"Ayo turun, Sayang," ajak Haruna.
"Mama, Kia ngantuk." Kiara mengucek matanya. Setelah berkeliling di tempat bermain dan berbelanja, Kiara terlihat sangat kelelahan. Gadis mungil itu tidur di pangkuan Haruna sepanjang perjalanan.
"Terima kasih, ya, Pak." Haruna membayar ongkos taksi lalu menggendong Kiara turun.
Sopir taksi membantu Haruna menurunkan barang-barang yang dibelinya di mall tadi. Dari dalam, Vivi mendengar suara mobil berhenti. Saat tahu yang datang itu kakaknya, Vivi segera menyusul ke gerbang rumah.
"Biar aku bawakan, Kak. Kakak bawa Kia ke kamar aja," ucap Vivi. Ia mengambil tas belanja di tangan Haruna.
***
"Sudah malam. Dia sedang apa, ya," gumam Tristan.
Tristan berdiri di balkon. Sebatang rokok terselip di antara bibirnya. Ia menghirup dan mengembuskan asapnya sambil menengadah. Tristan tersenyum mengingat kelembutan bibir Haruna yang membuat Tristan tergila-gila. Hanya sebuah kecupan dan Tristan sudah merasakan kepuasan yang luar biasa. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, ia tidak akan pernah memaksa Haruna berhubungan intim lagi dengannya.
"Sedang apa kamu sekarang? Rasanya aku hampir gila karena merindukanmu," ketik Tristan di aplikasi WA. Ia mengirimkan pesan itu pada Haruna. Tristan tidak tahu sejak kapan ia menjadi suka mengumbar rayuan manis. Hanya Haruna seorang yang membuat Tristan melakukan hal itu.
***
Tring!
Pesan dari Tristan masuk ke ponsel Haruna. Ponsel yang Tristan berikan untuk mengganti ponsel Haruna yang rusak dibanting olehnya. Hanya ada satu kontak di ponsel Haruna, nomor kontak Tristan.
Haruna sedang mandi, sementara Kiara sudah tertidur pulas. Vivi yang merasa rindu pada sang Kakak, masuk ke kamar Haruna. Ia melihat ponsel Haruna berkedip saat sebuah pesan WA masuk.
"Hum, ini seperti bukan ponsel Kakak. Pesan dari siapa, ya? Kepoin, ah," gumam Vivi sambil tersenyum geli. "Mumpung Kakak lagi mandi." Vivi mengambil ponsel Haruna.
"Sedang apa, Vi?"
"Astaga!" Vivi terlonjak bangun dari tepi ranjang. Ia menyembunyikan ponsel Haruna di belakang punggung. "Kakak, bikin kaget saja," ucap Vivi.
"Itu apa?"
"Apa? Vivi gak pegang apa-apa, kok," jawab Vivi dengan gugup. Belum juga ia melihat isi pesan itu, dia sudah keburu ketahuan.
"Sejak kapan suka berbohong?" tanya Haruna dengan tatapan tajam.
"Engg … itu … Vivi penasaran sama isi pesan di ponsel Kakak, jadi Vivi mau lihat. Eh, keburu ketahuan," jawab Vivi dengan tersenyum canggung.
"Kamu sekarang jadi nakal. Kenapa? Apa karena sudah lama, Kakak tidak memukul pinggulmu, hah," goda Haruna. Haruna mengejar Vivi dan mencoba memukul pinggulnya.
"Ampun, Kak. Nanti tambah seksi, haha," ucap Vivi sambil berputar menghindar.
Plakk!
"Aww, kena juga. Tangan Kakak semakin kuat saja," sungut Vivi. Ia mengembalikan ponsel Haruna.
"Dari siapa?" tanya Haruna sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Memangnya boleh dilihat?" tanya Vivi yang sedang menyodorkan ponsel itu pada Haruna.
"Coba saja lihat dan bacakan untukku," ucap Haruna. Ia menggantungkan handuk kecil itu dan memilih baju tidur.
"Sedang apa kamu sekarang? Rasanya aku hampir gila karena merindukanmu. Wah, kata-katanya mesra banget. Siapa, sih, Kak?" tanya Vivi penasaran karena di sana hanya tertera nomor saja.
Haruna segera merampas ponselnya. "Bukan siapa-siapa." Haruna menjawab dengan gugup.
"Masa? Gak percaya, ah. Ayolah, Kak, beritahu Vivi," bujuk Vivi sambil menggelayut manja. "Oh, iya, Vivi baru ingat. Itu bukan ponsel Kakak, terus ponsel Kakak kemana?"
"Kakak tukar tambah tadi di mall," jawab Haruna asal. "Kakak juga membelikan kamu sepatu. Ini, ambil," ucap Haruna sambil menyerahkan tas belanja berwarna ungu.
