webnovel

Teganya Tiara

Jay baru saja pulang kerja. Ini sudah pukul 7 malam. Rasanya heran juga karena seharian ini Jay pergi pagi dan pulang malam. Biasanya dia akan pulang 4 sore.

"Halo Zidan..." Jay duduk disamping Zidan yang tengah duduk sambil memegangi mainannya. Sesekali Zidan melemparkan mainanya.

"Mau gendong?" Jay sudah merentangkan tangannya tapi kemudian dia jauhkan lagi. Dia teringat sesuatu yang selalu Tiara ucapkan.

"Eh iya lupa, Papa belum mandi. Ga boleh gendong, oke..papa mandi dulu." Jay kembali bangkit. Dia mengambil tasnya.

"Bang.." Panggil Tiara. Dia heran kenapa Jay tak menyapanya.

"Hem.."

"Ada aku loh disini."

"Aku belum mandi, aku bersih-bersih dulu, nanti ada kuman kena Zidan." Jay segera pergi lagi. Rasanya malas untuk bertemu Tiara. Dia benar-benar merasakan perih yang sangat dalam. Ini adalah suatu yang tak pernah Jay sangka dan harapkan. Kini dia menyimpan tasnya di sofa. Membuka semua bajunya dan menyimpannya di keranjang khusus pakaian kotor. Tangannya memutar keran shower dan seketika jatulah air-air. Jay menundukkan kepalanya. Memikirkan apa yang dilihatnya tadi. Dia...dia menangis sekarang. Matanya dia pejamkan. Dia memutar ulang apa yang menjadi pemicu tindakannya saat ini. Tadi siang setelah selesai makan siang di luar. Entah kenapa Jay teringat Zidan. Dalam kepalanya terbesit ide untuk membelikan Zidan mainan baru. Jay kira sudah lama juga dia tak membelikan anaknya mainan. Dia pun mengendarai motornya ke sebuah pusat perbelanjaan terdekat disana. Bersama Tiara dulu, dia sering datang kesini untuk membeli mainan. Bukan karena murah tapi karena hanya di disitu Tiara bisa belanja untuk dirinya dan untuk anaknya. Jay bingung sendiri saat memilih mana mainan yang cocok untuk anaknya. Dia bahkan menyempatkan diri untuk melakukan pencarian di Handphonenya seakan memastikan apa yang dilakukannya adalah tindakan yang benar. Setelah menemukan yang tepat tanpa ragu Jay membawanya ke meja kasir dan membayarnya cepat. Dia tak mau bolos kerja terlalu lama. Baru juga keluar dari tempat itu, mata Jay menemukan sosok yang dikenalnya. Itu istrinya sendiri. Dia tampak sedang berjalan-jalan dengan seorang pria yang tak Jay kenal. Matanya tampak berbinar, bibirnya menyunggingkan senyuman bahkan saat dia berbicara pun Jay bisa melihat kegembiraan disana. Apa iya itu yang bernama dokter Mike?. Ya itu...Jay jelas-jelas sudah hafal dengan wajah dokter Mike karena melihat foto-foto kemarin. Hati Jay seperti merasakan sakit yang luar biasa. Apa iya Tiara main hati dibelakanganya?. Apa iya itu selingkuhan Tiara yang Jay kira sebagai papa baru Zidan?. Rasa sedih dan marah bercampur aduk dalam benaknya. Oke. Dia harus menghampiri mereka. Jay melangkah namun dia hentikan lagi.

"Engga-engga, nanti aku marah dan bisa emosi mukul dia. Mommy ga suka." Jay teringat lagi akan pesan ibunya agar tak ringan tangan. Rasanya sudah lama juga Jay tak memukul orang ketika marah. Dulu emosinya sering meledak-ledak tapi sekarang semuanya jauh lebih tenang. Jay diam lagi. Kini Mereka masuk ke sebuah tempat makan. Jay juga memutuskan untuk pergi saja. Dia tak mau melihat adegan selanjutnya.

