Sekuat apapun Kirana meronta, tangan dan kakinya tidak bisa lepas. Lalu semuanya menjadi gelap.