webnovel

Bertemu Ular

Revisi dengan Aura Misterius dan Elegan

Setelah menyesap espresso, Reino merasakan sesuatu yang ganjil.

Sebuah kehadiran yang lembut namun mendominasi.

Bukan hawa dingin, bukan tekanan membunuh yang kasar, tetapi sesuatu yang lebih halus—seperti angin sepoi-sepoi yang berhembus sebelum badai datang.

Tatapannya bertemu dengan seorang gadis muda di tengah keramaian.

Saat itu, waktu terasa melambat.

Mereka saling mengamati, dalam diam.

Dan dalam sepersekian detik—

—Sial.

Gadis itu tidak biasa.

Bukan karena kecantikannya yang menawan, bukan karena cara berjalannya yang ringan seperti melayang, tetapi karena eksistensinya sendiri terasa begitu asing.

Di tengah hingar-bingar kota, dia berdiri seperti sosok yang tidak semestinya ada di sini.

Bukan sebagai bagian dari dunia ini, melainkan sesuatu yang melihat dunia dari atas, memandang manusia layaknya aktor dalam sandiwara yang bisa dihentikan kapan saja jika ia menghendaki.

Tapi Reino tetap tenang.

Ia hanya sedikit menyipitkan mata, membiarkan perasaan waspada mengendap tanpa memperlihatkannya secara langsung.

Sementara itu, gadis itu melangkah mendekat dengan langkah ringan—tidak terburu-buru, tidak ragu, seolah ruang di sekelilingnya memberi jalan tanpa ia minta.

"Aku mendengar ada seorang pembunuh dewa yang menyebut dirinya ksatria," katanya dengan suara lembut.

Nada bicaranya tidak mengancam, tidak agresif.

Sebaliknya, itu terdengar nyaris indah—seperti melodi halus yang menyembunyikan sesuatu di baliknya.

"Seorang pria yang menebas banyak hal dengan pedang sihirnya… itu kau, bukan?"

Tanpa ia sadari, gadis itu sudah berada tepat di hadapannya.

Tidak ada suara langkah kaki, tidak ada angin yang berubah arah—dia hanya ada di sana, seperti bayangan yang selalu ada tapi tidak diperhatikan.

Reino menatapnya dalam diam.

Ia bisa melihat pantulan dirinya di mata gadis itu—pupilnya hitam, dalam seperti malam tanpa bintang.

Namun, ada sesuatu yang bersembunyi di sana.

Sebuah kedalaman yang menelan, sesuatu yang tidak ingin dilihat terlalu lama.

Tetap tersenyum tipis, Reino menjawab santai:

"Tidak, pria yang kau cari sedang terluka. Dia pergi ke pulau selatan untuk menyembuhkan dirinya sendiri, mungkin sambil menikmati matahari."

Gadis itu tidak langsung bereaksi.

Ia hanya menatap Reino, seolah menimbang sesuatu.

Lalu, perlahan, bibirnya melengkung dalam senyuman.

Senyuman yang nyaris terlalu sempurna—anggun, tenang, tetapi entah mengapa membuat udara di sekelilingnya terasa lebih dingin.

"Begitu," katanya.

Lembut, hampir seperti bisikan.

"Kalau begitu… kau juga hanya seorang wisatawan?"

Nada suaranya masih sama—seolah ini hanya percakapan santai, tetapi Reino bisa merasakan sesuatu di balik kata-kata itu.

Seperti jaring laba-laba yang tak terlihat, perlahan-lahan menjeratnya tanpa ia sadari.

"Apa yang kau rencanakan?" Reino akhirnya bertanya.

Gadis itu sedikit memiringkan kepala, seolah pertanyaan itu menghiburnya.

"Aku hanya ingin mengambil kembali sesuatu yang seharusnya menjadi milikku."

Lalu, dengan suara yang masih setenang sebelumnya, ia melanjutkan:

"Aku tidak punya keinginan untuk bertarung. Tetapi, jika kau berkeras untuk menghalangiku… maka aku tidak keberatan mengambil sesuatu darimu sebagai gantinya."

Angin berhembus pelan.

Tidak ada ancaman langsung, tidak ada nada kasar.

Namun, Reino tahu itu bukan sekadar pernyataan biasa.

Gadis ini tidak berbicara tentang pertempuran.

Dia berbicara tentang kekalahan—tentang sesuatu yang tidak bisa direbut kembali jika sampai jatuh ke tangannya.

Reino tetap tersenyum, tetapi matanya menajam.

"Sayangnya, aku bukan orang yang suka bertaruh."

"Oh?"

Gadis itu tersenyum lebih dalam.

Ada keindahan yang dingin dalam ekspresinya, seperti cahaya bulan yang jatuh di atas pedang yang baru saja meneteskan darah.

"Kalau begitu, kau pembohong."

Reino menaikkan alis.

"Pembohong?"

"Tentu saja."

Nada bicaranya terdengar yakin—tidak menuduh, tetapi menyatakan fakta yang tak terbantahkan.

"Tidak ada pembunuh dewa yang tidak tertarik padaku."

Tatapan itu tetap menempel padanya, dalam diam yang lebih menusuk daripada seribu kata.

Sejenak, Reino merasa seperti seekor rusa yang dipandangi oleh pemangsa.

Gadis itu akhirnya mengalihkan pandangannya.

Langkahnya ringan saat ia berbalik, seolah tidak ada yang baru saja terjadi.

Namun, sebelum pergi, ia menambahkan satu kalimat terakhir—

"Kita akan bertemu lagi."

Lalu dia menghilang di tengah keramaian.

Reino menghela napas pelan.

Hanya sebuah percakapan biasa.

Tidak ada pertarungan.

Tidak ada ledakan sihir.

Namun, entah kenapa, rasanya lebih melelahkan daripada pertarungan mana pun yang pernah ia jalani.

Dan yang lebih buruk… ia tahu gadis itu benar.

Pertemuan mereka belum berakhir.

Próximo capítulo