"Tiara, kenapa kamu ga bilang aku?." Jay meraih Handphonenya berharap Tiara mengabari jika dia sedang pergi dengan teman tapi...tak ada satupun pesan atau panggilan disana. Itu artinya Tiara sedang tak ingin Jay tahu tentang hubungannya dan Dr. Mike. Jay kecewa.

***

Tiara POV

Sehari sebelumnya

Ah..rasanya lelah juga setelah 3 hari dinas tapi melihat si gemes Zidan aku tak bisa bermalas-malasan. Setelah kita main tadi, dia kini tertidur cukup pulas. Waktu sudah menunjukan pukul 11 malam tapi kenapa Abang belum kembali ya?. Apa dia lagi banyak pekerjaan?. Sebenarnya aku sedikit aneh karena sejak aku pulang wajahnya agak lesu. Entah kenapa, dia juga langsung pergi begitu saja padahal kan aku ingin bermanja-manjaan. Rasanya sudah lama tak bermesraan dengan suamiku sendiri. Bukan karena kita sibuk. Waktu luang kita banyak hanya saja Zidan selalu hadir dipertengahan kita membuat aku kadang harus menunda-nunda acara bemesaraan itu. Aku tidak menyalahkan Zidan. Aku senang kok dia hadir diantara kami hanya saja...seperti Abang belum siap. Jujur aku memang kadang sedikit kesal dengan tingkah lakunya. Dia terlalu sembrono dan belum lagi cemburu juga pada anaknya.. Inikan anak kecil dan anaknya pula, harusnya dia mengerti. Dia mungkin masih belajar menjadi Papa tapi..belakangan ada yang sedikit berbeda darinya. Dia sudah mau meredam egonya. Biasanya dia akan sedikit kesal jika Zidan menangis saat aku sedang bersamanya, tapi sekarang dia akan otomatis melihat Zidan ketika tahu anak itu bersuara dalam tidurnya. Entahlah apa yang terjadi tapi mungkin dia sedikit mendapatkan hidayahnya. Aku kini berdiri membuka lemari. Haruskah aku memakai lingerie malam ini?. atau...aku menggodanya saja sudab cukup?. Aku galau. Aku menutup lagi lemari bajuku. Rasanya tak ada yang bagus juga. Aku meraih Handphoneku dan membuka layanan belanja online. Aku harus membeli satu pakaian seksi mungkin Abang akan jauh lebih senang jika aku memakai pakaian baru. Setelah selesai berbelanja dadakan aku menyimpan Handphoneku diatas nakas dan melihat lagi ke arah Zidan. Anakku yang super ganteng ini masih sudah dengan nyenyak. Aku ikut berbaring disana. 3 hari ini rasanya berbeda jauh dari keluarga. Kemarin aku juga sedikit panik mendengar Kay menjadi salah satu korban pesawat jatuh. Aku kira itu beneran tapi..untunglah masih ada keajaiban. Aku tak terbayang menjadi Kiran jika hal itu benar-benar terjadi. Rasanya besok aku ingin cuti saja. Istirahat total tapi...aku sudah ada janji dengan dokter Mike jadi aku tak mungkin menghindar. Aku baru akrab dengannya sekitar 4 bulanan dan dia ternyata orang yang menyenangkan. Dia juga ramah pada semua orang meskipun beberapa orang menganggapnya judes akibat bawaan wajah. Kami dekat begitu saja tak ada rencana, tak ada yang memulai. Semua mengalir dengan apa adanya. Pembawaannya yang dewasa membuat aku nyaman jika mengobrol dengannya sampai akhirnya dia menceritakan apa yang terjadi dalam hidupnya membuat aku bersimpati. Simpati ini yang membuat kami justru jadi tak canggung lagi dalam berteman. Dia mengerti aku ingin menolong. Jika dilihat secara fisik dia itu memang menarik sangat menarik bahkan. Dikalangan wanita dirumah sakit dia banyak diincar untuk menjadi kekasihnya atau bahkan menjadi calon suaminya sampai mereka tahu dokter Mike ini sudah menikah. Dia sama seperti aku menikah diusia muda dan sejak saat itu kita banyak bercerita soal dunia pernikahan yang jelas berbeda antara yang aku punya dan yang dia punya. Itu menarik.

****To Be Continue

Próximo capítulo