"Terima kasih, Kak." Sudut bibirnya naik. Vivi sangat senang melihat sepatu kets yang Haruna belikan untuknya. "Maafin Vivi soal tempo hari di cafe," ucap Vivi. Wajahnya berubah sendu.
"Kakak tahu, kamu … sangat kesal melihat Tristan. Maafkan Kakak juga karena telah menamparmu," balas Haruna. Mereka berpelukan. "Tunggu sebentar lagi, Vi. Kita akan kembali seperti dulu. Hidup bahagia hanya bersama Papa, Mama, dan Kiara. Kakak janji tidak lama lagi, Kakak bisa terlepas dari rumah Tristan. Sampai saat itu, jaga Mama dan Papa," ucap Haruna dengan pelan.
Anggi mendengarkan di depan pintu. Awalnya dia ingin menyuruh Vivi menjemput ayahnya. Namun, mendengar mereka sedang berbicara serius, Anggi pun mengurungkan niatnya.
"Hah, sudahlah. Mas Kamal bisa pulang naik taksi," gumam Anggi. Ia kembali ke kamarnya.
"Kakak pasti capek, Vivi juga mau tidur. Terima kasih untuk sepatunya. Selamat malam, Kak," pamit Vivi.
Haruna menghela napas lega setelah Vivi pergi. Untung saja Haruna berhasil mengalihkan pembicaraan soal pesan Tristan. Setelah memakai bajunya, ia segera membalas pesan Tristan.
"Lebay. Jangan lupa, perbaiki ponselku!" Haruna mengirimkan pesannya. "Hum, memangnya aku pergi berapa lama. Pake bilang mau mati karena merindukan aku. Dasar penggoda wanita," cibir Haruna. Ia berbicara sendiri dengan ponselnya.
***
"Dasar gadis jahat. Malah bilang aku lebay lagi," sungut Tristan. Ia menaruh ponselnya dan berbaring di tempat tidur. Semua yang dia katakan adalah kebenaran. Ia sangat merindukan Haruna. "Mungkin kau benar Haruna, aku berlebihan. Tadi siang kita sudah bertemu, tapi aku sudah sangat merindukanmu. Mantra apa yang kau gunakan sebenarnya? Kenapa aku jadi tergila-gila padamu?
"Senyummu, suaramu, pandanganmu, semuanya terus menari-nari di kelopak mataku. Aku ingin memilikimu sebagai pendampingku, selamanya."
Perlahan-lahan mata Tristan mulai terasa berat. Ia tertidur tidak lama kemudian. Dalam tidur pun, Tristan tersenyum. Wajah kelam, dingin, dan arogan yang selalu menemani kesehariannya itu sama sekali tidak terlihat. Yang ada di wajahnya saat ini hanya wajah cerah, bahagia, penuh cinta.
Ia masih terlelap dalam mimpi indah. Memimpikan bidadari pujaan hati. Namun, Tristan merasakan sebuah sentuhan lembut yang merangkak naik dari perut ke arah dadanya. Jemari lentik itu bermain-main di leher Tristan. Membuat Hasratnya seketika naik. Dalam temaram lampu kamar, Tristan menggeliat saat sebuah kecupan lembut mendarat di bibirnya.
Dengan keadaan setengah sadar, Tristan menarik pinggang gadis itu dan membalik posisi. Tristan memagut bibir merah gadis itu dengan penuh gairah. Ia pikir kalau itu adalah Haruna. Saat desahan kecil keluar dari bibir gadis itu, Tristan tersentak bangun dan melangkah mundur. Tristan menekan saklar lampu.
Ceklek!
"Kamu!" Matanya membelalak saat melihat gadis dengan lingerie seksi terbaring di tengah ranjang.
"Aku tahu, kamu selalu memikirkan aku, Sayang. Malam ini, aku milikmu," ucap Stevi. Ia bangun dan duduk di tengah ranjang dengan senyuman menggoda.
"Bagaimana kamu bisa masuk kemari?" tanya Tristan dengan emosi.
"Kenapa? Kamu takut ketahuan sama Haruna? Ayolah, Sayang. Dia bukan wanita baik-baik. Lihatlah!" Stevi menunjukkan foto Ikhsan yang sedang membuka helm Haruna. "Dia sudah punya suami dan anak. Apa yang kamu harapkan dari wanita penipu seperti itu.
Tristan memang merasa cemburu dengan foto itu. Namun, seperti apa Haruna, Tristan sangat tahu. Kiara bukan anak kandung Haruna, saat Tristan memaksa Haruna berhubungan intim, gadis itu jelas masih virgin. Jadi, Tristan hanya mendecak kesal saat Stevi menjelekkan Haruna di hadapannya.